Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 63)


Uh!! Dingin! Aku merapatkan mantel yang kupakai. Udara terasa menggigit. Dingin sekali. Aku segera duduk berkonsentrasi untuk mengusir rasa dingin. Halimun terasa lembab, mengembun di lantai dan pakaian yang kami pakai. Cahaya petromak semakin buram. Aku masih menunggu jemputan.

Benar saja, tepat tengah malam, dua nenek gunung mengucapkan salam dari panggkal tangga rumah panggung. Aku langsung menjawab salamnya dan bangkit. Kubiarkan jasadku tidur miring seakan nyenyak sekali. Kawan-kawanku juga sudah tidur semua. Rata-rata meringkuk seperti pistol melawan dingin. Aku turun tangga. Kulihat ada dua anak muda mendongak melihat aku turun dengan senyum. “Assalamualaikum, Dang. Kami disuruh Puyang Akas menjemput Dang Selasih di sini. Kenalkan namaku Dahar, dan ini Gofar. Apakah Dang Selasih sudah siap?” Ujar Dahar berwajah agak tirus. Aku menyalami keduanya sambil menyatakan siap berangkat. “Apakah puyang Akas, puyang yang bertemu padaku waktu salat asar tadi?” Tanyaku meyakinkan. Dahar dan Gofar mengangguk serentak. Akhirnya kami berjalan bersama meniti jalan datar dan lebar. Aku terperangah melihat perkampungan yang luas dengan tanah berundak-undak. Kami melintasi jembatan yang terbuat dari kayu yang kokoh. Sungai kecil dan deras membelah dusun. Airnya sangat bening. Di hulu aku melihat ada masjid berwarna kuning gading letaknya persis di tepi sungai. Di sisinya, tumbuh subur pohon pakis batang membuat masjid nampak sangat asri. Batu besar dan kecil berwarna hitam tertimpa air. Sementara airnya mengalir bening. Saking beningnya, pasir dan kerikil terlihat hingga ke dasar sungai. Bahkan ikan yang berenang nampak jelas, menggoyang-goyangkan siripnya. Beberapa anak kecil putri berjilbab, ada juga yang berkerudung dan yang lelaki berkopiah turun ke sungai. Mereka berwudu lalu lari ke masjid.

“Mereka belajar mengaji di masjid, Selasih,” ujar Dahar seakan menjawab pertanyaan dalam hatiku. Aku kagum sekali melihatnya. Desa yang indah. Halaman tiap rumah nampak hijau. Rumput tumbuh subur. Rumah-rumah yang berjajar semua dari kayu dengan ornamen seperti ukiran mata pena di sisi bubungan maupun di pagar beranda. Jendela rumah umumnya lebar-lebar. Atap rumah ada dari sirap, yaitu kayu yang disisipkan, ada juga seperti genteng. Di bawah rumah panggung aku melihat antan dan lesung. Hampir tiap rumah punya. Bahkan beberapa perempuan terlihat sedang menumbuk sesuatu. Entah menumbuk padi, atau tepung beras. Suaranya bertalu-talu. Melihat perempuan menumbuk padi, mengingatkan pada masa kecilku. Dulu aku kerap ditertawakan oleh teman-teman karena ketika aku menumbuk kopi mereka anggap aneh, sebab ketika menggenggam alu yang panjang itu tangan kiriku di atas, sementara tangan kananku di bawah. Aku mengangkat alu dari sisi kiri. Sementara mereka sebaliknya, memegang alu, tangan kanan mereka di atas lalu tangan kirinya di bawah. Mengangkat alu sebelah kanan baru menghentak-hentakkannya. Menurutku hal seperti itu biasa-biasa saja. Tapi denganku mereka anggap aneh, sebab dalam keseharian aku tidak kidal. Sama halnya ketika aku diajarkan mereka memakai kain sarung. Kawan-kawanku mengincupkan kain dari sebelah kiri ke kenan. Baru ujaungnya diselipkan di pinggang kanan. Sementara aku dari kanan ke kiri. Makanya mereka anggap aku memiliki keganjilan. Aku jadi senyum-senyum sendiri dalam hati. Sambil berjalan, aku menikmati irama alu yang masih terdengar mengisi ruang semesta bertalu-talu.

Menurutku dusun ini sangat unik. Aku melihat pohon kelapa tumbuh subur dan seperti sengaja dikebunkan tidak jauh dari pemukiman. Beberapa nenek gunung, dalam bentuk harimau betulan, tidur-tiduran di bawah beberapa rumah panggung. Ada yang kecil, ada juga yang besar. Mereka adalah peliharaan nenek gunung jadi-jadian, atau manusia harimau. Warna mereka pun bervariasi, ada yang berbelang hitam dan dominan putih, ada juga yang kuning, coklat tua dan hitam kumbang. Makhluk-makhluk rimba itu nampak jinak. Kandang menguap mengeluarkan suara berat dan mendesah. Secara kasat mata, orang akan melihat nenek gunung-nenek gunung itu tidur di dalam hutan. Padahal mereka berada di bawah rumah-rumah panggung penduduk. Kami berbelok ke kanan. Kulihat ada rumah yang menjorok di sisi tebing, ada juga rumah-rumah di lembah, ada juga di seberang sungai. Umumnya rumah di sini besar-besar meski bentuknya tidak sama, namun ornamen ukiran kayunya sama. Baru beberapa langkah aku mendengar ada suara seperti orang latihan bela diri. Aku bertanya dengan Gofar. Gofar mengiyakan. Kami berhenti sejenak di samping rumah panggung ada lapangan tidak terlalu luas. Aku melihat puluhan orang duduk rapi di sudut lapangan. Selanjutnya ada empat orang sedang memperagakan jurus-jurus bela diri. “Ini seni bela diri yang diiringi dengan mantra dan tenanga dalam. Namanya silek.” Ujar Dahar. Aku mengangguk-angguk memerhatikan setiap kuda dan langkah gerakannya. Beberapa gerakannya mirip kuntau seni bela diri dari Besemah, cara menyapu, menggunting, gerakan tangan dan kaki yang mengunci, sama. Yang membedakannya, gerakan Besemah agak gemulai, kadang mirip seperti tarian. Setiap langkah kuntau merupakan gerakan menipu lawan. Aku terpukau kala mereka memperagakan jurus harimau. Setiap gerakan kaki dan tangannya menuju bagian-bagian yang mematikan. Cengkraman jari-jarinya mengeluarkan suara gemeretak. Aku merasakan energi yang kuat dalam seriap gerakannya. Aku berdecak kagum melihat seni bela diri ini tetap diwariskan pada anak mudanya. Berbeda di alamku, seni kuntau Besemah nyaris tak terdengar lagi orang melatihnya. Ada kekhawatiran, jangan-jangan sudah punah.

