PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 4) - Pementasan Mayat
“Kalau tujuanmu untuk menjaga hutan ini, aku tidak keberatan.
Tapi kalau tujuanmu hanya untuk mati disana, lebih baik kupatahkan kakimu disini!”
Part 4 - Pementasan Mayat
(Sudut pandang Danan...)
“Kalau tujuanmu untuk menjaga hutan ini, aku tidak keberatan.
Tapi kalau tujuanmu hanya untuk mati disana, lebih baik kupatahkan kakimu disini, Mamang Gondrong!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Minggir!” Ancam Budi tetap dengan keras kepalanya.
Berbeda dengan reaksiku kemarin, Cahyo justru berbaring di tanah mengacuhkan ancaman Budi. Ia memangkukan kepalanya dengan tanganya. Saat itu Kliwon melimpat ke arahnya dan ikut bersandar di tubuh Cahyo.
“Hoahmm! Kliwon sudah cerita, apa yang ada di dalam sana nggak bisa kamu lawan seorang diri, Mang..
Ijinkan kami ikut masuk, atau kamu juga nggak boleh masuk,” Ucap Cahyo.
“Leuweung Sasar bukan tempat yang bisa kalian masuk dan keluar dengan sembarangan!” Budi memperingatkan. Namun Cahyo tidak peduli. Ia Malah menguap sambil bercanda dengan kliwon.
Budi mencoba untuk mengacuhkan Cahyo dan berlari menuju hutan, namun baru melangkah beberapa langkah melewati Cahyo, Budi sudah tertangkap lagi oleh Cahyo dan terlempar kembali ketempatnya.
“Sudah aku bilang. Masuk semua, atau nggak usah semua,” Ucap Cahyo.
Aku sedikit menahan tawa melihat cara Cahyo menangani Budi. Gama pun mungkin tak menyangka ada yang memperlakukan Budi seperti itu. Namun sepertinya, Budi belum menyerah. Ia mengambil belati andalanya, dan memutuskan untuk menghadapi Cahyo.
Namun belum sempat Budi menghunuskan belati itu, Cahyo sudah melesat dengan cepat menangkap tangan Budi dan menatapnya dengan tajam.
“Aku mengerti perasaanmu, Mang. Aku pun tahu rasanya ketika semua orang yang kusayangi di desa mati tak bersisa karena ulah setan-setan biadab!
Aku pun mengerti bagaimana perasaanmu yang tidak ingin membahayakan Gama dan orang berharga bagimu di hutan itu.
Tapi aku juga sadar. Pada akhirnya kita nggak akan bisa melindungi siapapun kalau sendirian!”
Aku tak lagi menertawakan tingkah laku Cahyo. Dari raut wajah Budi, aku yakin ucapan itu sampai ke dalam dirinya. Raut wajahnya berubah, tangan nya yang memegang belati mulai ragu. Kalau bukan seorang Cahyo yang berbicara, tidak mungkin perkataan itu berhasil menyentuh Budi. Saat itu jugalah Gama mulai melangkah.
“Kamu sudah mengerti kan, Bud? Kalau sudah tidak ada masalah apa kita bisa masuk sekarang?” Tanya Gama.
Budi menghela nafasnya dan menyarungkan belatinya. “Ya.”
Budi pun berjalan kembali di sisi Gama sedangkan aku dan Cahyo mengikutinya dari belakang. Saat itu aku mengepalkan tanganku dan memukul ringan ke bahu Cahyo.
“Keren,” Pujiku.
Cahyo nyengir tertawa membanggakan dirinya. Kliwon pun ikut memuji cara Cahyo itu. Tapi bila aku ingat kembali, di balik tawa itu ada ingatan buruk yang ia kulik kembali tentang masa lalunya.
***
TABIR LEUWEUNG SASAR
Kalau ada hutan lain yang semengerikan Alas Wetan, mungkin adalah Leuweung Sasar ini. Jika Alas Wetan menyimpan misteri masa lalu dan penghubung ke alam lain, Leuweung sasar adalah hutan yang menyimpan berbagai sisi gelap manusia dan makhluk yang bersekutu.
Berbeda dengan terakhir kami masuk ke hutan ini. Saat itu aku masih bisa melihat beberapa hewan liar seperti kera, burung, dan hewan-hewan kecil. Tapi kali ini tidak. Kalaupun ada, mereka sedang berjalan menjauh meninggalkan hutan ini. Sepertinya hewan-hewan pun merasakan bahaya yang akan datang.
Saat memasuki hutan ini, lebatnya pepohonan kadang membuat keadaan siang hari pun terasa seperti malam. Banyak bagian hutan yang tidak tertembus cahaya matahari.
“Dong….”
Samar-samar terdengar suara gong menggema dari dalam hutan. Aku dan Cahyo saling menoleh memastikan tentang suara itu.
“Nggak salah, lagi..” ucapku.
“Apa, Nan?”
Aku mendengar suara gending gamelan yang sayup-sayup terbawa angin tepat setelah suara gong itu berbunyi.
“Ini suara yang kudengar saat melawan setan penari bertopeng itu. Ini Gending Leuweung Sasar,” Jelasku.
Gama dan Budi menajamkan telinganya, dan mereka sepakat bahwa mendengar suara yang kumaksud.
“Gending kutukan? Seperti Gending Alas Mayit?” Tanya Cahyo.
