Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 3) - Prasasti Batas Zaman

PENDOSA DARI MASA LALU
Akar dari semua permasalahan manusia di dunia ini tak lepas dari hawa nafsu. Sebuah hasrat yang mendorong manusia untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kepuasan adalah imbalannya. Kadang begitu banyak hal yang dikorbankan hanya untuk menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar berarti di alam ini. Harta, kekuasaan, nafsu adalah fana. Tidak ada yang bertahan selamanya, semua akan musnah begitu seorang manusia telah mencapai akhir hayatnya. Hanya amalan dan perbuatan baik yang mampu mensucikan roh kita lah yang patut diperjuangan. Karena sejatinya hal itulah yang memastikan apakah kita pantas untuk kembali berada di sisi Sang Pencipta. Tapi jalan seorang manusia tidak semulus itu. Mereka tidak hanya sedang berpacu dengan kehidupan. Mereka makhluk-makhluk yang dilaknat dan tak lagi mendapat pengampunan tak rela melihat manusia mendapatkan tempat yang tak lagi bisa mereka gapai. Dengan berbagai cara dan muslihat, mereka menarik manusia untuk jadi bagian dari mereka ke dalam siksaan abadi. “Umur manusia saat ini mungkin hanya seratus tahun, namun umur Iblis itu sampai hari kiamat. Jangan heran bila Iblis lebih pintar, lebih sakti, dan lebih kuat dari manusia..” Nyai Jambrong bercerita pada Guntur dan Dirga di belakang mobil truk kosong yang mereka tumpangi. “Terus kenapa mereka tidak menghabisi manusia saja, Eyang? Kan mereka sekuat itu?” Tanya Dirga. “Tuhan memberi berbagai batasan di alam ini untuk melindungi umatnya. Termasuk terpisahnya alam roh, alam manusia, dan dimensi lain adalah salah satu caranya. Walau sehebat itu, Iblis tidak memiliki kuasa untuk membunuh manusia. Makannya mereka menghasut dan memanfaatkan manusia untuk memenuhi keinginan mereka,” Jelas Nyai Jambrong. Dirga dan Guntur mengangguk mengerti. Setiap setan dan roh yang mencelakai manusia hampir seluruhnya memiliki ikatan atau hubungan dengan manusia sebelumnya walaupun mungkin manusia tersebut sudah mati. Salah satu yang menjadi masalah di alam ini adalah mereka yang melakukan perjanjian gaib dan akhirnya mati meninggalkan sosok setan perjanjian itu bergentayangan di alam ini. “Kalian pernah dengar tentang perang Kurusetra?” Tanya Nyai Jambrong. Dirga menggeleng, namun Guntur mengangguk. “Tanah dimana perang Baratayuda terjadi kan, Eyang? Dimana titisan-titisan para dewa ikut andil dalam perang tersebut.” Nyai Jambrong mengangguk. Ia menceritakan bahwa perang itu mengorbankan begitu banyak nyawa dan melepaskan begitu banyak kekuatan. Jasad makhluk dari berbagai ras terbaring dan terkubur disana dengan pusaka-pusaka yang mampu menggetarkan bumi. “Perang Baratayuda itu kisah nyata, Eyang? Kayaknya nggak masuk akal,” Balas Guntur . “Banyak misteri di masa lalu yang tidak bisa dijamah oleh manusia, Tur. Entah itu perang Baratayuda atau perang lainnya, tapi sisi lain padang Kurusetra menyimpan semua dendam dari peperangan itu,” Jelas Nyai Jambrong. Dirga mencoba mencerna perbincangan itu. Ia jelas merasakan besarnya masalah yang mereka hadapi saat ini. “Memangnya seburuk apa hal yang berhubungan dengan padang Kurusetra, Eyang?” Tanya Dirga. “Kalian ingat betapa mengerikannya kerajaan Setra Gandamayit yang kita lawan dulu?” Ucap Nyai Jambrong. Guntur dan Dirga mengangguk. Mereka tidak akan lupa pertarungan yang hampir menghilangkan nyawa mereka di Jagad Segoro Demit dulu. “Sekarang bayangkan sebanyak apa kerajaan dari berbagai ras yang bertarung di padang Kurusetra. Dan bayangkan berapa banyak makhluk dari berbagai ras yang mati dengan masih membawa dendamnya disana.. Raksasa, Wanamarta, Dedemit, berbagai makhluk yang tidak kita ketahui. Dan Trah Pakujagar berniat membangkitkan dan memanfaatkan kekuatan mereka,” Jelas Nyai Jambrong. Mendengar perkataan itu, Guntur dan Dirga pun merinding. Mereka merasa tidak mungkin bila manusia harus berhadapan dengan makhluk-makhluk seperti itu lagi. Mungkin itu artinya sama dengan kiamat.

“Hal itu nggak akan terjadi, Eyang. Kita akan cari keberadaan Mas Cahyo dan kembali menyelesaikan ini semua seperti biasa,” ucap Guntur. Kali ini Nyai Jambrong memalingkan wajahnya. “Bersiaplah untuk semua kemungkinan..” Ucapnya. Dirga sangat jelas membaca gelagat Nyai Jambrong. Ia yang biasa galak dan banyak berceloteh kini terlihat serius. Ia tahu sesuatu yang membuat Nyai Jambrong bisa seperti ini, jelas bukan hal yang sembarang. “Tenang Eyang, Tuhan pasti memberi kita jalan. Jangan sampai hal ini membuat Eyang murung terus seperti itu..” Ucap Dirga. “Bukan, Dirga. Bukan itu saja yang membuat eyang tidak tenang..” Ucap Eyang. “Lantas apa lagi, Eyang?” Tanya Dirga. Nyai Jambrong menggerakkan rahangnya dan wajahnya benar-benar kesal. “Eyang lupa bawa gigi palsu eyang. Bisa repot kalau Eyang nggak bisa makan..” ucapnya. Mendengar ucapan itu seketika wajah Dirga melongo aneh, sedangkan muka guntur sudah terlihat kecut. “Tenan, to. Wis nggenah ora usah ditaktoke..” (Bener, kan! sudah bener nggak usah ditanyain) Keluh Guntur sambil membuang muka. Mendengar ucapan Itu Nyai Jambrong pun memelototi Guntur. Guntur yang merasa terancam menggeser pantatnya menjauh dari Nyai jambrong hingga ke ujung belakang.

