Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 5) - Darang

Pementasan itu menggunakan jasad manusia untuk memainkan perannya. Pementasan terkutuk yang membawa wabah dan bencana untuk manusia.. Darang


Part 5 - DARANG Jawa Timur, 1920 Di satu malam, seluruh warga desa tertidur dengan nyenyak dalam balutan gelapnya malam. Seorang kakek memasuki desa dengan menarik sebuah gerobak berbau busuk tanpa disadari oleh satupun warga di sana. Kakek itu berjalan dengan percaya diri seolah yakin bahwa lelapnya warga desa takkan terusik olehnya. Srakk! Srakk!! Dengan susah payah, ia melintasi hutan sambil menarik gerobak aneh itu. Ia membabat hutan sedikit demi sedikit agar gerobaknya dapat melintas. Bau busuk yang seharusnya membuat manusia manapun tak nyaman, ternyata telah dinanti oleh hutan itu. Suara tawa cekikikan menyambut kedatangan kakek itu di pemakaman. Namun ia tidak berhenti, ia terus berjalan hingga menemukan sebuah gua yang tertutupi tanaman-tanaman menjalar. Di gua itulah perjalananya berakhir. Duonggggg!!!! Menjelang subuh warga desa terbangun dengan suara gong yang menggema dari dalam hutan. Mereka mempertanyakan suara itu namun tak begitu peduli, mereka lebih bingung dengan bau aneh yang tiba-tiba tercium di desa mereka. Setelah beberapa saat, warga desa menganggap hal itu sebagai kejadian biasa dan mengacuhkanya ketika bau itu tak lagi tercium. Mereka lebih memilih untuk sibuk mengurus ladang dan ternak mereka masing-masing.


Ia menemukan sebuah lempengan batu besar yang menyerupai panggung. Kakek itu pun membuka gerobaknya, dan setumpuk jasad prajurit dan perempuan-perempuan terlihat di sana. Kakek itu seolah sudah tidak peduli dengan bau yang begitu menyengat. Ia menyeret jasad itu satu persatu dan membaringkannya berjejer di panggung batu itu. Senyum yang lebar terukir di mulut sang kakek. “Kita akan bersenang-senang sekali lagi…” Semenjak saat itu, ketika warga desa sudah terlelap, suara alat musik pementasan sering terdengar dari tengah hutan. Setiap suara itu terdengar, bau busuk menyebar ke seluruh desa. Tak sedikit warga yang terbangun, bahkan saat pagi datang bau itu masih tercium. Menganggap kejadian itu bukan perkara besar, warga desa pun berusaha tidak menghiraukanya. Sampai suatu malam, hal yang tidak mereka bayangkan terjadi. Pertama kalinya warga desa melihat bulan purnama merah yang menerangi langit desa saat itu. Sekali lagi bau busuk tercium dengan begitu pekat dan seluruh ternak gelisah saling bersahutan. “Masuk ke rumah! Tutup pintu dan jendela, jangan ada yang keluar rumah apapun yang terjadi!” Sesepuh desa yang dipanggil dengan nama Mbah Tanggir menyadari bencana yang berada di luar kemampuan dirinya. “Apapun yang terjadi, jangan… jangan keluar. Meskipun mati sekalipun.. Atau kita akan menjadi bagian dari mereka…” Raut wajah bingung tersirat di seluruh warga desa, Namun Mbah Tanggir tidak berkata apapun lagi dan meninggalkan warga desa untuk masuk ke dalam hutan. Ada bayangan makhluk hitam bermata merah yang melebihi tinggi pepohonan hutan di sana. Warga yang merasa tak mampu melakukan apapun hanya mampu mengikuti perintah Mbah Tanggir dengan mengunci diri di rumah. Mereka hanya berbekal bacaan doa-doa yang pernah ditinggalkan oleh seorang ulama yang pernah menetap beberapa lama di desa itu. Yang terjadi di malam itu melebihi semua mimpi buruk yang pernah dialami oleh warga desa. Langit memerah, suara gending yang begitu kelam terdengar bersamaan dengan bau menyengat yang menyelimuti desa. Tanah-tanah di sekitar mereka bergerak merespon suara itu. Mayat-mayat yang hampir tak berbentuk berusaha bangkit dari tanah. Satu persatu dari mereka bangkit memenuhi seluruh desa dengan wujud yang begitu mengerikan. Ini adalah pesta yang mereka nantikan. Sesuatu mengutuk mayat-mayat itu hingga bumi pun tak mau menguraikan jasadnya. Mereka terjebak dalam dunia antara dimana bukan alam manusia atau akhirat lah yang akan mereka tuju. Dan suara dari dalam hutan itu membangkitkan mereka. Drak…drak.. Seorang ibu yang berusaha menahan takut dari kejadian itu mendengar suara dari arah pintu. Ia menduga mayat-mayat itu mencoba masuk ke dalam rumahnya. Ia buru-buru mencari benda berat untuk mengganjal pintunya, namun ternyata ia salah. Di pintu terlihat anak laki-lakinya berjalan dengan gelagat aneh dan menabraknya berkali-kali. “Le? Kowe ngopo le?”(Nak kamu kenapa nak?) Tak ada jawaban apapun dari sang anak, namun saat sang ibu mendekat untuk berusaha menghentikannya. Anak itu menoleh.. Mata sang anak mengalirkan darah, kulitnya begitu pucat, mulutnya tak henti meneteskan cairan hitam.