Usai melihat latihan silek, kami bertiga melanjutkan jalan kembali. Baru dua puluh meteren, kami memasuki halaman rumah panggung lebih luas dari yang lainnya. Di atas beranda aku melihat puyang Akas sudah tersenyum menyambutku. Beberapa orang sepuh ada di Belakangnya. Termasuk nek Nang yang kutemui di rumah persinggahan bukit Sebakas. Aku segera menghampiri beliau dan mencium tangannya. Aroma harum bunga tiba-tiba menyeruak di antara mereka. Aku menatap seorang lelaki besar tinggi, bermata agak cekung, bersorban kotak-kotak, memakai baju seperti gamis pendek tapi dalamnya berkain sarung warna putih bergaris hitam dan abu-abu. Tangan kanannya menggenggam tasbih. Aku sujud padanya. Saat aku sujud tangan kiri beliau mengelus kepalaku. Aku seperti merasakan elusan tangan kakek Andun. Tapi beliau tidak mencium ubun-ubunku seperti kebiasaan kakek Andun sejak aku kecil. Aku agak kikuk ketika kakek yang memegang tasbih merangkul bahuku dengan wajah berseri. Aku merasakan energi beliau luar biasa. Kami menuju ruang tengah yang luas. Ternyata di sana sudah menunggu beberapa orang sepuh baik perempuan maupun laki-laki. Aku segera menuju mereka, menyalami mereka satu-satu, mereka menyambutku dengan senyum lebar. Aku seperti tamu agung karena menurutku mereka adalah para leluhur dusun ini yang sengaja hadir. Mereka dari golongan manusia harimau. Aku merasa sangat nyaman meski mereka baru kukenal.

“Selamat datang di dusun dalam ini Putri Selasih. Kami sangat senang mendapatkan kunjunganmu. Bahkan rasanya bangga sekali karena cucu Puyang Pekik Nyaring sampai menginjakkan kaki ke mari,” ujar Puyang yang selalu memegang tasbih membuka pembicaraan. Beliau nampaknya yang paling dituakan di antara para sesepuh ini. Aku mengangguk sembari minta maaf karena datang ke wilayah ini tanpa pamit, dan tiba-tiba. Kuceritakan sebelumnya aku tidak tahu jika di sisi bukit Sebakas ini ada kehidupan saudara-saudaraku bangsa nenek gunung.

“Terimakasih nek Nang, Puyang, sudah mengundangku ke mari. Maafkan kelancanganku. Maafkan ketidaktahuanku.” Ujarku menjawab Puyang bertasbih. Mata beliau masih menatapku dengan senyum dan disambut gumaman yang tidak jelas dari yang hadir. Nampaknya semua memaklumi ketidakpahamanku. Aku berharap apa yang kulakukan bukan kesalahan.

“Selasih, kenalkan, saya digelari anak cucu Puyang Jalak Itam. Mungkin karena kulit saya hitam. Sampai gigi pun hitam.” Ujar salah satu sepuh yang mengaku bergelar Puyang Jalak Hitam. Ternyata memang sangat tepat dengan ciri-ciri beliau. Ketika beliau tertawa gigi beliau memang hitam. Selanjutnya kulihat kedua telapak tangan beliau berwarna hitam.

“Saya mau menghaturkan terimakasih, Selasih. Karena kamu telah menunjukkan jalan yang lurus pada kedua istriku.” Ujarnya. Aku kaget. Menunjukkan jalan yang lurus pada kedua istrinya? Perasaan aku tidak ada melakukan apa-apa? Siapa kedua istri beliau? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Dua nenek yang menjadi pengawal peri, Ratu Ular yang kau bebaskan itu, adalah istri Puyang Jalak Hitam, Selasih.” Jelas nek Nang. Aku terperanjat. Sungguh sulit untuk kucerna dengan akal lahiria.

“Assalamualaikum, Putri Selasih.” Dua perempuan cantik masuk dari ruang tengah langsung menyapaku. Aku langsung berdiri menyambut keduanya. Keduanya mengenakan kebaya kurung dan berkain sarung sama. Bajunya saja yang berbeda. Satu orang berwarna kuning muda, satu lagi berwarna hijau muda. Aku terperanjat melihat keduanya. Benar! Nenek-nenek pengawal Ratu Ular yang ikut bersyahadat siang tadi. Aku seperti masuk dalam wilayah mimpi. Begitu sederhana Allah membuat skenario hidup ini. Baru tadi siang aku membebaskan Ratu Ular dan dua nenek pengawalnya, sungguh aku tidak menyangka ternyata ada hubungannya dengan Puyang di dusun dalam ini. Akhirnya kuketahui jika dua nenek itu diculik ratu Ular jadi pengawalnya dan tidak bisa lepas dari sarangnya. Selalu di bawah pengawasannya. Puyang Jalak Hitam dan lain-lainnya bukan tidak mampu merebutnya kembali, namun karena salah satu istrinya ada hubungan kekerabatan dengan Ratu Ular, maka sangat riskan, efeknya bisa terjadi perang saudara di alam gaib ini. Aku memaklumi semuanya. Tak semuanya aku paham tentang tingkat dan golongan bangsa -bangsa gaib ini. Dalam pertemuan dengan bangsa nenek gunung di dusun dalam ini, lagi-lagi aku mendapatkan penjelasan kedekatan para leluhur sejak zaman dulu. Terutama bangsa nenek gunung.