(Sudut pandang Danan…) Langit yang selalu kelam dan tanah yang tandus. Suara teriakan dan tangisan terdengar dari berbagai tempat di alam ini. Aku tahu, tak ada tempat bagi kami untuk bersembunyi di alam ini. Lambat laun setan-setan di alam ini pasti menemukan kami entah itu dari dalam hutan, dari atas langit, atau bahkan dari dalam tanah. “To—tolong…” Seorang anak perempuan berjalan tertatih ke arah kami dari kumpulan pohon-pohon tandus. “Nan! Anak kecil!” Teriak Cahyo yang bergegas ingin menghampiri anak kecil itu, Namun aku menarik tubuhnya dan menahannya. “Jangan, Jul!” Tahanku. Cahyo heran dengan maksudku, namun sebelum aku menjelaskannya Cahyo sudah mendapat jawabannya sendiri. Seketika kepala anak itu jatuh ke tanah dan tubuhnya tetap berjalan ke arah kami. Dari dalam lehernya terlihat sekumpulan ular yang menguasai tubuh anak kecil itu. “Sialan!” Geram Cahyo. Alih-alih menghadapi setan itu, kami semua memilih untuk mundur. Sang pemuda yang sempat menolong kami pun mengikuti kami. “Syukurlah kalian orang baik,” ucap pemuda itu. “Syukurlah, masnya juga..” Balas Cahyo. Aku menyenggol Cahyo menegur sikapnya yang mungkin bisa menyinggung pemuda itu. “Maaf tapi waktu saya tidak banyak, saya harus mencari obat untuk menyembuhkan kutukan Raja saya. Saya izin pamit,” Ucap pemuda itu. Paklek yang masih penasaran dengan sosok pemuda itu ingin menahannya, namun pemuda itu dengan segera berlari mengikuti petunjuk yang sepertinya baru saja ia dapat. “Sepertinya kita akan bertemu dia lagi,” ucap Paklek. “Mungkin, Paklek..” Balasku. Saat aku dan Paklek menyelesaikan perbincangan kami, tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh pada Cahyo. Nafasnya menderu dan tatapannya mulai kosong.. “Jul! Panjul! Sadar Jul!” Teriakku mencoba menyadarkan Cahyo. Sayangnya Cahyo tidak menggubris.Sebaliknya, Cahyo menggeram seolah mengancam. Paklek dengan cekatan memutarkan tangannya beberapa kali dan menyalakan Geni Baraloka. Ia meletakkan tangannya yang terbakar api itu ke punggung Cahyo. Perlahan nafas cahyo kembali normal dan ia mulai mendapatkan lagi kesadarannya. “Jul?” Tanyaku. “Aku kenapa, Nan?”

Paklek mematikan kembali Geni Baralokanya agar kami tidak menjadi incaran setan-setan di alam ini. “Jangan lengah! Kesadaranmu hampir saja diambil alih! Paklek tidak punya kekuatan seperti Nyi Sendang Rangu dan Wanasura yang bisa mempertahankan kesadaran kalian seterusnya. Pagari diri kita masing-masing,” Jelas Paklek. Aku dan Cahyo mengangguk. Kami pun membacakan doa-doa sepanjang perjalanan sebagai pernyataan bahwa nyawa kami dalam genggaman Sang Pencipta. Alam ini tidak punya hak untuk mengambil kesadaran kami. Sayangnya, memang terlalu berat bagi roh manusia biasa berjuang di alam ini. “Kita harus mencari tempat yang aman secepatnya sebelum kita juga menjadi setan-setan seperti mereka yang bergentayangan di alam ini,” Ucap Paklek. Dharrr!! Di tengah kebingungan kami, tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara dentuman yang keras. Dentuman itu diikuti dengan getaran dari dalam tanah yang semakin lama semakin besar. “Paklek! Itu!” Teriak Cahyo menunjuk ke salah satu arah. Gunung api… Sebuah gunung meletus tak jauh dari tempat kami berada. “AAARrrgghh!! Apa lagi ini?!” Cahyo kesal. Tak mau berlama-lama, aku pun mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu. Bukan tanpa sebab, selain karena gempa dan hawa panas yang mulai terasa. Samar-samar aku melihat bayangan makhluk besar keluar dari lahar gunung itu. Jangan sampai kami berurusan dengannya.. Tapi, entah sebesar apa jangkauan gunung itu. walau sudah melayang secepat mungkin, debu dan awan dari gunung itu terbawa angin dan mengelilingi kami bertiga. Aku, Paklek, dan Cahyo saling memegang tangan agar tidak terpisah karena Badai debu yang menghantam kami. Dharrr!!!

Suara letusan gunung kali ini terasa begitu dekat. Anehnya kali ini terdengar suara teriakan riuh orang-orang di sekitar kami. Kami tidak bisa memikirkan apapun selain cara agar tidak terpisah dan terus bertahan dari hembusan badai ini. Hingga setelah beberapa saat, badai itu pun mereda. Kami tak menyangka ada gunung yang akan meletus di alam ini. Letaknya cukup jauh tapi dampak ledakannya sampai ke tempat ini. Mungkin saja pohon-pohon yang kering dan tandusnya alam ini juga disebabkan oleh kejadian alam serupa di alam ini. Aku membayangkan, jangan-jangan Jagad Segoro Demit dulunya juga tanah yang subur dan ditinggali oleh makhluk hidup. Tapi apa yang membuatnya menjadi tempat semengerikan ini? Debu-debu yang menghalangi penglihatan kami mulai mereda. Suara keriuhan tadi berubah menjadi teriakan dan tangisan yang terdengar tak jauh dari tempat kami berada. Aneh… saat abu dari gunung itu menghilang, pemandangan di sekitar kami tiba-tiba berubah. Yang terlihat di sekitar kami adalah suasana malam di pemukiman yang sebagian bangunan-bangunanya sudah hancur. Ada sekumpulan orang di sana yang ketakutan dengan aktivitas gunung itu. Yang membuatku tidak tenang, aku juga merasakan ada sosok-sosok lain yang berbahaya di sekitar mereka. “Saat kesadaran mereka menghilang, ketiga roh keramat akan merasuki tubuh mereka dan menikmati persembahan kita!” Teriak seorang kakek yang berjalan bungkuk dengan tongkatnya. “Jangan, Mbah! Jangan!! Anak saya tidak salah apa-apa!” Seorang ibu berlutut meminta pengampunan atas anaknya. Kami melihat seorang anak gadis terbaring di sebuah batu yang membentuk sebuah meja. Dan di dekatnya terdapat tiga pria yang duduk bersila di sekitar sesaji. Asap-asap dari kemenyan yang dibakar mengelilingi mereka. Ritual itu membuat kesadaran ketiga pemuda itu menghilang perlahan. “Paklek? Ini dimana?” Tanya Cahyo. “Lha piye carane paklek iso ngerti?” (Lha gimana caranya paklek bisa tahu?) Balas Paklek. Kami bertiga bingung dengan apa yang terjadi, tapi yang terlihat di hadapan kami saat ini sesuatu yang membuat kami cemas. Dhummmm!!! Terdengar suara dentuman dari dalam tanah. Seketika warga pun panik. “Tidak ada waktu lagi! Persembahan harus dilakukan atau sang Lanting Giri Agung akan bangkit dengan amarah!” terik kakek itu. “Jangan, Mbah!!!”