Sang ibu terjatuh melihat pemandangan mengerikan itu sementara sang anak tak peduli. Ia terus berusaha berjalan keluar dengan membenturkan tubuhnya ke pintu rumah. “Le… uwis le, uwis…” Ibu itu menangis sambil berusaha meminta pertolongan. Sayangnya di amben tempat suaminya tertidur terlihat tubuh kaku seorang pria yang terus melotot ke satu arah dan membuka matanya. “Bapak!! Bapak!!!” Ibu itu semakin panik saat menemukan tubuh suaminya kaku dengan menggumamkan suara-suara ketakutan. Ia berteriak meminta pertolongan, namun di luar hanya terlihat mayat-mayat yang masih mengepung desa itu. Ibu itu hanya bisa menangis sambil menahan anaknya untuk terus membenturkan diri di pintu. Suara serupa terdengar dari rumah lain. Mereka tak bisa berbuat apapun dan hanya bisa pasrah menerima apa yang menimpa anggota keluarganya. Lewat tengah malam, mayat-mayat dan pocong yang tidak sempurna yang bangkit dari tanah mulai menghilang masuk ke dalam hutan. Seseorang bapak mencoba memberanikan diri untuk keluar. Ia terlihat khawatir dengan warga di sekitarnya. Sayangnya baru berjalan beberapa langkah, ia terhenti. Ia tak henti-hentinya menatap ke arah salah satu atap dan tiba-tiba matanya mengalirkan darah. “Nga—ngapuro.. nyuwun pangapuro…” (Ma—maaf, saya minta maaf) Pria itu pun terjatuh ketakutan dan buru-buru masuk kembali ke dalam rumahnya. Kejadian itu dilihat oleh warga-warga yang mengintip melalui jendela. Mereka benar-benar tidak mengetahui apa yang sebenarnya di lihat oleh pria itu. Semua yang mengintip dari jendela bergegas menutup gorden mereka rapat-rapat. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti pria itu. Tak ada yang dapat mereka lakukan selain berdoa agar malam yang begitu panjang itu segera berakhir. Pagi pun datang, cahaya matahari mulai masuk lewat celah-celah jendela. Saat itu lah mereka baru berani mengintip keluar dan memastikan bahwa tak ada lagi mayat-mayat yang berkeliaran. Hilang ke hutan? Atau kembali ke tanah yang itu lagi. Yang mereka tahu, seluruh tanah yang sebelumnya berantakan karena mayat-mayat itu kini kembali bertumpuk membentuk gundukan-gundukan layaknya kuburan. Bau busuk yang mereka cium semalam masih tersisa di udara pagi itu. “Tolong.. tolong anak saya,” “Istri saya tidak bangun dari tidurnya..” “Siapa saja, tolong…” Begitu banyak suara warga yang meminta pertolongan. Puluhan warga mengalami musibah diluar nalar. Penyakit aneh, kerasukan, tubuh yang kaku, hingga tak sadarkan diri. Pagi itu begitu kacau dengan suara tangisan warga. Srekk… srekk…srek… Dari jauh terlihat seorang kakek yang berjalan dengan lemah. Ia terhuyung-huyung seolah bisa jatuh kapan saja. “Mbah Tanggir?!” Seorang yang mengenali sosok itu segera bergegas berlari menghampiri sosok yang memberanikan diri untuk masuk ke hutan itu semalam. Tepat saat mengetahui ada warga yang menghampirinya, Mbah Tanggir pun terjatuh. Warga desa melihat Mbah Tanggir kembali dengan wujud yang mengenaskan. “Jangan ada yang memasuki hutan itu. Pemakaman kuno adalah batas. Tinggalkan dan pergi dari desa ini jika kalian mampu…” Mbah Tanggir berkata dengan lemas. Warga menyadari mata mbah tanggir tertutup dan bekas darah terlihat dari matanya. Kulitnya pun menghitam dan dari tubuhnya tercium bau busuk yang sama seperti semalam. “Apa? Apa yang sebenarnya terjadi, Mbah?” Tanya warga desa. “Hutan itu terpilih menjadi panggung pementasan bagi para lelembut. Pementasan pembuka untuk pementasan para jahanam seratus tahun lagi..” Suara kasak kusuk warga terus terdengar merespon ucapan Mbah Tanggir. “Jasad manusia menari-nari di sana. Mereka memainkan kisah tragis dan mempermainkan dosa manusia. Kutuk dan wabah mengiringi keramaian itu..” Mbah Tanggir hanya mampu menjelaskan sejauh itu. Ia pun kehilangan kesadaran dan seluruh warga berusaha membawanya ke tempat aman untuk mengobatinya. Sebagian warga yang terkena wabah selamat, namun tak sedikit yang akhirnya meregang nyawa. Mbah Tanggir hanya mampu bertahan hidup selama satu minggu sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Namun ia sempat bercerita tentang apa yang terjadi di gua terlarang itu. .. Ada pementasan terkutuk yang tidak boleh didatangi oleh manusia. Hanya mereka yang tak kasat mata dan yang sudah mati yang diijinkan untuk berada di sana. Siapapun yang menyaksikannya akan menjadi bagian darinya. Pementasan terkutuk yang membangkitkan