“Bukan, Jul. Lebih seperti gending pemanggil. Sepertinya irama itu adalah undangan untuk sosok-sosok gelap sekutu mereka,” Jelasku.
Budi mendekat ke arah pohon dan menaikinya. Kliwon pun menyusul dan mulai mencari asal suara itu.
“Di sana!” Budi menunjuk.
Kliwon turun lebih dulu dari Budi seolah ingin menunjukkan jalan ke tempat itu.
“Jangan gegabah. Sebelumnya aku melihat cahaya merah yang melubangi tabir leuweung sasar,” Peringat Budi.
Kami mengangguk mengerti. Tak ada satupun dari kami yang ingin mati konyol di hutan ini.
Kliwon membimbing kami ke sebuah tebing kecil. Dari sana kami bisa melihat dengan samar-samar sesuatu jauh dibalik pepohonan lebat leuweung sasar.
“I—itu?” Gama terlihat bingung.
Ada api unggun yang besar, ada manusia atau apa yang tak dapat kami lihat dengan jelas dari balik pepohonan di depan kami. Mereka seperti berpesta, namun dengan iringan gamelan dengan irama yang kelam.
“Apa yang mereka lakukan?” Tanyaku.
Budi sepertinya sudah gatal ingin menyambangi mereka, namun Gama menahannya.
“Itu.. Itu ritual, Nan. Persis ritual yang pernah kulihat di desa terpencil di semesta Bara,” Ucap Cahyo.
“Maksudmu apa, Jul? Jelasin yang bener..”
Aku sempat mendengar dari Candramukti bahwa Cahyo juga berurusan dengan desa tumbal di semesta Bara. Menurut candramukti, Desa itu sama dengan desa Marni dan Murti yang ada di semesta ini. Hanya saja, ada perbedaan nasib diantara dua desa ini.
“Warga desa itu melakukan ritual itu. Mereka memuja dewanya dengan mensyukuri nikmat duniawi. Mereka saling berhubungan badan dengan ebbas di ritual itu, mabuk, hingga memakan mayat yang dihidangkan di sana.
Dan yang mengerikan, ritual itu menjadi tontonan menarik untuk setan-setan di sekitarnya.” Jelas Cahyo.
“Kau bercanda?” Gama tidak percaya, namun ia tidak bisa membantah setelah melihat semua yang ada di depan kami.
Tangan Budi mengepal dengan keras. Aku yakin ia pasti begitu geram saat mengetahui ada yang menodai leuweung sasar sampai sebegitunya, namun Gama masih mencoba menahan Budi.
“Selendang itu?!” Gama menyadari sesuatu.
Aku pun menajamkan mataku dan menyadari ada seorang penari yang mengenakan selendang yang sempat kulihat saat datang ke tempat ini dalam wujud sukma.
“Gam?” Aku memberi isyarat bahwa itulah selendang yang kumaksud.
“Benar, Nan. Selendang itu adalah benda terkutuk,”
Ada perasaan yang tidak nyaman saat kami menatap selendang itu bahkan dari jarak sejauh ini.
“Kita hentikan ritual itu, Gam?” Budi meminta persetujuan Gama.
Gama yang sudah menyadari bahaya dari selendang itupun mengangguk setuju. Kami tak ingin selendang atau apa yang terjadi di ritual itu menjadi masalah besar jika kami biarkan.
Belum sempat kami menuruni tebing, Tiba2 kami dihadang sosok-sosok hitam besar dengan tinggi yang menembus pohon di leuweung sasar. Kekuatan hitam memancar dari wujud yang tak berbentuk yang membuatku seketika bergidik ngeri.
“Mundur!” Cahyo memberi isyarat sambil berbisik.
Sepertinya makhluk itu belum menyadari keberadaan kami.
“Jangan buang-buang waktu! Kita hadapi saja, Gam?”
Budi yang termakan rasa khawatirnya memaksa untuk terus menerobos, namun dengan sigap Cahyo menghadang dan membopong tubuh Budi ke arah yang berlawanan.
"Belum saatnya menghadapi mereka, Mang!" ucap Cahyo.
"Kau yang ingin masuk ke hutan ini kan? Kita tuntaskan sekarang!" Bantah Budi sambil berusaha melepaskan diri dari gendongan Cahyo.
Gama yang setuju dengan Cahyo pun kali ini dengan tegas memerintah budi.
"Aku masih butuh kamu untuk hidup, Budi! Jangan gegabah! kita buat rencana yang matang dulu.”
“Tapi, Gam…” Budi menahan kesalnya.
Terlihat bagaimana dia begitu khawatir setelah melihat apa yang terjadi di hutan tempat dirinya lahir ini.
"Benar! Jangan lupa, kali ini kamu tidak lagi sendirian menjaga hutan ini. Kami ada disini juga untuk menjaga kampung halamanmu ini. Aku janji, kita akan tuntaskan ini semua.." Ucapku.
Budi tetaplah Budi. Ia pun mengurungkan niatnya. Entah karena ia patuh pada Gama, atau karena percaya pada kami, namun ia memilih untuk memendam rasa khawatirnya.
Kami pun berpaling meninggalkan makhluk besar dan pemandangan mengerikan itu. Namun Budi berhenti sejenak dan menoleh lagi.
"Abah, Emak! Maaf.. Aku janji akan kembali untuk membersihkan kampung kita dari setan-setan ini" tegas budi.
Cahyo yang menyadari isi hati budi berhenti sejenak dan berpaling.
