Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 64)


Udara subuh terasa semakin dingin. Suara serangga hutan masih seperti berlomba memamerkan kemerduannya. Sesekali suara jangkrik mengerik, kadang dekur burung hantu seakan mengingatkan agar semesta bangun sebelum fajar tiba. Halimun makin tebal. Pertanda siang tidak akan turun hujan. Dalam hati aku bersyukur, karena kami tidak akan ada masalah ketika menyeberang. Semoga air sungai tetap kecil seperti kemarin.

Pelan-pelan aku mendengar kawan-kawanku sudah ada yang mulai bangun. Kuintip dari bawah lengan. Rupanya Adi dan Wira. Lalu disusul Rully dan Ahmad. Mereka langsung turun menuju kamar kecil dan wudu. Ada pendatang yang lain memompa lampu petromak yang sudah mulai kecil. Ruang kembali terang. Aku kembali memejamkan mata meski bukan terlelap.

Tak lama aku mendengar Wira lari ke atas rumah panggung agak buru-buru sambil menahan diri untuk tidak berteriak. Nafasnya terdengar memburu. Aku melihat ekspresi cemasnya. Namun karena aku sudah mulai mengantuk aku belum hendak bertanya. Tubuhnya tersandar di dinding pondok ruangan. Tak lama terdengar dirinya seperti sesak nafas. Aku langsung bangun dan melihat ke arahnya. Kulihat ada tubuh besar hitam tinggi mencekik leher dan menginjak perutnya. Melihat adegan itu tanpa pikir panjang, kucengkram belakang sosok itu dari belakang lalu kulepar tubuhnya ke lembah. Aku mendengar jeritannya panjang sekali. Tapi itu terdengar hanya di alam gaib. Di alam nyata hanya melihat Wira seperti orang ayan kelonjotan. Aku segera menyebut namanya menutupi apa yang sudah aku lakukan. Sambil terus menggucang tubuh dan memanggilnya. Pelan-pelan kusalurkan energi berusaha memulihkan tenaganya.

“Bang..bang Wira. Kenapa, Bang?” Tanyaku ketika melihat wajahnya tidak pucat seperti tadi. Beberapa kali bang Wira istighfar sebelum menjawab pertanyaannya.

“Tadi, ketika selesai wudu, aku berniat mau naik untuk mengambil sarungku yang ketinggalan. Tapi sebelum naik, aku seperti melihat sosok berdiri di bawah tangga. Hitam, besar, dan bertanduk. Matanya merah seperti api. Aku ketakutan tapi tidak berani berteriak. Sampai di sini, dia naik lalu mencekik leher dan menginjak perutku!” Ujar Bang Wira sambil tetap mengatur nafasnya yang memburu.

“Kalau tidak kau tarik tubuhnya, mungkin aku sudah mati. Terimakasih Dek.” Lanjut Wira lagi. Aku mencoba meralat kata-katanya.

“Aku tidak melakukan apa-apa, Bang. Aku hanya kaget melihat Bang Wira kelojotan, lalu mencoba memanggil dan membangunkan bang Wira.” Ujarku. Mata Wira memandangku tak percaya. Aku merasakan mahluk yang menyerang Wira kembali naik dan medekat. Aku segera memecah diriku lalu menemuinya di bawah.

“Kenapa kembali lagi ke mari? Mau kulempar lagi? Mengapa kau mengganggu kawanku?” Ujarku setelah berada di hadapannya. Sosok genderowo!

“Aku tidak suka kehadiran kalian. Terutama kamu!” Ujarnya marah. Aku heran, mengapa dia membenciku? Memang aku salah apa? Dari penjelasannya baru kuketahui ternyata dia tidak suka melihat kehadiranku karena dia anggap aku akan menghalangi pekerjaanya. Padahal aku tidak tahu apa aktivitas dia sehari-hari sehingga dia marah. Menghalangi apa? Aku makin bingung.

“Aku tidak urus pekerjaanmu. Aku tidak ada urusan denganmu.” Ujarku melihat aura marahnya yang meledak-ledak aku mulai waspada. Makhluk tinggi besar itu langsung menyerangku dan kembali berkata bahwa kedataganku tidak membuat mereka nyaman. Dia bersama kawan-kawannya merasa terusik. Apalagi tahu ketika aku ke kampung mereka bertemu dengan leluhur di bukit ini. Mendengar itu aku jadi naik pitam.

“Hei Genderowo! Dengar! Kamu bukan golongan leluhur dusun Tinggi Sebakas ini. Jadi jangan mengaku-ngaku jika kamu bagian keluarga besar dusun Tinggi. Mereka bukan golonganmu. Jadi jangan sesekali kamu mengganggu kawan-kawanku. Ingat, jika ada kawanku yang celaka, maka akan kukejar kau sampai kemana saja” Bentakku.

“Kalian mengapa datang kemari? Tidak bawa apa-apa! Kamu mau menghalangi bangsa manusia yang memuja kami bukan? Kalian mau menghancurkan sesembahan mereka bukan? Itu sudah tradisi sejak nenek moyang mereka. Jadi jangan coba-coba kamu mengubahnya,” ujarnya lagi. Rupanya kehadiranku dan kawan-kawan mereka artikan lain. Sebab pada umumnya yang datang kemari kebanyakan punya niat dan keinginan tertentu. Sementara aku dan kawan-kawan tidak. Dari pertama datang niat kami hanya ingin melihat hutan dan bukit konon adalah dusun yang digaibkan.

“Dengar makhluk jahat. Sebenarnya kalianlah yang menyesatkan bangsaku. Kalian masuk ke dalam jantung hati dan pikiran mereka, kalian bengkokkan hati mereka untuk memuji dan minta pada leluhur. Dengan bahasa yang manis minta didoakan. Padahal para leluhur tidak pernah minta disembah apalagi mereka sudah mati, mereka yang mati tidak bisa mendoakan orang yang hidup. Tapi orang yang hiduplah yang harus mendoakan mereka. Pekerjaan kalian memang suka membalikan fakta. Kalian hasut dan kalian tumbuhkan keyakinan pada hati saudara-saudaraku pada jalan yang salah.” Ujarku tak kalah kencangnya disambutnya dengan tawa. Genderowo menepuk-nepuk dadanya.

“Itulah kebodohan bangsamu. Kami memang ditugaskan untuk menyesatkan kalian. Agar kalian menjadi pengikut kami. Kami masuk ke dalam aliran darah manusia, ke dalam hati dan jantungnya. Kami yakinkan, kami bantu untuk menanamkan keyakinan itu. Apalagi kami diberi makan,” Sang Genderowo tertawa lagi.