mayat-mayat untuk menari dan berpesta. Roh, arwah, dan para dedemit menikmatinya. Mereka mempunyai satu tujuan. Tumbal bagi tuan mereka. Akan selalu ada wabah dan kematian setiap pementasan itu diadakan. Hanya mereka yang memasrahkan nyawanya pada Sang Penciptalah yang mungkin selamat… Mbah Tanggir melakukan ritual di pinggir hutan, memisahkan pementasan itu dengan batas pemakaman kuno agar dampak dari pementasan itu tidak sampai ke desa. Namun ia harus berhadapan dengan kutukan berbagai lelembut yang membuatnya tak mampu bertahan. Hanya mereka yang memiliki keturunan asli warga desa itulah yang dapat sampai ke gua terlarang itu. Kelak mereka yang akan membawa orang-orang yang mampu menghentikan pementasan terkutuk itu untuk selamanya. Pementasan yang mereka sebut dengan nama, Darang ‘Wayang Lemah Mayit’… ***

(Sudut pandang Danan..) Darang… Aku tidak pernah mendengar nama pementasan seperti ini sebelumnya. Tapi dari cerita Murti dan Marni, pementasan ini adalah sesuatu yang terlarang yang tidak seharusnya dipentaskan di alam manusia. “Seratus tahun yang lalu ada seseorang yang mencoba menghentikan pementasan Darang. Ia mati dengan cara yang paling keji… Khekhekhe. Kalian juga akan bernasib sama..” tawa Ki Tunjung. Belum sempat kami melakukan serangan balik. Suara gong menggema begitu keras dan memekakan telinga kami. Menyambut suara gong itu tiba-tiba panggung batu itu kembali diisi oleh mayat-mayat yang mengenakan kebaya dan pakaian kain lusuh. Mereka melakukan gerakan-gerakan mengerikan mengikuti irama gending. “..sing mati nduwe hajaten dewe. ngrayakake mati, ngrayakake peteng ...” Suara tembang dengan nada yang membuat kami merinding terdengar bersahutan dengan gending yang mengiringinya. Saat itu mataku terpukau… Aku, Cahyo, Murti dan Marni tak mampu memalingkan pandangan kami dari pementasan yang mengerikan, namun memiliki ketertarikan yang terasa terlarang. Semakin aku mengikutinya, semakin aku terserap dalam pesta mayat-mayat ini. Tanpa sadar, darah menetes dari mataku, cahyo, dan yang lain. Aku ingin memalingkan wajah dari panggung terkutuk itu, namun itu semua begitu sulit.


Tubuhku terasa semakin dingin, aku takut.. aku benar-benar takut. Dalam hati aku ingin terus berdoa, namun apa yang ditampilkan di panggung itu membuatku tak bisa memikirkan hal lain dengan benar. … “Tutup semua inderamu…” Samar-samar terdengar suara yang berbisik di sekitarku. “Suara, penglihatan, sentuhan.. tutup semua yang menuntunmu kepada hawa nafsu..” Suara itu terdengar tenang seolah ingin menuntunku. “Doa dan mantra hanya sarana untuk menyampaikan maksud hati dan pikiran kita kepada Sang Pencipta. Di tingkat yang lebih dalam, suara pun akan terdengar tanpa kau ucapkan. Kegelapan dan cahaya pun akan terlihat tanpa membuka mata..” Aku mulai memahami maksud suara itu. Kami tak mampu berpaling dari pementasan itu karena Ki Tunjung dan wayang mayatnya memainkan permainan yang memuaskan nafsu setiap indra manusia dengan cara yang tak bisa dibayangkan oleh manusia. Saat itu aku teringat bagaimana bapak melatihku untuk tidak mengandalkan penglihatanku. Ia pun mengajarkanku melepas ketergantunganku pada tubuh manusia untuk bisa mencapai keikhlasan yang menuntun setiap doaku. Mungkin itulah yang dimaksud oleh suara itu. Aku pun memaksa menutup mataku yang berkubang darah. Sisa pikiranku kuarahkan ke kegelapan pekat yang membimbing ke dalam ketenangan. Suara gending dan pementasan itu perlahan mulai meredup dan hilang, hawa dingin dan rasa sakit pun mulai tak lagi kurasakan. Hanya gelap dan hingga semua perasaanku pun mulai lenyap. Ini tenang.. namun sekaligus mengerikan.. “Bagus… sekarang wujudkan doamu tanpa kata, sampaikan hasratmu dengan hati..” Saat itu yang aku merasa semua doa-doa yang ingin kuucapkan terbentuk menjadi sebuah rasa. Hasratku saat itu adalah keselamatan Cahyo,Murti,dan Murni. Dan saat itulah aku merasakan ada cahaya dan kehangatan di tempat seharusnya mereka berada. “Kuasailah.. amalan ini mungkin yang bisa menyelamatkan kalian nanti..” Suara itu mulai meredup. Saat itu aku memutuskan untuk membuka mata dan melihat Cahyo, Murti, dan Marni yang tak terpengaruh lagi dengan pementasan itu. Mereka sedang berusaha menguasai kesadaran nya sendiri. “Danan, apa yang kau lakukan?” Tanya Cahyo. “Suara kakek itu yang membimbingku..” Aku menoleh ke berbagai arah mencari asal suara tadi. Saat itu