"Tenang Abah, Emak! Nanti mamang gondrong saya temenin" ucap Cahyo sambil merangkul budi dan mengajaknya kembali.
Sementara itu, aku melihat raut wajah Cahyo berbeda setelah melihat kejadian tadi.
“Kamu nemuin apa, Jul?” Tanyaku.
“Dua makhluk besar itu, Nan. Mereka pasti bukan dari jaman ini. Wanasura memberi isyarat itu. Ini nggak main-main. Bahkan penjaganya saja semengerikan itu,”
Benar ucapan Cahyo. Kedua makhluk itu tidak seperti setan alas biasa. Namun aku tak menyangka kalau mereka semengerikan itu.
“Sepertinya kita harus ke desa Murti dan Marni?” ucapku.
“Siapa mereka, Nan?”
Aku menceritakan pada Cahyo tentang kedua anak yang kami tolong di desa Ranubaya. Mereka berasal dari sebuah desa yang dikutuk dan ia dikejar oleh setan-setan yang menguasai desa itu. Menurut Candramukti itu adalah desa yang sama dengan desa yang Cahyo datangi di semesta Bara.
“Kenapa bisa kebetulan begini ya?” Cahyo terlihat berpikir.
“Pasti sudah rencana Tuhan, Jul. Sekarang tinggal gimana kita menyingkapi hal ini. Masalahnya, dalang dari masalah ini berasal dari sana. Raden Girisangkur,” Jelasku.
Di tengah perbincangan kami berdua, terlihat Gama dan Budi juga membicarakan sesuatu. Sepertinya mereka juga mendapat petunjuk akan hal yang sedang mereka tangani.
“Kita harus kesana, Nan. Lebih baik kita melawan Raden Girisangkur di sana, dibanding di hutan ini,” Ucap Cahyo.
Aku setuju. Kami pun memutuskan untuk mendatangi desa Murti dan Marni yang menjadi pusat dari ritual di hutan ini.
…
“Sepertinya kita harus berpisah, Gam.” Ucapku.
“Sepertinya kalian sudah mendapat petunjuk?” Gama memastikan.
“Ya, tapi mungkin kami akan kembali ke sini. Pastikan kalian jangan masuk ke hutan itu tanpa kami,” Ucapku sambil menatap tajam ke arah Budi. Sepertinya Gama juga mengerti maksud dari ucapanku itu.
Gama dan Budi sepakat. Kami sama-sama mengerti tentang bahaya yang ada di dalam sana dan memutuskan untuk menghentikan pagelaran ini dari akarnya.
***
GAPURA TANPA NAMA
Cukup jauh perjalanan kami melintasi pulau jawa hingga tiba di tempat yang dimaksud oleh Marni dan Murti.
“Gila, seperti baru kemarin aku meninggalkan tempat ini,” Ucap Cahyo.
“Ma—maksud Mas Cahyo?” Tanya Marni tak mengerti.
“Nggak, udah ayo kita lanjutin perjalanannya,”
Cahyo melihat ke sekeliling jalan dan hutan menuju desa itu. Sesekali ia berjalan di depan seolah sudah mengetahui tentang tempat yang akan kami datangi.
“Apa benar-benar sama?” Tanyaku.
“Hampir, Nan. Tapi juga ada yang berbeda. Aku akan tahu saat sampai di desa itu nanti,” Ucap Cahyo.
Kali ini Cahyo memimpin perjalanan kami. Marni dan Murti terlihat cemas karena menurut mereka, sebentar lagi kami akan memasuki wilayah yang dikutuk. Untuk hal itu, aku dan Cahyo juga sudah bersiap.
Sementara kami pergi ke desa ini. Aku meminta tolong pada Arsa untuk melanjutkan perjalanannya bersama Mas Jagad. Selain untuk mencari tahu tentang wayang batara, mungkin saja orang-orang di bidang yang sama dengan Arsa juga sudah menyadari tentang Pagelaran sewu Lelembut dan bisa memberi kami petunjuk.
Sebenarnya aku cemas dengan Arsa yang masih muda dan baru mengenal dunia gaib seperti ini, namun aku benar-benar membutuhkan dia untuk mendapatkan petunjuk. Dan bila ia bisa menemukan jawaban atas wayang wasiat ayahnya itu, aku yakin semua itu akan sangat membantu.
Kami berhenti di sebuah sendang yang sunyi dan dikelilingi pepohonan hutan. Marni dan Murti menghadap ke sendang itu dan menangkupkan tangannya seperti sedang berdoa. Sepertinya ia sedang memberi salam pada sesuatu.
“Di desa yang kudatangi tidak ada sendang ini, nan. Kali ini berbeda,” ucap Cahyo.
“Ya sudah, kita jalani dulu saja. Desa yang kita datangi tidak harus sama, namun kita harus mendapatkan petunjuk mengenai Raden Girisangkur itu,” ucapku.
Marni dan Murti mengajak kami untuk beristirahat sejenak sambil membasuh muka di sendang itu. Aku setuju. Airnya jernih dan begitu segar. Seandainya kami tidak buru-buru, mungkin aku ingin sedikit lebih lama berada di tempat ini.
Dari sendang itu, Murti dan Marni menunjukkan arah menuju sebuah hutan yang berkabut. Walau langit masih terang, aku merasakan bahwa di hutan itu cahaya matahari tidak masuk dengan sempurna.