Ibu itu berteriak tapi beberapa orang menahan ibu itu dan membawanya menjauh. “Seharusnya kau bangga anakmu bisa menjadi penyelamat desa ini,” balas kakek itu. Ia pun menancapkan tongkatnya ke tanah dan membacakan mantra yang panjang. Ketiga pemuda itu kehilangan kesadarannya dan suara raungan, tawa, dan teriakan terdengar dari sekitar kami. Dan saat itu juga kami melihat ketiga sosok makhluk mengerikan mendekat ke ketiga pemuda itu. “Tubuh ni kupersembahkan untuk wadah Ndoro-ndoro sekalian..” ucap kakek itu.

Kami mulai mengerti. Orang-orang ini percaya bahwa dengan mengorbankan anak gadis itu mereka bisa selamat dari bencana alam ini. Jelas itu adalah tindakan bodoh! “Paklek! Kita tolong anak itu!” Teriakku. Kami pun menghadang ketiga makhluk yang berniat merasuki pemuda itu. Sayangnya mereka bukan setan biasa. Blarrr!!! Kami terpental saat sebuah ledakan tercipta saat menyentuh sosok makhluk berwujud manusia bermata empat. Kami mencoba menyerang mereka, tapi sosok ular berekor api memmbuat kami kewalahan. Sementara itu ada sosok nenek yang terbakar api sambil tertawa sudah melesat menuju tubuh pemuda itu. “Sial!!” Teriak Cahyo yang meninggalkan pertarungan dan mengejar nenek itu. Tidak sempat, nenek itu sudah sampai di tubuh pemuda itu dan menyentuh ubun-ubunnya. Brakkk!!! Pemuda itu terjatuh, Cahyo menghilang. Tapi setan nenek api itu masih berada disana. Kami pun bingung dengan apa yang terjadi. Tapi tiba-tiba pemuda yang hendak diselamatkan oleh Cahyo berdiri dan menghajar nenek itu hingga terpental. “Nenek sialan!!” Teriak pemuda itu. Tunggu! Itu logat Cahyo? Apa itu artinya Cahyo merasuki tubuh pemuda itu? Seketika aku menoleh ke arah paklek dan kami menyadari hal yang sama. Secara bersamaan kami melesat ke tubuh kedua pemuda lainnya dan mengambil alih tubuh mereka seperti yang Cahyo lakukan dengan tidak sengaja itu. “Dengan ini setan-setan itu tidak akan bisa merasuki mereka,” ucapku. Brakk!!! Kedua pemuda lainnya terjatuh, dan aku tersadar dengan tubuh yang berbeda. Cahyo yang melihat kejadian ini segera menyadari apa rencana kami. “Jangan lengah! Mereka punden penguasa hutan ini!” Ucap Cahyo yang membantu kami berdiri. Sementara itu, tangan paklek sudah terbakar oleh api yang ia panggil dengan ajiannya. Aku dan Cahyo mengambil kesempatan untuk mengumpulkan menghajar makhluk-makhluk itu hingga berkumpul menjadi satu. Api paklek melesat ke arah setan bermata empat itu, dan sebuah ledakan kembali tercipta menghantam ketiga setan itu secara bersamaan. Kami bertiga mengatur nafas melalui ketiga tubuh pemuda yang kami rasuki ini.

“Apa? Apa yang terjadi??!” Teriak kakek tua itu.”Ndoro? apa kalian marah pada kami?” Kakek itu bingung, namun ia masih mengira bahwa ketiga setan itu yang merasuki tiga pemuda itu. Kami bertiga pun saling bertatapan dan merespon secara spontan. “Bebaskan anak perempuan ini dan tinggalkan desa!” Teriak Cahyo mendahului kami. “Be—bebaskan?” Kakek itu bingung.”Kami sudah menyediakan gadis ini untuk kalian nikmati. Tubuhnya yang terindah di desa ini.” Cahyo kesal dan menghentakkan kakinya hingga terjadi retakkan di tanah. “Ritual kalian hanya memanggil setan! Ini bencana alam, tidak ada yang bisa menghentikannya bila memang sudah waktunya!” Jelas Paklek. Suara bingung warga desa terdengar dari kerumunan. “Tapi Lanting Giri Agung akan marah?” Ucap kakek itu. “Jangan bodoh! Mengapa kalian harus pada makhluk yang tidak lebih mulia dari kalian?! Kalian masih punya waktu untuk menyelamatkan diri sebelum desa ini habis dilalap lahar!” Teriakku. Beberapa warga segera berlarian mengambil barang-barang sebisanya dan turun ke desa yang aman, namun sebagian masih menunggu keputusan kakek itu. “Kalian bukan utusan Lanting Giri Agung! Siapa kalian?” Tanya kakek itu. “Kami utusan yang lebih besar dari makhluk itu! Kami hamba dari Sang Pencipta alam semesta ini,” Jawab Cahyo tegas. Kakek itu bingung, namun terlihat ia tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau kalian melarikan diri, tidak akan ada yang mati! Tapi kalau kalian lakukan ritual ini, sudah jelas akan ada nyawa yang melayang,” Paklek meyakinkan kakek itu. Aku setuju dengan ucapan paklek, dan sepertinya kakek itu juga sama. Ia pun memberi isyarat kepada warga desa untuk meninggalkan desa itu. Tapi belum sempat mereka semua berpencar, tiba-tiba terlihat beberapa warga yang tertawa cekikikan dengan mata yang melotot. Mereka mulai menyerang warga lain di dekatnya. “Jangan, Bu! Jangan!!” Salah seorang warga berusaha melepaskan diri dari cekikan seorang ibu. “Lanting Giri Agung marah…” Gumam kakek itu. Cahyo yang mendengarkan ucapan itu mengambil kasutnya dan melemparkan ke kepala kakek itu. Plakkk!! “Kalian yang membuat Tuhan marah!” Cahyo kesal. “Heh, nggak sopan!” Aku segera menarik cahyo dan menyuruhnya menolong orang-orang yang kesurupan itu. Paklek tahu, warga desa menuruti ucapan kakek yang sedang memegangi kepalanya akibat perbuatan cahyo itu. Ia pun berusaha untuk menjelaskan dengan lebih tenang. “Mbah, selamatkan warga desamu! Sosok yang selama ini kalian puja bukan melindungi kalian. Mereka hanya memanfaatkan ketakutan kalian untuk saling membunuh. Pada kenyataanya mereka tetap tidak akan bisa menyelamatkan kalian..” Ucap Paklek. “Ta—tapi..”

