Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 3) - Panggung Keramat

Leuweung Sasar menjadi latar pagelaran yang dikutuk. Berbagai kejadian mistis menjadi pertanda bencana di hutan itu.


PENJAGA LEUWEUNG SASAR (Sudut pandang Danan…) Hutan yang begitu luas dan menyimpan kisah kelam kini berada di hadapanku. Sebuah hutan yang pernah menjadi saksi keganasan Gandara Baruwa dan tempat bagi makhluk-makhluk mengerikan bersembunyi. Leuweung Sasar Taneuh Bereum. Siapapun yang mencoba memasukinya harus siap untuk tak menemukan jalan keluar. Namun aku tak punya pilihan, sebuah bencana besar akan di mulai dari hutan keramat ini. Aku harus menghentikannya sebelum semua terlambat. Aku tak bisa melibatkan Arsa untuk mengambil resiko masuk ke hutan ini. Lagipula, aku membutuhkan dia untuk mencari informasi bersama abah mengenai ‘Pagelaran’ yang membawa bencana itu. Srakkk!! Ada suara yang mendekat tepat saat aku hendak memasuki satu-satunya jalan untuk menembus hutan ini. Aku mencoba mengabaikannya untuk saat ini, namun baru saja aku hendak melangkah sebuah pisau melesat dan menancap di tanah. Sratt!! Aku melompat mundur, dalam sekejap saja aku bisa mengenali pisau itu.

“Budi! Aku harus masuk ke dalam! Sesuatu yang mengerikan akan terjadi lagi!” Teriakku. Jauh dari balik pepohonan sosok yang cukup kukenal itu menampakan wujudnya padaku. “Leuweung sasar tidak lagi menerima keberadaan manusia. Tak ada satupun yang diijinkan untuk masuk. Kita sudah menyepakati itu,” Ucap Budi. “Tapi ini keadaan genting! Kita harus menuntaskanya sebelum semua semakin parah!” Budi hanya berdiri terdiam tanpa menghiraukan perkataanku. Ia bersikeras untuk menghalangi siapapun untuk masuk. “Kalau kau memang tidak ingin membantuku, aku sendiri pun tak masalah,” balasku yang bergegas masuk dan melewatinya, Budi menahan pundakku dan melemparkanku kembali menjauh. “Budi!” Ucapku kesal dengan sikap keras kepalanya. Sekali lagi ia tidak menjawab, namun aku tahu ia tetap tidak bersedia membiarkanku untuk masuk. Dengan langkah yang lebih cepat aku berlari berusaha melewati dirinya, namun yang terjadi justru ia menghadangku dan menendangku hingga terpental. “Kau sudah tidak waras?” Teriakku. “Sudah kukatakan, kalau ada yang ingin memasuki leuweung sasar lagi. Mereka harus melangkahi mayatku!” Aku mulai mengerti, inilah yang dimaksud oleh Paklek. Ki Duduy sempat mengatakan bahwa Leuweung Sasar dijaga dengan ketat. Aku sudah menduga bahwa itu adalah Budi, tapi aku tidak menyangka bahwa sekarang ia sekeras kepala ini. “Baik kalau itu maumu!” Ucapku.

Sekali lagi aku melesat masuk ke dalam hutan. Budi dengan sigap kembali mencoba menahanku. Kali ini aku tidak melunak. Aku menghindari seranganya dan membalas dengan tendangan tepat di pinggangnya untuk membuatnya menjauh. Sialnya, ia dengan mantap menahan kuda-kudanya dan kembali menyerangku. Buggghhh!! Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Aku tak diam begitu saja dan membalas serangan di titik yang sama. Pertarungan sengit pun terjadi di antara kami berdua. “Budi! Di dalam mungkin ada sesuatu yang tak kalah mengerikan dari Gandara Baruwa! Jangan keras kepala!” Ucapku sambil masih berusaha menghindari serangan-serangan Budi yang begitu tajam. “Aku sudah melihat sendiri ke dalam! Tidak ada apapun! Kalian hanya terpancing untuk membuka kembali segel leuweung sasar!” Bughhh!!! Sekali lagi aku terpental. Aku tahu dengan jelas dengan apa yang kukatakan. Sebelum kesini aku sempat menggunakan ilmu ragasukma untuk mencari tahu mengenai apa yang terjadi di leuweung sasar. “Buka matamu, Budi! Ada banyak nyawa yang dipertaruhkan!! Kali ini pukulanku yang membuat budi terpental. Budi hanya menghapus sisa darah dari bibirnya dan kembali menyerangku. “Kau yang buka matamu! Saat segel leuweung sasar terbuka, justru banyak nyawa yang akan dipertaruhkan!”

Adu pukul terjadi diantara kami. Entah sudah berapa memar yang terlihat di wajahku dan budi. Sayangnya dalam adu serangan fisik, ilmu beladiriku masih belum mampu mengimbangin manusia yang mampu bertahan hidup di hutan ini. “Pergi!!” Teriak budi yang menghantamkan pukulannya sekuat tenaga hingga aku terkapar. Aku berusaha untuk berdiri, namun serangan barusan sepertinya berdampak terhadap organ dalamku. Sepertinya aku tak punya pilihan lain. “Maafkan aku, Budi!” Aku memanggil dari sukmaku keri Ragasukma yang saat ini kugenggam di tangan. Aku terpaksa harus melumpuhkannya agar bisa masuk ke dalam hutan itu. Budi jelas menyadari bahaya dan menyadari apa yang akan kulakukan. Ia pun mengambil belati yang ia lempar dan sudah bertekad untuk menghentikanku. Sepertinya pertumpahan darah kali ini tak akan terelakkan. Keris Ragasukmaku siap beradu dengan belati Budi, namun saat itu aku mendengar suara langkah yang tergesa-gesa mendekat. “Hentikan!!”