Baru saja kami hendak memasuki hutan itu, tiba-tiba Cahyo terhenti. Aku menyadari maksud gerak-gerik Cahyo itu.
“Dia dibelakang?” Tanyaku.
Cahyo mengangguk.
“Mengerikan. Kalau ada alasan setan-setan di desa mereka tidak meninggalkan hutan ini, itu pasti karena sosok itu,” ucap Cahyo.
“Benar, semoga saja kita tidak harus berurusan dengannya,”
Aku pun mengajak Cahyo untuk melanjutkan perjalanan. Jauh di belakang kami, kami menyadari ada sesosok makhluk setara danyang penunggu sendang yang mengawasi kami. Keberadaanya saja sudah mampu menekan kami. Jelas dia bukan makhluk biasa.
Kabut tebal menyambut kami saat memasuki hutan. Aku berinisiatif mengikatkan tali pada kami berempat dengan maksud agar kami tidak terpisah di hutan yang sedang dikutuk ini.
Sekelebat demi sekelebat kami melihat sesuatu yang melayang-layang di antara pepohonan. Wajah Marni dan Murti benar-benar pucat saat berada di hutan yang masih menyimpan trauma mereka.
“Kalian kembali… Khikhikhi..”
Terdengar suara berbisik dari sekitar hutan. Kata-kata itu seolah sambutan untuk Marni dan Murti.
“Hanya beberapa manusia tidak akan bisa merubah apapun di desamu…”
“sia-sia…”
“Lebih baik kamu mati saja ya, le…”
Tiba-tiba sesosok kepala melayang sudah ada di hadapan Marni.
“AAAAAAAA!!!!!”
Marni berteriak sekeras-kerasnya mengetahui wajah nenek tua berada tepat di depan matanya. Wajah itu ada pada sebuah kepala yang melayang tanpa tubuh.
“Kuyang?” Tanya Cahyo.
“Bukan, Hanja Sirah..” Balasku.
Sementara Cahyo menarik Marni menjauh, aku menggantikan posisi Marni dan membacakan Amalan api untuk membakar setan itu.
“Panasss!! Panass!!”
Makhluk itu berteriak dan menggeliat kesakitan, namun anehnya makhluk itu tidak segera hangus dan musnah. Ia justru memberontak hingga aku tak mampu mempertahankan seranganku.
“Kalian menentang kami? Bodoh!” Ucap sosok itu mengancam.
Saat itu kami sadar bahwa kami sudah terkepung. Dari balik-balik kabut mulai terlihat berbagai sosok kepala sudah mengincar kami.
“Kalian yang bodoh,” Ucapku kesal. Tak mungkin aku takluk pada makhluk laknat seperti mereka.
Blarrr!!! Blarr!!! Blarr!!!
Satu persatu kepala-kepala itu mulai terbakar dengan doa-doa dan ayat suci yang kubacakan. Setiap mereka mendengar alunan doaku, tubuh mereka akan tersulut api yang terus memurnikan mereka.
Cahaya api yang melayang-layang terlihat mengelilingi kami dari makhluk makhluk yang masih berusaha untuk bertahan itu. Aku mulai mempersiapkan keris ragasukma untuk menyerang mereka jika amalan apiku tidak mempan, namun satu persatu kepala itu mulai hangus terbakar dan terjatuh di tanah.
Hujan kepala pun terjadi di hutan berkabut yang mengerikan itu. Jelas ini bukan pemandangan yang bisa kulupakan.
“Kita jangan lama-lama di hutan ini! Tunjukkan arah ke desamu!” Perintah Cahyo.
Murti mengangguk dan bergegas menunjukkan arah sambil menghindari bangkai kepala yang menghujani jalan-jalan yang kami lewati. Aku tahu, setan-setan ini belumlah masalah utamanya. Sesuatu yang terjadi di desa Murti akan jauh lebih mengerikan dari ini semua.
Tak lama melanjutkan perjalanan, kami pun disambut dengan sebuah gapura desa. Aku berusaha mencari nama desa di hadapan kami, namun aku tak menemukan apapun.
“Bapak pernah cerita, kalau desa kami memang tidak memiliki nama. Leluhur kami tidak ingin keberadaan desa ini diketahui oleh siapapun, mungkin salah satunya karena ritual itu,” Ucap Murti.
Langit sudah memerah, aku memperhatikan sekeliling desa dan tidak melihat keberadaan satupun manusia di desa ini. Saat melihat rumah-rumah yang ditumbuhi ilalang, tanaman menjalar, dan debu yang menumpuk aku menduga rumah-rumah itu sudah tidak ditinggali oleh pemiliknya.
“Mas Murti, warga desa kemana? Bapak dan Ibu?” Wajah Marni terlihat begitu cemas. Murti tidak menjawab, sepertinya ia merasakan kegelisahan yang sama.
Saat itu mereka berdua dengan terburu-buru mengajak kami ke rumah orang tua mereka. Suasana yang sama juga terjadi di sana. Rumah mereka terlihat tak terurus dan tak ada seorangpun di sana.
“Jangan khawatir dulu, akan kita cari keberadaan orang tua kalian dan warga desa,” Ucapku.
Sayangnya hingga larut malam, kami tidak menemukan seorangpun di desa ini. Desa tanpa nama ini seperti desa mati yang tak lagi dihuni oleh manusia.
“Tidak ada mayat di sini, bisa saja mereka mengungsi untuk menyelamatkan diri,” Cahyo terlihat berusaha untuk menenangkan Murti dan Marni.