Kerajaan kecil lereng merapi gunung Dempu, yaitu Pekik Nyaring masih memiliki kekerabatan dengan mereka. Dari puyang yang bertasbih kuketahui jika perkampungan gaib di bukit yang menghadap ke laut ini paling ramai dengan berbagai macam jenis dan golongannya.

“Kau akan bersua dengan perkampungan-perkampungan yang belum kau temukan sebelumnya di sini Selasih. Di lembah, ada perkampungan bangsa gaib yang persis manusia. Seperti yang kau temui siang tadi. Itu perkampungan gaib yang cukup tua di wilayah ini. Kamu belum pergi ke hilirnya, akan kamu temui di bukit-bukit barisan yang kecil itu kerajaan-kerajaan kecil bangsa gaib, baik yang memiliki adat istiadat yang terpelihara, beragama, mempunyai mata pencarian persis bangsamu. Ada juga yang liar berbentuk macam-macam; mirip manusia, setengah hewan, berupa hewan benaran, dan lain-lain. Mereka menempati pohon-pohon, gua-gua, batu, dan air. Berbeda dengan bangsa kita.” Ujar Puyang bertasbih. Ketika aku bertanya apakah benar di puncak bukit ini dulunya adalah perkampungan manusia? Lalu kampung itu digaibkan karena sumpah Puyang Serunting yang bergelar si Pahit Lidah? Mendengar pertanyaanku nek Nang tertawa.

“Bangsa manusia itu makhluk yang paling pandai merekah pikirannya sehingga segala sesuatu yang tidak terjadi seakan terjadi.” Ujar nek Nang. “Puyang Serunting itu, adalah salah satu Puyang bangsamu di Besemah. Beliau terkenal Puyang yang suka berkelana. Memiliki ilmu tinggi. Menyenangi ilmu kebatinan sehingga beliau sering muncul ke mana-mana untuk memperdalam sekaligus menjajal Ilmunya. Termasuk ke tanah Besisir ini. Sebagian orang menyebutnya si Pahit Lidah. Banyak sekali segala sesuatu hasil peradaban bangsa manusia dan jin, dihubung-hubungkan dengan si Pahit Lidah. Batu-batu yang ada tulisannya, gambar telapak tangan, telapak kaki, berbentuk seperti orang, dan lain sebagainya seringkali dihubungkan dengan si Pahit Lidah atau Puyang Serunting Sakti. Padahal batu-batu itu karya manusia, sebagian pembuatan dibantu oleh bangsa jin. Batu-batu itu ada yang sengaja dibuat untuk tempat sesembahan, tempat ritual pendekatan diri pada dewa-dewa, ada juga dibuat tempat persinggahan dan tapa, dan lain sebagainya.” Lanjut nek Nang.

“Salah satu dalam sejarah peradaban manusia, kehidupan bangsa halus dan manusia itu sangat dekat. Saling mengisi. Nyaris tidak ada batas. Kehidupan zaman dulu menuntut manusia harus punya kemampuan minimal untuk bertahan hidup, untuk menjaga kelompoknya dari gangguan kelompok lain, untuk mengembangkan wilayah kekuasaan, untuk menjaga diri dari gangguan segala binatang buas dan lain sebagainya. Sebagian lagi, hukum rimba masih berlaku pada masa itu. Siapa yang kuat dia yang berkuasa. Itu menjadi salah satu alasan mengapa manusia zaman dulu banyak menuntut ilmu kesaktian.”

Aku mendengarkan penuturan nek Nang. Apa yang beliau sampaikan pernah pula kudengar dari kakek Haji Yasir. “Makanya zaman dulu banyak orang-orang sakti, bisa hidup di dua alam. Mereka umumnya adalah petapa. Tidak sedikit golongan manusia mempunyai pasukan jin beribu-ribu dan mejadi pengikutnya. Bahkan hingga kini kemampuan itu masih diwarisi oleh bangsa kalian, bangsa manusia.” Penjelasan nek Nang menambah pengetahuan bagiku.

“Dulu, Sebakas merupakan dataran tinggi, bukit yang letaknya jauh masuk ke pedalaman belantara. Jauh dengan pesisir pantai dan tidak mudah untuk mencapai ke sana. Semula bukit itu tempat bangsa manusia menyepikan diri, bertapa. Karena kehidupan di sana lebih damai. Masuknya penjajah ke wilayah ini pun me jadi penyebab mengapa dusun Tinggi itu digaibkan. Salah satunya untuk menghindarkan beradu fisik dengan para penjajah, menghindari perang saudara akibat asutan penjajah, juga untuk mejaga adat dan tradisi, menjaga kelangsungan hidup anak cucu dari gangguan makhluk kasat mata. Semua dilakukan puyang kami, karena rasa sayang dan cintanya pada anak cucu. Lama kelamaan dusun itu jadilah sebuah kerajaan kecil yang disebut kerajaan Sebakas. Sebagian lagi menyebutnya dusun Tinggi karena letaknya di puncak bukit. Ada juga menyebutnya penarakan karena memang sebelumnya tempat leluhur bertapa. Nanti kau akan diajak ke sana, Selasih. Itu yang duduk di sana, berderet itu adalah Puyang-puyang sesepuh dari dusun Tinggi Sebakas. Maafkan jika sejak awal nek Nang tidak menyebutkan nama-nama kepuyangan. Dalam hatimu, tahu siapa mereka, cukup kau tanya dan tahu lewat batinmu saja. Termasuk nek Nang, adalah keluarga besar leluhur dusun Tinggi. Sebelumnya kami memang dari bangsa manusia. Hingga kini tetap utuh dan beranak-pihak. Seiring berkembangnya zaman, di dalam alam gaib pun kami melakukan interaksi pula dengan bangsa lain, hal itu turut mempengaruhi pola pikir kami. Meski kami hidup dalam satu kelompok yang sama, dari leluhur yang sama, namun kami memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ada yang masih bertahan dengan ritual hindu budha kuno, ada juga yang sudah memeluk Islam seperti yang kau lihat, ada juga yang tidak beragama sama sekali. Sebagian besar kami ada yang menikah dengan kaum yang kau sebut nenek gunung. Makanya hidup kami sangat berdekatan.” Lanjut nek Nang lagi.