Aku tahu makhluk ini penuh tipu daya. Pandai memanfaatkan situasi dan pandai pula mengadu domba, memanfaatkan kesempatan saja. Kasihan saudara-saudaraku yang sudah terlanjur meyakini jika kehidupan ini ada peran nenek moyang, campur tangan para leluhur. Melihat aku mengetahui rahasia mereka, Genderowo diam-diam melakukan penyerangan. Aku berusaha menghindar. Kurasakan tenaganya kuat sekali. Aku tidak tahu makhluk ini berasal darimana. Namun mendengar arah bicaranya, nampaknya dia menguasai daerah tertentu. Karena manusia sering memujanya, makanya kehadiranku diangganya sebagai ancaman. Padahal aku tidak tahu menahu urusan puja memuja ini.

“Kamu berasal darimana?” Ujarku sambil mengghindari serangannya. Nampaknya dia sangat bernafsu ingin mencelakai aku.

Dari pengakuannya dia mengatakan bahwa dirinya raja penguasa di bukit ini. Dalam hati aku membatin, bisa jadi beberapa bagian daerah perbukitan ini menjadi wilayah tinggal mereka. Kembali aku menghindar dari pukulan-pukulan yang dia kirimkan. Melihat dia serius ingin mencelakai aku, akhirnya aku langsung lawan dia. Kukerahkan sedikit kemampuanku. Beberapa kali pukulan kami beradu. Ketika pertempuran sengit antara aku dan genderowo itu masih berlangsung, tiba-tiba hadir sosok manusia menghalangi serangan genderowo.

“Hentikan Kubar! Kau jangan mengganggu tamu Puyang. Beliau dalam perlindungan Puyang Sebakas.Kau tidak akan mampu melawannya” Ujar sosok itu berdiri di antara aku dan genderowo.

“Ah! Dia anak kecil. Dia akan menjadi penghalang kita. Dia akan menghancurkan ritual dan sesembahaan yang diberikan pada kita. Apa kau sudah berubah pikiran. Kita akan kelaparan dan kering karena tidak mendapatkan energi lagi. Kekuatan kita akan hilang” Ujar Genderowo yang kuketahui bernama Kubar. Akhirnya mereka berdebat sejenak tetang aku. Sosok manusia yang menghalangi Kubar adalah salah satu penghuni dusun Tinggi Sebakas. Dengan tegas beliau menghalangi Kubar dan menyuruhnya pergi jauh-jauh agar jangan pernah mengganggu. Aku mengucapkan terimakasih padanya. Akhirnya kuketahui, jika beliau pada dasarnya adalah golongan yang tidak disukai puyang karena masih senang melaksanakan pendalaman ilmu kuno warisan yang sudah dilarang Puyang.

“Tapi sejahat apa pun aku, aku tetap menghormati tamu puyangku. Aku jamin, ‘tobo jabalan’ itu tidak akan mengusikmu dan kawan-kawan,” Ujarnya lalu tanpa pamit langsung pergi. Aku menarik nafas lega. Aku segera kembali ke atas.

Beberapa pengunjung terbangun mendengar bang Wira yang sedikit gaduh. Bang Wira masih menampakkan wajah cemas. Ina juga duduk dekat Wira.

“Mulutmu kenapa, Dek? Kok merah? Berdarah ya?” Ina menatap sambil memegang wajahku tiba-tiba. Masya Allah, aku lupa kumur-kumur atau sikat gigi habis nyirih tadi malam. Aku gelagapan menjawabnya. Aku katakan saja gusiku mungkin berdarah. Aku segera turun membawa sikat gigi menghindar tatapan serius Ina.

Suara azan subuh Adi mendayu-dayu mengisi ruang musolah. Sayang tidak ada toa. Sehingga suara azannya hanya terdengar di sekitar sini saja. Kulihat Wira meski masih berwajah cemas bersama kawan yang lainnya sudah menuju musolah untuk menunaikan salat berjamaah. Aku mencari-cari apakah ada makhluk lain yang ikut solat berjamaah?

Suara azan sudah hendak berakhir, tapi aku tidak melihat sosok gaib salat di sini. Apakah karena jarang-jarang ada azan subuh di mosolah ini sehingga mereka enggan ke sini? Entahlah. Aku bergegas masuk dan membentangkan sajadah tipisku. Ina berdiri di samping kananku. Ahmad kembali bertindak sebagai imam. Baru saja takbir, aku melihat banyak sekali orang masuk ikut berdiri di samping dan belakangku. Demikian juga yang laki-laki. Ahmad melambatkan bacaan salatnya. Usai salat kawan-kawan berzikir masing-masing sebelum berdoa. Ketika bangkit, Ahmad kaget. Pasalnya dia tidak mendengar jamaah ke luar dari musolah. Perasaannya tadi pada waktu salat jamaahnya banyak sekali. Terdengar ketika mengaminkan al fatihah yang dia baca. Sekarang tinggal beberapa orang. Wajah Ahmad nampak heran. Ingin bertanya tidak berani. Mereka adalah makhluk-makhluk penghuni seputaran rumah singgah ini. Mereka memang sering melaksanakan solat di sini. Kata di antara mereka, jarang sekali musolah ini berisi banyak orang ketika subuh. Biasanya jika banyak tamu yang datang, satu dua saja. Selebihnya manusianya banyaklah memilih tidur. Mendengar itu aku hanya tersenyum.

Di timur, langit nampak merah. Matahari baru hendak terbit. Langit seperti lukisan, cahaya jingga menyemburat di langit yang masih berwarna a abu-abu. Bintang timur masih kelap-kelip, ukurannya lebih besar dari yang lainnya.

“Kapan akan pulang Selasih?” Suara Macan Kumbang. Aku segera membatin menjawabnya. Sejenak aku berdialog dengan Macan Kumbang.

“Ingat, jangan macam-macam di tanah orang. Kamu tamu di situ. Hormati semua anturan daerah itu. Jika ada yang menurutmu kurang tepat dan aneh, cukup tahu saja. Jangan banyak bicara dan bayak tanya. Ingat! Lain lubuk lain ikannya. Kau sudah disambut baik oleh para sesepuh di sini. Fokuslah pada kehidupan mereka yang bersahaja, yang sudah diperlihatkannya padamu.” Lanjut Macan Kumbang. Aku mengangguk mengerti. Selanjutnya aku segera ke dapur bergabung dengan Ina membuat sarapan pagi.