Aku mendengar suara itu dan saat itu juga serangan kami berdua berhenti tepat saat kerisku dan belati budi hampir menyentuh kulit kami masing-masing. “Apa yang kalian lakukan!” Teriak Gama. Budi melompat mundur. Seperti biasa, ia menaruh hormat pada Gama dan menghargai keberadaanya. “Aku perlu masuk ke leuweung sasar. Akan ada bencana yang dimulai dari sana,” ucapku. Gama menoleh ke arah Budi seolah mempertanyakan apa yang ia lakukan. “Sudah kukatakan, Gama. Takkan kubiarkan siapapun masuk ke hutan ini lagi,” Ucap Budi. Aku menjelaskan pada Gama tentang apa yang terjadi saat perjalananku sebelumnya. Tentang adanya makhluk-makhluk yang hendak mengadakan Pagelaran terkutuk yang disebut dengan Pagelaran Sewu Lelembut. Bahkan gendingnya sudah sempat terdengar dari Leuweung Sasar. Gama sempat berpikir sejenak, aku merasa sepertinya ia juga menyadari hal yang berkaitan. Namun ia menoleh ke arah Budi sejenak dan kembali menatapku. “Aku ingin menghargai peran Budi sebagai penjaga hutan ini. Aku tetap tidak akan meminta Budi untuk mengizinkan aku masuk, Danan.” Ucap Gama. Aku tak menyangka. Walaupun mungkin Budi akan menurut jika Gama memaksa untuk mengijinkan aku memasuki hutan, ia tidak melakukan hal itu. “Tapi bencana besar akan terjadi, Gama!” Protesku.

Gama pun melangkah mendekat ke arah Budi. Aku mengikutinya berharap ia akan berbuat sesuatu. “Kami tidak akan memintamu untuk mengijinkan kami masuk. Tapi setidaknya aku meminta tolong untuk pastikan apa yang Danan katakan. Apa itu adil?” Ucap Gama. “Itu cukup adil,” balas Budi sambil menatap ke arahku. “Setelah itu kau yang memutuskan sendiri, apa kami dibutuhkan di hutan ini,” Tambah budi. “Baik,” balas Budi masih dengan wajah yang dingin. “Terima kasih,” Ucapku yang berharap keributan ini hanya berhenti sampai di sini. Budi pun meninggalkan kami dan masuk ke dalam hutan. Dengan informasi yang kuberikan, seharusnya ia bisa menemukan petunjuk mengenai Pagelaran Sewu Lelembut itu. Walau ada banyak sisi tersembunyi dari hutan ini, setidaknya ia bisa menyadari sumber dari Gending Leuweung Sasar itu. ***

TABU HUTAN KERAMAT Aku tak menyangka kedatanganku ke tanah pasundan ini dimulai dengan pertengkaranku dengan Budi. Kami sama-sama punya alasan yang kuat, tapi aku tak menyangka harus beradu pukul dengan Budi. “Lha? Mas Danan? Itu kenapa matanya lebam?” Sambut Dirga yang melihat kedatanganku bersama Gama. “Nggak papa, Dirga. Insiden kecil,” Balasku. “Diobati dulu aja. Aku tahu pukulan Budi gak mungkin setengah-setengah,” ucap Gama. Dirga berinisiatif mengambilkan obat luka sementara Abah datang menghampiri kami. “Haha, ada-ada anak muda. Jangan dimasukin hati lho, Nan. Abah percaya, niat Budi juga pasti baik,” Ucap Abah. “Iya, Bah. Saya ngerti kok,” Benar ucapan abah. Pertengkaran sesama teman memang hal biasa. Dulu Aku dan Cahyo bahkan pernah pukul-pukulan sampai guling-gulingan di tanah. Tapi setelah itu kita main bareng lagi. “Gimana? Sudah dapat petunjuk?” Tanya Abah. Aku menggeleng, namun Gama berinisiatif menjelaskan apa yang terjadi. “Budi melarang kami memasuki Leuweung Sasar, Bah. Sebagai gantinya sekarang dia sendiri yang masuk ke leuweung sasar untuk menyelidiki kecurigaan kami..” Jelas Gama. “Ya.. ya.. itu cukup adil.” Dirga kembali dan membantuku menangani luka akibat serangan Budi. “Kebetulan ada Gama di sini. Apa sebaiknya tidak sekalian kalian temui Ki Duduy? Seharusnya beliau juga punya petunjuk.” Ujar Abah. Aku menoleh ke Gama meminta persetujuannya. “Benar, Nan. Sebaiknya kita temui Ki Duduy saja. Kebetulan kami juga sempat mendengar sesuatu yang berurusan dengan pagelaran itu,” Ucap Gama. “Kalian juga?” “Belum banyak yang kami ketahui, makanya kalau berunding bersama mungkin kita bisa menemukan benang merahnya,” Balas Gama.