Melihat keraguan kakek itu Cahyo sudah bersiap dengan satu sandalnya lagi, namun aku menahannya. “Biarin, Nan! Aku kesal sama kakek tua itu!” Protes Cahyo. “Sudah-sudah! Itu udah ditungguin sama setan-setannya!” balasku. Dengan sigap, aku dan Cahyo beralih untuk mengusir satu persatu setan yang merasuki warga itu. Kami tahu, ini adalah perlawanan mereka atas apa yang kami perbuat dengan menggagalkan rencana mereka. Tak membutuhkan waktu lama, Paklek pun berhasil meyakinkan kakek itu untuk memerintahkan warga desa untuk pergi. Kami pun fokus mengusir roh-roh utusan ketiga makhluk itu hingga mereka semua benar-benar pergi. “Siapapun kalian.. terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya,” Tiba-tiba ibu dari gadis yang ditumbalkan itu menghampiri kami bersama seorang warga yang membantu membopong anak gadis yang mulai sedikit tersadar itu. “Sudah, Bu! Yang penting kalian selamat! Jangan sampai kalian terjerat ritual sesat seperti ini lagi,” Ucapku. “Terima kasih, Ndoro.. terima kasih..” ucapnya yang segera meninggalkan kami. Kini tinggal kami bertiga di tempat ini, dan ketiga makhluk sialan itu sudah mengincar kami dari jauh. Sepertinya kali ini mereka benar-benar marah. “Pengacau..” Nenek api itu kesal. Ia melayang bergentayangan di sekitar kami. “Kalau mereka tidak menyediakan tumbal untuk kami, itu artinya kami harus membunuh mereka semua,” ucap makhluk bermata empat itu. Kali ini kaki kami menyentuh tanah, aku bisa merasakan angin yang berhembus, dan paklek sudah muak dengan tipu daya setan-setan itu. Tanpa kami sadari, Ular berekor api itu membesar dan tiba-tiba melilit kami. Cahyo berinisiatif menggunakan ajian penguat raganya untuk mencengkram dan melepaskan lilitan makhluk itu. “Kenapa lagi-lagi kita harus berurusan dengan ular!” Cahyo masih kesal. “Tapi kan kamu memang ahlinya ular, Jul” Balasku. Paklek membesarkan apinya, sementara aku melantunkan ayat-ayat suci layaknya senandung yang mengalun di udara. Tepat ketika makhluk-makhluk itu menyerang kami. Api Paklek membesar dengan ajian Gambuh rumekso yang kubacakan. Sayatan-sayatan di tubuh setan-setan itu tercipta dan terbakar api yang lebih panas dari yang mereka miliki. Api yang tercipta dari ayat-ayat suci Sang Pencipta alam semesta ini.

“Aaarrrrgggh!!! Makhluk sialan!” “KheKK… Terkutuk kalian!” Rasa sakit terus membakar mereka, Namun sebelum aku dan cahyo hendak melesatkan serangan pamungkas kami, setan-setan itu pergi dan melarikan diri menuju kedalaman hutan. “Tuan kami yang bergelar Lanting Giri Agung akan membalaskan perbuatan kalian!” suara nenek api itu menggema mengancam kami. Kami memastikan sampai desa ini benar-benar aman dari makhluk itu, namun gejolak dari dalam tanah dan semburan awan panas mulai terlihat dari arah puncak gunung. Tak menyia-nyiakan waktu, kami pun memutuskan untuk meninggalkan desa itu dan mencari tempat yang lebih aman. … Ada sebuah danau besar yang kami temukan saat meninggalkan gunung itu. Suara dentuman terdengar, malam yang seharusnya gelap menjadi terang dengan terangnya cahaya dari api dan lahar yang menyala meleleh dari puncak gunung. Kami bertiga menyaksikan pemandang itu sambil bergidik ngeri membayangkan betapa dahsyatnya ledakan itu. Entah berapa desa yang akan hancur karena bencana tak terhindarkan itu. “Paklek? Terus tubuh pemuda-pemuda ini?” Tanyaku bingung. “Iya Paklek, kita harus memisahkan diri kan?” Tambah Cahyo. Paklek menghela nafas, sepertinya ia tengah memikirkan sesuatu. “Itu masalahnya, Nan. Sukma mereka sudah hilang sejak ritual itu. Kalau kita meninggalkan tubuh ini, mereka bisa saja mati..” Ucap Paklek. Aku dan Cahyo saling bertatapan. Kami memang menyaksikan ritual yang membuat ketiga pemuda ini tidak sadar, tapi kami tidak menyangka bahwa kakek bodoh itu tega melepaskan sukma dari ketiga pemuda ini. “Karena kesalahan kita?” Tanya Cahyo. Paklek menggeleng, ia menatap kedua tangan dari tubuh yang ia rasuki saat ini. “Kita sudah menggunakan wadahnya, kita juga belum tahu cara untuk kembali, mungkin sebaiknya kita mencari cara untuk mengembalikan sukmanya dulu..” Ucap Paklek. Aku mengangguk setuju, kami bisa melakukan itu sambil mencari cara untuk kembali ke alam kami. ***