Usai sarapan, kami segera mengemas barang. Rencana kami akan naik puncak bukit sepagimungkin, agar tidak mudah terasa lelah. Seperti biasakawan-kawanku bergotong royong membersihkan lingkungan rumah. Semua sampah kami kumpulkan. Ada yang menyapu, menata piring, membersihkan dapur umum yang terbuka, menyusun kayu bakar yang masih tersisa. Kami anggap ini olahraga pagi. Gula dan kopi kami yang tersisa kami gabungkan dengan yang ada. Nampaknya kopi dan gula di sini memang sengaja dibawa pengunjung untuk pengunjung. Usai berkemas, berdoa bersama, kami melakukan perjalanan. Seperti biasa aku memilih berjalan paling belakang. Jalan menanjak lumaian menguras tenaga. Tapi karena udara masih dingin meski ‘ngos-ngosan’ tetap tidak berkeringat. Hanya nafas kami saja seperti asap tiap kami berhembuskan nafas. Aku bersama kawan-kawanku meniti jalan yang menanjak santai tanpa suara.

Matahari sudah mulai naik. Pohon dan rumput sepanjang jalan berembun. Tanah jalan setapak juga masih basah. Burung-burung kecil mulai berkicau. Beberapa ekor kera berteriak merasa terusik melompat cepat dari dahan satu ke daham lain sembari memeluk anak-anaknya. Sebenarnya aku ingin berhenti lama menikmati aktivitas kera dan anak-anaknya. Melihat sang induk memberi kode bahaya pada seisi hutan membuatku tersenyum. Hewan saja punya perasaan kebersamaan. Kompak!

Kira-kira berjalan empat puluh lima menit, kami sampai di puncak bukit sebakas. Bang Wira yang berjalan paling depan mengucapkan salam terlebih dahulu. Lalu berkata-kata.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatu. Nenek puyang Dusun Tinggi Sebakas, kami dari Bengkulu sengaja datang kemari minta izin untuk melihat pemandangan dan keadaan puncak bukit bersejarah ini. Mohon maaf nenek Puyang, jika kehadiran kami kurang berkenan, kurang tepat, atau mengganggu ketenangan semua penghuni di sini.” Ujar bang Wira. Di alam gaib beberapa makhluk menjawab salam bang Wira dengan senang hati. Namun tidak sedikit yang menatap dengan mata merah pertanda tidak senang. Aku berusaha biasa-biasa saja.

“Alhamdulilah…Masya Allah, ternyata pemandangan dari sini memang indah sekali. Lembah, sungai, kebun, dan sawah terlihat meliuk-liuk meski hutan di lembah sudah banyak yang berubah menjadi semak.” Ujar Wira. Selanjutnya kami duduk melingkar di bawah tiga pohon yang tumbuh persis di tengah puncak. Kami lakukan berdoa bersama dipimpin Ahmad. Usai berdoa masing-masing membuat catatan tentang kondisi alam di sekitar dusun Tinggi Sebakas. Termasuk membuat konsep penghijauan. Nampaknya kami akan segera bekerjasama dengan dinas kehutanan untuk meminta bantuan pohon lindung yang bisa ditanam di sepanjang jalan menuju bukit, dan sepanjang sungai. Mengajak perangkat desa dan warganya minimal menanam bambu di sisi sungai.

Aku berkeliling-keliling sejenak di seputaran bukit. Menikmati alam nyata. Sengaja aku tidak masuk ke dimensi para puyang. Aku khawatir nanti kawan-kawanku tahu siapa aku.

“Tidak masuk, tapi bisa berinteraksi. Sama saja Selisih.” Aku kaget. Ternyata Puyang Jalak Itam berdiri di belakangku. Aku segera sujud mencium tangan beliau. Aku lega ada Puyang Jalak Itam di sini. Beliau sengaja datang menemaniku di suruh Puyang Akas dan puyang-puyang lainnya. Aku sengaja tidak bertanya pada beliau ketika melihat beberapa makhluk masih memakan sisa punjung yang disajikan peziarah kemarin. Cara mereka makan sungguh tidak ada etikanya. Makanan di hadapannya dikangkanginya, lalu sambil sambil berdiri. Kiri kanan tangannya memegang makanan dan menyantapnya bergantian. Aku tidak mempedulikannya meski matanya menatapku. Mataku tertuju di pohon-pohon seputaran bukit. Nyaris setiap ranting bergantung kertas-kertas yang digulung. Bahkan sampai ke atas-atas penuh gulungan. Entah apa isi gulung itu. Aku tidak berani bertanya. Puyang Jalak Itam juga tidak menjelasnnya padaku. Melihat makhluk-makhluk yang bergantung dan tidur-tiduran di atas pohon, lalu yang makan di bawah membuat aku rasa ingin muntah. Aku mencoba menahan diri. Kucoba menutup panca inderaku agar tidak muntah. Aku takut puyang Jalak Itam tersinggung.

“Tak apa-apa Putri Selasih kalau mau muntah, muntahkan saja. Mereka memang makhluk jorok, tidak beradab.” Rupanya puyang Jalak Itam membaca pikiranku.

“Inilah kenyataan yang ada di sini, Selasih. Kau lihat, berapa banyak punjung yang bangsa manusia sembahkan di sini. Tidak semua makhluk itu yang berpesta dari golongan mereka, ada juga golongan kami.” Jelas puyang Jalak Itam lagi.

Kuliiiik…kuliiiik!!!

Tiba-tiba aku melihat burung elang laut berwarna putih besar sekali. Keduanya berusaha hinggap di antara dahan pohon yang besar. Aku memandang-mandang temanku apakah mereka merasakan kepakan sayapnya yang kencang. Suaranya yang menggelegar.

“Assalamualaikum cucu adam. Selamat datang di dusun Tinggi,” ujar salah satu burung elang itu. Aku langsung menjawab sapaan ramahnya. Mereka Kakek dan nenek yang telah sepuh. Rupanya beliau berdua tinggal di puncak bukit ini juga. Menurut puyang Jalak Itam, sebelum dusun ini ada, beliau berdua sudah tinggal di sini. Wow! Mengagumkan. Mungkin usia mereka sudah ribuan tahun. Selebihnya kulihat mereka seperti istirahat duduk berdekatan sekali.