Aku setuju dengan ucapan Gama. Daripada kami saling menduga dan saling bertanya. Lebih baik kami berkumpul dan saling membagi informasi yang diketahui mengenai Pagelaran Sewu Lelembut ini. Sepanjang perjalanan di bus untuk menemui Ki Duduy, Gama menceritakan sesuatu yang membuatku bergidik ngeri. Baru-baru ini ia membantu menangani seorang yang terkena kutukan. Ia adalah korban dari sebuah pementasan misterius dari kelompok pementasan yang bernama Rombongan Renggana Kaharuman. Gama Curiga, di setiap pementasan rombongan itu selalu ada korban jiwa, dan mereka selalu meninggal dengan cara yang tragis. “Gam, itu jangan anggap remeh masalah itu.” Ucapku. Mendengar cerita Gama seketika aku teringat rombongan Ludruk topeng Ireng yang menumbalkan seluruh warga desa Cahyo. “Iya, Nan. Ini baru kucari tahu tak kusangka akan berhubungan dengan masalahmu,” Balas Gama. “Aku punya seorang teman yang seluruh warga desanya dihabisi oleh satu rombongan pementasan. Saat itu ia masih kecil, dan hanya dialah yang tersisa,” Ucapku. “Cahyo?” Sepertinya Gama bisa menebak pikiranku. Aku mengangguk. Sejak bertemu Gama dan Budi aku merasa ada kecocokan diantara Cahyo dan Budi. Mungkin karena mereka sama-sama bertahan hidup sebatang kara. “Hufft..” Gama menghela nafasnya. “Kenapa, Gam?” Tanyaku. “Enggak.. Aku benar-benar nggak kebayang saja akan berurusan sama makhluk-makhluk mengerikan seperti Raden Sengkuni, Gandara Baruwa, dan sejenisnya. Kupikir mengatasi setan-setan kampung saja sudah cukup,” ucap Gama. Benar ucapan Gama. Aku juga sempat berada dalam titik itu. Seseorang yang hanya dimintai tolong untuk mengusir setan dari tubuh warga desa yang ketempelan, tiba-tiba harus berurusan dengan setan dari jaman kerajaan.

“Yah, Karomah yang dipercaya pada kita pasti punya tujuan, Gam. Dan ketika kita dipercayakan sebuah masalah, itu artinya kita adalah orang yang tepat untuk menyelesaikanya,” Jawabku. Aku menoleh ke arah Arsa. Mungkin saja ia akan mengalami fase seperti ini juga. Ia yang bercita-cita meneruskan mimpi Ayahnya sebagai dalang, justru harus berurusan dengan hal seperti ini. Ada beberapa kesamaan diantara aku dan Gama yang membuat perbincangan kami tidak pernah kehabisan topik. Tidak hanya soal dedemit, kadang kami juga membahas tentang Ki Duduy dan Paklek, kami juga membahas tentang hutan-hutan yang mulai tergerus. Hal itu membuatku berpikir, mungkin anggapan orang mengenai hutan angker harus dipertahankan untuk menjaga kelestariannya. Setelah menyambung dengan angkutan umum dan berjalan beberapa kilometer kami pun sampai di tempat kediaman Ki Duduy. Seperti biasa, tanpa memberitahu kedatangan kami, Ki Duduy sudah tahu bahwa kami akan datang. Kudapan, dan tiga gelas cangkir dan teko teh yang masih hangat sudah tersedia sebelum kami datang.

“Hebat ya, Ki Duduy bisa tahu kedatangan kita. Paklek aja nggak bisa kaya gini,” Kagum Arsa. “Iya, Sa. Ki Duduy punya pusaka demi bisa melakukan itu semua. Namanya apa, Gam?” Aku melemparkannya pada Gama. “Pusaka itu namanya.. Telepon,” Jawab Gama sambil sedikit tertawa. Wajah Arsa menjadi kecut mendengar jawaban itu. “Sudah-sudah, duduk dulu istirahat. Kalian pasti capek kan?” Sambut Ki Duduy. “Iya Ki,” Ucapku sambil memberi salam dan mengambil posisi duduk di kursi sederhana yang sudah disediakan. Kami tidak langsung masuk ke inti pembicaraan. Aku memulai dengan mengenalkan Arsa, menceritakan tragedi antara aku dan Budi tadi pagi, Keberadaan Cahyo, hingga perbincanganku dan Gama sepanjang perjalanan. Ki Duduy adalah pendengar yang baik. Entah mengapa aku merasa sangat nyaman bercerita di depannya. “Kamu sudah cerita tentang Nyi Gadis, Gam?” Tanya Ki Duduy. “Sedikit banyak sudah, Kek..” Ki Duduy mengangguk. Sepertinya keberadaan Rombongan Renggana Kaharuman membuat mereka cukup khawatir. “Kami juga berurusan sama hal serupa, Ki. Ada kakek penari bertopeng yang meneror sebuah desa. Mereka mengincar dua anak muda yang melarikan diri dari desanya. Ada sosok yang bangkit dari desa kedua anak muda itu, dan menjadikan kampung halaman mereka sebagai sarang tumbal,” Jelasku. “Penari pria… Nyi Gadis.. Pagelaran Sewu Lelembut.” Gumam Ki Duduy. Ia menghela nafas sambil menggeleng seolah merasakan kekhawatiran yang dalam. “Paklek juga sempet ngobrol sama Ki Duduy, Nan. Kita sepakat untuk bertukar informasi setiap kejadian-kejadian aneh yang terjadi di waktu dekat ini,” Tambah Gama. “Benar, jangan sampai ada sedikitpun informasi yang terlewatkan,” Balasku setuju. Sementara itu Ki Duduy menoleh ke arah Arsa. “Sepertinya awal tujuan perjalanan kalian bukan karena berita buruk ini?” Ucap Ki Duduy. “Iya, Ki. Mas Danan bantuin saya buta nyari tahu tentang pusaka wayang ayah saya,” Ki Duduy berdiri dari tempat duduknya. Ia memandang ke arah jendela seolah sedang berusaha mengingat sesuatu.