“Semoga, Mas. Kita cari terus ya,” Ajak Marni.
“Sudah terlalu malam. Sebaiknya kita istirahat dulu. Saat hari sudah mulai terang, kita mulai pencarian lagi,” Ucapku.
Saat itu Murti dan Marni ingin mempersiapkan tempat untuk kami beristirahat di rumahnya, namun gelagat Cahyo terlihat aneh.
“Jangan, kita tidak bisa tinggal di desa ini. Tempat ini tidak aman,” Ucap Cahyo.
“Tahu dari mana, Jul?”
“Lemah mayit. Seluruh tanah di desa ini dikutuk. Ada lebih dari ratusan mayat yang terpendam di bawah desa ini,”
Mendengar ucapan itu aku pun menoleh ke arah Murti dan Marni dan meminta mereka untuk menghentikan aktivitasnya.
“Terus kita harus istirahat di mana? Ada desa lain di dekat sini?”
Cahyo keluar ke jalan sejenak sambil melihat ke beberapa arah.
“Ikutin aku aja,” ucapnya.
Kami pun meninggalkan rumah Murti dan mengikuti kemana Cahyo mengarah. Ia berjalan ke salah satu ujung desa dan memasuki ke arah pemakaman terbengkalai di tengah hutan.
“Mas tahu dari mana tempat ini?” Tanya Murti heran.
Cahyo tidak menjawab dan hanya memberi isyarat agar kami lebih tenang. Ia berjalan dengan lebih berhati-hati saat melewati makam. Tak jauh di tengah makam, kami pun terhenti dengan sosok yang berdiri di sana.
Seorang penari tanpa kepala mengenakan kebaya lusuh berdiri di tengah makam..
Seketika aku pun waspada dan menjaga Murti dan Marni agar tidak mendekat, namun Cahyo terlihat tenang. Ia Justru mendekat ke sosok mengerikan itu.
“Kau seorang diri? Atau kakek pemain gendang itu masih ada bersamamu?” Cahyo berkata seolah-olah sudah mengenali sosok itu. Kali ini aku mempercayakan pada Cahyo tentang makhluk itu. Tapi…
“Jul, setan itu kan nggak punya kepala? Ngejawabnya gimana?” Tanyaku.
“Seharusnya bukan dia yang menjawab,” Ucap Cahyo.
Alih-alih mendapat respon, setan itu justru melayang menyingkir dari hadapan kami. Ia bergerak seolah mengizinkan kami untuk melintasi pemakaman itu.
Cahyo melanjutkan perjalanan, namun ia terlihat masih belum puas dengan apa yang terjadi. Aku pun masih waspada dan menyadari bahwa setan itu tidak meninggalkan pemakaman. Ia memandangi mengawasi kami dari sana.
Tak jauh setelah pemakaman terlihat sebuah gubuk yang sudah tua dan reyot. Cahyo masuk begitu saja dan langsung mengetahui mana saja bagian gubuk itu yang rusak dan harus diperbaiki seadanya.
“Di Semesta Bara, Aku sempat tinggal beberapa bulan di tempat ini. Diantara semua tempat di desa ini, gubuk penjaga makam inilah yang paling aman,” Jelas Cahyo.
Aku melihat ke sekeliling bangunan reyot ini. Aman dari sisi mananya? Bahkan untuk berlindung dari tetesan hujan pun aku ragu.
“Apa kalian masih melakukan ritual pemujaan di pemakaman kuno?” Tanya Cahyo kepada Murti.
“Nggak, Mas. Aku memang pernah mendengar bahwa leluhur kami melakukan ritual yang menyimpang. Tapi semenjak seorang ulama datang menyebarkan ajaran agama dengan bantuan seorang dalang, desa ini sudah meninggalkan ritual itu jauh-jauh.”
Cahyo mengangguk lega. “Setidaknya kali ini kita tidak berseberangan dengan warga desa.”
Malam itu kami memutuskan untuk beristirahat di gubuk sederhana itu. Walau ‘beristirahat’, aku dan Cahyo tidak dapat sepenuhnya terlelap. Kami harus terus waspada dengan apa yang ada di desa ini.
“Tang!!”
Suara gendang yang yang ditabuh tiba-tiba terdengar memecah keheningan malam itu.
“Itu dia!” Cahyo merespon suara itu dengan bergegas pergi keluar gubuk.
Suara itu mulai terdengar membentuk irama. Aku menyusul Cahyo keluar dan mendapati Seorang pemain gendang sedang menari bersama sang penari tanpa kepala yang kami jumpai tadi.
Hanya bermodalkan irama gendang, tarian mereka berdua terlihat begitu luwes dan menarik untuk dipandang. Namun juga mengerikan…
Bagaimana tidak, yang berada di hadapan kami adalah setan kakek tua dan sosok wanita yang menari tanpa kepala.
Aku ingin mempertanyakan tentang sosok itu pada Cahyo, namun tanpa sadar aku dan Cahyo malah duduk dengan santai sambil menikmati tingkah kocak kedua setan yang asik sendiri itu.
Aku bingung menggambarkannya. Kakek itu seperti menari sambil bercanda dengan wanita tanpa kepala itu. Walau tak memiliki kepala, entah mengapa aku bisa merasakan ekspresi wanita itu membalas guyonan sang kakek.
“Aneh ya, Nan?”