Ina dibantu Wira dan beberapa kawanku mencoba membersihkan lingkungan bukit. Sampah kertas dan plastik kami masukan ke dalam kantong yang sengaja yang kami bawa. Sementara ranting dan daun, kami kumpulkan jadi satu. Termasuk juga keranjang-keranjang bambu kecil, bakul mirip mangkok, dan berbagai macam alat bekas punjung yang disiapkan oleh manusia berserak dimana-mana. Kebanyakan diletakkan di pangkal pohon. Aku mengawasi pekerjaan kawan-kawanku.

Melihat punjung dan kembang dibersihkan beberapa makhluk asral marah. Mereka hendak mencekik kawan-kawanku. Untung tiba-tiba muncul sosok yang menolongku ketika menghalangi serangan genderowo tadi pagi. Beliaulah yang mengusir kawan-kawannya agar tidak mengganggu kawan-kawanku. Kuucapkan Terimakasih padanya. Meski jabalan namun masih menghargai sesama makhluk hidup. Puyang Jalak Itam diam saja. Nampaknya ada semacam perjanjian untuk tidak saling mengusik.

Usai membersihkan seputaran bukit, termasuk mecabuti paku-paku yang menancap di pohon, membersihkan kulit kayu yang ditulis dan dicoret oleh tangan manusia. Bang Wira memoles bagian kulit kayu yang luka dengan semacam cairan anti bakteri sekaligus pupuk perangsang agar kulit ari pohon kembali menyatu.

Kami kembali istirahat sejenak. Aku masih mengobrol dan berdiri dekat Puyang Jalak Itam. Beliau banyak menyeritakan berbagai macam hal berkaitan kedekatan mereka manusia gaib dengan kehidupan manusia harimau. Nyaris memiliki kebudayaan dan tradisi yang sama. Selanjutnya beliau menceritakan kekejaman para penjajah yang masuk ke daerah pesisir ratusan tahun yang lalu. Manna dan sekitarnya ini merupakan dusun yang sunyi. Kehidupan sederhana masyarakat besisir tiba-tiba didatangi orang-orang asing. Kedatangan mereka serupa ranjau bagi masyarakat, tidak sedikit warga lokal mereka culik, perkosa, kerja rodi dan lain sebagainya. Hasil bumi, seperti kelapa, cengkeh, kopi, merica, mereka beli dengan cara barteran. Lamanya mereka berdomisili di sini, sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat lokal juga. Apa yang disampaikan Puyang Jalak Itam telah kutemui pada beberapa dusun di lembah. Termasuk juga pribumi yang berwajah indo.

Target kami, siang ini minimal sudah menginjak perkampungan di lembah agar bisa mencari tempat untuk makan siang. Yakin semuanya sudah beres kami duduk-duduk sejenak menikmati udara segar yang bertiupdari lembah. Puyang Jalak Itam tersenyum lebar melihat seputar bukit sudah tidak ada sampahnya.

“Andai semua anak muda seperti kalian, alangkah damainya bumi ini. Berakhlak dan memiliki adab.” Ujar Puyang Jalak Itam. Beliau menggaguk-angguk melihat kawan-kawanku cekatan, dan tidak banyak bicara.

“Semoga suatu saat kalian bisa kembali ke mari, Selasih. Puyang akan merindukan kalian.” Kata Puyang Jalak Itam lagi. Aku mengangguk dan tersenyum pada beliau. Beliau tahu jika aku pun akan merindukan dusunnya. Kunjunganku tadi malam masih ternyata kurang. Selanjutnya puyang Jalak Itam meraih tanganku.

“Izinkan Puyang memberikan kenang-kenangan padamu, Selasih,” puyang Jalak Itam menempelkan telapak tangannya padaku. Aku merasakan ada gelombang energi yang beliau transfer padaku. Selanjutnya beliau memberikan satu kekuatan milik beliau yang menurutku sangat privasi. Ilmu andalan suku mereka. Tapi Puyang menurunkannya padaku tanpa kuminta.

“Kau sudah kami anggap bagian dari keluarga kami, Selasih. Gunakanlah sebaik mungkin untuk menolong sesama.” Lanjut beliau. Puyang Jalak Itam memberikan ilmu pengobatan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Temasuk suku Manna sendiri. Aku mengucapkan terimakasih pada beliau dan berjanji akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari terasa menyengat menyentuh kulit. Sebentar lagi kami akan pulang. Aku pamit pada Puyang Jalak Itam. Sebelum turun kami kembali duduk melingkar lalu berdoa sama-sama. Puyang Jalak Itam ikut mengaminkan doa kami. Usai berdoa kami mulai melangkah turun. Sepasang elang laut terbangun ketika aku mohon diri. Beliau mengingatkan aku supaya hati-hati dan berdoa aku bisa kembali lagi ke sini.

Angin semilir sedikit hangat. Karena matahari sudah mulai naik tinggi. Gulungan kertas mirip ruas bambu yang tergantung di dahan-dahan pohon besar, semakin bergoyang. Kami tidak berani membuangnya. Pohon-pohonnya nampak seperti menangis. seperti perih yang di alami manusia, menenggelamkan diri dalam zikir yang sedan.

***

Aku dan kawan-kawan sudah mulai menapaki jalan menurun. Aroma lembab bercampur panas matahari. Sesekali aku menoleh, memandang dusun yang tersembunyi. Baru separuh langkah, aku mendengar suara riuh di belakang seperti ada yang sedang berbicara.

Aku berhenti sejenak, kawan-kawanku ada di hadapanku. Mereka lebih dulu berjalan. “Dang…Dang Selasih!” Tiga anak kecil berlari menuruni tebing. Kaki kecil dan lincah mereka melompat dari sisi kiri ke sisi kanan. Oh! Anak-anak yang kutemui bermain tadi malam. Mereka menyusulku.

“Mau kemana kalian adik-adik?” Tanyaku heran.

“Kami mau mengantar Dang Selasih sampai ke rumah dusun.” Jawab salah satu mereka. Ke rumah dusun? Apa maksudnya? Mengapa adik-adik ini sangat antusias. Rupanya yang mereka maksud rumah dusun itu rumah singgah di pinggang bukit.

“Kami diberitahu Puyang Jalak Itam, Dang Selasih akan pulang. Makanya kami mengejar kemari. Kenapa Dang tidak ke dusun lagi?” Ujar salah satu mereka. Aku memeluk ketiganya.

“Sayang, Dang harus pulang. Nanti suatu saat Dang akan ke mari lagi. Berlama-lama di dusun kalian. Kalian teruskan belajar mengaji ya,” ujarku sembari mencium mereka satu-satu. Wajah mereka sangat senang ketika kupeluk. Sebab jarang-jarang mereka berjumpa dengan orang asing. Akhirnya aku kembali berjalan diiringi mereka bertiga. Kadang mereka di hadapanku, kadang di belakangku. Kadang di sampingku. Mereka anak-anak ceria dari golongan manusia gaib. Aku bahagia sekali ditemani mereka. Kami tertawa-tawa bersama. Dua orang memegang tanganku kiri kanan. Kami bergandengan.