“Aku ingat sebuah cerita dari perjalanan Ki Langsamana,” Ucap Ki Duduy. Mendengar perkataan itu wajah Gama terlihat begitu semangat. “Udah pernah cerita ke Gama belum, Kek?” Tanya Gama. “Belum, keberadaan dalang muda seperti Arsa mengingatkanku akan cerita ini,” Ki Duduy bercerita tentang perjalanan Ki Langsamana yang sampai di sebuah desa terpencil. Sebuah desa yang kehidupannya dipenuhi dengan dosa yang tidak mereka sadari. Kepercayaan yang mereka anut membuat mereka harus melakukan ritual sebagai pemujaan kepada sosok berhala yang mengaku sebagai dewa. Ritual pemujaan dewa palsu itu membuat warga mengorbankan manusia sebagai persembahan, melakukan ritual hubungan badan secara bebas, hingga menikmati rasa mabuk sebagai rasa syukur atas kenikmatan yang ada di dunia ini. Ki Langsamana sempat kesulitan saat menyebarkan ajarannya. Warga desa benar-benar polos sehingga dosa menjadi abu-abu di sana. Sampai akhirnya, Ki Langsamana sadar bahwa ada beberapa orang yang sudah lebih dulu berada di sana dengan misi serupa. Pada malam-malam tertentu selalu ada pementasan wayang yang disukai oleh warga. Awalnya Ki Langsamana menganggap pementasan itu sebagai tontonan biasa, namun saat sampai di tengah acara, ia mulai terpukau. Cerita di pementasan itu adalah cara sang dalang mengenalkan mengenai adab, budaya, etika, dan moral kepada warga desa. Lepas dari itu, Ki Langsamana juga sadar bahwa wayang yang dimainkan oleh dalang itu bukanlah wayang biasa. Pantas saja setan-setan sesat yang berada di desa itu tidak berani mengganggu pementasan ini. Ki Langsamana dan dalang itu pun berteman dekat selama di desa. Butuh waktu yang cukup lama, namun kebersamaan mereka berdua untuk menyuarakan kebajikan pun membuahkan hasil. Warga desa mulai meninggalkan kepercayaan lamanya dan mulai hidup dengan benar. Wajah Gama terlihat begitu menikmati cerita tentang leluhurnya itu, sementara aku dan Arsa merasakan sesuatu yang mengganjal. “Mas Danan, Jangan-jangan.. Itu desanya Murti dan Marni?” Tanya Arsa. “Benar, seperti ada benang merah dalam kisah mereka,” Ki Duduy pun meninggalkan tempatnya dan masuk ke dalam rumah. Dalam beberapa saat ia kembali dengan membawa sebuah benda yang sudah sangat lusuh.

“Apa itu, Kek?” Tanya Gama. Ki Duduy membawa sebuah Blangkon yang sepertinya sudah sangat berumur. Terlihat dari modelnya yang sangat kuno dan sudah berdebu. “Salah satu peninggalan Ki Langsamana. Kakek sempat berniat membuang blangkon ini karena seingat kakek Ki Langsamana tidak pernah mengenakan Blangkon,” ucap Ki Duduy sambil meletakkan benda itu di hadapan Arsa. “Biar kutebak. Apa blangkon ini adalah kenang-kenangan dari Dalang yang sempat bertemu dengan Ki Langsamana?” Ucapku. “Mungkin saja. Sepertinya benda ini lebih cocok disimpan oleh Arsa,” Ucapk Ki Duduy. “Yang bener, Ki?” Wajah Arsa terlihat begitu bersemangat. Ki Duduy mengangguk,“Mungkin ditangan yang tepat sekalipun blangkon lusuh akan jauh berguna..” Aku dan Gama tersenyum melihat penyerahan blangkon antara Ki Duduy dan Arsa saat itu. Jauh dari dalam hati, kami menduga apakah mungkin sosok yang bertemu dengan Ki Langsamana itu adalah leluhur Arsa?