Marni terpaku pada satu arah. “Mas Murti, Kakek itu?” “I—iya, Mas juga ngerasa dekat sama roh kakek itu..” Mereka tak berkata lebih dari itu, sepertinya seandainya kami lolos dari pementasan mengerikan ini, aku harus mempertanyakan hal itu pada mereka. Aku harus berterima kasih. “Nan, kamu bisa mengalihkan setan-setan ini? Sepertinya aku harus menghentikan dia,” Cahyo merujuk ke arah Ki Tunjung yang duduk di kursi dalangnya sambil melakukan pergerakan aneh dan mengalunkan tembang dengan bahasa yang tidak kami mengerti. “Sepertinya bisa..” Aku menatap tanganku dan mengingat ajaran kakek tadi. Seandainya aku bisa mengendalikan inderaku, mungkin serangan yang merepotkan cahyo tadi bisa kutangani. “Kliwon, jaga Murti dan Marni..” Perintah Cahyo. Sepertinya juga sudah mempelajari sesuatu. Ia tidak begitu saja membabi buta di panggung mengerikan itu. Ia melompat ke puncak pohon tertinggi dan mengawasi sekelilingnya. Cahaya bulan purnama saat itu menerangi cahyo, namun yang terbiaskan adalah cahaya wanasura yang merasuk dalam dirinya. Keberadaan Cahyo disadari oleh mayat-mayat hidup yang mengepungnya tadi. Mereka mengincar Cahyo, namun kali ini aku melemparkan keris ragasukma dan membuatnya melayang menembus jantung mereka satu-persatu. “Kalian dikutuk…” Mayat-mayat itu kembali bangkit. Sekali lagi suara melengking, bau menyengat, dan rasa sakit yang aneh mulai kurasakan. Aku menoleh ke arah cahyo, sepertinya menjauh ke atas pohon adalah caranya untuk tidak terpengaruh oleh kutukan mayat-mayat ini. Aku percaya ia akan melakukan sesuatu, terlihat ia sedang memfokuskan dirinya pada sesuatu. “Jika Bara bisa menggunakan wayangnya untuk mewujudkan Jogorawu, maka aku juga bisa mewujudkanmu sesaat dengan bayangan rembulan ini, Wanasura..” Cahyo melibatkan sarungnya di leher sambil menyatukan seluruh kesadaranya dengan wanasura. Seketika biji mata cahyo memerah, kedua taring menyeruak dari giginya, dan bulu putih halus mulai tumbuh. GRAAAOOORRR!!!! Suara wanasura terdengar mengaum dari mulut Cahyo. Aku mulai panik, Cahyo seperti berubah menjadi siluman kera. Dan wujudnya begitu mengerikan, namun ia bergumam dan tetap berada di atas pohon itu. KRAKKKK!!! Panggung batu itu tiba-tiba hancur. Aku menoleh dan sosok bayangan hitam berwujud wanasura berdiri bagai raksasa yang ingin melumat pertunjukan itu. “BRENGSEK!! Bagaimana makhluk sakral ini bisa ada di sini?! Ternyata kalian bukan manusia biasa!” Ki tunjung merasa menyesal meremehkan kami. Bayangan wanasura itu mengamuk, ia menumbangkan pepohonan untuk menghalangi pementasan yang akan diulang itu. Namun Ki Tunjung tidak diam. Dok dok.. dok dok dok… Ia memukul dodogan dan menoleh ke arah demit yang sedari tadi hanya menonton pementasan. “Sopo sing arep nonton kudu melu mateni menungso-menungso sing ra diundang…” (siapa yang ingin menonton harus ikut membunuh manusia-manusia yang tidak diundang) Saat itu seketika setan-setan yang berkumpul menyaksikan pementasan Darang itu mengincar kami. Roh-roh yang merasuk ke mayat di panggung merasuk ke tubuh Ki Tunjung dan membuat kekuatan hitam menyelimuti tubuhnya. Tubuhnya membesar dengan kulit-kulitnya yang robek. Matanya tak lagi terlihat seperti mata manusia. Aku hampir panik dengan situasi ini, namun sekelebat ada selendang yang melayang di antara setan-setan itu. Ada sedikit bau yang kukenal dari benda itu. Sebelum setan-setan itu sempat menyerang kami, aku membuka sebuah botol kecil yang pernah diberikan Gama padaku. Bau itu adalah bau yang sama dengan wewangian yang diwariskan Ki Langsamana pada Gama. Bau itu menyebar ke sekitar kami dan membuat roh-roh di sekitar kami mulai tenang. “Bau sang ulama…” Gumam Marni. Aku menoleh ke arah Marni. Seperti yang kuduga. Sosok ulama yang pernah meruwat desa ini adalah Ki Langsamana. Tak kusangka, walau hidup di zaman yang berbeda ia tetap menolong kami. “Bau ini! Harusnya ulama keparat itu sudah menghilang! Sudah Mati!!” Umpat Ki Tunjung. “Mati? Kalian lah yang sudah mati. Walau tubuh kalian bisa bangkit berkali-kali, tak ada sesuatu pun yang hidup dari kalian. Berbeda dengan Ki Langsamana, walaupun jasadnya sudah tiada. Amal, ilmu, kebaikan, dan peninggalanya masih membuatnya terus hidup..” Teriak Cahyo. Saat itu dua kekuatan besar beradu di panggung yang mulai runtuh itu. Wanasura dan Ki Tunjung yang dirasuki roh mayat-mayat itu mengamuk. Brakk!!! Brakk!!!