“Dek, tertawa riang dengan siapa?” Ujar Adi sambil menyekah peluh. Aku tersenyum tanpa menjawabnya. Aku lupa kalau aku berada di alam nyata. Dan tiga adik kecil bersamaku ini tidak terlihat oleh mereka.

“Maaf Bang, aku sedang latihan dialog teater.” Jawabku berbohong.

“Dang Selasih pembu’ung, Bang! Pembu’ung! Diau dang main-main ngah kami. Ini aku Bang…Bang…kinak sini. Yak nidau nginak kitau diauni.” Ujar adik yang berambut panjang menunjuk-nunjuk dadanya di hadapan Adi. Berkali-kali dia bilang kalau aku bohong dan sedang bercanda dengan mereka. Dia tunjuk-tunjuk dirinya di hadapan Adi. Lalu dia katakan, kalau Adi tidak melihat mereka. Aku tertawa lucu melihat tingkahnya. Padahal dia tahu kalau Adi tak dapat melihat Sosoknya tapi sengaja kocak. Wajah anak satu ini lebih cerah dan selalu terlihat senyum. Tahi lalat persis di atas bibirnya itu membuat wajahnya selalu berseri. Mendengar dia berbicara seperti itu aku kembali tertawa. Mereka bertiga memegang-megang Adi. Tapi Adi biasa-biasa saja. Melihat Adi biasa saja, aku malah tidak bisa menghentikan tawa. Tingkah tiga anak kecil ini memang lucu-lucu. Mereka bertiga malah lebih santer tertawanya. Ketiganya makin senang memainkan Adi yang tidak menyadari kalau dirinya diisengi. Ah! Sayang sekali kawan-kawanku tidak bisa melihat kekocakan mereka.

“Selasih!! Kalau merasa dah positif gila, nanti kami langsung antar dirimu ke kilometer tujuh, Lingkar Barat sana. Masih banyak kamar yang kosong!” Nada Adi sedikit kesel melihat aku cekikikan sendiri. Aku kaget mendengarnya. Aku langsung istighfar. Akhirnya isengku terpancing. Aku akan kerjain Adi. Kubuat dia merasakan sentuhan makhluk gaib. Ketiga anak kecil itu ada yang memegang kaki, tangan, dan pundaknya. Kusuruh adik kecil mencubit dan menggelitikinya. Benar saja, Adi kaget dia langsung menoleh, tubuhnya meliuk-liuk, kadang seperti menepis karena anak kecil itu memang sedang mengeroyokinya. Mereka makin terpingkal-pingkal melihat Adi. Aku dekati Adi.

“Kenapa bang Adi? Tadi bilang apa? Mau ngantar aku ke Rumah Sakit Jiwa? Nah, kenapa sekarang bang Adi meliuk-liuk. Menari-nari?” Ujarku.

“Aduh! Aduh! Ach! Ada yang mencolekku. Aduh iih…ini ada yang bergantung di pondakku. Uh! Aduh, perutku digelitik. Iiihhh..au…aduh..Astaghfirullahal aziim. Yaa Allah…agh!” Adi melompat bergoyang-goyang tidak jelas.

Wira dan Ina melihat Adi seperti itu kaget. “Di, Adi kenapa? Adi! Istighfar…istighfar!” Wira cemas. Tubuh Adi digoyang-goyangnya. Melihat kawan-kawanku panik, akhirnya kuhentikan dia merasakan sentuhan makhluk gaib. Adik-adik kecil juga ikut berhenti mereka berpandangan sambil menggigit jari menahan geli.

“Ada yang menyentuhku. Dan itu sangat terasa. Yaa Allah…Astaghfirullah adziim…” Adi mengelus-ngelus dada. Wajahnya sedikit pucat.

“Makanya hati-hati kalau bicara. Habis kesel sama aku lalu bilang mau ngantar aku ke rumah sakit jiwa.” Ujarku.

“Iya, Dek. Maafkan aku. Aku becanda karena melihat kamu bicara dan tertawa sendiri. Sebenarnya aku takut melihat kamu.” Ujar Adi lagi.

“Oo…Dedek si biasa berbicara tertawa sendiri. Kok bang Adi heran? Baru tahu ya. Dia sedang ngobrol dengan teman-teman yang ikut dengannya.” Ujar Ina sok tahu. Tapi akhirnya bagus juga, apa yang disampaikam Ina berefeks juga dengan kawan-kawanku. Mereka menatapku setengah tidak percaya.

“Udah kalian jangan menatapku seperti itu. Ina cuma bercanda. Ayo kita lanjutkan perjalanan,” ujarku menyentuh bahu Adi. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai di rumah singgah.

Rupanya lingkungan rumah singgah sudah ramai. Ada beberapa kelompok pengunjung baru datang. Mereka mengasoh di teras musolah dan ruang atas yang luas. Sebagian ada yang duduk-duduk di bawah rumah. Tiga gadis kecil, minta izin pulang lagi ke alam mereka di puncak bukit. Kami kembali berpelukan sebelum berpisah. Lama sekali. Beberapa orang yang melihatku seperti memeluk angin, ekspresinya penuh tanya. Mungkin mereka juga menganggap aku orang gila. Memeluk angin berbicara pada angin. Kami kembali menuruni setapak yang menurun. Kicau burung-burung kecil membuat aku semakin semangat. Peristiwa aku tadi malam hingga pagi ini benar-benar membuatku berkesan. Aku mercoba melihat dimensi lain, di alam nyata kiri kanan jalan adalah semak belukar dan kebun rakyat yang tidak terawat. Namun di alam gaib, ini adalah ladang dan sawah milik leluhur dusun Tinggi. Pematang sawah terlihat rapi seperti tangga. Gemericik air mengalir di sawah-sawah. Rumpun padinya masih kecil. Mungkin baru berusia satu bulan. Benarlah kata seorang ibu bangsa halus ini kemarin, jika mereka sedang membersihkan rumput ‘calau’ di sawah mereka. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Tiba-tiba kami sudah ada di bibir sungai. Kami menyeberang bersama-sama. Bang Wira berdiri seakan menghadang kami agar segera menyeberang dengan selamat. Aku kembali melihat ke hilir. Dusun gaib nampak hening. Tidak ada kulihat aktivitas seperti kemarin. Sebagian kawan-kawanku masih berjalan di batu-batu pinggir sungai.