Sementara Arsa mencari cermin untuk mencoba blangkon itu, aku ingin menyampaikan sesuatu pada Ki duduy dan Gama. “Sebenarnya ada yang sangat ingin saya sampaikan terkait alasan saya memaksa untuk masuk ke Leuweung sasar,” Ucapku. “Katakan saja, Nan. Kita butuh semua informasi sekecil apapun,” Balas Gama. “Aku sudah memasuki Leuweung Sasar dengan meraga sukma. Seperti yang kukatakan, ada keberadaan gaib yang mulai terbentuk di sana. Namun ada dua hal yang membuatku khawatir di sana dan harus kupastikan sendiri,” Aku mencoba mengingat dengan jelas kedua benda yang membuatku cemas hingga terpental kembali ke tubuhku itu. “Sebuah selendang, kalian harus berhati-hati dengan selendang itu. Ada kekuatan yang tidak dapat aku gambarkan dari benda itu,” Tambahku. Wajah Gama seolah sedang mengingat sesuatu yang berhubungan dengan selendang itu. “Nyi Gadis.. bisa jadi benda itu berhubungan dengan rombongannya.” Gumam Gama. “Satu lagi apa?” Aku mencoba menggambarkan, namun aku sendiri tidak melihatnya dengan jelas. “Cahaya merah, Gam. Ada cahaya merah aneh. Di sekitarnya ada kekuatan yang mengintimidasi hingga sukmaku terpental dan kembali ke tubuh,” Jawabku. Wajah Gama dan Ki Duduy terlihat sedang mengira-ngira hal apa yang kumaksud tadi. Namun kami tahu, kami tidak akan tahu apa itu tanpa masuk ke Leuweung Sasar. “Ya sudah. Yang kita bisa hanya menunggu Budi kembali. Jika benar ada dua benda mengkhawatirkan itu, ia pasti menyadarinya.” Ucap Ki Duduy. Hampir seharian kami menghabiskan waktu untuk di rumah Ki Duduy. Sebelum gelap, kami pun berpamitan untuk pulang duluan ke rumah Abah sementara Gama masih memiliki urusan lain dengan kakeknya itu. “Kami pamit dulu ya Ki, Gam..” Pamitku. “Maaf aku tidak bisa menghantarkan kalian. Jika pertanda Budi sudah muncul, akan segera kukabari.” Ucap Gama. Kami pun berpamitan dan meninggalkan rumah sederhana yang ditinggali oleh sosok bijak yang menjadi salah satu panutanku itu. ***

IRAMA DIBALIK PETANG Walau sudah berusaha untuk pulang sebelum gelap, tetap saja kami sampai di terminal setelah adzan maghrib berkumandang. Aku dan Arsa menyempatkan menunaikan kewajibanku sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kami. “Kayaknya blangkon itu istimewa banget, Sa?” Ucapku menggoda Arsa yang masih senang memegangi blangkon lusuh itu. “Haha, Iya mas. Mungkin ini hanya blangkon biasa dan terkesan kuno. Tapi saat mengetahui mengenai cerita orang-orang hebat dibalik benda ini, aku jadi semangat,” ucap Arsa. Hanya beberapa saat kami memanfaatkan waktu untuk meluruskan kaki kami dan segera melanjutkan perjalanan. Suasana terminal sudah cukup sepi, angkutan umum yang hendak kami naiki belum terlihat kemunculanya. “Tumben lama ya, Mas.” “Iya, Sa. Apa sudah kloter terakhir, ya? padahal belum jam tujuh malam,” Balasku. Sebenarnya dari terminal menuju desa abah tidak terlalu jauh. Paling sekitar setengah jam berjalan kaki. Saat itu aku dan Arsa sepakat untuk tidak menunggu lagi angkutan umum dan memilih untuk berjalan kaki karena terminal pun sudah semakin sepi. Banyaknya perbincangan dengan Arsa membuat perjalanan kami tidak begitu terasa. Kami melintasi desa kecil yang cukup ramai, dan melalui jalur hutan yang tidak begitu panjang. di tengah jalur yang cukup sepi, tiba-tiba Arsa terhenti. “Mas, denger suara nggak?” Tanya Arsa. Aku pun ikut berhenti sejenak dan menajamkan telingaku. Benar ucapan Arsa. Ada suara beberapa gendang yang ditabuh membentuk sebuah irama. Ada suara pria juga yang ikut menembang sesuai dengan irama gendang itu.