Prajurit berkuda, rumah-rumah kayu sederhana, hingga penerangan sederhana yang hanya mengandalkan obor dan lampu minyak sederhana. Semua itu terlihat selama perjalanan kami. Kami pun sadar, saat ini kami terlempar ke zaman yang berjarak jauh dari zaman kami hidup. “Selama ini aku nggak percaya sama yang namanya lintas waktu lho, Paklek,” Ucapku. “Nggak ada yang mustahil, Nan. Banyak peninggalan-peninggaln di alam ini yang tidak relevan dengan zaman. Dan mengenai ramalan-ramalan dari masa lalu tidak menutup kemungkinan semua berasal dari mereka yang datang dari masa depan,” Jelas Paklek. “Tapi menurut Paklek, apa masa depan akan berubah bila kita membocorkan apa yang terjadi di masa depan?” Tanya Cahyo. “Menurut paklek nggak, Jul. Paklek lebih percaya bahwa semua yang terjadi sudah ditakdirkan. Semua hal yang kita bocorkan di alam ini akan lapuk sendirinya oleh waktu. Kita juga tahu bahwa zaman sudah di reset berkali-kali melalui berbagai tragedi dan bencana alam..” Penjelasan paklek saat itu memang masuk akal. Kalaupun kami membuat pembangkit listrik di desa ini, bisa saja seiring waktu berjalan benda itu akan rusak, dilupakan warga, dan hancur oleh masa. Saat kembali ke zaman kami, jejak tentang pembangkit listrik yang kami buat mungkin tak lagi bisa ditemukan. Tapi tak menutup kemungkinan adanya sisa informasi yang terbawa hingga masa depan yang menjadi petunjuk tentang masa ini. … “Danan, Paklek.. makan dulu,” ucap Cahyo yang kembali dengan sesisir pisang di tangannya. “Dapet dari mana, Jul?” Tanyaku. “Banyak di hutan, Nan! Di sini keluar desa sebentar udah ketemu hutan, nyari makan nggak susah,” Ucap Cahyo. Mungkin benar ucapan cahyo. Zaman ini tidak begitu buruk, alam masih terjaga. Hutan-hutan menumbuhkan berbagai hasil alam yang bisa dipanen siapa saja dan tidak dimiliki oleh siapapun. Dengan ini, sepertinya kami tidak usah bingung masalah makanan. Desa yang kami datangi sepertinya desa yang cukup besar. Cukup berbeda dengan desa tempat kami muncul di atas gunung tadi. Orang-orang berseliweran membawa hasil bumi dan kerajinanya untuk ditukarkan di pasar sederhana. Beberapa membawa potongan emas dan perak yang mereka tukarkan untuk mereka yang melabeli dirinya sebagai pedagang. Sayangnya saat aku asyik menikmati pemandangan ini, tiba-tiba aku merasakan firasat yang mengganggu. Dari gapura desa, ada seorang perempuan yang berjalan dengan langkah kaki terseok memasuki desa. Wajahnya pucat, rambutnya basah, dan pakaian kebaya lusuhnya penuh dengan darah. Warga yang melihatnya ragu untuk mendekatinya, mereka hanya melihat dari jauh hingga tiba-tiba suara teriakan terdengar dari wanita itu. “Tolongg…to—tolong…” Suara itu terdengar begitu lemah, bahkan setelahnya wajahnya menyeringai mengerikan dan tertawa dengan suara berbeda.

“Khekhekehke… tak ada yang boleh lolos, semua harus mati.. khekhekeh…” Perempuan itu berkata seperti suara kakek-kakek. Kami bertiga segera beranjak dan menuju kerumunan itu secepat mungkin. Dhuakkk! Dhuakkk!!! Tiba-tiba suara teriakan terdengar dari kerumunan. Mereka berlarian, dan saat berhasil menembus kerumunan sosok perempuan itu sudah tergeletak di tanah dengan kepala yang berlumuran darah. “Dia.. dia membenturkan kepalanya ke batu itu!” Teriak salah seorang warga. Walau darah terus mengalir mata wanita itu terus melotot dan tertawa hingga akhirnya kehilangan nyawanya. “Ini ulah setan itu!” Ucap Cahyo yang melihat sosok nenek berbaju kebaya hitam melayang meninggalkan desa. Kami memastikan wanita itu sudah tidak tertolong lagi. “Dia dari desa itu, lagi.. setiap orang yang keluar dari desa itu pasti mati..” Terdengar suara-suara perbincangan dari warga desa. Sepertinya ada sebuah desa yang berada dibalik hutan tempat perempuan ini muncul. “Itu wilayahnya patih Jatayu Wungu. Sudah ada prajurit kerajaan yang melarang kita mendekati desa itu. Katanya banyak yang mati..” Mendengar perkataan itu kami bertiga saling bertatapan seolah sepakat akan sesuatu. “Kita kesana!” Perintah paklek. Aku dan Cahyo mengangguk tanpa membantah sedikitpun. Walaupun ini bukan zaman kami, tapi kami tidak akan membiarkan setan-setan seenaknya merenggut nyawa manusia. Kami harus menghentikan manusia bodoh yang menjadi jembatan makhluk-makhluk itu untuk bisa berbuat seenaknya di alam ini. Butuh waktu beberapa jam untuk menembus hutan. Aku tidak bisa membayangkan wanita tadi berjalan sekuat tenaga dengan semua lukanya melalui hutan ini dan ia tetap berakhir tragis oleh setan nenek terkutuk itu. Di tengah perjalanan, cahyo terhenti. Ia melihat sesuatu yang membuatnya geram hingga mengepalkan tangannya erat-erat. “Kita sudah dekat…” ucapnya. Apa yang Cahyo lihat memang memastikan kami di jalur yang benar. Namun hal itu benar-benar membuat kami marah. Satu kepala tergantu di atas pohon dengan tubuhnya yang terpisah terjatuh di tanah. Leher jasad itu terputus dengan tebasan pedang. Aku menduga ada campur tangan pendekar atau prajurit dalam perkara ini. Samar-samar terdengar suara pedang yang beradu, namun suaranya tidak seperti teriakan perang yang penuh tenaga. Suara yang mengiringi pedang-pedang yang beradu adalah suara tawa cekikikan, geraman hewan buas, dan suara mantra-mantra yang saling menumpuk. “Apa ini semua?” Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kami disambut dengan Jasad-jasad tergantung di tiang-tiang yang dibuat bersama berbagai jenis sesajen. Di bawahnya terlihat jasad prajurit-prajurit yang mati dengan darah mengalir menutupi tanah yang kami lewati. “Ritual penumbalan? Dengan tumbal sebanyak ini?” Paklek benar-benar cemas dengan semua pemandangan ini. Kami pun bergegas menuju desa lebih dalam lagi dimana suara-suara itu berasal. …