“Lah nak baliak, Dis? Ndeak singgah kudai?” Seorang nenek berkain sebatas dada sudah sepuh menyapaku. Beliau duduk di beranda rumahnya sambil menganyam tikar purun. Aku mendekat dan menyalaminya. Kami ngobrol sejenak. Tak lama aku minta izin untuk pulang. Beliau melepasku dengan senyum. Kami berjalan melalui sisi dusun yang berumah rapat.

“Salaman dengan siapa, Dek?” Tanya Bang Wira. Wajah ingin tahunya sangat ketara. Akhirnya aku berhenti sebentar. Aku dah bosan menghindar dan berbohong terus. Biarlah kali ini akan kujelaskan pada bang Wira.

“Bang, saat ini kita sedang berjalan di tepi dusun gaib. Jalan setapak ini terletak di tepi dusun. Di hadapan kita ini adalah perkampungan yang luas di huni oleh makhluk-makhluk gaib kehidupan mereka seperti kita, manusia. Aktivitas mereka juga sama seperti kita. Ya layaknya sebuah desa. Tadi aku bersalaman dengan seorang nenek. Beliau menyapa kita dan mengajak kita singgah. Beliau sedang duduk di beranda rumahnya yang rendah, sambil menganyam tikar. Saat ini beliau sedang melihat kita. Mereka ramah-ramah. Hanya saja aku heran, mengapa banyak yang sepuh dan anak-anak saja. Kemana perempuan muda dan lelaki mudanya. Kemarin juga aku sudah jumpa dan ngobrol bersama beberapa penduduk.” Tuturku. Demi mendengar penuturanku, bang Wira terbengong. Kulihat wajah dan tangannya bergidik.

“Ya Allah Dek, jadi selama ini kamu bisa melihat dimensi lain?” Tanya bang Wira dengan suara bergetar. Kujawab dengan anggukan.

“Sesekali Bang kebetulan saja. Tidak melulu?” jawabku untuk mengurangi rasa takutnya. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Bang Wira nampak diam sesaat.

“Kalau yang jelek-jelek jangan ceritakan pada kami ya, Dek.” Ujar Bang Wira lagi. Aku tertawa kecil menanggapinya. Tiba-tiba aku merasakan desir angin lembut sekali. Siapakah yang datang? Oh! Aku terlonjak. Macan Kumbang dan Putri Bulan!” Kalian kok ke sini? Ini siang hari loh! Kawan-kawanku ketakutan mendengar aku sering ngobrol.” Ujarku. Keduanya tertawa kecil. Mereka sengaja datang alasannya rindu padaku. Padahal justru aku yang merindukan mereka. Aku merasakan seperti habis melakukan perjalanan yang sangat jauh. Padahal hanya satu malam berada di bukit Sebakas.

“Matamu cekung, pasti tidak tidur semalaman.” Ujar Putri Bulan. Aku mengangguk.

“Bagaimana mau tidur, jika alam kita berbeda. Siang kalian adalah malam untukku. Sebaliknya malamku adalah siang untuk kalian. Yang sengsara adalah aku, siang malam tidak ada bedanya. Siang aktivitasku sebagai manusia, malam aktivitas sebagai manusia harimauuuu…aaauuuuummm,” ujarku menyeringai di hadapan keduanya. Putri Bulan tertawa kencang. Sementara Macan Kumbang meraih kepalaku lalu dipeluknya sampai aku sulit bernafas. Ketika kawan-kawanku menoleh, aku pura-pura biasa saja. Aku menjaga jarak agak jauh dengan mereka di bagian paling belakang. Aku minta gendong Macan Kumbang dan naik di punggungnya. Sementara Putri Bulan berjalan di samping kami berdua.

Kami berjalan pelan. Beberapa makhluk asral menatap kami dengan macam-macam pandangan. Ada yang mau mendekat, tapi kembali mundur tidak berani. Sampai di sungai ke dua, ketika hendak menyeberang, Macan Kumbang malah melaju mendahului kawan-kawanku. Kawan-kawanku sebagian masih berjalan di atas batu sisi sungai, ada yang sedang menyeberang. Melihat aku sudah menunggu di seberang kawan-kawanku kaget. Apalagi aku tidak basah sama sekali. Ini gara-gara Macan Kumbang melihat air mengalir rupanya dia ingin mandi. Makanya dia cepat-cepat menyeberangkan aku. “Aku ingin mandi air Sebakas, Selasih.

Kata nek Kam, di sungai ini dulu tempat berkumpulnya para nenek moyang menangkap dan menyalai ikan. Bersembunyi dari kejaran penjajah. Para perempuan membuat ikan salai untuk para pejuang kita yang bergeriliyah di hutan, turun naik bukit dari Besemah hingga sampai ke sini. Konon ayah kakek Haji Yasir, berulang kali kemari. Mereka berjalan masuk rimba ke luar rimba, naik bukit turun bukit, berhari-hari, bahkan bermalam-malam. Ada yang membawa beras, lalu dibarter dengan gula aren, garam, dan ikan asin. Demikian juga nenek moyang dari daerah ini, mereka juga melintas dari bukit Kedurang ke tanah Besemah untuk melakukan barteran ikan salai, gula merah, ikan asin dengan beras, bubuk kopi, dan lain sebagainya. Demikian cara orang zaman dulu bersosialisasi, berdagang dengan cara barter.

Masih cerita Macan Kumbang, ketika kakek Haji Yasir menjadi ‘Rie’, kemudian digantikan Bapak, banyak sekali tamu mereka orang dari Besisir ini bermalam di rumah Bapak. Ada yang membawa lempuk, kelapa, ikan salai dan lain-lain. Mereka umumnya berdagang. Mendengar cerita Macan Kumbang, membuatku terkagum-kagum. Perjuangan hidup para leluhur memang luar biasa. Wajar saja jika jiwa mereka sangat menyatu dengan alam, karena hutan rimba adalah rumah dan atap mereka. Mereka menyusu dan makan dari sari pati bumi yang bersih. Menghirup udara bersih, meminum air yang bersih. Aku bangga mewarisi darah mereka. Darah pejuang-pejuang kehidupan.

“Kok kamu sudah tiba-tiba duluan di seberang, Dek? Kapan kamu lewat? Perasaan aku tidak melihat kamu menyeberang?” Ujar Rully yang lebih dulu sampai lalu disusul Ina.