“Ada acara?” Tanya Arsa. Aku melihat ke sekitar hutan-hutan kecil yang kami lewati dan memang ada beberapa desa di sekitar tebung. “Mungkin saja.” Balasku. Kami pun melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di desa Abah dan Dirga yang ditandai dengan sebuah jembatan yang membelah sungai. Desa Dirga tidak sesepi terminal dan sekitarnya tadi, namun biasanya menjelang pukul sembilan malam semua warga sudah menutup pintu-pintu rumahnya. “Kirain nginep, Mas?” Sambut Dirga yang menyadari kedatanganku. “Nggak, Dirga. Masih banyak yang perlu diurusin. Padahal ngobrol sama Ki Duduy seru ya, Sa?” Ucapku sambil menanyakan tanggapan Arsa. “Bener. Kalau ada waktu kita harus kesana lagi,” Kami pun masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk bersih-bersih, tapi saat itu Dirga masih berdiri di depan pintu menatap ke beberapa arah di luar. “Kenapa, Dirga?” Tanyaku. “Nggak papa, Mas. Masuk saja dulu..” Balas Dirga. Sisa malam itu kami habiskan dengan menceritakan pertemuan kami dengan Ki Duduy yang menceritakan berbagai hal. Sayur opor masakan emak menemani perbincangan kami malam itu yang seketika membuat kami melupakan rasa cemas yang kami rasakan sejak kemarin. “Ya sudah, malam ini kalian benar-benar istirahat dulu saja. Kalau dalam kondisi terbaik, seharusnya bisa berpikir dengan lebih jernih,” ucap Abah. “Iya, Bah. Niatnya juga begitu. Kali ini coba kami percayakan sama Budi dulu tentang Leuweung sasar,” Balasku. Arsa terlihat cukup lelah. Suara abah yang menyanyikan tembang sunda di teras seolah menjadi lagu pengantar tidur untuknya. Sepertinya tak lama lagi aku akan menyusul Arsa menuju lelap. … Duk.. tang… “Ceurik balas ku nalangsa, Abdi nalangsa Nguping hujan tengah wengi, Diimah keueung sorangan” Suara gendang dan tembang terdengar sayup-sayup di tidur malam kami. Suara itu terdengar mendekat masuk ke dalam desa. Aku membuka mata dan mendapati malam telah jauh melewati puncaknya. Ada perasaan tidak nyaman saat aku mendengar suara itu. Arsa masih tertidur, namun aku mencoba untuk terjaga dan keluar kamar untuk mencari tahu asal suara itu.

“Dirga?” Aku melihat Dirga berdiri di depan teras dengan wajah penuh waspada. Melihat hal itu aku pun menyusulnya. “Eh, Mas Danan kebangun?” Tanya Dirga. “Iya, kamu denger suara itu juga?” Balasku. Dirga mengangguk. Sepertinya ia sudah lebih dulu menyadari hal itu daripada aku. Aku bisa mengambil kesimpulan bahwa penyanyi dan suara gendang keliling itu bukanlah hal yang lumrah di desa Dirga. Degg!!! Suara itu menghilang, namun perasaanku benar-benar tidak nyaman. “Tong nyoba ngaganggu urang!!” (Jangan coba-coba mengganggu kami) Tang..!! Tiba-tiba ada suara yang berbisik di telinga kami lalu menghilang. Aku pun bergegas keluar meninggalkan rumah Abah mengikuti kemana suara itu pergi. “Keluar kau! Tunjukkan wujud kalian!” Teriakku menantang mereka. Srak…srakk… Di ujung-ujung jalan mulai terlihat dua orang yang berjalan sambil terseok-seok. Mereka menggendong gendan yang cukup besar di depan tubuh mereka. “Kang Hasan? Kang Manggar?” Dirga sepertinya mengenali kedua orang itu. “Kamu kenal mereka, Dirga?” “Kenal, Mas! Mereka warga sini. Tapi kondisi mereka benar benar aneh!” Tang.. duk duk tang!! Kedua orang itu mulai memainkan gendang yang dikalungkan di leher mereka. Mereka memaksa diri mereka menari dan menyanyikan tembang seperti yang kudengar tadi. “Hentikan mereka, Dirga! Mereka kesurupan!” Teriakku.

Aku menghampiri kang hasan. Sosok pria berambut panjang dengan janggut yang panjang, sedangkan Dirga menghampiri Kang Manggar pedagang pasar di desa Dirga. “Kang Hasan! hentikan!” Aku mencoba mendekat untuk membacakan doa-doa yang seharusnya bisa mengusir setan-setan dalam tubuh Kang Hasan, namun sebelum itu terjadi aku baru menyadari bahwa permainan itu memiliki tujuan. Mereka mengundang sesuatu… “Khikhkhi… Jangan coba-coba mengganggu pementasan kami. Nyawa mereka yang akan menjadi taruhannya,” ucap Kang Hasan. Mereka tidak hanya menggertak. Suara permainan mereka mengundang setan berkepala botak plontos bertelinga panjang. Tak hanya satu, mereka bersembunyi dibalik rumah-rumah seolah siap mencelakai pemilik rumah tersebut. Sial… Aku tidak boleh sembarang bertindak. “Siapa kalian? Apa mau kalian?” Tanyaku. “Khikhikhi…kami akan mengadakan pagelaran terbesar alam gaib. Tak ada satupun yang diijinkan mengganggu kami,” ucapnya. “Panen mayat… Khkhikhi,” Ucap Kang Manggar yang juga belum sempat terjamah oleh Dirga.