Aku terkagum-kagum mendengar penjelasan beliau. Sungguh aku tidak menyangka berada dalam lingkungan yang seperti ini.

“Kau tahu Selasih, daerah besisir ini sangat terkenal dengan ilmunya. Makanya salah satu daerah singgahan Puyang Serunting Sakti dalam pengelanaannya adalah Sebakas ini. Beliau pernah mengadu ilmu dan kekuatan dengan leluhur kami. Salah satu bentuk perjanjian pada masa lalu adalah semacam sumpah yang disepakati bersama. Salah satu sumpah itu, beliau diperkenankan masuk ke wilayah ini kapan saja beliau suka, termasuk menuntut ilmu di sini. Entah bagaimana, konon muncul satu perselisihan yang tidak bisa nek Nang jelaskan di sini antara Puyang Serunting dengan Puyang leluhur kami. Untuk menghindari pertumpahan darah, dan memutuskan permusuhan karena sayang dengan anakncucunya itu, akhirnya kerajaan kecil di Sebakas beliau gaibkan, atau dihilangkan dari pandagan kasat mata. Namun yang berkembang di alammu, Sebakas adalah dusun yang di sumpah Si Pahit Lidah atau Serunting Sakti. Padahal bukan seperti itu. Ketika Puyang Serunting datang kemari, beliau tidak melihat perkampungan Sebakas lagi. Lalu beliau berkata, kemana dusun Sebakas di bukit tinggi ini? Mengapa kelam? Kelam itu maksudnya hilang.” Lanjut nek Nang lagi.

“Masya Allah, terimakasih Nek Nang sudah berkenan berbagi cerita padaku. Benar sekali nek Nang, orang zaman dulu memiliki kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Aku bahagia sekali bertemu dengan Puyang semua. Maafkan jika kehadiran dan cara saya tidak berkenan Puyang” Aku menunduk selasa-dalamnya.

“Selasih, kami tahu, Puyang Serunting adik ipar Puyang Leluhurmu. Istri Puyang Serunting, adik kandung Puyangmu. Suatu saat Puyangmu dari Besemah akan menjelaskan bagaimana hubungan Puyang Serunting dan juga Puyang di Sebakas ini. Ketika kamu hendak diperebutkan oleh bangsa jin dari Banyuwangi, Puyang ada di sana bersama sukmamu dan leluhurmu di masjid dalam perut Bukit Patah, ikut berzikir melawan pasukan jin kafir itu. Dari atas bukit Patah itu, sebenarnya kamu bisa melihat dataran, bukit Kedurang Bengkulu Selatan ini.” Aku terkesima. Ternyata perjalananku berputar-putar seperti pusaran air, akhirnya kembali ke muara juga. Aku selalu bertemu dengan orang-orang yang selalu ada kaitannya dengan leluhurku. Baik leluhurku sebagai manusia mau pun leluhurku dari bangsa nenek gunung dari Dempu.

“Ciciplah makanan khas dusun ini Selasih, lempuk, bajik, dan bai tat.” Salah satu puyang perempuan menyajikan beberapa pinggan makanan khas daerah yang sudah diiris sedang. Aroma khasnya menyeruak sedap sekali. Aku mencermati pinggan yang dijadikan wadah makanan yang disajikan. Pinggan keramik china, bergambar naga. Demikian juga cangkirnya, ada relief naga melingkar berwarna putih dan biru yang tidak terlalu terang. Demikian juga mangkuk kecil serupa gobokan untuk mencuci tangan. Aku mengangkat cangkir dan menyeruput kopi hitamnya. Hangat dan sedap sekali. Menyicipi lempuk sepotong kecil, lalu dipaksa pula harus menyicipi bai tat dan bajiknya. Sambil minum dan menyicipi kue yang dihidangkan, perbincangan terua berlangsung.

Beberapa Puyang bertanya perihal beberapa kasus saat ini nenek gunung menyerang bangsa manusia di tanah Besemah, perihal bukit barisan telah banyak kehilangan hutan murninya, perihal nenek gunung nyaris punah karena diburu bangsa manusia. Lalu kekhawatiran-kekhawatiran mereka yang mengatakan semakin maju peradaban ternyata semakin membuat bangsa manusia kembali ke jaman jahiliyah. Hanya iman saja yang mampu menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.

“Beberapa kali merapi Dempu hendak menyemburkan laharnya, gerah karena banyak sekali anak manusia melakukan maksiat. Tapi berkat doa dan zikir para sesepuh, Dempu tetap disabarkan. Gunung Dempu itu tempat suci para leluhur hingga saat ini. Tempat para sesepuh sepanjang Bukit Barisan ini berkumpul, Selasih.” Aku mengangguk mengiyakan. Bahkan syech dari negeri Arab, Habib, Kiayi, dari banga manusia pun ada yang pernah ke sana ketika acara pengajian akbar. Usai berbincang-bincang dan menyicipi makanan yang disajikan, akhirnya beberapa Puyang mengajakku untuk berjalan ke dusun Tinggi. Aku bangkit dan minta izin pada beberapa nenek puyang perempuan. Seorang g nenek perempuan yang lebih sepuh memberikan sirih yang sudah dilipat kecil. Aku disuruh beliau mengunyah sirih selama perjalan dan berkeliling ke Sebakas. Di tangan kiriku disuruh memegang mangkuk kecil yang terbuat dari kuningan untuk tempat aku membuang ludah. Aku mematuhi perintah itu. Sirih lengkap dengan daun gambir, kapur sirih, dan pinang kukunyah pelan-pelan. Lidahku tiba-tiba terasa tebal kena getah dan kapur sirih. Sesuai petunjuk, sirih kukunyah pelan-pelan.