Saat sudah memastikan roh-roh dan setan di sekitar desa ini mulai tenang dan menghilang perlahan, aku memilih untuk melindungi Marni dan Murti. Kini hanya kekuatan besar itu yang bertarung. Bayangan wanasura dan Ki tunjung. “Sudah selesai…” ucapku menenangkan Marni dan Murti. “Ta—tapi Ki Tunjung masih begitu mengerikan,” Ucap Murti. “Ketika wujud Wanasura sudah muncul di alam ini, mau ratusan makhluk merasuki Ki Tunjung pun Wanasura tidak akan kalah..” Bukan tanpa alasan. Yang mengerikan dari Ki Tunjung adalah caranya mementaskan Darang yang begitu mematikan. Tapi dalam pertarungan, aku lebih percaya dengan kemampuan Cahyo dan Wanasura. Bayangan Wanasura mengantam tubuh Ki Tunjung. Ia tidak menyerang fisiknya, Sebaliknya ia menarik satu persatu roh yang merasuki Ki Tunjung dan menghabisinya dengan buas. Ia menggigit roh itu, membantingnya, Melumatnya hingga tubuh Ki Tunjung berangsur-angsur kembali ke wujud aslinya. Kala itu wajah ki tunjung terlihat pucat. Ia panik dan mulai menjaga jarak dari Wanasura. Cahyo yang menyadari maksud Ki Tunjung bergegas memerintahkan wanasura untuk menghabisi dalang terkutuk itu. “SIAL!!” Ki Tunjung yang kehabisan tenaganya terseok-seok di tanah. Ia berusaha sekuat tenaga berlari ke kabut hitam yang dibuatnya. Namun Cahyo tak berniat melepaskannya. “GROAAARRR!!! Belum sempat Wanasura menangkap tubuh lemah itu, tiba-tiba Bayangan Wanasura itu menyusut. Ki Tunjung menoleh dan tak mengerti apa yang terjadi. Ia terus berlari hingga kabut hitam yang menutupi hutan itu kini menelan dirinya. Aku melihat ke arah cahyo, dan darah merah menetes dari sisi bibirnya. “CAHYO! Sudah cukup!!” Teriakku yang segera berlari ke arah pohon yang dinaiki cahyo. Benar saja, saat bayangan Wanasura menghilang. Cahyo terjatuh lemah dari pohon itu. Aku bergegas menangkap tubuh itu dan membaringkanya ke posisi yang nyaman. “Mas Danan? Mas Cahyo nggak papa?” Tanya Marni. Aku memeriksa tubuh cahyo sejenak dan memastikan nafasnya masih ada dan jantungnya masih berdetak. “Nggak papa, dia terlalu nekad hingga kelelahan..” ucapku yang kulanjutkan dengan membaca doa pada sebotol air yang kubawa dan meminumkanya pada Cahyo. Cahyo tidak segera sadar, tapi aku tahu dia akan baik-baik saja. Aku pun menoleh ke arah sekitar dan sebagian roh yang terjebak di pementasan tadi masih berkeliaran di hutan itu. “Itu bau sang ulama…” “Panggil dia, tenangkan kami…” “Seandainya ia terus berada di sini…” Suara-suara itu terdengar dari roh-roh gentayangan di sekitar kami. “Apa kalian bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada desa ini di masa lalu?” Tanyaku. Saat itu salah satu roh muncul dari kegelapan hutan. Seorang kakek yang berjalan dengan matanya yang sayu. “Tanyakan pada cucu-cucuku itu. Keluargaku selalu menceritakan kisah-kisah tentang desa ini turun temurun. Mengenai ritual terlarang di pemakaman kuno, sang ulama, Pementasan wayang, hingga keberadaan pertunjukan terkutuk ini.. Darang. Kami berjanji menjaga kisah ini untuk diturunkan hingga anak cucu kami..” Aku mengenal suara itu. Ia adalah sosok yang berbisik padaku tadi. “Mbah? Mbah Tanggir kan? Jadi Mbah Tanggir benar leluhur kami?” Tanya Murti. Sosok roh kakek itu mengangguk. “Mbah, bagaimana sosok seperti Mbah masih bergentayangan dan belum tenang? Apa yang terjadi?” Tanyaku. “Hahaha.. aku masih belum tenang sampai pementasan terkutuk ini musnah. Aku melihat kengerian yang kalian lihat. Aku bisa bertahan hingga kembali ke desa, namun sudah banyak nyawa yang melayang pada saat itu. Kegagalanku membuatku mati dengan tidak tenang. Aku akan pergi ketika memastikan tidak ada lagi pementasan terkutuk ini,” jelasnya. “Berarti sekarang Mbah sudah bisa tenang, kan?” Tanya Murti. Arwa Mbah Tanggir menggeleng. “Awalnya Mbah kira, iya.. tapi saat mengetahui keberadaan pementasan yang lebih mengerikan. Pagelaran sewu lelembut, Mbah tidak mungkin tenang… Mbah baru akan tenang saat desa ini tak lagi menjadi sarang setan-setan mencari tumbal. Perjuangan Sang Ulama, dan Dalang pendakwah itu tak boleh sampai putus..” Mendengar ucapan itu aku pun tidak bisa memaksa apapun. Namun jika ucapan Mbah Tanggir benar, maka seharusnya ia akan tenang