Sudah kuduga mereka bagian dari pagelaran sewu lelembut itu, tapi aku tak menduga bahwa mereka sudah mengetahui niat kami. Tak ingin berdiam begitu saja, aku pun memanggil keris ragasukma ke tanganku. “Jangan macam-macam. Kami bisa membunuh warga desa ini kapanpun kami mau!” Ucap Kang Hasan. Sekali lagi mereka memainkan gendang mereka dan menari mengelilingi aku dan Dirga seolah meledek kami. “Benar, kalian hanya bisa diam dan menyaksikan kematian..” “Satu persatu akan menjadi santapan, satu-persatu akan menjadi tumbal, dan kalian takkan bisa berbuat apa-apa…” Setan-setan yang terpanggil dengan irama mereka pun tertawa terkekeh dari berbagai penjuru desa. Seandainya tidak ada mereka mungkin aku bisa dengan mudah memulihkan Kang Hasan dan Kang Manggar. “Jangan seperti pengecut! Hadapi aku kalau berani!” Tantangku. “Khikhikhi.. kalian pikir kami siapa? Pendekar? Kami ini setan! SETAN!!! Khikhikhi!” Balas mereka. Aku berpikir semua yang mereka lakukan akan berhenti bila kami tak berbuat apapun. Setidaknya mereka pasti berhenti saat matahari terbit nanti. Sayangnya perkiraanku salah. Tangg!! “hoeeeekkk!!” Dirga tiba-tiba memuntahkan darah. Tangg!!! Degg!!! Tiba-tiba jantungku seperti diremas. Hal yang terjadi pada Dirga terjadi padaku juga. Tang!! duk.. duk Tang!! “Mas Danan! Kita masuk dalam perangkap mereka! Setiap pukulan gendang itu berdampak pada kita!” Ucap Dirga. Benar ucapan Dirga. Rupanya tarian tadi merupakan ritual untuk melancarkan kutukan ini kepada kami. Sial! Aku harus berpikir. Aku menoleh ke arah rumah Abah dan berharap Arsa terbangun atau setidaknya Abah bisa memikirkan pertolongan. Tapi sepertinya permainan musik mereka juga memiliki kekuatan sirep. “Kita nggak bisa seperti ini terus, Dirga!” Aku pun kembali menggenggam keris ragasukma dan hendak menyerang Kang Hasan. “Jangan bodoh… Khikhikhi!” Prangg!! Seseorang terlempar dari jendela salah satu rumah. “Sakitt!! Sakit!!! tolong!” Seorang perempuan berguling-guling di tanah. Ia kesakitan dengan sebagian tubuh yang berbintil. Ada sosok makhluk suruhan pemain gendang itu menempel padanya.

“Kalian berani macam-macam. Seluruh desa akan bernasib serupa!” Ancam sosok yang merasuki Kang Hasan itu. Arrrghh sial! Sekali lagi aku terjebak dalam situasi ini. “Jangan berharap menunggu matahari terbit. Kalian akan mati tepat saat gending kami berakhir! Khikhikhi…” Itu bukan ancaman kosong. Aku mulai merasa sakit yang tak tertahankan setiap mereka memainkan gendangnya. Aku menoleh ke arah Dirga, saat ini yang kubisa hanya membacakan amalan penyembuh untuk meringankan luka gaib yang aku dan Dirga alami. “Bertahan, Mas Danan! Sebentar lagi..” Ucap Dirga. Saat ini mental Dirga sudah jauh lebih kuat. Ia bukan lagi anak-anak seperti dulu. Namun sayangnya, matahari terbit masih lama. Gending mereka akan berakhir tak lama lagi. Aku sudah merasakan bahwa ada sesuatu yang akan meledak dari dalam tubuhku. Dirga mencoba mengatur nafasnya untuk lebih tenang. “Mas Danan! Serang sekarang!!” Teriak Dirga. Aku tidak mengerti maksud Dirga, tapi sepertinya ia memiliki rencana. “Bodoh!!” ucap sosok yang merasuki Kang Hasan itu. Saat kerisku mencoba melukai kang hasan, ia sudah bersiap memerintahkan setan-setan pengikutnya itu. Bruggh!! Brugggh!!! Sekali lagi tubuh-tubuh terjatuh. “Khikhikhi! Mereka mati karena kalian!!” Tawa Kang Hasan.

“Lihat benar-benar dengan matamu setan bodoh!” Teriak Dirga. Setan itu menoleh dan sesuatu yang tak kuduga terjadi. Setan-setan botak suruhan pemain gendang itu jatuh satu-persatu menumpuk di tanah. Ada kabut putih di sekitarnya bersama keris Dasasukma yang melayang. “Bagus, Mas Jagad!!!” Teriakku yang segera menyadari itu perbuatan siapa. Aku dan dirga segera membacakan ayat-ayat suci di tangan kami. Dengan cepat kami menempelkan telapak tangan kami ke dahi Kang hasan dan Kang Manggar. “Kalian tidak punya hak menempati tubuh makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia!” Teriakku. “Pergi dari tubuh mereka!” Teriak Dirga. Kedua setan itu pun terlepas dari tubuh Kang Hasan dan Kang Manggar. Jagad dengan cepat berlari memberi pertolongan pada mereka berdua. “Habisi mereka!” Teriak Jagad. Benar. Kami tidak bisa membuang-buang waktu. Aku yakin mereka masih memiliki tipu muslihat lain yang bisa membahayakan kami. Sayangnya, ternyata mereka bukan setan biasa. tepat saat keluar dari tubuh kang Hasan dan Kang Manggar kedua setan itu menunjukkan wujud aslinya. Dari wujudnya, mereka adalah setan yang sudah ada sejak zaman kerajaan. “Rasakan ini!” Aku menghujamkan keris ragasukmaku pada tubuh setan itu. “Khihikhi.. jangan remehkan kami!”