***

Aku bersama Puyang Akas, nek Nang, dan puyang sepuh lainnya berjalan menuju pintu gerbang. Pintu gerbang ini adalah jalan menuju ke atas bukit. Di sisi kiri kanan pintu ada dua pejaga berpakaian seperti pendekar menyambut kami dengan sopan. Beberapa Puyang menyatakan akan berangkat lebih dulu, menunggu di dataran. Dalam waktu sekejap mereka lenyap dalam pandangan.

Halimun turun terasa lembab. Ada kabut melayang-layang di hadapan kami. Aku seperti hidup di atas kayangan ketika kabut seakan mengitari kaki kami. Mulutku masih mengunyah sirih. Sambil berjalan sesekali aku membuang ludah di mangkuk kecil yang diberikan padaku. Liurku merah seperti darah. Jadi ingat nenek Kam. Bedanya nenek Kam nyirih ditumbuk lebih dulu karena giginya sudah banyak yang copot sementara aku mengunyah sirih utuh.

“Mau berjalan menyisir jalan, atau ingin langsung ke puncak Selasih?” Tanya Puyang Akas. Di belakangku ternyata Puyang Jalak hitam menyusul. Aku memilih berjalan menyiris jalan saja. Sebab aku ingin menikmanti pemandangan sekitar sini. Akhirnya semua memilih berjalan. Kami menyisir jalan agak menanjak. Di lembah, aku melihat keramaian. Banyak sekali orang-orang beraktivitas seperti di pasar.

“Itu pekan, Selasih. Sama seperti di alammu, menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.” Ujar nek Nang menjelaskan. Pekan itu kata lain pasar. Kalau di alam manusia, pekan itu pasar yang hanya dilakukan satu kali selama sepekan. Tapi sebutan itu akhirnya melekat menjadi kata lain pasar meski dilaksanakan tiap hari. Benar, situasinya persis seperti di alam nyata. Orang-orangnya sibuk. Ada yang mengangkat barang, ada yang berinteraksi. Tapi tidak ada kendaraan mobil atau motor. Yang ada gerobak yang ditarik kerbau atau sapi. Tapi setelah kupikir untuk apa pula mereka kendaraan? Mereka pada umumnya bisa kemana saja dalam hitungan detik. Aku membenak.

“Tidak semuanya bisa melakukan kemana saja dalam hitungan detik, Selasih. Sama seperti manusia. Ada kelas-kelasnya.” Lanjut Puyang Akas. Oh! Aku baru tahu. Jadi tidak semua makhluk halus ini dengan mudah kemana-mana sesuka mereka. Ada juga yang tidak bisa melakukan itu. Ada tingkat kemampuan atau derajad bangsa mereka. Termasuk juga tidak semua mereka bisa menembus alam manusia.

“Untuk belanja pakai mata uang apa, nek Nang?” Tanyaku ingin tahu setelah aku melihat beberapa orang tengah terjadi interaksi jual beli.

“Mata uangnya berbentuk cuntang, mulai dari pecahan satuan.” lanjutnya. Cuntang maksudnya dalam bentuk koin. Ingin sekali aku melihat seperti apa cuntang itu. Apakah sama dengan uang di alam nyata? Dupanya Nek Nang dapat membaca pikiranku. Beliau mengeluarkam uang dari kantong gamisnya, sebuah koin. Aku memperhatikan motifnya seperti wajah orang, lebih besar dari uang pecahan lima puluh rupiah di alam manusia. Lingkarannya polos tidak berigi-rigi. Tapi gambar reliefnya tidak jelas, aku tidak paham itu gambar apa. Apakah reliefnya itu berupa lambang kerajaan, atau wajah sang Raja, aku tidak tahu. Warnanya kuning kemerahan terbuat dari tembaga. Tebal dan berat. Ada tulisan meliuk-liuk. Aku juga tidak tahu apa bacaannya. Aku tidak tahu berapa nilainya alat tukar mereka ini. Aku mengangguk-angguk setelah memegang cuntang mata uang di alam para sesepuh Sebakas. Selanjutnya kukembalikan lagi dengan nek Nang. Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan. Apakah uang ini dipakai di semua alam gaib? Atau hanya di tanah Besisir ini saja?

“Kamu mau, Selasih? Ambillah,” nek Nang menawarkan. Aku berpikir sejenak lalu pelan-pelan aku menolaknya. Aku khawatir jika manusia tahu ini adalah mata uang dari alam gaib, nanti mereka malah memuja-mujanya. Dianggapnya cuntang ini punya kekuatan gaib pula. Mereka jadikan cintanya ini benda pusaka. Mendengar penjelasanku nek Nang tertawa ringan.

“Benar sekali. Manusia memang gampang ditipu dan suka membuat semacam simpulan sendiri tentang suatu benda. Akhirnya simpulan pikiran mereka dimanfaatkan oleh para gaib yang fasik. Kita mudah sekali tergelincir dan digelincirkan.” Lanjut Puyang Akas. Pelan-pelan aku mendengar desah istighfar berulang kali dari mulut Puyang Akas. Aku mendengarnya serupa peringatan untuk menghapus segala prasangka buruk terhadap apa saja. Aku mengikutinya di dalam hati.