“Hentikan perbuatanmu Jatayu Wungu! Semua ini tidak akan berakhir baik!!” Teriak seseorang yang berpakaian panglima. “Hei Brasma! Tentu saja tidak akan berakhir baik! Dengan bodohnya kau membawa seorang raja ke tempat seperti ini. Bodoh jika aku tidak mengerahkan semua yang kumiliki!” Teriak seseorang yang dipanggil dengan Jatayu Wungu itu. “Aku datang kesini hanya berharap bahwa bukan kau dalang dari semua ini! Apa jabatan patih dan semua harta yang kau miliki tidak cukup membuatmu puas?” Balas seseorang yang dianggap sebagai raja itu. Walaupun disebut raja, ia hanya menggunakan pakaian layaknya pendekar biasa dan bersenjatakan pedang. “Kekuasaan, kehormatan, harta itu tidak ada yang abadi yang mulia… Saat mati semua itu akan lenyap begitu saja. Mereka menawarkan kepadaku yang lebih menggiurkan. Kekuatan, dan keabadian yang tidak mungkin bisa kalian dapatkan… Hahahahah!” Teriak sosok yang ternyata bergelar Patih Jatayu wungu itu. Dari apa yang kami lihat , sang raja dengan pelindungnya yang bernama Brasma itu benar-benar terdesak. Prajurit mereka yang tidak seberapa terlihat kelelahan. Dan dari sisi Patih Jatayu Wungu, terlihat prajurit-prajurit yang dirasuki makhluk berkekuatan hitam. “Jangan remehkan jumlah kami yang sedikit, mereka adalah prajurit yang terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini..” Gertak sosok bernama Brasma itu. “Hahaha… aku memang sudah mengetahui kehebatan prajuritmu, Brasma! Pertarungan ini memang membuktikannya. Karena itu, sekarang aku menginginkan mereka…” Balas Patih itu. Sebuah pisah dicabut dari pinggang patih itu. Sebuah pisau dengan bilah hitam dengan gagang berbentuk ular. Ia menggoreskan pisau itu pada telapak tangannya dan meneteskannya di tanah. Saat itu seketika darah patih itu berubah menjadi hitam dan muncullah sosok sosok yang melayang-layang menikmatinya. “Ambil tubuh mereka!” perintahnya. Setelah menikmati darah sang patih, makhluk –makhluk itu beterbangan mengelilingi prajurit-prajurit yang melindungi sang raja. Dalam hitungan detik, perubahan terjadi pada mereka. Mata mereka menghitam, mereka menyeringai dengan mengerikan dan berbalik mengarahkan pedangnya pada raja. “Kau brengsek!” Umpat Brasma.

“Sudah kubilang, akan beri pelajaran tentang perbedaan kekuatan seorang Patih dan Panglima,” Balas Patih Jatayu Wungu. Kini mereka berdua benar-benar terdesak. Kami sadar, jika tidak ada pertolongan mereka berdua akan mati. “Habisi mereka! Bawa kepala mereka berdua kepadaku,” Perintah Patih itu. Seketika puluhan pedang mengarah kepada kedua orang itu. “Danan!” Paklek ternyata sudah menyalakan Geni Baralokanya. Ia memberikan satu kobaran untukku. Sementara cahyo sudah siap dengan ajian penguat raganya dan berlari menuju kerumunan itu. “Wanasura!!!” Teriak Cahyo sambil menghantamkan pukulannya ke tanah. Dummm!!!

Beberapa prajurit terpental. Sepertinya ia lupa bahwa Wanasura sedang tidak berada di dalam tubuhnya. Tapi apa yang ia lakukan berhasil membukakan jalan untuk aku dan paklek. Geni Baraloka adalah jurus terhebat paklek. Bukan yang terkuat, tapi jurus yang paling berguna dalam pertempuran melawan makhluk gaib. Api ini tidak sembarangan menyakiti manusia. Ia hanya menyakiti makhluk yang memiliki niat jahat dan memusnahkan kutukan dari seseorang. Dengan api ini kami membakar prajurit-prajurit yang baru saja kerasukan itu. Mereka meronta kesakitan, namun aku tahu itu hanya sementara. “Jangan jauh-jauh dari kami!” Ucap Cahyo pada dua orang itu. “Si—siapa kalian?” Tanya Brasma . “Perkenalanya nanti saja, Perintahkan prajurit yang sudah sadar untuk meninggalkan desa ini! Jika kerasukan lagi mereka akan menyusahkan!” Teriakku. Sang Raja dan Brasma saling menatap dan setuju. Brasma dan Cahyo bertarung menghalau prajurit-prajurit yang masih kerasukan sementara Sang raja membantu kami menyadarkan prajurit yang sudah tertolong. “Sadarkan yang lain, bawa mereka pergi sejauh mungkin dari desa ini! Sejauh mungkin dari Patih Jatayu Wungu!” Perintah Sang Raja. “Ta—tapi, tuan? Tuan tidak ikut?” Tanya prajurit itu. Sang Raja menggeleng, sepertinya tujuannya di tempat ini masih belum selesai. “Paklek, Sekali lagi…” Ucapku mengajak Paklek menggabungkan kekuatan kami lagi. Aku membacakan kembali alunan ayat-ayat suci yang menananmkan kesucian pada setiap udara yang kami hirup. Angin berhembus dengan ajian Gambuh Rumekso yang kali ini menyatu dengan Geni Baraloka Paklek. Whooooosh!!! Seketika badai api dari Geni Baraloka tercipta di tempat itu. Prajurit-prajurit yang kerasukan terbakar oleh api Paklek dan perlahan mulai mendapatkan kesadarannya. “Api ini.. tidak panas?” Ucap Brasma. “Berarti masnya orang baik,” Ucap Cahyo. “Api ini hanya membakar niat jahat dan memusnahkan kutukan.”

Sang Raja dan Brasma merasa kagum dengan api itu, dan dalam beberapa saat semakin banyak prajurit yang lepas dari kendali setan-setan itu. Mereka pun bergegas pergi meninggalkan desa seperti apa yang Sang Raja perintahkan. “Apa yang kalian lakukan?! Siapa kalian??” Patih Jatayu Wungu menyadari keberadaan kami. Sepertinya ia cukup terancam dengan serangan tadi. Bruakkk!!!! Tanpa disadari tiba-tiba Cahyo sudah berada dihadapan Patih itu dan menghajarnya. “Itu untuk perempuan yang mati di desa karena setan suruhanmu!” Ucap Cahyo. Bhuakk!!! Bhuakkk!! Sang patih yang mencoba berdiri kembali mendapat pukulan bertubi-tubi dari Cahyo yang sudah termakan emosi. “Kau pikir nyawa warga desa ini apa!!! Mereka juga manusia sepertimu!!” Patih itu terpental. Pukulan Cahyo memang keras, tapi itu tidak cukup untuk membuat patih itu tumbang. “Jangan sombong manusia rendah! Orang kampung seperti kalian hanya berharga jika dijadikan tumbal!!” Bruaaak!!! Patih itu membalas dengan menghantamkan pukulannya ke arah Cahyo. Tapi.. Cahyo menangkapnya dengan satu tangannya. Bhugggg!! Sekali lagi pukulan Cahyo mendarat di tubuh Sang Patih. Brasma dan Raja itu tak menyangka melihat kejadian itu. “Bukan manusia yang berhak menilai nyawa seorang manusia! Setiap nyawa manusia itu bernilai!” Teriak Cahyo. “Ha…ha..ha.. beraninya kau!” Cahyo tak membuang waktu dan menghantamkan lagi tinjunya, tapi kali ini pukulannya tertangkap oleh patih itu. “Kalau kau ingin mengadu kekuatan, ada yang lebih pantas!” ucap Patih itu. Patih itu pun membuka kembali luka di telapak tangannya sambil membaca mantra. Cahyo yang menyadari akan datangnya bahaya kembali menyerang patih itu, namun kali ini ia bisa berkelit dan menyelesaikan ritualnya.