ketika kami berhasil menghentikan Raden Girisangkur. “Pergilah.. Penduduk desa berada di hilir sungai. Mereka membangun tempat sementara untuk mengamankan diri dari makhluk-makhluk itu. Temui mereka, dan apa yang ada di sana mungkin bisa memberi petunjuk pada kalian untuk menghadapi Raden Girisangkur,” Perintah Mbah Tanggir. Aku mengangguk, Marni dan Murti pun setuju. Sepertinya ia sudah tidak sabar untuk mengetahui keberadaan orang tua mereka. Sosok itu menghilang, namun aku masih menyempatkan waktu untuk membacakan ayat-ayat suci bersama Marni dan Murti untuk menghantarkan roh-roh warga desa yang terjebak dalam kutukan pementasan Darang yang pernah terjadi di desa ini. Satu-persatu roh-roh itu menghilang. Saat merasa keadaan mulai tenang, aku pun menggendong tubuh cahyo dan melanjutkan perjalanan ke Hilir sungai. Tempat dimana seharusnya warga desa mengungsi untuk menyelamatkan diri. Masih mengganjal di pikiranku mengenai ilmu yang Cahyo gunakan barusan. Apa ia mempelajarinya dari semesta Bara? Atau pengaruh bulan purnama yang membuatnya mampu menciptakan bayangan wanasura sebesar itu? Semoga saja Cahyo tidak perlu melakukan ilmu seperti itu lagi. ***

Suara air yang mengalir dan hangatnya matahari pagi membuatku tersadar dari istirahat singkat di sisi sungai. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menunggu pagi untuk melanjutkan perjalanan. Menurut Murti, butuh beberapa jam jalan menanjak untuk sampai ke hilir sungai. “Kowe rapopo to, Nan?”(Kamu nggak papa kan, Nan?) Cahyo sudah terbangun lebih dulu dan duduk di dekatku sambil memakan pisang bersama Kliwon. “Ndak Kebalik? Kamu lho yang nekad manggil wanasura pakai cara begitu sampai pingsan,” Ucapku yang merebut botol air dari Cahyo dan meminumnya. “Nggak, Nan. Yang terjadi sama aku nggak seberapa. Waktu ada cahaya yang menyelimutiku, Marni, dan Murti. Aku langsung tahu bahwa itu ulahmu. Tapi cahaya itu nggak ada di tubuhmu. Saat itu kamu seperti mati..” Jelas Cahyo. Menurut Cahyo ia melihat warna kulitku memucat, bibirku menghitam, dan ia tak merasakan aura kehidupan pada tubuhku. “Itu jauh berbeda dibanding saat kamu meraga sukma meninggalkan tubuhmu,” Tambahnya. “Kamu bercanda, Jul. Nggak begitu kok,” Balasku ingin menjelaskan apa yang terjadi. “Be—bener, Mas. Aku juga ngeliat sendiri. Aku sempat mengira Mas Danan sudah meninggal. Tak terasa apapun dari mas danan,” Ucap Murti. Aku menghela nafas. Sepertinya aku harus menjelaskan semua agar mereka tidak khawatir. “Saat itu aku sedang melepas semua panca Indraku, Jul. Fase dimana hal duniawi tak menyentuh batin, dan doa bisa tersampaikan tanpa kata. Itulah caraku memohon perlindungan pada Tuhan untuk melindungi kalian,” Jelasku. “Aku mulai mengerti setelahnya, Nan. Tapi tetap saja, harusnya kamu sadar. Titik terdekat antara manusia dan Tuhan itu apa?” Aku merenungkan sejenak apa yang dipertanyakan oleh Cahyo. Doa adalah cara kita semakin dekat dengan Sang Pencipta. Namun aku yakin Cahyo punya maksud lain. “Kematian, Nan! Kamu ada di titik dimana doa tersampaikan tanpa kata. Seluruh Indra di tubuhmu tak lagi mengganggu keintimanmu. Sedikit saja kamu melakukan kesalahan, kamu nggak lagi ada di sini, Nan.” Aku terkejut mendengar penjelasan Cahyo. Apa separah itu keadaanku saat itu.

“Itu bukan ilmu ataupun Ajian. Itu adalah amalan sakral dari puncak spiritual manusia. Aku yakin, kita belum pantas berada di titik itu…” Tambah Cahyo. Aku setuju dengan ucapan Cahyo. Saat mengetahui keadaanku saat itu dari Cahyo, aku merasa titik yang ku capai saat itu adalah sesuatu yang tak bisa kulakukan seenaknya. Itu bukan mantra leluhur sambara, bukan juga ajian yang diturunkan bapak. Itu adalah amalan yang membawaku pada titik dimana tubuh ini melepaskan pengaruhnya demi membawaku ke titik terdekat yang bisa dicapai manusia kepada penciptanya.. “Ya sudah, kita simpan apa yang kita lakukan di tempat itu tadi hanya untuk pertempuran hidup dan mati,” ucapku. “Setuju.. semoga waktu seperti itu tidak akan pernah muncul,” Balas Cahyo. Saat matahari mulai menerangi hutan dengan sempurna, kami pun memulai perjalanan lagi. Hutan di pinggir sungai tidak sekelam hutan di sekitar pemakaman