Kali ini kami melewati sebuah jembatan kecil. Di hulu tidak seberapa jauh dari jembatan air terjun meski kecil nampak sangat indah. Karena jatuhnya agak tinggi, air terjun jatuh seperti embun. Indah sekali. Aku melihat embun seperti salju melompat-lompat kadang seperti gelombang lembut menari-nari di udara. Dalam hati aku berdecak kagum. Suara air terjun yang jatuh tidak terlalu berisik seperti air terjun di alam manusia pada umumnya. Aku berdiri sejenak. Kunikmati air terjun yang kecil dan cantik itu. Masya Allah, aku seperti melihat sebuah lukisan yang sempurna. Benar-benar indah! Dusun ini membuatku betah.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekarang aku melihat rumah penduduk yang berjajar. Melihat kami lewat beberapa perempuan dan laki-laki turun dari rumah panggung mereka, sebagian ke luar dari bawah rumah mereka berlari-lari kecil mendekati kami. Lalu satu-satu kami disalami. Merka sangat ramah.

“Singgah ke rumah kami Puyang. Jarang-jarang Puyang berjalan kaki.” Sapa seorang ibu. Kulihat puyang Akas tersenyum lebar. Kami berhenti sejenak.

“Minta maaf anak cucung, Puyang numpang lewat, belum bisa singgah. Puyang menemani tamu kita dari Besemah. Beliau ingin melihat-lihat dusun kita. Aku tersenyum mendengar Puyang Akas mengenalkan aku pada warga. Penduduk yang berdiri di pinggir jalan mengangguk-angguk sopan. Mereka sangat menghormati Puyang Akas. Mereka persis seperti hidup di alam nyata. Perempuannya memakai kebaya, berkain, dan kepalanya dibalut tengkuluk rebang. Sementara yang lelaki seperti pendekar. Memakai baju seperti baju koko, dan celana gobor batas betis. Kepala mereka diikat dengan kain sewarna dengan baju. Kulihat nyaris semua tanpa alas kaki. Di pangkal tangga rumah mereka sebenarnya aku melihat ada terompah, yaitu alas kaki yang terbuat dari kayu. Tapi mungkin hanya digunakan dalam waktu-waktu tertentu saja. Kaki-kaki mereka terlihat kekar. Mungkin karena dusun mereka bertebing, dan sawah ladang mereka ada di lembah.

Dari jalan yang masih menanjak, aku melihat puncak bangunan yang berbeda dengan bangunan lainnya. Ujung atap sirapnya terlihat rapi dan anyar. Di selayar dekat bubungan dikelilingi dengan papan berukiran berwarna alami kayu. Coklat tua. Semua sisi bangunan ada les ukirannya. Aku memperkirakan bangunan besar itulah yang akan kami tuju. Istana Sebakas. Semakin dekat, mataku semakin lekat memandangnya. Tangga menuju beranda sangat lebar dan berjenjang pendek. Papannya kokoh dan tebal. Aku tertarik dengan pintunya. Ukurannya besar seperti pintu gudang dengan berendel yang sangat kokoh. Besi melingkar sebagai pegangan melingkar besar. Tengah pintu pun berukiran mirip-mirip seperti ukiran cina. Ada juga seperti ukiran jepara. Melihat ornamen ukirannya, agaknya ada pengaruh budaya lain sampai ke mari.

Aku mengucapkan salam ketika memasuki pintu yang berukuran besar itu. Masya Allah, di tengah ruangan aku melihat tiang berukuran sangat besar dan mulus. Di sisi kanan ruangan, ada kursi kayu berderet memanjang. Mejanya pun panjang. Mirip seperti meja untuk mengadakan pertemuan. Selanjutnya di sisi kiri beberapa pasang kursi kuno mirip kursi jati juga tersusun rapi. Aku tertarik dengan tempat tidur di ujung sudut dekat pintu menuju ruang tengah. Berpermadani warna hijau muda, ada beberapa bantal lebar, ditata sedemikian rupa, ada kelambunya berwarna senada. Setelah dekat, kulihat ini bukan dipan atau ranjang, tapi mirip tempat istirahat atau sofa tempat duduk. Mungkin ini singgasana Raja. Tapi siapa Rajanyanya? Aku menoleh kiri kanan.

Beberapa orang yang sebelumnya berdiri di sisi pintu nampaknya pengawal yang bertugas menjaga pintu masuk, ikut mengiring di belakang kami. Di pinggang mereka terselip golok khas Bengkulu Selatan. Panjang dan lurus. Kami berjalan di belakang Puyang Akas. Beberapa perempuan separuh baya meyambut kedatangan kami. Senyum mereka manis dan ramah. Sekarang kami masuk ruang tengah. Rupanya di beranda yang mengahadap ke luar beberapa Puyang yang kutemui tadi, tengah duduk santai. Melihat kami beliau berdiri dan menyilahkan kami ikut duduk di beranda yang luas.

“Bagaimana Selasih, capek tidak berjalan? Lumayan jauh kan dari dusun tadi ke mari?” Ujar Puyang bertasbih. Kujawab tidak capek. Bagaimana capek jika yang berjalan ini bukan jasad? Bahkan aku sangat bahagia bisa berjalan menikmati pemandangan yang indah sepanjang jalan sebelum sampai kemari. Aku memilih duduk menghadap ke luar beranda. Rupanya beranda ini menghadap ke lembah. Di lembah terlihat atap-atap rumah penduduk di sela-sela pohon. Nun jauh di sana, terbentang luas sawah penduduk yang sedang menguning. Aku menelan ludah. Membanyangkan betapa sejahtera hidup mereka.

“Puyang, aku seperti berada di atas kayangan. Tadi di jalan, halimun melingkar di kaki kami. Kami persis berdiri di atas awan.” Ujarku takjub.

“Puyang yang kusapa tersenyum lebar. Di gunung Dempu jika halimun membalut gunung, akan lebih terasa lagi seperti di atas langit” Ujar puyang yang bertasbih. Sayang aku belum pernah merasakannya. Setiap aku ke sana pasti langit cerah. Tidak berawan. Gunung pun demikian, bersih tak ada kabut. Bahkan angin pun berhembus lembut sekali meski terasa dingin.