“Apa kalian tidak melihat aku lari?” Ujarku biasa saja sambil mikir alasan apa agar mereka tidak banyak tanya. Akhirnya aku alihkan pembicaraan ke hal lain agar mereka lengah. Ternyata tidak untuk Rully, dia malah meraih tanganku lalu menatapku.

“Dek kamu aneh deh. Kok aku merasakan semuanya ganjil ya dari siang kemarin. Wira pagi tadi dicekik dan diinjak makhluk halus, lalu kamu yang menolongnya. Lalu kata Ina pagi tadi dia melihat mulutnya merah makan sirih. Dapat dari mana? Padahal kita kan tidur semua. Lalu barusan kamu tiba-tiba sudah di seberang, tidak basah seperti kami. Ketika aku diculik Ratu Ular, kamu yang menyelamatkan. Meski sampai sekarang aku masih bingung dengan peristiwa itu. Sampai hari ini, aku tidak melihat dirimu menyeberang tapi kamu sudah ada di sini. Ini Dedek beneran atau bukan si?” Rully menatapku serius. Aku menepuk jidat. Tenyata Rully masih penasaran.

“Ini aku, Dedek Rull. Aku tidak kurang suatu apapun. Kalian aja yang merasa aneh. Padahal biasa-biasa saja.” Ujarku sambil merunduk pura-pura mengencangkan tali sepatu. Padahal aku berharap dia berjalan lebih dulu sembari menunggu Macan Kumbang yang masih mandi. Macan Kumbang mempelihatkan sosok harimau yang jago berenang. Dia sengaja memilih arus yang paling deras. Sesekali kulihat dia menyelam lalu nongol kembali. Dia menangkap ikan sema beberapa ekor lalu memakannya. Kemudian berenang lagi. Rully masih berdiri dekatku. Sengaja menunggu aku selesai mengikat tali sepatu. Melihat suasana ini, Putri Bulan senyum-senyum.

“Susah ya menjelaskan situasimu pada manusia, Selasih. Rasa ingin tahu manusia umumnya tinggi. Tapi rasa takutnya lebih tinggi lagi,” lanjut Putri Bulan sambil tertawa. Aku senyum-senyum. Apa yang disampaikan Putri Bulan benar. Mereka ingin tahu tapi juga penakut.

“Biarkan saja, nanti kubuat mereka lupa dengan peristiwa yang mereka anggap aneh-aneh. Biar aku aman dari cercahan pertanyaan dan aku tidak harus berbohong. Berbohong itu capek loh.” Ujarku pada Putri Bulan.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan kembali. Rully berjalan di samping kananku. Putri Bulan di sebelah kiriku. Macam Kumbang kami tinggalkan. “Tak akan lama dia pasti menyusul.” Ujarku pada Putri Bulan. Benar saja, baru beberapa menit, Macan Kumbang sudah ada di belakangku. Sesekali dia kibaskan bulunya yang panjang. Aku terpaksa ngobrol dengan Putri Bulan dan Macan Kumbang lewat batin saja. Rully diam. Dalam benaknya berkecabut tentang peristiwa-peristiwa yang menurutnya aneh. Sesuatu yang tidak masuk akal. Tapi dia ada dan nyata. Aku tahu diam-diam Rully memperhatikan aku. Aku berusaha biasa-biasa tidak memperhatikan sesuatu yang aneh. Tak lama kami sampai di dusun Bandar Agung. Pulangnya terasa lebih cepat dibanding kemarin. Tidak sampai tiga jam kami sudah sampai di dusun ketika jalan kaki di mulai. Aku mencari-cari anak yang kemarin bertemu denganku. Ada juga anak-anak bermain, tapi tidak satu pun kukenal. Padahal aku sudah menyiapkan uang jajan untuk mereka. Samar terdengar suara bedug, dan azan di masjid dengan suara toa seadanya. Macan Kumbang dan Putri Bulan minta izin untuk pulang duluan. Entah pulang benaran atau mau jalan-jalan ke pantai, aku tak tahu.

“Aduh!!” Tiba-tiba hidungku dicubit Macan Kumbang. Kawan-kawanku ikut kaget dan bertanya mengapa aku mengaduh. Macan Kumbang tertawa.

“Otakmu perlu di setel sedikit nampaknya. Agar tidak berprasangka melulu.” Ujar Macan Kumbang. kali ini sambil menunjuk kepalaku. Putri Bulan dan aku akhirnya tertawa. Padahal apa salahnya mereka berjalan lewat pantai. Menikmati batu putihnya dan pasirnya yang bersih serta laut teduhnya yang tak berombak.

“Apa tidak dengar suara azan, sudah waktunya solat tahu. Kami mau mencari masjid dulu.” Sambung Macan Kumbang lagi. Aku cuma nyengir sambil memegang hidungku yang masih sakit. Akhirnya keduanya lenyap dalam pandanganku. Kali ini aku lebih leluasa bercengkrama dengan kawan-kawanku. Tidak ada makhluk asral mengikuti atau bersamaku. Aku berbaur di tengah-tengah kawan-kawanku berembuk mencari tempat makan dan salat sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Bengkulu.

“Sampai saat ini, terus terang, aku masih bingung dan belum mendapat jawabannya. Aku merasakan mistik justru bukan karena mitos dusun Tinggi Sebakas dusun yang gaib. Tapi justru Dedek lebih mistik dari cerita tentang dusun itu.” Kembali Rully membuka pembicaraan. Wira yang sudah kuceritakan tentang sedikit hal tentangku hanya melirikku sambil tersenyum. Sementara Adi kembali membelalak ingin menceritakan pengalaman pribadinya. Nampaknya Rully dan Adi sangat terkesan dengan pengalaman mereka masing-masing. Tepatnya peristiwa itu melekat dalam benak mereka hingga kini.

“Demi Allah! Hingga saat ini, masih terasa sentuhan, gelitikan, cubitan, dan gendongan makhluk gaib itu. Sementara Dedek tertawa-tawa sendiri. Beberapa kali aku melihat dia berbicara pakai bahasa daerah sini. Padahal dia sendirian, tidak ada lawan bicara. Melihat Dedek berbicara dan tertawa sendiri, sebenarnya aku takut. Eh! Malah aku seperti orang gila. Terasa dicubit, digelitik, tapi tidak jelas siapa yang melakukannya.” Ujar Adi lagi.