Tetesan darah membentuk bercak di tanah. Warnanya menghitam dan kekuatan mengerikan memancar darinya. “Dia lawanmu…” Ucap patih itu. Dari tanah tempat darah itu menetes muncul tangan penuh kuku sebesar badan manusia dari dalam tanah. Seketika tanah yang kami pijak menjadi panas. Cahyo memilih untuk mundur berkumpul kembali pada kami sambil membaca situasi. “Belum ada yang bisa mengalahkan Buto Geni sejak ratusan tahun yang lalu. Membuatnya patuh bukan perkara mudah. Tapi setimpal jika bisa mendapatkan kepala sang raja.. Hahahaha….” Teriak Patih Jatayu Wungu. Ini tidak main-main. Walau tak sebesar Buto Lireng, Buto geni memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan. Keberadaanya saja membawa panas yang menyengat di desa ini. “Sampai bisa memanggil setan sekuat itu, Iblis apa yang menjalin perjanjian dengannya?” Ucap Raja. “Entahlah, Dia sudah benar-benar tak tertolong,” Balas Brasma. Kami membaca kecemasan dari mereka berdua dan membentuk formasi mengelilingi mereka. “Gimana, Paklek? Ada rencana?” Tanyaku. “Sementara cari kelemahannya dulu, jangan berkontak langsung dengannya,” Jawab Paklek. Aku dan Cahyo menangguk. “Kalian! Ini terlalu berbahaya, kenapa kalian sampai mau menolong kami seperti ini?” Tanya Brasma. “Ada atau tidak ada kalian pun kami tetap akan terjun saat melihat semua korban di desa ini. Tidak usah merasa bertanggung jawab,” Balasku. Sang Raja datang mendekati kami. “Saya Raja Indrajaya, mungkin kalian sudah mengetahuinya. Dan dia panglima saya, Brasma. Setidaknya beritahukan nama kalian, tuan-tuan pendekar..” ucap Raja yang ternyata bernama Indrajaya itu. “Saya danan. Dananjaya Sambara, ini Cahyo, dan beliau Paklek saya. Bimo Sambara…” Mendengar perkenalanku raut wajah Raja Indajaya dan Panglima Brasma itu berubah. Entah apa nama kami terlalu aneh berada di zaman ini. “Yang Mulia.. sepertinya ini benar-benar bantuan dari langit.” Ucap Panglima Brasma. “Danan, Kita harus selamat dan berbincang banyak setelah ini. Saat ini aku merasa tidak akan kalah,” Ucap Raja Indrajaya. Kali ini kami bertiga yang merasa bingung dengan reaksi mereka berdua. Sayangnya sebelum kami sempat mempertanyakan, sosok bernama Buto Geni sudah benar-benar bangkit dan mulai menyerang kami. “Awas!!” Teriak Panglima Brasma. Dharr!!! Sebuah pukulan mengarah kepada kami. Kami berhasil menghindar namun pukulannya menghantam ke tanah dan mengobarkan api yang begitu besar.

“Hahaha! Kekuatan Buto Geni mampu membakar satu istana. Terlalu naif jika kalian berpikir bisa selamat!” Tawa Patih Jatayu. Bhugggg!! “Kau pikir, kau juga akan selamat dari tempat ini?” Cahyo masih terus mengincar Patih Jatayu. “Setan berwujud manusia ini biar urusanku!” Teriak Cahyo. Sepertinya ia sudah begitu kesal dengan semua yang terjadi di desa ini. Cahyo menggunakan Ajian Penguat Raga sedangkan Patih Jatayu memperkuat dirinya dengan kekuatan hitam yang merasuki dirinya. Dalam sekejap pertarungan sengit terjadi diantara mereka. Sementara itu, Raja Indrajaya membaca sebuah mantra sembari dilindungi oleh Panglima Brasma. Tepat saat Buto Geni kembali menyerang, aku mengempaskan pukulannya dengan Ajian Lebur Saketi milikku. Paklek menyusul dengan membakar dahi buto geni berusaha melepas ikatannya dari alam ini. Trang!!! Pedang panglima brasma mementalkan pukulan buto geni bergantian dengan ajian lebur saketi milikku. Kami hanya mampu menahan gerakannya sementara paklek mencoba memurnikan melepaskan ikatan Buto Gendi dengan Patih Jatayu. Tanpa ikatan perjanjian mereka, Buto Geni tidak memiliki kuasa di alam ini. Ini tidak mudah. Mengimbangi cara bertarung seorang panglima benar-benar tidak mudah. Setiap ayunan dari pedangnya memiliki beban dan tanggung jawab yang berat. Panglima Brasma menggunakan semua ilmu yang ia miliki untuk bertahan dari serangan Buto Geni. “Gggroaaaaarrrrr!!!!” Amukan Buto Geni terdengar menggema ke seluruh desa. “Selesai! Serang dahinya! Disitu darah patih itu tertanam! ” Perintah Paklek. Aku dan Panglima Brasma bersiap, namun kami merasakan kekuatan besar dari belakang kami. “Biar aku saja!” Ucap Raja Indrajaya tiba-tiba. Pedang Raja Indrajaya menyala terang dan melayang di hadapannya. Kami pun menyingkir, dan dengan cepat Raja Indrajaya mengambil pedang itu dan melemparkanya ke dahi Buto Geni tepat seperti perintah Paklek. Sraatttt!!!