Aku menikmati pemandangan dari ketinggian beranda istana Puyang Sebakas. Aku nikmati sepuas-puasnya. Angin berhembus semilir. Aku merasa seakan bukan berada di tanah Bengkulu, bumi Rafflesia. Sebab dalam kehidupan nyata belum pernah aku menemukan kampung seindah ini. Istana bukit Sebakas tidak semega seperti layaknya istana kerajaan pada umumnya, seperti istana di gunung Dempu, megah berbalut emas. Ini istananya terbuat dari kayu, justru menunjukkan nilai-nilai kebudayaannya yang kental.

“Puyang, apakah ada hubungan kerajaan kita ini dengan kerajaan Majapahit? Seperti berkembang di alam manusia mengatakan bahwa Patih Gajah Mada pernah melarikan diri ke mari.” Ujarku serius. Sebab kerap kali aku mendengar penuturan dari orang-orang bahwa Patih Gajah Mada pernah ke Sebakas ini. Mendengar pertanyaanku para puyang tertawa kecil.

“Sebagian besar masyarakat meyakininya bukan? Itulah yang Puyang sebut manusia kadang suka merekasaya pikirannya seakan-akan dia hidup di suatu zaman. Demikian juga tentang Maha Pati Gajah Mada. Mungkin sumber yang pertama hanya mendengar-dengar saja jika Kerajaan Majapahit memiliki seorang Patih yang gagah, disegani, bijaksana dan tegas. Lalu dihubung-hubungan dengan dusun yang kelam ini. Rekayasa yang terlalu jauh. Beliau tidak pernah sampai kemari, Selasih. Tidak ada alasan beliau sampai ke mari. Apalagi dikatakan beliau berlari dan bersembunyi di sini. Beliau itu terkenal sakti. Mengapa beliau harus berlari dan bersembunyi?” Lanjut Puyang yang memegang tasbih lagi. Dari penjelasan beliau, gara-gara berita yang menyatakan Patih Gajah Mada pernah ke Sebakas ini, pernah ada orang dari Jawa berziarah ke mari napak tilas perjalanan Patih Gajah Mada. Mereka mencoba menguak kebenaran berdialog dengan salah satu penghuni sini. Kebetulan berdialog dengan golongan ke tiga di Sebakas yaitu makhluk asral yang senang disembah dan dipuja, mereka katakan benar. Padahal cerita yang mereka sebarkan itu bohong” Lanjut Puyang lagi.

Akhirnya cerita pun berlanjut pada cerita bahwa di alam gaib raja-raja Nusantara pernah mengadakan pertemuan, membahas tentang ganjang- ganjing yang terjadi di negeri ini. tapi pertemuan itu bukan di laksakan di Sebakas.

“Tempat kita belum layak untuk menjadi wadah orang-orang hebat itu.” Lanjut Puyang bertasbih lagi. Mendengarkan cerita beliau aku paham. Tidak semua informasi yang bangsa manusia peroleh itu benar. Ada saja kepentingan-kepentingan makhluk lain yang memberikan informasi agar bangsa manusia mempercayainya, lalu pelan-pelan membelokan hati manusia untuk memujanya. Benar kata nek Nang tadi siang. Ada tiga golongan makhluk yang berbeda pemahaman meski mereka satu rumpun keluarga.

“Sebenarnya tidak mudah orang luar untuk masuk kemari, Selasih. Apalagi masuk dimensi kita. Memang ada beberapa orang datang dari Banten beberapa kali zaman dulu. Tapi karena beliau anak angkat Puyang dan mendalami beberapa ilmu kebatinan di sini. Kau luruskanlah pemahaman masyarakat yang salah itu. Boleh fanatik dan mencintai leluhur, tetapi ingat yang utama adalah mengingat selalu siapa yang menciptakan para leluhur itu. Yaitu Allah Aja Wajalla, pencipta bumi dan langit beserta isinya” Lanjut nek Nang lagi. Mendengar penuturan itu, aku mencernanya dengan akal. Benar juga, tidak ada jejak yang bisa dihubungkan sebagai bukti kehadiran Patih Gajah Mada kemari. Sementara bangsaku sangat menyakininya. Aku jadi senyum-senyum sendiri kala ingat kata puyang “manusia sangat pandai merekayasa pikirannya, seolah-olah dia hidup pada zamannya.” Apakah aku termasuk merekayasa pikiranku? Aku menghubungkan sesuatu yang real dengan akal. Terutama berbagai macam hal informasi yang kudapat.

Aku mencoba melihat ke bawah ketika mendengar suara anak-anak berteriak, seperti sedang bermain.

“Ada suara anak-anak. Siapa mereka Puyang? Dimana mereka berada?” Tanyaku.

“Mereka para cicit keluarga besar Puyang yang sedang bermain di halaman belakang. Kau mau ke sana?” Tanya nek Nang yang kusambut segera dengan anggukan. Aku langsung di antar pengawal yang tadi penjaga pintu masuk. Kami melalui ruangan yang panjang. Lantainya sebagian dibiarkan papan terbuka, sebagian lagi ditutup dengan karpet tebal berwarna coklat muda. Lalu kembali aku lewat pintu ke arah belakang ada beranda lagi menghubungkan bangunan ke dua. Kiri kanan terdapat kebun bunga yang ditata sedemikian rupa. Di kebun bunga ini ada halaman terbuka yang cukup luas tempat anak-anak bermain. Ada lima anak sebaya berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tengah bermain ingklek, permainan tradisional, sementara yang laki-laki seperti bermain kelereng, namun aku tidak tahu biji atau buah apa yang bulat kecil dan keras yang mereka lempar lalu tembak dengan jari. Setelah dekat, rupanya buah ‘kebiul’. Sejenis tumbuhan langka yang hidup di rimba hutan tropis.