“Lalu Wira menjelang solat subuh tadi? Dicekik, diinjak. Kalau bukan Dedek yang menarik tubuh besar hitam itu, kata Wira mungkin dia sudah mati.” Lanjut Rully pula. Hanya Ahmad yang diam seribu bahasa. Nampaknya dia tidak punya pengalaman aneh seperti yang dialami Adi dan Rully. Kalau Ina malah melirik-lirik padaku.

“Aku mah, dah biasa lihat Dedek bicara sendiri. Malah dari kemarin aku tegur waktu kita lewat di padang rumput sebelum turun ke sungai. Dia kulihat asyik ngobrol tapi sendiri. Ketika ditanya selalu katanya menghafal dialog teater. Tapi subuh tadi baru aku ‘ngeh’. Mulutnya merah itu bukan karena berdarah, tapi Dedek makan sirih!” Lanjut Ina mendorong kakiku. Mereka ramai-ramai mendesakku ingin tahu mengapa bisa terjadi seperti itu. Hanya Wira yang tetap tenang dan tersenyum melihat kawan-kawanku seperti orang kalap.

“Udah deh Dek, ceritakan saja daripada mereka jadi gila gegara dihantui peristiwa aneh yang mereka alami.” Ujar bang Wira.

Aku menarik nafas panjang sambil mikir, apakah aku harus bercerita pada mereka siapa aku? Atau cukup bercerita tentang peristiwa di Sebakas saja? Tapi bukankah akan berentet pertanyaan panjang dari mereka. Meski aku tahu, pengalaman mendaki, jelajah hutan dan lain sebagainya kerap juga mereka mengalami hal-hal ganjil. Namun tidak langsung bersentuhan seperti nyata pada mereka. Misalnya ketika bermalam di hutan ada rasa gelisah seolah-olah ada yang mengawasi. Atau ketika di tempat-tempat tertentu tiba-tiba bulu kuduk meremang. Atau tiba-tiba angin bertiup kencang seolah-olah ada yang menyambut dan lain sebagainya. Belum pernah merasakan bersentuhan fisik seperti mereka alami tadi malam dan hari ini.

“Ceritakan seadanya saja, tidak usah detil sekali, Selasih. Agar kamu tidak berbohong terus. Kakek tahu, maksudmu tidak ingin pamer, tidak ingin mereka tahu siapa kamu. Ceritalah seperti yang kau ceritakan pada Wira tadi,” suara Kakek Andun lembut dan wibawa. Aku seperti mendapatkan pencerahan. Padahal sebelumnya aku bingung harus mulai darimana. Akhirnya sepanjang perjalanan Manna Bengkulu, isi obrolan hanya seputar peristiwa yang masing-masing mereka alami. Aku mengupas sedikit setiap peristiwa yang mereka alami. Misalnya mulai dari Rully diculik oleh Ratu Ular. Kukatakan saja memang ada Ratu Ular di lembah, dan dia suka Rully. Kebetulan aku melihat Rully ditarik jadi kukejar. Seperti dugaanku, muncul rentetan pertanyaan dari mereka. Bagaimana aku bisa mengejarnya padahal aku ada di dalam musolah duduk berzikir, bagaimana Rully tiba-tiba ada di rumah lagi dalamnya sekejap dan lain sebagainya. Lalu berlanjut dengan peristiwa yang dialami Wira, lalu Adi. Kuceritakan apa adanya lalu kukatakan kebetulan saja saat itu aku bisa melihatnya.

“Tapi tiba-tiba mulutmu merah kenapa? Kapan kamu nginang, Dek?” Tanya Ina. Aduh! Ini yang sulit aku menceritakannya. Meski tidak berbicara detil tapi harus mulai dari mana? Mengapa aku bisa makan sirih? Sementara aku tidak ingin berbohong. Akhirnya kukatakan aku bertemu dengan nenek-nenek pada waktu kalian tidur semua, lalu disuruhnya aku makan sirih. Ya kumakan. Jawabku. Mereka makin tercengang. Lalu pertanyaan terakhir pertanyaan pamungkas.

“Sejak kapan Dek, kamu biasa masuk ke di mensi lain?” Pertanyaan Ahmad yang dari tadi hanya jadi pendengar. Akhirnya kujawab saja sejak aku kecil tanpa menguraikan bagaimana mulanya. Akhirnya berlanjut dengan cerita-cerita mistik yang pernah mereka dengar cerita teman, orang tua, dan lain sebagainya. Terakhir mereka bertanya, apakah aku bisa melihat masing-masing jin qorimnya? Atau apakah ada makhluk asral pendamping atau menjaga mereka. Kujawab dengan menggelang saja. Kali ini giliran aku menjadi pendengar cerita-cerita kawan-kawanku. Sambil berhayal suatu saat ingin kembali ke dusun Tinggi Sebakas lagi. Ketika memasuki kota Bengkulu, hari sudah petang. Aku dapat rasakan wajahku pasti menggambarkan kelelahan. Sebab memang aku ngantuk sekali. Dua hari ke depan kami akan berkumpul kembali mengevaluasi berbagai hal yang kami dapatkan selama ekspedisi. Sekaligus mematangkan program penghijauan hutan. Dari terminal, aku pulang naik angkot ke Pasar Minggu bersama bang Wira dan Ahmad. Sementara Adi, Ina, dan Rully naik angkot berbeda karena rumah mereka tidak searah. Kami bertiga berpisah di Pasar Minggu. Dari sana aku naik angkot UNIB untuk turun di Rawa Makmur. Di dalam angkot hanya ada dua penumpang. Aku dan Bapak-bapak yang duduk di dekat pintu. Suara kendaraan yang berisik berlomba dengan suara musik yang hingar bingar. Aku yang lelah, makin lelah mendengarnya. Lagunya berisik, volumenya full. Aku diam sejenak, fokus, lalu kumatikan tape recordingnya. Sang sopir menggerutu sambil memukul-mukul tape-nya. Setelah aku turun, baru tapenya kunormalkan kembali. Aku berjalan menyisir gang Merpati 12 yang sepi. Nampak sisa hujan siang tadi membuat genangan-genangan kecil di beberapa lubang jalan. Oh mataku sudah minta haknya untuk istirahat. Aku bergegas ingin segera sampai ke rumah. Bapak dan Ibu pasti sudah menunggu. Haruskah aku bercerita dengan Ibu atau Bapak tentang dusun Tinggi Sebakas? Nampaknya harus, karena Bapak juga katanya ketika masih kecil pernah diajak orang tuanya sampai ke bukit Kedurang lalu pernah juga sampai ke lembah dusun yang digaibkan. Hmm…lagi-lagi gaib.

Bersambung…
close