kuno dan gua keramat itu. Kami masih melihat beberapa hewan hutan dan menemukan buah dan biji-bijian sepanjang perjalanan. … Setelah hampir seharian berjalan, kami melihat asap yang mengepul di salah satu sudut hutan. Kami menebak ada yang membuat api unggun atau membakar sesuatu di sana. itu adalah arah hilir sungai. Kami mempercepat langkah kami untuk mencapai arah itu, dan mulai mendengar suara-suara dari arah sana. “Marni? Murti…” Tiba-tiba Seorang pria yang tengah mencari kayu bakar menyadari kedatangan kami. “Alhamdulillah. Kalian kembali? Kalian selamat?” “Mas Gagat?” Murti menyadari sosok yang menyapa mereka. Ia pun berlari menghampiri orang itu dan memastikannya. “Mas? Yang lain di mana? Bapak dan ibu kami di mana?” Tanya Murti dan Marni yang merasa mendapat harapan. “Ayo.. ikuti Mas,” ucapnya. Pria bernama Mas Gagat itu memperkenalkan dirinya sebagai tetangga desa Marni dan Murti. Ia pun menunjukkan jalan kepada kami semua menuju ke tempat warga desa berlindung. “Terima kasih sudah mengantar mereka kembali ke sini. Kami sudah lama bersembunyi di hulu sungai agar tak ada lagi warga desa yang menjadi korban Raden Girisangkur..” Jelas Mas Gagat. “Iya, Mas. Kami mengerti. Tapi bagaimana Raden Girisangkur dan setan-setan pengikutnya bisa tidak menemukan kalian? Seharusnya menemukan kalian bukan perkara sulit untuk mereka,” Tanyaku. “Nanti, saat kalian sampai di desa mungkin kalian akan mengerti..” Jelas Mas Gagat. Aku mengangguk menerima jawaban mas Gagat. Tidak baik untuk seorang pendatang sepertiku bertanya terlalu banyak di awal. Di samping itu, aku lebih suka menikmati raut wajah Marni dan Murti yang seketika kembali menunjukkan senyumnya saat bertemu dengan tetangga desanya itu. Menembus padang ilalang, kami ditunjukkan sebuah pemukiman sederhana yang hanya dibangun dengan kayu-kayu dan jerami. Sebuah api unggun besar terus menyala di tengah-tengah yang mungkin berguna untuk mengusir hewan hutan. “Pak Kades, Marni dan Murti pulang!!!” Mas Gagat berteriak memanggil warga desa yang tengah mengisi kesibukan harinya masing-masing. Teriakan itu seketika menarik perhatian mereka pada kami. Wajah haru terlihat pada Murti dan Marni. Ia tak bisa menahan air matanya saat melihat semua orang-orang yang ia kenal kini berada di dekatnya. Dan di ujung kumpulan itu, sudah menunggu sepasang suami istri yang terlihat sudah cukup berumur. Mereka menitikkan air mata saat melihat kedua anak itu. “Nduk? Le… Syukurlah kalian selamat? Ibu khawatir…” Seketika semua mata tertuju pada Murti dan Marni yang tak bisa menahan diri untuk memeluk ibunya itu. Terlihat ada seorang pria yang berlagak kuat menahan air matanya menyambut kedua anaknya kembali ke sisi mereka. “Ndak, bu.. Ndak usah khawatir. Kami baik-baik saja selama perjalanan. Banyak orang yang membantu kami,” ucap Marni.

“Iya.. orang-orang di kota baik-baik. Kami makan kenyang, tidur nyenyak, dan disambut dengan ramah..” Tambah Murti. Aku menghela nafas mendengar bagaimana kedua anak itu menenangkan ibunya. Dalam hati aku ingin berkata. Bukan hal seperti itu yang mereka alami.. Kedua anak itu sudah merasakan berbagai penderitaan yang seharusnya tidak mereka rasakan. Diusir oleh warga desa yang takut karena kutukan yang mereka bawa, tidur beralaskan tanah, kelaparan selama berhari-hari, hingga harus mempertaruhkan nyawanya. Mereka melalui itu semua bu… Ingin sekali aku menceritakan perjuangan kedua anak itu kepada orang tuanya, namun sepertinya hal itu tidak akan merubah apapun dan hanya akan menambah kekhawatiran kedua orang tuanya. Mas Gagat pun mengajak kami bertemu dengan seseorang yang dipercaya menjadi kepala desa. Pak Hangkuh namanya. Ia menyambut kami setelah mengetahui bahwa kamilah yang mengantar Murti dan Marni untuk kembali. Di ruang terbuka itu, Murti dan Marni menceritakan semua hal yang terjadi selama perjalanan. Mulai dari kejadian saat mereka dikejar setan kepala, pertolongan penunggu sendang, hingga sampai di desa Ranubaya dan bertemu kami. “Seperti cerita bapak tentang desa kita jaman dulu. Ada dalang hebat bernama Ki Bayu Harjo yang melindungi desa dari bencana gaib. Warga desanya juga sangat baik..” cerita Marni.