Tak lama mereka mengganti permainan lagi, yaitu permainan ‘ingkau’. Ada yang rendah, ada yang sengaja dibuat tinggi. Suara mereka berlima berteriak-teriak riang memenuhi taman. Melihat kegembiraan mereka aku gemes sekali. Teringat permainan-permainan masa kecil di kampungku. Seusia mereka aku juga senang bermain permainan ini. Hanya namanya saja mungkin berbeda, kalau. bermain kelereng dikampung disebut ‘main ikat’, lalu ‘cakingkeng, dan permainan ‘ingkau’ nampaknya sama menyebutnya.

“Assalamualaikum adik-adik.” Sapaku menghampiri mereka. Mereka serentak menghentikan permainan dan menjawab salamku. Kuajak mereka berkenalan. Mereka menyapaku ramah dan antusias menggunakan bahasa daerah. Sejenak kami berbicara tentang permainan-permainan. Kelimanya kulihat anak yang cerdas. Ketika kutanya mengapa tidak ikut latihan silek? Serentak mereka menjawab, giliran mereka latihannya malam senin dan malam rabu. Perempuan dan laki-laki diizinkan untuk turut serta latihan bela diri itu. Tak lama aku mohon diri untuk kembali masuk ke ruang tengah. Mereka sibuk bertanya tinggal dimana, bolehkah bermain dan sebagainya. Kukatakan aku hanya singgah sejenak di dusun mereka. Nampak wajah kecewa di antara mereka.

Setelah duduk beberapa saat, dan aku yakin waktu sudah menjelang subuh, aku minta izin untuk kembali ke pinggang bukit. Sementara sirih yang kukunyah sudah terasa semakin sedikit. Yang kurasa air liur terasa berkumpul di rongga mulut karena aku tidak berani menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering. Aku tidak tahu apakah boleh tertelan apa tidak.

Akhirnya aku berpamitan setelah mencium tangan para puyang yang hingga pulang tak satu pun aku tahu namanya. Aku pulang bersama nek Nang. Sementara Puyang Akas dan Puyang Jalak Hitam tetap di istana atas bukit. Aku dan nek Nang melalui jalan lain, agak melingkar ke lembah. Sama seperti ketika baru naik, aku menemui kampung yang asri. Aku berhenti sejenak di depan masjid. Memandang keasriannya. Masjid yang mirip rumah kuno ini membuatku berdecak kagum. Bentuk masjid setengah tiang ini tidak terlalu besar. Halamannya luas, kiri-kanannya luas, membuat masjid semakin bebas untuk di pandang dari segala arah. Bedug raksasa, lalu ada kentongan besar tergantung di dekat pintu masuk. Bubungan masjid dua lapis berbeda dengan atap bangunan lainnya saja yang mencirikan jika ini masjid.

“Kelihatan kecil ya Selasih, tapi masjid ini mampu menampung berapa saja jamaah yang hendak salat.” Ujar nek Nang.

“Maksudnya, nek Nang?” Ujarku lagi.

“Iya, masjid ini nampaknya kecil. Tapi berapa ribu jamaah bisa ditampungnya. Itulah kelebihan “Puyang Rajau Nyawau”, beliau pernah singgah bersama orang-orang yang mengikutinya dan sholat di sini . Jumlah mereka ratusan. Ketika melihat jamaah seperti tidak tertampung, lalu beliau berdoa. Ratusan orang itu bisa tertampung bahkan masih ada tempat yang luang. Hingga kini, karomah itu masih tetap ada.” Ujar nek Nang. Kembali aku terkagum-kagum mendengarnya. Apakah ‘Puyang Rajau Nyawau’ yang nek Nang maksud sama dengan “Puyang Raje Nyawe” yang sering disebut-sebut oleh nenek Pagar Jaya, kakek dan Puyang-Puyang ku? Karomah? Apakah “Puyang Raje Nyawe” itu adalah gelar salah satu para wali? Sejenak aku tercenung. Ada tirai yang belum sepenuhnya kupahami.

Aku dan nek Nang kembali berjalan pelan. Kali ini kami berjalan di sisi hutan yang di bawahnya sangat bersih. Sedangkan di seberangnya berdiri rumah-rumah penduduk. Kulihat aktivitas masyarakat umumnya bertani. Hal dapat kulihat beberapa perempuan dan laki-laki berjalan dengan beban di belakangnya, menggendong beronang yang dikaitkan di kepala.

Kami menuruni tanah merah seperti tangga. Di lembah perumahan nenek gunung seperti lukisan alam yang kulihat di alam nyata. Aku serasa bermimpi berada di dua kampung yang berbeda koloni. Nek Nang tahu jika aku terkagum-kagum dengan kekuasaan sang Maha kali ini. Aku bersama nek Nang kembali naik ke rumah panggung ketika puyang Akas menungguku tadi. Aku tidak duduk lagi, tapi langsung minta izin menemui para nenek di dalam. Kuserahkan mangkuk sirih yang kubawa selama perjalanan. Ketika mereka menawariku untuk membawa bekal, aku menolak. Aku khawatir kawan-kawanku heran dan banyak bertanya. Akhirnya aku pamit setelah sujud pada mereka.

“Sering-seringlah ke mari Selasih. Nek Nang akan sangat senang kalau Selasih mau singgah ke mari,” ujar nek Nang sambil mengantarku di depan pintu. Aku hanya mengaguk haru. Setelah mengucapkan salam aku bersama Dahar dan Gofar segera kembali menuju rumah singgah di pinggang Sebakas. Setelah sampai kedua pemuda golongan nenek gunung itu minta izin pulang. Ketika keduanya lenyap aku kembali pada jasadku. Aku tidak bisa tidur, mataku melek sambil menunggumu subuh. Sementara kawan-kawanku masih mendekur seperti suara ban gerobak yang seret.

Membayangkan perjalanan singkat di bumi Sebakas yang indah, membuat aku seperti telah melakukan perjalanan bebulan-bulan lamanya. Nyaris selama berkunjung ke dusun bunian itu aku lupa jika aku baru datang tadi siang. Aku juga lupa dengan Bengkulu Kota dan besok sudah harus pulang. Desa ini membuatku jatuh cinta.

Bersambung…
close