“Banget. Ini nih hiburanmu di sana?”
“Bukan, tapi aku tahu kalau mereka bukan bagian dari pembuat kekacauan ini.”
Merasa permainan mereka semakin asik, tiba-tiba Cahyo mendekat dan ikut menari bersama kedua makhluk itu. Aku pun tak mau ketinggalan dan ikut menikmati cahaya bulan purnama sambil menari di tengah-tengah makam hanya dengan iringan gendang sang kakek.
Tak ada penolakan dari kedua makhluk itu. Ia seperti menyambut kami yang menikmati permainanya itu. Entah, kapan terakhir kali kami menari dengan lepas tanpa beban seperti ini. Dan aku tak menyangka, aku akan bisa menikmati menari bersama setan di tengah kuburan seperti ini.
Tak.. dung.. dung.. tang!
Permainan gendang sang kakek berakhir. Ia menatap kami sejenak dan menoleh ke sekitar hutan mencari sesuatu. Bagiku, itu adalah gerak gerik yang aneh. Tapi rupanya bagi Cahyo, itu adalah sebuah isyarat.
“Benar juga!” Tiba-tiba Cahyo terpikirkan sesuatu.
Begitu mengetahui Cahyo sudah menyadari maksud isyarat itu, Sang kakek pun memainkan gendangnya kembali. Kali ini ia dan penarinya itu berjalan meninggalkan kami sambil menari masuk ke dalam hutan.
“Benar juga apa, Jul?”
“Seharusnya penampilan mereka tidak pernah sepi. Selalu ada sosok lain yang menonton berkumpul di sekitar mereka. Itu artinya, makhluk makhluk penunggu di desa dan hutan ini sedang berkumpul di satu tempat,”
Masuk akal. Warga desa menghilang, tidak ada setan alas dan roh gentayangan di sekitar desa. Mungkin saja dugaan Cahyo benar.
“Murti! Marni! Apa di desa ini masih ada tempat ritual di pemakaman kuno?” Tanya Cahyo yang masuk ke gubuk dengan tiba-tiba.
Murti dan Marni yang terlelap pun terbangun dan mencerna pertanyaan Cahyo sebelum menjawabnya.
“Sudah nggak ada, Mas. Tempat itu sudah dihancurkan warga.” Jawab Murti.
“Apa ada kemungkinan tempat lain untuk ritual? Atau sesuatu yang mungkin bisa jadi tempat pemujaan atau tontonan?” Cahyo masih belum menyerah.
Murti berpikir sejenak, namun sepertinya ia tidak mendapatkan petunjuk tentang tempat yang Cahyo maksud.
“Gua..” Marni tiba-tiba berkata sambil mengucek matanya. “Marni ingat, ada gua yang cukup besar jauh setelah pemakaman. Pohon-pohon di sekitar sana pernah tumbang dan membentuk pelataran,”
Reaksi raut wajah Murti seperti membenarkan ucapan Marni. “Bisa juga di sana.”
“Istirahatnya ditunda dulu. Kita kesana! Jangan jauh-jauh dari kami, setelah ini kita akan berurusan dengan demit-demit itu,” Ucap Cahyo yakin.
Di puncak malam itu, kami menerobos hutan menggunakan obor sederhana. Kami melintasi hutan-hutan tua dan pemakaman tanpa nisan yang Cahyo maksud dengan pemakaman kuno. Memang ada sedikit sisa-sisa bebatuan seperti candi kecil di sini, namun tidak ada tempat pemujaan seperti yang dipertanyakan Cahyo.
Perjalananan kami teruskan masuk ke hutan yang lebih dalam. Dan apa dugaan Cahyo benar. Semakin kami mendekat ke gua itu, semakin banyak roh-roh gentayangan dan setan setan yang berkumpul disana.
Dari sini kami sayup-sayup mendengar suara gamelan yang mendayu dengan kelam. Cahyo terlihat geram seolah suara itu mengingatkan dirinya akan luka lamanya.
Ia pernah bercerita bagaimana ia mendengar suara gamelan yang begitu kelam ketika seluruh warga desa dan orang tuanya dibantai oleh ludruk topeng ireng. Sepertinya kali ini ia merasakan perasaan yang serupa.
“Cepat, Nan!”
Saat itu kami mempercepat langkah sambil terus menjaga Murti dan Marni dari setan-setan yang mulai menyadari keberadaan kami.
Wajah Murti dan Marni sudah mulai pucat. Walaupun sebelumnya mereka sudah berurusan dengan setan-setan yang tak kalah mengerikan, mereka tetap tidak akan terbiasa dengan makhluk seperti ini.
Saat ini hampir setiap beberapa meter dari tempat kami berpijak ada sesosok makhluk yang didominasi oleh pocong dengan bagian tubuh yang tak lengkap, hingga setan alas pemanjat pohon yang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Dan aku yakin, di asal suara itu pasti akan ada lebih banyak yang mengerikan.
Kami tiba di tempat yang dimaksud oleh Marni, dan dugaan Cahyo tepat.
“Apa apaan itu? Pementasan wayang orang?” Ucapku saat melihat pemandangan mengerikan di hadapan kami.
Ada sebuah lempengan batu besar di depan gua yang menjadi sebuah panggung. Dua pohon beringin raksasa menutupi panggung itu sebagai atapnya. Terlihat sisa pepohonan yang tumbang dan membentuk pelataran. Dan sebuah pertunjukkan sedang dimainkan di sana.