“Mereka enggan menyerahkan kami ke setan-setan yang mengikuti kami dari sini. Padahal nyawa mereka terancam..” Tambah Murti. Kilas balik tentang kejadian di desa Ranubaya terlintas lagi di ingatanku. Aku pun teringat akan Arsa. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apa ia sudah mendapatkan petunjuk lain mengenai wayang pusaka peninggalan ayahnya itu. Saat senja datang, aku mendengar suara adzan berkumandang dari sebuah bangunan sederhana yang mereka manfaatkan sebagai mushola. Suara itu dikumandangkan oleh seseorang tanpa pengeras suara, namun suara itu mampu menjangkau ke seluruh pemukiman kecil ini. “Apa hanya segini yang selamat, Pak?” Tanya Murti. Ayah murti dan Pak Hangkuh saling bertatapan. Mereka seperti tidak sanggup menceritakan hal yang membuat raut wajah mereka meredup. “Saat ini kita Cuma bisa pasrah, Le. Setelah satu persatu warga desa dirasuki dan menjadi tumbal. Kami menemukan cara untuk bersembunyi di tempat ini. Sayangnya tempat persembunyian ini pun tidak bisa menolong kita dari kutukan darah desa tumbal. Tepat pada hari keseratus Pagelaran sewu lelembut akan diadakan, dan kita semua akan menyusul teman-teman kita yang telah pergi lebih dulu…” Aku melihat cahyo mengepalkan tangannya menahan emosinya. Aku masih tidak percaya bahwa ikatan darah bisa membawa kutukan hingga seperti ini. “Mas Danan dan Cahyo sudah menghancurkan pementasan Darang di gua keramat. Kita pasti bisa selamat…” Marni mencoba menceritakan apa yang terjadi semalam. “A—apa itu benar?” Tanya Pak Hangkuh. Kami berdua mengangguk. “Syukurlah, mungkin kita bisa kembali lagi ke desa setelah ini..” ucap Ayah Murti. “Sayangnya, Pementasan Darang hanya sarana mereka untuk mencari tumbal. Tapi pagelaran terkutuk yang sebenarnya baru akan terjadi di hari ke seratus. Di purnama berikutnya,” Lanjut Pak Hangkuh. Aku mulai mengerti setelah mendengar semua cerita dari Pak Hangkuh. Ternyata walaupun sudah meninggalkan kepercayaan dan ritual terlarang warga desa ini masih dikutuk oleh sesuatu yang tidak pernah mereka sangka. Leluhur mereka pernah melakukan perjanjian yang mereka sendiri tidak mengerti, dimana seluruh keturunan yang mewarisi darah leluhur desa ini akan menjadi persembahan untuk Ritual keramat di Pagelaran sewu lelembut. Saat waktunya tiba, bukan setan-setan pengikut Raden Girisangkur yang akan menjemput kami, melainkan darah kami sendiri kami yang akan menyerahkan kami sebagai persembahan. “Jangan khawatir, kami akan menghentikan pagelaran itu. Kedatangan kami mengantar mereka Marni dan Murti adalah demi mendapat petunjuk untuk menghentikan pagelaran itu, Pak..” Jelasku. “Benar, Bu.. Mas Danan, Cahyo dan teman-temanya sudah menemukan tempat pementasan itu. Mereka pasti bisa menyelamatkan kita,” Marni mencoba memberi harapan pada warga desa.

Saat langit semakin gelap, tiba-tiba cahyo meninggalkan tempatnya duduk dan memandang ke sekitar. Ia menyadari akan datangnya sesuatu yang mengelilingi tempat ini. “Kabut?” Gumam Cahyo. “Benar, Mas. Kabut inilah yang melindungi kami dari setan-setan pengikut Raden Girisangkur itu..” Jelas Mas Gagat. Aku mencoba menerima penjelasan dari Mas Gagat itu, tapi di saat yang bersamaan aku merasakan hal yang janggal. Sepertinya hal itu dirasakan juga oleh Cahyo. “Ini bukan kejadian alam. Ada sosok yang mengendalikan kabut ini,” Ucap Cahyo cemas. “Yang bener, Mas?” Ucap Murti. Aku bingung untuk menjelaskan kepada mereka. Warga desa menganggap kabut ini melindungi mereka, namun ada kekuatan mengerikan yang terikat dengan kabut ini. “Mereka aman sampai purnama berikutnya. Sang penguasa kabut ini ingin bertemu dengan kalian..” Suara bisikan itu terdengar lagi. Itu suara Mbah Tanggir. Aku menoleh ke salah satu sisi dan melihat Mbah Tanggir sudah menanti di ujung hutan. Aku memberi isyarat pada Cahyo dan sepertinya ia bisa mengerti maksudku. “Maaf, sepertinya kami sudah mendapat petunjuk atas kedatangan kami. Ada yang harus kami lakukan,” Ucapku mencoba untuk pamit dari perbincangan yang seharusnya menjadi panjang itu. “Mas Danan mau kemana?” Tanya Marni. Aku mengelus kepala marni agar ia tidak khawatir. “Mbah Tanggir ngajak Mas Danan dan Mas Cahyo jalan-jalan. Katanya kalian akan aman di sini, tenang saja,” Ucapku. “Iya, setelah ini habiskanlah waktu kalian sebaik mungkin bersama ibu dan bapak. Jangan khawatir dengan kutukan seratus hari itu. Kami nggak akan ngebiarin itu terjadi,” Tambah Cahyo. Masih terlihat wajah bingung di muka Pak Hangkuh dan yang lain, namun kami menjelaskan ada lelaku yang harus kami lakukan di hutan yang akan ditunjukan oleh Mbah Tanggir. Murti dan Marni membantu kami menjelaskan hingga mereka pun mulai memahami. Kami pun pamit dan berlari kecil ke arah Mbah Tanggir. Dalam wujud rohnya ia melayang ke arah kabut yang semakin pekat. “Tak kusangka mereka mengenali kalian?” Ucap Mbah Tanggir. “Mereka itu siapa, Mbah? Apa hubunganya dengan kami?” Tanyaku. “Haha bagaimana menjalankannya, ya. Saya sendiri juga bingung. Tapi mereka merasa senang saat mengetahui kedatangan kalian. Mereka adalah sahabat dari orang yang sangat kalian kenal. Bisma Sambara…”

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close