Dengan mudah pedang itu menembus kepala buto geni dan membakar kepalanya. Ada kekuatan hitam yang mengikat antara Patih Jatayu Wungu dan Buto Geni yang membuat kepala Buto Geni membentuk wujudnya lagi. Tapi Paklek dengan Sigap membakar leher Buto Geni dengan Geni Baraloka untuk mencegahnya bangkit kembali. “Kembalilah ke tempatmu berasal!” Ucap Paklek. Kobaran api besar membakar makhluk besar itu dan membuatnya meronta-ronta. Kami pun mundur dan membiarkan Geni Baraloka membakar raksasa itu hingga lenyap dari alam ini. “Ck! Sial!” Patih Jatayu kesal dengan kekalahan Buto Geni, namun ia tidak terlihat gentar. Ia mengambil kembali pisaunya dan mengarahkan ke dahinya. Cahyo sadar bahwa patih itu akan melakukan ritual yang lebih besar lagi. Ia pun melesat untuk mencegah hal itu. Tapi, sesuatu terjadi diluar dugaan. Asap hitam mengepul membentuk sebuah tangan besar yang menghantam cahyo hingga terpental. Patih Jatayu pun terlihat kaget. “Kau belum boleh mati disini, darahmu masih kami butuhkan!” Ada suara menggema di antara kami. Tangan besar itu menggenggam Patih Jatayu yang belum selesai dengan ritualnya dan ia pun menghilang dari pandangan kami. Hening… Saat kepulan asap hitam yang membawa pergi Patih Jatayu hilang, suasana hening seketika. Tak ada suara dan tak ada sosok kehidupan lagi selain kami berlima disini. “Dia melarikan diri?” Tanyaku. “Benar.. Ada sosok yang lebih mengerikan dari semua ini? Itu benar-benar buruk..” Balas Panglima Brasma. Raja Indrajaya menepuk pundak Panglima brasma mencoba menenangkannya. “Kita tidak tahu semengerikan apa sosok dibalik Patih Jatayu Wungu. Tapi setidaknya kita juga bertemu dengan mereka,” ucap Raja Indrajaya sambil memandang pada kami bertiga. Aku dan Cahyo terduduk di tanah mencoba mengatur nafas kami. Berada di tubuh orang lain ternyata cukup sulit. Panglima Brasma meninggalkan desa sejenak dan memanggil prajuritnya yang berjaga untuk mengumpulkan tim untuk mengevakuasi korban-korban di desa ini. “Mengapa seorang raja bisa berada di pertempuran semengerikan ini?” Paklek membuka pembicaraan diantara kami. “Masalah di kerajaan ini bukan di istana, tapi dari desa ini. Wajar kan saya berada di sini?” Balasnya. “Bener juga yo, Nan..” Bisik cahyo padaku. Aku menyikut sedikit bahunya untuk mengingatkan Cahyo agar lebih sopan. “Kalian datang di saat yang tepat. Pasukan kami tadi adalah pasukan yang ketiga setelah dua regu lainnya dihabisi oleh pengkhianat itu,” Jelas Raja Indrajaya. Aku memang melihat mayat-mayat prajurit di awal masuk desa tadi. Mungkin itu yang Raja Indrajaya Maksud.

Raja Indrajaya menceritakan pada kami tentang gejolak di kerajaannya. Ia mengatakan bahwa berita-berita mengerikan tentang kematian rakyatnya yang tidak wajar hingga munculnya aliran ilmu hitam membuat ia cemas. Raja Indrajaya pun membentuk prajurit khusus dibawah pimpinan Panglima Brasma untuk mencari tahu tentang pengkhianat ini secara diam-diam. Bahkan Raja Indrajaya ikut menyamar untuk mencari informasi dari desa-desa di wilayahnya demi informasi itu. Panglima Brasma kembali dengan membawa pasukan yang menghantarkan beberapa ekor kuda. “Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih baik dulu untuk beristirahat. Biar pasukanku yang membereskan semua ini..” Ucapnya. “Terima kasih, Brasma..” Ucap Sang Raja. “Kami jalan kaki saja, saya tidak mahir berkuda,” ucap Paklek. Aku setuju. Aku lebih nyaman berjalan kaki daripada harus naik kuda. Tapi tidak dengan cahyo. Ia mengambil tali kekang salah satu kuda dari tangan prajurit dan menaikinya. Ia terlihat begitu lihai dengan itu. “Kowe iso, Jul?” (Kamu bisa, Jul?) Tanyaku. “Kamu lupa? Bukanya aku pernah cerita kalau bapakku memelihara kuda di desaku dulu?” Ucap Cahyo. Benar, aku ingat. Cahyo pernah cerita bahwa ayahnya memelihara kuda dan terkadang membantu mengurus kuda milik orang lain juga. “Sudah, Naik saja.. Biar prajuritku yang membantu mengendalikan kuda kalian,” ucap Panglima Brasma. Melihat Cahyo yang nyaman dengan kuda nya. Aku pun tidak mau kalah. Bapak juga pernah mengajariku berkuda, tapi aku juga ingat bahwa tidak mudah mengendalikan hewan yang paling berguna di peperangan ini. Jasad-jasad yang tergantung di tiang-tiang selama perjalanan keluar desa masih terus membuat kami geram. Terlebih ketika kami mengetahui bahwa sosok dibalik ritual desa ini masih berkeliaran. “Sebenarnya ritual apa yang dilakukan oleh Patih Jatayu?” Tanyaku pada Panglima Brasma. “Entahlah, kami datang saat sudah terlambat. Sesuatu telah terjadi di tempat ini. Dan yang membuat kami khawatir, ritual ini hanya permulaan saja..” Mendengar jawaban itu, kami pun semakin khawatir. Dengan sebanyak ini nyawa yang ditumbalkan, entah apa yang akan ditukarkan? Kekuatan? Kebangkitan? Atau sesuatu yang tidak kami ketahui? Kami sudah ikut campur dengan masalah ini, sepertinya kami tidak bisa lagi mundur. “Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akan tertolong sekali lagi oleh kalian,” Ucap Raja Indrajaya. “Sekali lagi? Sepertinya ini pertama kali kita bertemu, Tuan.” Balasku.

“Ah.. bukan, maksudnya tak kusangka setelah dulu saya ditolong oleh Patih Widarpa hingga pertarungan sebelumnya kami tertolong oleh putranya, Daryana. Kini kami tertolong oleh kalian, Sambara.” Jelas Raja Indrajaya. “Ah iya, benar. Saya juga penasaran. Saya tidak pernah tahu Patih Widarpa punya kerabat lain yang menyandang nama Sambara selain anaknya..” Tambah Panglima Brasma. Mendengar ucapan Raja dan Panglima itu seketika aku dan Paklek terdiam. Widarpa? Daryana? Apa ini maksudnya kami berada di zaman yang sama dengan mereka?

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close