“Bukan.. bukan wayang orang. I—itu ‘Darang’,” ucap Marni.
“Darang? Itu kesenian apa?” Tanyaku.
Marni terlihat gemetar setelah mengatakan kata yang asing untukku itu.
“Tarian mayat..” Ucap Murti.
Mendengar kata-kata itu aku dan Cahyo pun menoleh ke arah panggung batu itu dan memastikan para pemain yang berpentas di sana.
Benar… mereka semua mayat.
Para pemain yang melakukan gerakan-gerakan aneh di panggung itu memiliki tubuh yang membusuk. Anehnya, mata mereka terbuka dan wajah mereka memamerkan ekspresi seperti benar-benar melakukan drama pementasan.
“Dulu di desa kami pernah diadakan pementasan wayang yang melegenda. Pementasan itu membuka mata warga desa tentang moral dan nilai-nilai kebajikan yang sesungguhnya.
Bahkan pementasan wayang saat itu selalu diadakan untuk menolak bencana hingga mengusir wabah. Sang dalang benar-benar dikagumi saat itu,”
Murti bercerita bahwa pementasan wayang itu merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam masuknya kepercayaan agama di desa ini. Tapi kekuatan hitam selalu punya cara untuk mendapatkan tempatnya di alam ini.
“Bertahun-tahun sang dalang pergi, muncul desas desus tentang pementasan di tengah hutan. Sebuah pementasan terkutuk yang membawa kematian. Leluhur kami mengenalnya dengan nama ‘Darang’..”
Menurut Murti, Darang adalah pementasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berniat jahat. Murti sendiri tidak tahu menahu apakah pementasan itu dilakukan oleh warga desanya atau bukan. Namun fakta yang mengerikan, mereka menggunakan mayat manusia dalam pementasan ini.
“Ketika pementasan itu diadakan, pasti akan ada yang mati. Tak cukup satu, namun ada satu kejadian di zaman eyang dimana hampir setengah warga desa mengalami penyakit aneh dan mati,”
Aku menelan ludah mendengar cerita itu. Jelas yang ada di hadapan kami adalah pergelaran yang tak seharusnya dimainkan.
“Jangan-jangan mereka memainkan itu untuk membunuh warga desa kita, Mas?” Ucap Marni Cemas.
“Tenang. Kita hentikan pementasan itu sekarang juga,” Cahyo benar-benar sudah tak mampu menahan kesabaran nya.
Sebuah kata berbisik dari mulut Cahyo. Ia meminjam kekuatan dari sosok yang bersemayam di tubuhnya itu.
“Wanasura…”
Seolah sudah tak mampu menahan kesabaran. Wanasura mengaum sekuat tenaga memecahkan keheningan hutan itu.
“Groaaaaaarrrrr!!!!!”
Seketika seluruh makhluk-makhluk gaib yang mengelilingi hutan itu berpaling dan menatap ke arah Cahyo.
“Aku saja, Nan! Jaga mereka,” Ucap Cahyo.
Aku mengangguk dan mulai memasang pagar gaib di sekitar kami. Setidaknya keberadaan pagar ini bisa membuat setan-setan di sekitar kami berpikir ulang untuk menyerang kami.
“Pentasnya selesai!” Dhummm!!!
Cahyo memukul tanah yang mengakibatkan panggung itu bergetar. Para setan pemain gamelan pun terhenti dengan perbuatan Cahyo itu.
“Bubar! Abangnya sudah mau pulang!” Teriak Cahyo yang menggila dengan mengambil sebuah batang pohon besar dan mengayunkan ke berbagai arah.
Saat itu seketika wajah-wajah jasad yang melakukan pementasan di panggung itu pun berubah mengerikan.
Ada lima jenazah yang tiba-tiba melayang di atas panggung menatap Cahyo dengan penuh amarah. Ada dua penari perempuan, dan ada tiga pemain peran laki-laki. Mereka semua mayat.
Entah bagaimana jasad itu bisa bergerak seperti hidup. Aku menduga, jasad itu dikendalikan oleh setan yang merasukinya.
“Tamu tak diundang…” Salah satu Jasad itu memimpin keempat jasad lainnya mengarah ke arah Cahyo.
Satu dari jasad itu mendekat dan dalam waktu sekejap bau yang begitu menjijikkan dan menyengat tercium di sekitar kami. Tepatnya di dekat Cahyo. Jasad itu mengeluarkan bau yang membuat Cahyo tak bisa melepaskan tangannya dari hidungnya.
“Arrghhh!! Brengsek! Bau apa ini??” Keluh Cahyo.
“Bau kematianmu..”
Mayat itu tiba-tiba sudah melayang memamerkan wajah yang menjadi sumber bau itu di hadapan Cahyo.
Cahyo tak mampu menahan rasa mualnya dan memuntahkan isi perutnya. Sayangnya bau mematikan itu hanya permulaan.
Satu lagi jasad itu mendekat dan suara aneh terdengar dari tembang yang dinyanyikan. Aku tak mengerti kata-katanya, aku tak mampu mengulang nadanya, namun alunan suara itu membuatku merasa begitu frustasi.
“Arrrggghh!!!” Cahyo tersiksa. Ia benar-benar tidak menyangka akan menghadapi lawan seperti ini.
“Lima tulah.. Pemain inti pementasan Darang memanggil lima setan pembawa tulah. Bau, sumbang, gelap, sakit, dan getir. Itu kata eyang dulu,” Ucap Marni.