Kedua setan itu mengangkat gendangnya yang diselimuti bayangan hitam. Benda itu terlihat begitu menakutkan, dan mereka hendak menghantam nya pada kami. Tapi sebelum hal itu terjadi, keris dasasukma sudah melayang dan menancap tepat di leher belakang setan-setan itu. “Bagus, Dirga!” Dalam sekejap cahaya putih keris ragasukma menembus tubuh kedua setan itu hingga sebuah lubang menganga di tubuh yang terus mengalirkan kekuatan hitam itu. Brugg!!! Gendang mereka terjatuh. Mereka memegangi lubang yang terbentuk di tubuh mereka. “Ini tidak benar! Tubuh ini dibangkitkan untuk mengakhiri zaman manusia dengan sebuah perayaan..” ucap setan itu. “Tu–tunggu? apa maksudnya ini? Setan itu tidak mati dengan seranganku?” Aku mulai cemas. Dirga pun mulai berhati-hati dengan kedua setan itu lagi. “Kita sudahi main-mainya. Tugas kami hanya memeriahkan Pagelaran Sewu Lelembut. Datanglah kalau kalian berani! Kalian akan menjadi tontonan menarik disana!” ucap setan itu yang tiba-tiba mulai menghilang perlahan bersama kekuatan hitam yang menyelimuti mereka. “Mereka pergi?” Tanya Dirga. Aku mencoba memastikan dengan tenang keadaan di sekitar kami. Benar hawa keberadaan kedua setan itu sudah tidak lagi terasa. Aku pun mulai membantu jagad menolong Kang Hasan, Kang Manggar, dan korban setan tadi. Dirga buru-buru kembali ke rumah dan mendapati Abah dan yang lain ternyata benar-benar dalam keadaan tersirap sehingga tidak menyadari apa yang terjadi. Ancaman dari mereka sudah dimulai. Bila kami tidak segera membuat rencana untuk menghentikan pagelaran itu, semua akan celaka. Budi, semoga kamu menemukan petunjuk yang berharga di Leuweung Sasar. ***

Matahari sudah terbit cukup tinggi. Aku dan Gama sudah menanti cukup lama menunggu kemunculan Budi dari satu-satunya gerbang masuk Leuweung Sasar. “Apa kamu yakin Budi akan keluar dari sana pagi ini?” Tanyaku. “Dia pasti muncul, aku mengenalnya.” Ucap Gama. Aku mengangguk dan lebih bersabar menunggu kemunculan sang penjaga leuweung sasar itu. Waktu untuk menunggu itu aku gunakan untuk menceritakan tentang sepasang setan pemain gendang yang menyerang desa abah. Gama cukup kaget mendengar ceritaku, menurutnya setiap rombongan Rengganis Kaharuman melakukan pentas, selalu muncul setan-setan pontos berkuping panjang yang serupa dengan yang kuceritakan. Ternyata setan itu tidak membual. Ada banyak makhluk dari berbagai tempat berkumpul demi pementasan itu. Di tengah penantian kami, tiba-tiba Gama berdiri meninggalkan posisi duduknya. Sepertinya ia menyadari kedatangan seseorang dari dalam hutan itu.

“Dia kembali,” ucap Gama. benar saja. Dari kedalaman hutan itu muncul seekor monyet kecil disusul seorang pria dengan wajah yang begitu cemas. Sepertinya ada sesuatu yang ia temukan. “Kliwon?” Aku menyambut salah satu sahabat Cahyo yang tak kusangka akan kutemui pagi ini. “Bagaimana, kau menemukan sesuatu?” Tanya Gama. Budi mengatur nafasnya sebentar sebelum menjawab. “Danan benar. Ada sebuah panggung dan berbagai bagunan seperti candi yang baru saja muncul di dalam hutan..” Ucap Budi. “Pagelaran sewu lelembut benar-benar akan diadakan di leuweung sasar?” Tanya Gama. Gama mengangguk. Sepertinya sekarang ia lebih bisa menerima pendapatku. “Kalau begitu kita masuk sekarang, kita selesaikan sebelum semua terlambat.” Ucapku. Saat aku mulai melangkah, tiba-tiba sekali lagi Budi mendorong tubuhku.

“Kamu benar, namun bukan berarti aku mengizinkan kalian untuk memasuki leuweung sasar,” Ucpa Budi. “Budi! Ini bukan waktunya keras kepala. Kamu sudah tahu kebenarannya,” protesku. Gama pun menggeleng, sepertinya ia juga cukup jarang Gama melihat Budi sekeras kepala ini. “Aku yang bertanggung jawab terhadap hutan ini.” Ucap Budi. Ia pun berpaling meninggalkan kami dan berjalan kembali menuju hutan. Sepertinya aku harus berbincang pada Gama untuk mencari cara memasuki hutan itu. Sraaakk!!! Belum sempat Budi masuk kedalam hutan tiba-tiba seseorang muncul menghadangnya. “Nggak boleh masuk? Jangan ngawur!” Ucap pria itu. “Minggir!” Balas Budi masih dengan wajah dinginnya. I–itu?!! Aku mengenali pria itu. Kliwon pun bergegas berlari ke arahnya. “Kalau tujuanmu untuk menjaga hutan ini, aku tidak keberatan. Tapi kalau tujuanmu hanya untuk mati disana, lebih baik kupatahkan kakimu disini, Mamang Gondrong!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.

BERSAMBUNG

Terima kasih buat teman-teman yang bersedia membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close