“Cahyo!”
Aku memanggil keris ragasukma dari sukmaku dan melemparkannya menembus leher jasad yang mengeluarkan suara mengerikan itu.
Srattt!!!!
Jasad itu terjatuh. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan keris ragasukmaku. Dari jauh aku membacakan sebuah mantra yang membuat keris ragasukma mengeluarkan kilatan putih.
Saat pendengaranya tak lagi terganggu, Cahyo menghantamkan tangannya ke tanah berkali-kali dan berusaha menghalau jasad-jasad lain yang ingin mendekat.
Dhummm!!! Dhumm!!!!
Aku merasakan beberapa kali tanah bergetar. Namun jasad-jasad itu tak berdampak. Mereka tak merasakan sakit dan terus bergerak menghantarkan kutukan mereka ke arah Cahyo.
“Siapapun yang mencoba menghentikan pementasan Darang harus mati…”
Sebuah suara tua terdengar dari dalam gua. Seorang kakek berambut hitam panjang keluar dengan sebuah keris terikat di pinggangnya.
Deggg!!
Seketika aku merasakan bahaya yang amat sangat. Kakek itu bukan orang biasa. Ada sesuatu yang membuatku merasa terancam memancar dari dirinya.
“Ka—kau? Kau Raden Girisangkur?!” Ucapku.
Aku bukan sengaja untuk mempertanyakan itu. Tapi saat itu aku mencoba menjauhkan kakek itu dari Cahyo. Degg!!
Sekali lagi aku merasakan bahaya. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang bisa membunuhku dari arah belakang, namun saat aku menoleh tak ada siapapun di sana.
“Raden Girisangkur sedang menjemput tahtanya. Akulah Ki Tunjung yang akan memastikan semua warga desa menjadi mayat untuk pementasan Darang di Pagelaran Sewu Lelembut…” Jawab sosok yang mengaku bernama Ki Tunjung itu.
Ia menatap dengan tajam ke arahku dan saat itu aku merasa seolah semua hal jahat akan mengincarku saat itu juga.
Ini buruk. Kami tidak bisa mengatasi keadaan ini semua sendiri.
***
(Di reruntuhan desa selatan…)
Beberapa bangunan-bangunan yang sudah hancur memenuhi pandangan Arsa dan Jagad yang tengah mencari petunjuk mengenai wayang batara.
“Desa ini musnah karena melakukan hal tabu saat pementasan wayang keramat” Ucap Jagad.
“Hal Tabu apa, Mas?”
“Sang dalang yang seharusnya menyucikan diri dengan berpuasa sebelum melakukan pementasan keramat, malah menjalin hubungan terlarang dengan seorang perempuan desa yang sudah memiliki suami.
Mereka bersepakat menghabisi suami dan anaknya yang masih kecil demi hubungan terlarang mereka.”
Arsa terlihat geram mendengar cerita itu.
“Terus apa yang terjadi, Mas Jagad?”
“Tidak ada yang tahu kemana jasad suami dan anak itu dikubur. Beberapa orang mengatakan bahwa kulit mereka dijadikan wayang oleh sang dalang.
Akhirnya saat pementasan keramat diadakan dan wayang itu dimainkan, semesta pun murka. Badai datang hingga sebuah pohon yang sudah berumur ratusan tahun jatuh menimpa panggung dan seluruh pemain termasuk sang dalang. Mereka pun mati di tempat.
Tanah ini pun menolak untuk ditinggali oleh manusia. Wabah, gempa, hingga badai terus menerjang desa ini hingga memakan banyak korban jiwa.
Mereka yang selamat memutuskan untuk meninggalkan desa ini tanpa membawa apapun dari desa karena takut kutukan itu akan terbawa. Setelah ratusan tahun, beginilah kondisi desa itu…”
Arsa benar-benar tak menyangka mendengar kisah ini dari Mas Jagad. Ia memang tahu tentang kebiasaan beberapa dalang yang memiliki banyak istri, namun ia tidak menyangka sampai ada yang melakukan hal mengerikan seperti itu.
Ia pun berjalan di antara reruntuhan desa dan tiba di sebuah tempat yang diceritakan oleh Jagad. Sebuah panggung yang tertimpa sebuah pohon tumbang. tempat itu sudah tertutup lumut dan ilalang, namun Arsa melihat sesuatu yang janggal di sana.
Ada seorang manusia…
Jagad dan Arsa mendekat dan melihat seseorang kakek berjanggut putih mengenakan beskap dan kain batik. Ia memain-mainkan wayang di tanganya di atas pohon tumbang itu.
Menyadari kedatangan Arsa, sosok itu pun menghentikan keasikannya dan menoleh ke arah Arsa.
“Ma–maaf, kami nggak maksud mengganggu,” Ucap Arsa.
“Tidak apa, kamu memang sudah ditunggu di tempat ini,” Balas sosok itu.
Arsa dan Jagad pun bingung dengan pernyataan itu.
“Di tunggu? Oleh siapa, Ki? Dan memangnya panjenengan ini siapa?” Arsa berusaha untuk bertanya dengan sopan.
“Ditunggu oleh mereka yang bersemayam di bawah panggung ini. Kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu, Ki Arsa. Kamu boleh memanggil saya..
Raden Girisangkur.”
BERSAMBUNG
Terima kasih sudah mengikuti bagian ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya