RUMAH BEKAS TUMBAL
Seutas Kisah Kelam Dari Rumah Lama Yang Pernah Ditinggali Keluargaku.
***
Saya akan berbagi kisah tentang sebuah rumah yang memiliki sejarah kelam. Dimana keluarga saya pernah menjadi saksi dari kengeriannya. Rumah kosong ini, 'Rumah Bekas Tumbal'.
(Semua nama dan lokasi disamarkan demi kebaikan bersama).
Di tahun 1985, Pak Hamka baru saja membeli sebuah rumah di kecamatan 'P', dari seorang pengusaha batik yang berasal dari jawa tengah. Ia memutuskan pindah ke sana dari komplek perumahan sebelumnya, karena dirasa lebih dekat dengan tempat kerja sang istri.
(Kecamatan 'P' Jaman dulu).
Pak Hamka sendiri memiliki sebuah toko meubel di kecamatan 'K'. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari kecamatan 'P' untuk sampai di tempat usahanya. Di hari kepindahan, Pak Hamka baru menyadari bahwa rumah mereka berdempetan dengan sebuah rumah kosong. Dari sana sebenarnya sudah merasakan hawa gelap, namun diabaikan.
"Semoga tidak mengganggu." Batinnya.
Terik matahari berhasil membuat peluh membanjiri tubuh. Siang itu Pak Hamka absen membuka toko, karena mengawasi renovasi rumah di hari pertama. Ia memandu para tukang, memberi arahan, memperbaiki bagian-bagian rumah yang sedikit mengalami kerusakan. Bahkan di beberapa bagian, dilakukan pengecoran untuk memperkuat pondasi.
"Pakkkk... Pak Hamka. Tolong kesini pak." Teriak salah seorang tukang.
Pak Hamka segera menghampiri ke sumber suara. Disana 3-4 tukang terlihat mengerumuni sesuatu.
"Ada apa pak?"
Matanya terbelalak mendapati salah seorang tukang memegang sesuatu yang diletakkan diatas kain lusuh. Tulang belulang itu berukuran kecil, bahkan sebagian terlihat tak utuh. Di duga tulang belulang tersebut milik seorang bayi.
"Kok bisa ada ini? Tadi nemunya dimana pak?"
Salah seorang tukang menunjuk ke arah bawah tembok yang sudah di gali. Dimana tembok itu adalah tembok yang berdempetan dengan rumah kosong.
"Ya sudah. Tolong bantu saya membungkus tulang bayi ini. Nanti kita kuburkan secara layak di pemakaman sana."
"Nggih Pak."
Mulai dari situ muncul sedikit kekhawatiran. Namun, Pak Hamka berharap ini hanya sebuah kebetulan.
Waktu makan malam tiba, Bu Nuri, istri Pak Hamka terlihat sibuk menyiapkan makanan yang akan disajikan di meja.
"Dik, tadi para tukang nemu tulang belulang bayi di pojok sana." ucap Pak Hamka tiba-tiba.
Bu Nuri menghentikan kesibukannya. "Astaghfirullah. Terus gimana mas?"
"Mungkin itu bayi yang dikubur pemilik rumah terdahulu."
"Tapi nggak bakalan ada apa-apa kan mas?"
Pak Hamka terdiam sejenak, lalu memaksakan seulas senyum. "Insyaa Allah. Yaa semoga nggak ada apa-apa. Tapi tolong jangan beritahukan ini pada anak-anak. Nanti mereka takut."
Bu Nuri mengangguk. Tak lama kemudian kedua putrinya datang menghampiri meja makan.
'DUKKK DUKKK DUKKK'
Pak Hamka membuka mata secara perlahan dan menajamkan pendengaran.
'DUKKK DUKK DUKKK'
Sekali lagi ia mendengarnya, sesuatu memukul keras tembok rumah.
'DUKK DUKK DUKK'
Langkahnya pun terhenti diruang tamu, tepat di depan tembok bekas galian lubang. Dugaannya tepat, suara tersebut memang berasal dari rumah kosong.
Pak Hamka memandang tembok lekat-lekat. mencoba berkomunikasi secara batin dengan apa yang ada dibaliknya.
"Siapa kamu?"
Suara pukulan dibalik tembok itu berhenti. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang berat dan menggema dari sana.
"Siapa kamu? Kenapa kamu memukul-mukul tembok rumah saya?"
Lagi-lagi hanya ada suara tawa menggelegar, seolah mengejek.
Merasa diacuhkan, Pak Hamka mulai melafalkan doa-doa yang mengakibatkan suara tawa tersebut berhenti dan berubah menjadi suara geraman.
Pak Hamka merasakan intensitas aura jahat yang meningkat dari sana.
'DHUAAAAKKKK!'
Kali ini makhluk itu memukul tembok lebih keras dari sebelumnya, hingga membuat Pak Hamka mundur beberapa langkah. Tak lama kemudian tembok itu kembali hening.
***
Selama tiga bulan proses renovasi, untungnya tak menemui kendala yang berarti. Tidak, bukan karena memang tak ada yang mengganggu. Tapi karena Pak Hamka lebih waspada dengan menghalau segala gangguan. Meski gangguan itu kecil.
Suatu hari Lia, putri kedua Pak Hamka tiba-tiba demam. Pagi-pagi buta Pak Hamka langsung mengantarkan Lia berobat ke klinik terdekat. Sedang Bu Nuri menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan rumah seperti biasa sebelum berangkat mengajar.
Tak lama kemudian, keduanya sudah pulang dari klinik.
"Gimana mas? Lia sakit apa?"
"Cuma demam biasa. Disuruh gak masuk dulu selama 3 hari sama dokternya."
"Yaudah. Nanti saya ijinin di sekolah." ujar Bu Nuri kemudian.
Sebagai catatan, Bu Nuri adalah seorang guru SD. Dimana kedua putrinya juga disekolahkan ditempat yang sama dengannya mengajar. Bu Nuri dipindah tugaskan ke Jawa dari pulau 'B' tak lama setelah Tika, putri pertamanya dilahirkan.
"Nggak apa-apa ya nduk, dirumah berdua sama mbok Darmi?!"
Lia mengangguk lemas. Sebenarnya Bu Nuri tidak tega harus meninggalkan anaknya pergi bekerja saat sedang sakit begini. Tapi mau gimana lagi, pekerjaannya tak bisa ditinggalkan begitu saja.
"Nanti pas jam jam istirahat. Tak tengokin ke rumah nduk. Ya?"
Bu Nuri mengelus kepala anaknya sayang, lalu mengantarkannya beristirahat dikamar. Bu Nuri sedikit lega, untungnya jarak rumah yang sekarang dengan sekolah terbilang dekat.
Pukul 11.00 siang, Lia terbangun dari tidur. Badannya sudah lumayan enakan tapi masih lemas. Lia bosan kalau harus terus berbaring di ranjang. Akhirnya, bocah berusia 7 tahun itu memutuskan untuk menonton TV saja.
"Loh, mbak Lia kok malah bangun?" Tegur mbok Darmi, pengasuh sekaligus asisten rumah tangga keluarganya.
"Iya mbok. Bosan kalau tiduran terus."
"Ya sudah kalau begitu. Mbok mau jemur baju dulu. Kalau butuh apa-apa. Panggil si mbok aja ya dibelakang."
Lalu wanita paruh baya itu meninggalkan Lia seorang diri di ruang TV. Sudah satu jam Lia asik berkutat memandang layar berwarna hitam putih di depannya.
Tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara ayam. Lia menoleh, mencari si ayam.
Dan benar saja, matanya menangkap seekor ayam berwarna hitam tak jauh dari tempatnya berada.
"Loh kok ada ayam?"
Lia beranjak dari posisi dan mengecek pintu depan dan samping yang masih tertutup. Lewat belakang juga nggak mungkin, karena ada tembok tinggi yang menghalangi.
Setahunya tetangga disekitar rumah juga tak ada yang memelihara ayam. Lalu ayam ini berasal dari mana? masuk dari mana?
Karena takut si ayam buang hajat sembarangan, Lia pun bergegas mengambil sapu untuk mengusirnya.
"Hushh husshh!"
Saat si gadis kecil itu mengejarnya, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya berkebaya hitam menyambar si ayam dengan cepat.
"Loh? Si mbok?" Lia kaget dengan kehadiran mbok Darmi yang tiba-tiba.
"Biar saya saja yang bawa ayam ini keluar mbak." Ucapnya singkat.
Lalu mbok Darmi menggendong si ayam keluar menuju pintu depan.
"Mbak Lia ngapain bawa-bawa sapu?"
Lia kembali terlonjak kaget dengan kehadiran mbok Darmi dibelakangnya.
"Loh?? Mbok bukannya barusan ke depan bawa ayam?" Tanya Lia memastikan.
Mbok Darmi mengerutkan kening dan tampak berpikir sejenak.
"Laaah. Kan si mbok dari tadi dibelakang habis jemur baju."
Lia pun kebingungan dengan kejadian barusan.
Keesokan harinya, kejadian yang sama terulang lagi. Hingga di hari ketiga, ayam hitam itu muncul kembali. Lia mengintip dari balik kursi.
"Mboookk... Mbok Darmi!" Panggil Lia setengah berteriak. Tak ada sahutan.
"Mbooook ..."
Tiba-tiba ayam hitam itu menoleh ke arah Lia seolah merespon. Lia mengamati si ayam penuh seksama. Bulunya berwarna hitam legam. Jambul juga berwarna hitam, bukan merah seperti jambul ayam pada umumnya. Kepalanya berkali-kali menggedek ke kanan dan ke kiri sembari melangkah maju.
Lia semakin menyembunyikan diri dibalik kursi.
Hening...
Lia mengintip lagi.
"SAYA BAWA AYAMNYA KELUAR YA MBAK!"
Mbok Darmi menggendong ayam sembari melesat melewati Lia begitu saja. Kontan saja Lia yang terkejut, menangis dan langsung berlari ke arah dapur.
***
Minggu sore, tampak sekumpulan anak bermain bola di samping rumah Pak Hamka. Lebih tepatnya di depan pelataran rumah kosong. Baik anak laki-laki dan perempuan berbaur jadi satu. Tiba-tiba bola ditendang kencang oleh seorang anak, hingga melesat ke arah rumah kosong.
Merekapun saling berpandangan.
"Johan. Ambil bolanya. Kamu kan gagal nangkapnya."
"Gak mau. Kamu yang nendang kenceng, ya kamu yang harus ambil." Tunjuk Johan pada Jodi saudara kembarnya.
Mereka pun ribut dan saling tunjuk tentang siapa yang harus ambil bola.
Akhirnya Tika, putri pertama Pak Hamka, berdiri dari posisi penonton. Ia pun menghampiri biang keributan.
"Udah! Udah! Tinggal ambil aja ribut banget." Tegas Tika.
"Siapa yang mau ambil?" Tanya si Johan.
"Loh ya kalianlah. Kan kalian yang main bola."
Mereka semua terdiam.
"Ya sudah biar aku aja yang ambil." Tawar Tika tiba-tiba. Nita temannya langsung memegang lengan Tika untuk mencegatnya.
"Jangan Tik. Jangan kesana."
"Emang kenapa?"
"Ituu... anu..."
Nita membisiki telinga Tika "Rumah itu angker."
Tika mengerutkan kening. Sudah hampir setengah tahun ia menempati sebelah rumah kosong. Namun tak mendapati keganjilan apapun dari sana.
"Masa sih?"
"Iya. Apalagi banyak orang yang sering lihat kaki buntung di sana." Bisik Nita sambil melirik ke arah bola yang menghilang di samping rumah kosong. Tika berdecak.
"Nggak mungkinlah. Lagian ini masih terang kok, masa iya ada setan?"
"Yasudah terserah kamu saja."
Tika pun mulai berjalan seorang diri ke arah rumah kosong sembari sedikit memikirkan ucapan Nita.
Kini ia sudah sampai di samping rumah, dimana sekitarnya ditumbuhi rumput gajah yang tingginya sudah hampir selutut. Rumput-rumput tersebut benar-benar menghalangi penglihatan.
Akhirnya Tika memutuskan memungut sebuah ranting panjang.
Dimana ranting tersebut akan digunakan untuk menyibak-nyibakkan rumput, agar lebih mudah menemukan bola. Hingga pandangan mata menangkap sebuah objek berwarna kuning, menyembul dibalik rerumputan.
"Nah itu bolanya."
Tika berjalan ke arah belakang rumah. Saat akan mengambil, matanya menangkap objek yang lain.
Jantungnya berdegup kencang manakala korena mata menangkap sepasang kaki berdiri tegak di depan bola. Hanya saja, itu sepasang kaki tanpa badan.
Kaki buntung dari ujung jari hingga sendi kaki saja. Kaki itu tak bergerak. Dengan hati-hati Tika mulai membungkuk mengambil bola.
'SREEKK.. SREKKK'
Spontan Tika menoleh, Kosong. Hanya rimbunan semak. Matanya kembali ke arah posisi tadi, namun kaki buntung itu sudah hilang. Tanpa menunggu lagi, Tika langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat tersebut.
***
Pak Hamka terdiam mematung memandangi rumah kosong itu dari kejauhan. Matanya memicing, mencoba menembus kedalam. Bertanya-tanya misteri apa yang tersembunyi dibaliknya. Dari mata batin, ia hanya melihat sekumpulan makhluk-makhluk tak kasat mata tingkat menengah berseliweran.
Seperti apa yang terdapat pada tempat tak berpenghuni biasa. Tapi kenapa auranya terasa jahat dan pekat sekali. Sekilas tercium bau anyir, hanya saja tertutup dengan bau-bau lain. Seperti aroma menyan berbaur dengan wangi melati yang menyengat. Entahlah.
Yang jadi masalah, energi negatif dari rumah kosong itu sering berseliweran juga ke rumah. Hingga mengakibatkan gesekan energi yang cukup kuat antar dimensi. Hal itu membuat hawa rumah menjadi panas. Tak jarang kedua putrinya juga terkena imbas.
Tika dan Lia jadi sering sakit-sakitan. Padahal Pak Hamka hampir setiap hari membersihkan energi-energi negatif itu dari rumah. Bahkan sekarang, ia jadi jarang ke masjid. Karena lebih memilih mengajak keluarga kecilnya berjamaah di rumah saja.
Awal mula kekhawatiran muncul, ketika ia mendapat laporan dari Lia anak keduanya tentang kemunculan ayam dan Mbok Darmi yang jadi dua. Setelah kejadian itu, demamnya makin menjadi. Karena ada energi negatif yang masih menempel pada Lia.
Mau tak mau Pak Hamka meruwat Lia tiap malam, dengan membacakan ayat kursi 7 kali lalu ditiupkan di ubun-ubun.
Masalah kedua muncul, setelah Tika juga melapor melihat kaki buntung dibelakang rumah kosong. Malamnya, Tika 'girap-girap', 'sawan', atau istilahnya ketakutan, dan selalu terbayang-bayang melihat kaki buntung itu.
Belum lagi yang katanya Mbok Darmi sering diganggu, dengan kejadian perkakas yang tiba-tiba hilang atau berpindah tempat. Tak hanya mbok Darmi, tapi seisi rumah juga pernah dikerjai dengan hal serupa.
"Eh Pak Hamka kok ngelamun sendiri di sini. Awas kesambet loh." Tegur Pak Tejo, salah satu warga komplek.
"Nggak pak. Cuma lagi ngamatin rumah kosong sebelah rumah saya."
Pak Tejo melihat rumah yang ditunjuk Pak Hamka begidik ngeri.
"Hih... Emang rumah itu singup pak alias angker."
"Oh ya. Ya maklum pak namanya juga rumah kosong." Jawab Pak Hamka mengulas senyum.
"Bapak nggak takut apa? nggak pernah diganggu apa-apa gitu?"
Pak Hamka menggeleng berpura-pura tak tahu.
"Gini Pak Hamka, bukannya saya menakut-nakuti atau gimana. Ini supaya lebih berhati-hati aja."
Pak Tejo kembali melanjutkan ceritanya.
"Jadi gini, rumah itu lebih dari 10 tahun gak ditempatin. Warga sering melihat penampakan di sini."
"Oh ya?"
"Iya pak. Ada yang pernah melihat kaki buntung di belakang atau dipekarangan rumah. Ada yang ngeliat pocong. Pernah nih, Bu Isma, itu loh pak. Penjual gorengan yang rumahnya ada dibelakang rumah Pak Hamka. Malam-malam ngelihat seorang bapak tua yang ngerokok di teras rumah kosong sendirian. Dikira memang orang pikun karena perawakannya sudah tua sekali, pas mau disamperin, eh hilang. Orang-orang juga sering melihat wanita berpakaian putih tampak berjalan mondar-mandir di balik jendela."
"Wah rame juga ya pak." Canda Pak Hamka.
"Ya ngeri pak. Uhm.. Pernah ada suatu kejadian. Ada maling yang malam itu dikejar oleh para peronda. Nah, dua orang maling tersebut ternyata bersembunyi di sana. Tak ada seorang pun yang tau. Pagi-pagi mereka berdua ditemukan tergeletak begitu saja di depan rumah kosong."
"Terus?"
"Saat ditemukan kondisi mereka cukup menyedihkan. Salah satunya bibirnya miring membeletot ke kanan, gak bisa balik. Yang satu gak bisa lihat."
"Tapi masih hidup?"
"Ya hidup Pak. Lalu didatangkan orang pintar. Kata orang pintarnya, memang mereka habis dikerjain si penunggu rumah. Kemudian disembuhkan kedua-duanya sama si orang pintar."
"Sebelum dibawa ke kantor polisi, kedua maling itu di interogasi oleh warga. Mereka pun menceritakan, saat bersembunyi di rumah kosong mereka mengalami hal-hal yang mengerikan. Puncaknya ada sesuatu tak kasat mata menamparnya keras sekali. Nah orang yang satu lagi langsung dicolok kedua matanya dengan sesuatu yang panas. Makanya gak bisa lihat apa-apa."
Pak Hamka mengangguk mengerti mendengar cerita Pak Tejo.
"Ahh iya satu lagi. Kata yang sering lewat sini, mereka sering mendengar bayi yang menangis."
Pak Hamka mengerutkan dahi
"Bayi?"
***
Malam itu Bu Nuri harus tidur sendirian, karena Pak Hamka tidak pulang. Kalau sudah ada bisnis makelar, memang Pak Hamka bisa tidak pulang beberapa hari. Pak Hamka sendiri juga menyambi profesi jadi makelar selain usaha toko.
Bidangnya pun macam-macam, kadang menangani jual beli bawang merah ber truk truk, jual beli tanah, kendaraan bermotor, barang antik, dan lain-lain.
Pak Hamka memang tipe pekerja keras, tak mau mengandalkan satu penghasilan saja selama masih mampu.
Prinsipnya, jika kita punya 9 pintu rejeki, mengapa tidak kita buka ke 9 pintunya. Meskipun berasal dari keluarga berada dengan warisan tanah dimana-mana, Pak Hamka tidak jumawa bermanja-manja. Karena sejak kecil sudah di didik keras dengan pola hidup susah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bu Nuri juga sudah mengecek kondisi anak-anak yang terlelap di kamar. Ini waktunya rehat.
Bu Nuri mulai merebahkan tubuh di atas kasur. Baru sejenak memejamkan mata.
Lalu membuka mata kembali karena merasa ada sesuatu yang berat menindihnya.
Dan benar saja, ada sesosok wanita berpakaian putih lusuh berdiri di atas dada. Rambutnya panjang, sebagian menutup wajah. Menunduk menatap Bu Nuri dengan mata tanpa kornea.
Wajahnya rusak dengan mulut menganga lebar. Bu Nuri kaget bukan main, berusaha bergerak namun tak bisa. Bahkan ujung jaripun susah digerakkan.
Wanita itu makin kuat menindih, makin lama makin membelasakkan kakinya yang samar ke dada Bu Nuri.
Bu Nuri tak bisa bernafas, paru-parunya seolah terhimpit, tertutup tanpa udara. Nafasnya tersengal-sengal, ingin sekali berteriak namun tak bisa. Bahkan melafalkan doa-doa pun tak mampu berkata.
Bu Nuri mengucap istighfar dalam hati dengan terbata-bata. Ntah, saat itu rasanya berada di ambang hidup dan mati. Makin lama udara yang dihirup tak ada lagi.
"Mak, Lia tidur sini ya?"
Bu Nuri terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Sebisa mungkin ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, tak mau kehilangan oksigen lagi. Badannya dingin namun berkeringat. Ia menoleh, memeluk Lia.
Lia pun terheran-heran. Menatap kondisi ibunya seperti orang yang habis lari maraton berkilo-kilometer.
"Makasih nak. Ma.. kasih." Ucap Bu Nuri terbata-bata.
Benar, Bu Nuri baru saja mengalami ketindihan. Untung saja Lia saat itu datang ke kamar dan menyentuh tangannya. Yang akhirnya bisa membuat Bu Nuri bergerak lagi.
Gerimis hujan terdengar turun, tetesan airnya berdetik jatuh ke atap rumah, menghasilkan irama ritik disekitarnya. Udara menjadi semakin dingin, berhasil menyeruak masuk ke dalam rumah.
Bersamaan dengan itu Bu Nuri kembali harus berhadapan dengan sosok wanita berwajah rusak.
Kali ini wanita itu jongkok dan semakin mendekatkan wajah. Dari mulutnya yang menganga keluar lendir hitam dengan bau menyengat.
Lagi, dadanya dihimpit kuat-kuat. Rongga paru tak bisa dimasuki oksigen. Bu Nuri berjuang sekuat tenaga untuk bergerak.
Rasa takut makin membuat makhluk itu menjadi kuat. Bu Nuri tak mampu berucap istighfar. Hanya satu kata yang berhasil ia gumamkan dengan susah payah.
"Allah... Al..laahh.. Al...laa..ah. Yaa. Allah."
Lafadz itu berhasil membuat jari telunjuknya bergerak.
Bu Nuri terjaga dengan nafas tak beraturan. Ini sudah yang keberapa kali ia ketindihan sosok wanita itu.
Tiap suaminya tidak tidur di rumah. Pak Hamka selalu menyarankan untuk berwudhu sebelum tidur, jangan sampai lupa berdoa.
Tapi namanya juga manusia, lupa pasti pernah menghinggapinya. Di saat lengah seperti itu, Bu Nuri pasti mengalami ketindihan.
Dan makhluk yang menindihnya selalu sama, sosok wanita berwajah rusak.
"Mas, gimana ini? Aku sering ketindihan wanita berwajah rusak itu. Stres aku mas lama-lama. Ngajar sampe gak bisa konsen." Keluh Bu Nuri pada suaminya.
Matanya berkaca-kaca. Pak Hamka memandang istrinya tak tega.
Bukan tak pernah berbuat apa-apa. Pak Hamka sendiri susah menemukan keberadaan wanita berwajah rusak itu.
Tiap berada di rumah, dicari, bahkan dipancing pun sosok itu tak berani menampakkan diri . Tapi kenapa malah mengganggu istrinya terus menerus? Pak Hamka mulai kesal.
***
Tiga minggu setelahnya, Pak Hamka kembali pamit tidak pulang selama dua hari karena harus pergi kulak barang meubel di daerah Jepara.
Bu Nuri sedikit khawatir karena itu berarti dia harus tidur sendirian lagi malam ini. Tapi Pak Hamka berusaha menenangkan.
"Jangan khawatir. Tidak akan terjadi apa-apa."
Bu Nuri memaksakan seulas senyum sembari mengangguk. Lalu mencium takzim punggung tangan suaminya.
Malam hari menjadi lembab dan dingin, karena bekas hujan yang baru saja berhenti. Awan mendung yang tadinya menutupi, pelan-pelan menyingkir membiarkan bulan terlihat penuh. Tak menghalangi sinarnya.
Disaat yang sama Pak Hamka terlihat menahan sesuatu dengan kedua tangan, tepat di depan kamarnya. Ia kemudian menarik, menyeret sesuatu tak kasat mata untuk menjauh.
Wanita berwajah rusak itu mencoba menahan tali ghaib yang menjerat leher.
Terlihat marah namun kalah. Iya, Pak Hamka tidak benar-benar pergi ke Jepara. Ia memang pergi, lalu diam-diam kembali di malam yang sama.
Rencananya telah berhasil, untuk menangkap si wanita berwajah rusak yang terus mengganggu sang istri.
Sosok itu menangis pilu memohon untuk dilepaskan. Namun Pak Hamka tak akan tertipu. Ia sudah paham betul dengan tipu daya makhluk-makhluk seperti itu.
"Kamu pergi jangan pernah kembali kesini atau saya lenyapkan?"
Si sosok menangis lalu tertawa melengking setelahnya.
"Jangan... Hihihihi... Gak mau. Saya suka istrimu. Baunya enak. Hihihihi."
"Yaa sudah berarti saya lenyapkan saja kamu."
Pak Hamka mulai melafalkan doa-doa. Sosok itu menggeram dan terlihat marah. Lama kelamaan merintih seolah kesakitan.
"Saya tidak bisa meninggalkan tempat ini. Tidak bisa! Jangan lenyapkan saya. Anak saya masih di sana. Hihihi."
Pak Hamka berhenti sejenak melafalkan doa.
"Anak?"
Sosok itu kembali menangis.
"Anak saya... Bukan! Bayi saya mati di sana."
Pak Hamka berpikir sejenak. Mungkin ini saatnya mencari tahu, meski ia tidak akan sepenuhnya mempercayai sosok itu.
"Kamu penghuni lama di rumah kosong itu bukan. Ceritakan apa yang ada di sana!"
Sosok berwajah rusak itu terdiam sejenak seolah ketakutan.
"Saya tak bisa bilang. Hihihihi."
"Memang kenapa?"
"Saya tidak bisa. Tapi saya akan menceritakan tentang apa yang terjadi pada saya dan bayi saya."
Sosok itu terlihat duduk. Kepalanya berputar perlahan. Menggedek dari kiri, depan, kanan, dan belakang. Seolah tak memiliki tulang leher. Hingga tak mampu menahan berat kepala.
Pak Hamka terdiam namun tetap bersikap waspada.
***
Namaku Dini. Usiaku masih terbilang muda, 19 tahun. Namun aku sudah terjun di dunia hitam. Dunia pelac*ran.
Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan saat aku masih kecil. Di usia 14 tahun, paman dan bibiku sendiri menjualku kepada seorang germo di kota 'S' demi menutupi hutang-hutang.
5 tahun aku bergelut di dunia malam, ntah sudah berapa ratus kali melayani lelaki hidung belang. Aku tak peduli, tubuh dan hatiku mati rasa.
Jika kau tanya harga diri? Aku sudah tak punya. Yang penting aku tak kelaparan.
Beberapa kali juga aku harus menahan sakit dan bolak-balik ke dokter kandungan. Karena luka-luka pada alat v*tal.
Hingga suatu malam, aku melihatnya.
Aku menghisap rokokku kuat-kuat sembari duduk menggoda dengan baju minim. Lelaki itu, bertubuh gagah, kumis tipis menghiasi wajah tampannya. Ku taksir usianya sekitar 30 tahun, mungkin. Ia seperti tertarik padaku lalu datang mendekat.
Aku senang-senang saja jika mendapat pelanggan bagus seperti ini. Kami berkenalan, tapi perkiraanku salah.
Ternyata usianya sudah 42 tahun. Sungguh, penampilannya tidak terlihat tua sama sekali. Yah usia berapapun tak masalah. Toh aku juga pernah melayani kakek-kakek.
Dia banyak tersenyum padaku. Pandangannya lembut. Tidak kurang ajar seperti pelangganku kebanyakan.
Dalam hati pun bertanya-tanya, kenapa lelaki sempurna ini malah datang ke tempat seperti ini? Seolah bisa membaca pikiranku, ia pun menjelaskan.
"Ahh.. Aku diajak rekan bisnisku. Kalau pun menolak juga tak enak."
Dia tersenyun kembali. Senyum yang sedikit membuat hatiku berdesir. Lalu germoku datang.
"Hmm.. pilihan yang bagus boss. Dini ini memang paling laris. Pelanggannya pun banyak. Hahaha "
Ntah untuk pertama kali, aku tidak suka germoku berkata demikian. Terutama dihadapan laki-laki ini. Padahal biasanya dihina atau direndahkan seperti apapun aku tak peduli.
"Ah.. bukan seperti itu." Jelas lelaki itu.
Tiba-tiba germoku menyerahkan sebuah kunci.
"Ini.. kamar 13. Pak Darmo sudah membayar semua biayanya."
"Ahhh... itu."
"Kalau tidak mau, Dini akan aku oper ke pelanggan lain. Dia ini sudah banyak yang booking. Aku kasih penawaran spesial karena kamu pelanggan baru."
Spontan aku menggenggam tangannya dan menggeleng cemas.
'Duh. Jangan biarkan aku pergi dengan pelanggan lain.' Mataku seolah berbicara demikian padanya.
Dengan ragu-ragu lelaki gagah itu akhirnya menerima kunci tersebut. Aku bersorak dalam hati. Kami pun memasuki kamar. Sepertinya malam ini akan menjadi seru.
Begitulah yang kupikirkan, namun ternyata salah. Dia tidak menyentuhku sama sekali. Aku sedikit kecewa pada awalnya.
Tapi lagi-lagi aku salah. Mengobrol seperti ini lebih menyenangkan daripada yang kukira.
Yahh, tubuhku bisa beristirahat juga. Dia bilang hanya butuh teman mengobrol. Kulihat wajahnya sedikit muram saat menceritakan tentang istrinya.
Istrinya yang egois yang tidak memperdulikan suami dan anak-anaknya.
'Dasar wanita bodoh. Malah menyia-nyiakan lelaki seperti ini.' Batinku kesal.
"Besok aku boleh datang kesini lagi? Menyenangkan sekali mengobrol denganmu. Bebanku jadi sedikit berkurang."
Aku mengerjap senang. "Boleh. Tentu saja. Uhmm tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Siapapun yang menghabiskan waktu bersamaku. Harus tetap membayar pada bang Edi (germoku)."
"Ohh... soal itu tak usah khawatir."
Lelaki itu tersenyum menenangkan. Singkat cerita, lelaki gagah yang kutahu bernama Harun, hampir setiap hari datang. Kami menghabiskan waktu hanya sekedar mengobrol, jalan-jalan, dan makan bersama.
Dan ia tak pernah menyentuhku. Untuk pertama kali aku merasa begitu dihormati sebagai wanita.
Hingga suatu hari ia bilang jatuh cinta padaku dan ingin menikahiku, namun dibawah tangan, karena tidak mungkin menceraikan istrinya.
Bagaimana nasib anak-anaknya. Awalnya aku bimbang. Namun karena terlanjur mencintainya, akhirnya ku -iya- kan. Lalu Harun menebusku dengan harga yang sangat mahal pada Bang Edi.
***
Kami menikah dibawah tangan. Harun mengajakku pindah ke kota 'K', dimana salah satu bisnisnya juga ada di sana. Satu bulan kemudian aku hamil. Suamiku Harun bahagia sekali mengetahui kabar itu.
Semenjak mengetahui berita kehamilanku, Harun jadi lebih sering mengunjungiku. Biasanya hanya 2 minggu sekali.
Tapi sekarang bisa 3 hari atau paling lama seminggu sekali. Aku tak pernah membayangkan akan bisa hidup bahagia dan se-normal ini.
Memasuki bulan ke sembilan- 2 minggu. Aku mengalami pembukaan pertama. Kami ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.
Dokter bilang, mungkin tak sampai 24 jam aku akan melahirkan. Harun sedikit terkejut.
Dokter menyuruh rawat inap, namun Harun menolak. Akhirnya kami pulang dengan seribu pertanyaan dikepalaku.
Saat sampai dirumah, ia menyuruh pembantu kami mengemasi barang-barangku untuk persiapan kelahiran.
Kulihat dia menuju ke pesawat telpon dan menelpon seseorang. Aku tak bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan, karena tiba-tiba saja kesakitan merasakan kontraksi.
Mobil kami melaju menuju keluar kota, aku terdiam tak ingin melontarkan pertanyaan. Melihat ekspresi suamiku yang juga lebih banyak diam.
Tibalah kami disebuah rumah yang ada dipinggiran kota. (Waktu itu kecamatan 'P' belum sepadat sekarang).
Rumahnya cukup besar dan memiliki pekarangan yang luas. Disekelilingnya ditumbuhi pohon mahoni yang cukup rindang.
"Ini dimana mas?" Tanyaku saat menuruni mobil.
"Kamu akan melahirkan di sini." Jawabnya singkat. Seraya menyuruh supir mengangkat seluruh barangku dari bagasi.
Di depan rumah, ternyata kami sudah disambut beberapa orang. Dua orang berperawakan ibu-ibu, dan tiga orang lelaki bertubuh besar seperti preman.
Salah satunya memiliki penampilan seperti dukun. Memakai baju hitam longgar dengan ikat kepala berwarna senada. Aku semakin curiga.
Malamnya, aku mengalami kontraksi yang sangat hebat. Lebih dari kontraksi sebelum-sebelumnya. Seorang ibu-ibu yang kutaksir dukun bayi mulai memeriksaku.
"Sudah waktunya." Ucapnya pada Harun.
Aku menjerit kesakitan dan menahan tangan suamiku.
"Mas tolong temani. Jangan tinggalkan aku sendiri."
"Kamu tak sendirian. Ada mbok Ijah dan Bu Yuyun yang menemani." Ucapnya singkat.
Sekilas aku melihat senyum tipis yang mengerikan dibibirnya. Harun melepas paksa tanganku dari tangannya.
Aku menjerit. Pikiranku berkecamuk jadi satu, antara rasa sakit dan bingung. Ntahlah, aku harus fokus melahirkan anak ini dengan selamat.
Tibalah saatnya yang ditunggu-tunggu. Aku berhasil melahirkan bayi perempuan dengan selamat. Di sisa-sisa tenagaku, mbok Ijah datang mendekat dan menunjukkan bayiku yang cantik.
"Lihatlah sepuas-puasnya sebelum aku membersihkannya."
Ucap mbok Ijah misterius.
Aku mengkerutkan kening sejenak, lalu kembali memandang anakku penuh sayang. Tak lama kemudian mbok Ijah mengambil anakku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhku terasa sangat lemah. Samar-samar kulihat bayi perempuanku dibersihkan dan dimandikan dengan air bertabur bunga.
Lalu dibungkus dengan kain berwarna merah.
Harun mulai memasuki ruangan dan mengambil bayiku. Dia memandangku sekilas, lalu keluar bersama mbok Ijah dan Bu Yuyun. Meninggalkanku begitu saja.
Aku benar-benar merasa aneh. Naluriku sebagai ibu menyuruhku untuk bergerak. Memeriksa apa yang terjadi.
Di sisa-sisa tenaga dan rasa sakit yang luar biasa diselangkangan,aku mencoba terbangun dari posisiku.
Ku lihat sisa darah masih menempel disekitar kaki dan kasurku. Belum dibersihkan sama sekali.
Dengan tertatih aku mencoba berjalan, langkahku memaksa untuk segera keluar dari kamar. Baru kusadari, lampu listrik hanya menerangi kamar tempatku bersalin.
Sedangkan bagian lain dari seluruh ruangan dan lorong, diterangi dengan lilin-lilin saja.
Sayup-sayup kudengar suara bayi menangis. Kujelajahi setiap sisi ruangan dan memeriksa setiap kamar.
Hingga akhirnya langkahku terhenti tepat dimana suara bayi menangis itu terdengar lantang.
***
Aku menempelkan daun telinga pada pintu kayu jati di kamar itu. Mencuri dengar dengan seksama apa yang ada dibaliknya.
Terdengar tangis bayi yang tersengal-sengal, bersamaan dengan itu samar kudengar orang bergumam. Tidak, bukan bergumam.
Tapi seolah merapal mantra dengan bahasa jawa.
'Apa? Apa yang sebenernya terjadi? Apa itu suara bayiku?' tanyaku dalam hati.
TOKK TOKK..
"Mas?"
"........"
(Suara tangis bayi makin kencang)
TOKKK TOKK TOKKK
"Mas? Mas Harun. Kamu di dalam bukan? Apa itu suara bayi kita?"
TOKK TOKK TOKKK
Karena tak ada respon, aku mencoba membuka engsel pintu namun gagal. Seolah ada yang menahan. Aku yakin bayiku ada di dalam sana.
TOKK TOKK TOKKK
"Mas? Buka mas? Apa yang kamu lakuin ke bayi kita? Aku mau liat bayiku mas... huhuhuhu."
Air mataku merembes. Ada yang salah didalam sana. Perasaanku benar-benar tidak enak.
Aku terus berusaha membuka pintu bahkan menggedor-gedornya sekuat tenaga.
Tak merasa putus asa, kucari sesuatu itu untuk membuka paksa.
Aku berjalan menyeret sedikit kaki-kakiku, menelusuri ruang demi ruang meski dengan pandangan sedikit buram, karena tangis dan pencahayaan temaram. Ku usap kedua mataku yang basah, lalu kutangkap sepasang kapak yang menempel di dinding sebagai pajangan.
Ku seret sebuah kursi, menaikinya, mengambilnya berjinjit dengan susah payah, karena posisi yang cukup tinggi.
Sayup kudengar suara tangis bayiku yang makin kencang. Kuabaikan rasa sakit dikedua selangkangan.
Akhirnya, aku bisa menggapainya. Meskipun kapak itu hampir terlepas dari genggaman dan hampir mengenai jari kakiku.
Lagi kupaksa langkah kakiku meski tertatih. Tanpa menunggu, sontak kuayunkan kapak ke gagang pintu.
Kuayunkan beberapa kali sekuat tenaga hingga gagang itu hancur dan engselnya terjatuh ke tanah.
Kujatuhkan kapak, lalu kudorong tubuhku dengan mudah. Semudah itu pintu terbuka. Namun beberapa tangan langsung menahanku.
Mataku membelalak melihat pemandangan mengerikan di depanku. Apa yang kulihat adalah, seluruh ruangan yang ditutupi kain berwarna merah di seluruh dindingnya.
Di salah satu tembok, tergantung sebuah kepala kerbau hitam bertanduk besar lengkap dengan sebuah meja yang mana diatasnya ditaruh dupa, pot menyan, keris, bunga, dan lain-lain. Kamar ini sebuah kamar ritual.
Bayiku di letakkan diatas pelepah daun pisang diatas sebuah batu berbentuk balok. Seperti batu persembahan. Di dekatnya kulihat seorang pria paruh baya berpakaian hitam merapalkan sesuatu dari mulutnya.
Di sebelah lelaki itu, berdiri suamiku sendiri Harun, memegang sebuah parang sembari menatap lekat bayi kami.
'Apa? Apa? yang akan dilakukannya dengan parang itu?'
Aku memberontak, berteriak berusaha melepaskan diri. Namun yang memegangiku dua lelaki bertubuh besar.
Tenagaku kalah dengan mereka. Ya, mereka adalah preman yang tadi siang menyambutku.
Harun menyerahkan parang pada lelaki berbaju hitam itu. Lelaki yang kuduga adalah seorang dukun mulai mengangkat parang.
Tepat dibelakangnya kulihat bayangan tinggi hitam besar. Besar sekali hingga tingginya mencapai batas atap rumah.
Aku mendongak, semua terjadi begitu cepat.
Parang itu terayun, membelah leher bayiku dengan mudah. Kepalanya menggelinding tepat dibawah kakiku. Tubuh kecilnya sempat menggelinjang sepersekian detik hingga tak bergerak lagi.
Darah mengucur perlahan, keluar dari nadi leher kecil yang terputus itu.
Aku berteriak, meraung, berharap semua yang kusaksikan ini hanya mimpi.
Kulihat Harun menempelkan telapak tangan pada darah bayi yang masih mengalir. Ia pun mengusapkan darah itu ke wajahnya secara perlahan. Aku tak mampu berkata apa-apa.
Di saat yang sama, sesuatu bergejolak hebat dari lambung. Spontan kukeluarkan semua isi dalam perut. Lalu apa yang kulihat kemudian adalah gelap seluruhnya.
***
"Jadi kamu langsung mati saat itu?"
"Belum."
"Lalu matinya kenapa?"
"Depresi lalu gantung diri. Hihihihi."
"Lalu dimana Harun sekarang? Apa yang terjadi dengannya? Dia masih hidup?"
Tiba-tiba atmosfir seluruh ruangan turun hingga suhu terendah. Dini menggeram.
"Cari tahu saja sendiri."
Sosok Dini pun berubah makin samar, kemudian menghilang. Pak Hamka menoleh kesana-kemari mencari keberadaannya.
"Sial. Dia melarikan diri rupanya." Helanya kesal.
"Baiklah. Akan saya cari tahu sendiri. Paling tidak saya mendapat sedikit petunjuk. " Ucapnya pada diri sendiri.
***
Sudah satu bulan Bu Nuri akhirnya tak pernah ketindihan lagi. Namun, bukan berarti gangguan yang lain ikut berhenti.
Selain mendapat gangguan tak kasat mata, keluarga Pak Hamka sendiri merasa tak aman dengan lingkungan sekitar.
Dikarenakan komplek perumahan Gg. Arjuno saat itu sering terjadi pencurian, serta preman-preman yang berkeliaran di kala malam.
Pak Hamka pun memutuskan untuk membangun rumah dibelakang toko meubelnya di kecamatan 'K'.
Namun pembangunan juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tidak mungkin juga membiarkan keluarganya terus-terusan hidup tak tenang.
Satu alasan yang cukup kuat. Membuatnya mencari tahu tentang rumah kosong agar dapat memindahkan para penghuninya yang cukup mengganggu sekitar. Tapi bukan perkara mudah tentu saja.
Pak Hamka tak mampu mengatasinya sendiri. Dia butuh bantuan.
Disuatu sore Pak Hamka bertemu dengan seorang teman. Teman itu datang dari sebuah perjalanan, teman yang bersedia memenuhi undangan Pak Hamka jauh-jauh hari sebelumnya.
Pak Hamka melambai pada seorang lelaki berusia hampir setengah abad, yang tampak menenteng sebuah tas selempang hitam lusuh. Pak Rusdi namanya.
Pak Hamka mengajaknya masuk ke sebuah warung kopi tak jauh dari rumah.
"Ono opo maneh?"
(Kali ini ada apa lagi?) Tanya Pak Rusdi disela-sela menikmati hisapan rokoknya.
Tampak asap mengepul disekitar wajah Pak Hamka, namun ia terlihat tak terganggu sama sekali.
"Butuh bantuanmu lah. Gawe mindah sing manggon nang sebelah omahku. Ganggu nemen soale." (Aku butuh bantuanmu. Untuk memindahkan penghuni yang ada disebelah rumahku. Karena sudah mengganggu sekali).
"Angel nemen tah? Kok kowe ra iso mindah dewe?"(Sulit sekali kah? Sampai kamu tidak bisa memindahkan sendiri?).
"Angel. Bekas tumbal soale. Ilmuku gak sampe semunu." (Susah. Karena bekas tumbal. Ilmuku belum setinggi itu).
Pak Rusdi berdecak. Lalu menyesap kopi hitamnya sesaat.
"Halah. Gawe o N********* mu iku ae lah. Kuat-kuat. Paling yo amblas entek sak rojo-rojone." (Halah. Pakai saja N******** mu saja lah. Dijamin kuat. Bahkan bisa menghabisi raja-rajanya juga).
Pak Hamka terdiam. "Emoh Rus. Angel gawene. Kadung ambu getih iku soale. Resikone terlalu gede." (Nggak mau Rus. Terlalu sulit. Terlanjur bau darah. Resikonya terlalu besar).
"Hmm... iyo se. Tapi nek kowe iso ngendalikne. Iso sakti tenan." (Hmm. Iya sih. Tapi Kalau kamu bisa mengendalikan. Bisa sakti sekali).
"Rus. Aku nganggep e iku pusaka peninggalan turun menurun tekan mbah-mbahku. Ora bakal tak gunakne. Cuma tak ramut ae. Sirik engko dadine."(Rus. Aku hnya menganggap itu pusaka peninggalan turun menurun dr nenek moyangku. Tak akan kugunakan. Hanya aku rawat saja. Sirik nanti jadinya).
"Ck... iyo.. iyo. Tak ewangi kowe. Kayak karo sopo ae. Aku mung guyon. Hahaha. Yo wes, duduhi omah e sing endi. Tak delok e sik." Jawab Rusdi kemudian.
(Ck... iya iya. Aku bantu. Kayak sama siapa saja. Aku cuma bercanda. Hahaha. Ya sudah, kasih tahu yang mana rumahnya. Mau aku lihat dulu kondisinya."
Pak Hamka menyunggingkan seulas senyum. Tak lama kemudian keduanya sampai di depan rumah kosong.
Pak Rusdi tampak mendelik menatap rumah tersebut.
"Cuk! Kowe gak ngomong nek isine kayak ngene!" Umpat Rusdi kemudian. (Sial! Kamu kok gak bilang kalau isinya kayak gini).
***
"Opo'o Rus? (Kenapa Rus?)
"Ambu anyir e nemen. Duhh omah iki wes ngentekne tumbal piro ae se? Bayi thok. Jahanam!"
(Bau anyirnya terlalu parah. Duh.. rumah ini sudah memakan tumbal sebanyak apa? Bayi semua. Jahanam).
"Lohh... langsung weruh tumbal bayi ne kowe?" (Lohh... kamu langsung kelihatan tumbal bayinya?)
"Iyo weruh. Sik tak terawang e. Setan opo sing mangan tumbal iki." (Iya tahu. Sebentar aku terawang dulu. Setan jenis apa yang makan tumbal-tumbal ini).
Rusdi memejamkan mata sejenak. 5 menit kemudian ia kembali membuka kelopak mata dan menghela nafas panjang.
"Golek panggon sing penak ngge omong-omongan Ham." (Cari tempat yang enak buat ngobrol Ham).
"Yawes, ayo langsung mlebu nang omahku ae." (Ya sudah, ayo langsung masuk ke rumahku aja).
Ujung mata Rusdi tampak melirik sesuatu.
"Ojo. Balik nang warkop maeng ae gak opo-opo." (Jangan. Balik lagi ke warkop tadi saja).
Hamka yang tampak mengerti maksud Rusdi, mengajak temannya kembali ke warkop.
Setelah sampai di warung kopi, Hamka dan Rusdi memilih meja di sisi pojok.
Suasana Warkop yang merangkap jadi warteg itu tampak terlihat lebih sepi dari sebelumnya, mungkin karena senja makin menenggelamkan diri bersiap digantikan petang.
Rusdi kembali menggumamkan sesuatu.
"Wes aman. Ben gak ono sing nguping." (Sudah aman. Biar nggak ada yang nguping).
Hamka tersenyum tipis, ia sendiri juga menyadari sosok tak kasat mata yang sedari tadi mengikuti mereka. Sosok berwujud seperti tuyul namun berwajah tua yang ada dibelakangnya, memang sudah tak tampak lagi.
Rusdi mulai menceritakan apa yang dilihatnya tadi ketika 'meraga sukma'.
"Ngene Ham. Aku durung ketemu karo rojo demit e ki maeng. Sing mangan tumbal. Ndelik kayak e. Durung maneh dicegati karo kroco-krocone.
Tambah kangelan aku. Iki, kudu nemu 'wadah'demit e sik nang kunu. Dikubur nang njero omah kosong iku. Masalah e, aku gak weruh panggon pastine. Bengi iki aku tak 'ngelakoni', ben nemu cara nemu 'wadah' e." (Begini Ham. Aku belum berhasil menemukan raja iblisnya. Yang makan tumbal. Bersembunyi sepertinya. Belum lagi di hadang sama anak buahnya. Membuatku makin kesulitan. Caranya harus menemukan 'wadah' iblis itu di sana. Dikubur di dalam rumah kosong tersebut.
Masalahnya, aku tidak tau dikubur disebelah mana. Malam ini aku akan melakukan ritual. Agar berhasil menemukan si 'wadah' ini).
"Nek butuh opo-opo. Ngomong e aku Rus. Tak usahane ngentukne." (Kalau butuh apa-apa. Kasih tahu aku Rus. Aku usahakan untuk mendapatkannya).
Rusdi mengangguk pelan.
"Yo.. yo... yo. Golekne aku iki ae." (Ya ya ya. Carikan aku barang-barang ini saja).
Pak Rusdi memberitahukan apa-apa yang harus dicarikan Pak Hamka.
Pak Rusdi dan Pak Hamka adalah teman seperguruan. Pak Rusdi bisa dibilang 'orang pintar' namun bukan yang berilmu hitam. Dia memang lebih mendalami 'ilmu kebatinan' daripada Pak Hamka sejak lama.
Sedang Pak Hamka, mempelajari ilmu kebatinan hanya sebagai tameng saja. Selain karena almamater pondok juga.
"Sesuk tak kabari." (Besok kukabari).
"Teros kowe engko nginep nak omahku a?" (Terus kamu nanti mau nginep dirumahku atau bagaimana?).
Rusdi mengibaskan tangan
"Gaklah. Wong arep ngelakoni. Aku tak turu nak omah e mertuaku sing tekan bojo kedua ku ae."
(Nggaklah. Aku kan mau melakuan ritualnya. Nanti aku numpang tidur di rumah mertuaku yang dari istri keduaku saja).
Setahu Pak Hamka, memang rumah salah satu mertua Pak Rusdi juga terletak di kecamatan 'P'.
***
Keesokan harinya, Pak Rusdi sudah bertandang ke rumah Pak Hamka. Tampak Bu Nuri mengantarkan secangkir kopi kepada tamu suaminya. Lalu meninggalkan mereka berdua.
Ya hari itu adalah hari libur, karenanya seluruh keluarga Pak Hamka bisa berkumpul di rumah.
"Ham, mlebu njero omahe iso po ra kiro-kiro? Arep ngecek langsung." (Ham, masuk ke dalam rumah kosong itu kira-kira bisa atau tidak? Mau ngecek langsung).
"Iso kayak e. Gak dikunci kok. Jare wong komplek wes gak ono opo-opone nang njero kunu. Dijarne ae karo sing due." (Bisa kayaknya. Gak dikunci kok. Kata warga komplek sudah tidak ada barang-barang apapun lagi di dalam. Dibiarkan begitu saja sama yang punya).
"Yawes ayo langsung mrono ae." (Ya sudah. Ayo langsung kesana saja).
Pak Hamka dan Pak Rusdi berjalan menuju ke rumah kosong. Dibukanya pintu kayu yang sudah ringsek secara perlahan. Hawa pengap nan debu langsung menyeruak kearah mereka saat masuk kedalam.
Langkah-langkah itu menyusuri tiap sudut ruangan. Tembok putih lusuh yang catnya sudah banyak mengelupas, sarang laba-laba berwarna pekat di sana-sini, bahkan di beberapa bagian lantai, tembok ditumbuhi tanaman-tanaman liar beserta lumut.
Suasana masih siang, namun terlihat lebih gelap di dalam rumah itu. Hawa dingin dan panas berubah-ubah tak menentu, seolah saling bertabrakan.
Banyak mata-mata yang memandang tajam keduanya. Beberapa diantaranya seolah sudah bersiaga, bersiap-siap untuk menyerang.
Namun tertahan, karena mempertimbangkan keberadaan khadam yang menyertai mereka.
Hingga langkah Rusdi terhenti disebuah ruangan yang cukup besar diantara ruangan lain. Di sisi-sisi dinding beberapa kain berwarna merah yang menempel, sebagian besar terlihat sobek tak beraturan.
"Iki ruangan e." Ucap Pak Rusdi (Ini ruangannya).
"Hmm... persis kayak sing di critani Dini." sahut Pak Hamka. (Hmm.. persis seperti yang diceritakan Dini).
"Kowe ngerti to?" (Kamu tahu ya?).
"Yo iku loh Rus, demit wadon sing mari kecekel aku wingi." (Ya itu loh Rus, hantu wanita yang pernah aku tangkap kemarin).
Tak lama kemudian, sebuah bayangan besar menghantam Pak Rusdi hingga terpental. Pak Hamka mundur menjauhi bayangan dan mendekati posisi dimana Pak Rusdi berada.
"Cuk Ngajak gelut kowe." (Sial. Ngajak bertarung kamu).
Terdengar suara tawa melengking setelahnya. Sosok tinggi besar itu mulai menampakkan diri. Ia berwujud kuntilanak berbaju merah namun setinggi atap.
"Mundur o Ham. Aku thok wae iso ngadepi iki." ucap Pak Rusdi saat bangkit kembali. (Mundurlah Ham. Aku sendiri saja bisa menghadapi ini).
Sungguh diluar dugaan. Niat mereka hanya untuk melihat kondisi, namun tiba-tiba mendapat serangan dadakan begini.
Hamka mengangguk. Namun tetap bersiaga, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu diluar kendali.
Selanjutnya, Pak Rusdi mulai merapal sesuatu, bibirnya bergerak cepat. Lalu melakukan gerakan silat di depan sesuatu tak kasat mata. Pertarungan sengit pun tak dapat dihindari.
Hal itu hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan mata batin. Bahkan Pak Hamka sampai mundur keluar ruangan hanya untuk mengamati.
Bulir-bulir keringat mulai mengalir membasahi dahi Pak Rusdi.
"Rus, kowe gak popo a?" Tanya Pak Hamka setengah berteriak. (Rus, kamu nggak apa-apa?)
Pak Rusdi melambaikan tangan memberi kode baik-baik saja. Ntah bagaimana dan apa. Setelahnya, ia merapalkan mantra dan melakukan gerakan tangan yang seolah menekan sesuatu.
Kuntilanak merah bertubuh tinggi itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
"Cuk. Malah mblayu. Padahal kurang sithik maneh ndang iso kecekel." (Sial. Malah kabur. Padahal kurang sedikit lagi bisa tertangkap).
Pak Hamka berjalan cepat menghampiri Pak Rusdi.
"Piye Rus? Kui maeng tah raja demit e?" (Bagaimana Rus? Itu ya rajanya?).
"Awal e ya tak kiro kui rajane. Ternyata ogak. Kui maeng yo iso disebut patih e. Rajane mbethik, gak gelem ngethok blas ancen. Makane kudu ngelakoni, ben ketemu posisine." (Awalnya ya ku kira itu rajanya. Ternyata bukan. Yang tadi bisa diaebut kayak patihnya. Rajanya licik, nggak mau memperlihatkan diri sama sekali. Makanya harus melakukan ritual itu, agar bisa menemukan lokasi persembunyiannya).
Pak Hamka menepuk pundak temannya perlahan.
"Yawes Rus. Ayo ndang metu. Paling nggak wes mulai ngerti kene kudu piye selanjute." (Ya sudah Rus. Ayo segera keluar daei sini. Paling tidak kita sudah tau langkah selanjutnya).
Pak Hamka mengamati kondisi sekitar.
Situasi yang sangat tidak menguntungkan jika mereka diserang tiba-tiba diserang lagi, mengingat kondiai Rusdi yang sudah kehabisan energi.
Pak Hamka sendiri juga tidak mampu menghadapi makhluk sebanyak ini sendirian.
"Yo." Jawab Rusdi kemudian.
***
Sesaat setelah sampai di depan rumah, keduanya mendengar suara teriakan minta tolong dari dalam. Spontan Pak Hamka langsung berlari menuju ke arah teriakan.
Dilihatnya Bu Nuri dan Lia tampak terduduk mengerumuni sesuatu di lantai. Bu Nuri menangis.
"Gimana ini mas? Tika mas... Tika... huhuhu."
Dilihatnya Tika terbaring di atas lantai dengan telinga yang mengeluarkan darah. Pak Hamka segera menghampiri, mengecek kondisi Tika dan langsung mengangkat tubuh putrinya.
"Ayo dik, kita ke rumah sakit."
Bu Nuri mengangguk menurut.
"Ono opo iki Ham? Loh anakmu?" Tanya Pak Rusdi yang ikut mengahmpiri (Ada apa ini Ham? Loh anakmu?)
"Ayo melu aku nang rumah sakit sik Rus." (Ayo ikut aku ke rumah sakit dulu Rus).
Pak Hamka tetap berusaha bersikap tenang, meski raut khawatir masih tersirat menghinggapi wajahnya.
Dengan bantuan salah satu tetangga yang mau meminjamkan mobil, akhirnya keluarga Pak Hamka berhasil mengantar Tika ke Rumah sakit tepat waktu.
Tak beberapa lama, mereka mendapatkan diagnosis yang cukup mengejutkan dari sang dokter.
"Maaf. Pembuluh nadi di bagian wajah sebelah kanan putri bapak ada yang yang pecah. Dan saraf di dekat telinga kanan sedikit mengalami kerusakan."
"Lalu bagaimana cara penyembuhannya?" Tanya Pak Hamka yang sudah tak bisa menyembunyikan rasa khawatir lagi.
"Bapak tenang saja. Masih bisa disembuhkan dengan operasi. Namun bukan disini. Saya akan memberikan rujukan ke Rumah Sakit Baptis di kota 'K'. Hanya dokter disana yang bisa melakukan operasi tersebut."
"Iya. Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya dok."
Pak Hamka memberitahukan kondisi Tika pada Bu Nuri. Meski terlihat shock sesaat, Bu Nuri terlihat kembali tenang saat Pak Hamka juga memberitahukan solusinya.
Tak lama kemudian, Pak Hamka berjalan mendekati Pak Rusdi di ruang tunggu tak jauh dari sana.
"Rus, ditunda sik ya. Kondisi anakku jek gak memungkinkan." (Rus, ditunda dulu ya. Kondisi anakku masih tidak memungkinkan).
"Iyo, nggak opo-opo Ham. Kowe sing sabar yo. Engko kabari maneh nek ancen wes siap. Tak golekne dino apik e pisan gae proses mindah e." (Iya. Tidak apa-apa Ham. Kamu yang sabar ya. Nanti kabari lagi kalau memang sudah siap. Sekalian aku carikan hari H-nya untuk proses pemindahan).
"Suwun Rus." (Terima Kasih Rus). Jawab Pak Hamka kemudian.
***
Setelah menjalani operasi bedah saraf, Tika dirawat intensive di Rumah Sakit selama beberapa hari. Untunglah operasi berjalan lancar dan kondisi Tika semakin membaik.
Namun hasil dari operasi tersebut menimbulkan bekas yang lain di wajah.
Tim dokter pun menyarankan operasi plastik untuk menutupi bekas tersebut, dimana jika tidak dilakukan akan benar-benar kelihatan jelas cacatnya.
Di jaman itu memang jarang sekali ditemui Dokter Bedah Plastik.
Untunglah satu-satunya dokter bedah plastik yang ada di wilayah kota 'K', terdapat di RS Baptis juga. Jadi Pak Hamka tak perlu repot-repot mencari lagi dokternya.
Ya, meskipun membutuhkan biaya yang tak sedikit. Segala upaya akan diusahakan demi putrinya.
Menjual sebagian petak sawah yang dimilikipun tak apa.
***
Dua bulan setelahnya...
"Wes tah. Tenan wes siap saiki?" Tanya Rusdi dari seberang pesawat telpon (Yakin sudah siap?)
"Iyo Rus. Ndang mari ndang wes. Gangguane malah nemen iki." (Iya Rus. Lebih cepat selesai lebih baik. Gangguannya lebih parah dari sebelumnya).
"Yo mesti ae Ham. Wong wingi panggonane mari awak dewe kisruhi. Salah sijine malih kenek nang anakmu." (Ya jelas aja Ham. Kan tempatnya kemaren habis kita usik. Salah satu efeknya jadi anakmu yang kena).
Terdengar helaan nafas berat dari seberang.
"Iyo Rus. Nggak opo-opo. Piye maneh. Salahku pisan kurang perhitungan. Kurang ngati-ngati."
(Iya Rus. Tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi. Salahku yang salah perhitungan. Kurang berhati-hati).
"Peneran aku wes ngelakoni wingi-winginane. Aku wes entuk dino. Seminggu engkas aku tak mrono. Siapne ae opo-opo sing tau tak jaluk wingi yo."
(Kebetulan aku sudah melakukan 'ritual' beberapa hari sebelumnya. Aku sudah dapat harinya. Satu minggu lagi aku kesana. Siapkan saja apa-apa yang ku minta kemarin).
"Yo Rus." Jawab Pak Hamka kemudian.
**
Satu minggu setelahnya, tepatnya hari kamis malam jumat legi, Pak Rusdi sudah sampai di kediaman Pak Hamka.
"Lungguho sik Rus." (Duduk dulu Rus).
Rusdi pun menghempaskan diri diatas kursi tamu ruang tengah.
"Sik yo. Tak ngeterne keluargaku nak omahe mbah e cedak-cedak kene." (Sebentar ya. Aku mau mengantarkan keluargaku ke rumah kakek-neneknya di dekat-dekat sini).
"Iyo. Santai."
Sesaat setelah Pak Hamka meninggalkan Pak Rusdi sendirian, ia merasakan tensi suhu ruangan menjadi rendah. Seolah kedatangannya memang sudah diketahui oleh sosok-sosok tak kasat mata yang pernah ditemuinya di rumah kosong.
Pak Rusdi tersenyum tipis sembari mengelus-elus cincin batu akik bermata hijau di salah satu jari.
"Wani kowe ngetok nang ngarepku saiki?" Gumam Pak Rusdi. (Berani kamu memperlihatkan diri didepanku sekarang).
Tampak seorang wanita berwajah pucat,memakai baju terusan panjang berwarna putih lusuh berdiri kaku tak jauh dari tempatnya berada.
Pak Rusdi melirik ke sisi luar. Hanya wanita itu yang berani menampakkan diri sedekat ini. Sedang sosok-sosok lain, menatapnya dari kejauhan saja.
"Kamu yang namanya Dini? Wanita yang pernah diceritakan Hamka ?"
Wanita itu menunduk, lalu mengangguk.
"Apa maumu?"
"Jangan usir kami. Biarkan kami tetap tinggal di sini. Hihihi."
"Ora iso! Lha wong kalian sudah ganggu-ganggu kesana kemari masa tak biarin?"
"Itu urusan kami. Ini rumah kami!" Bantah Dini
"Saya kasih peringatan sekali lagi. Sebaiknya kalian segera pindah di tempat yang jarang ada manusianya. Mau saya pindah atau kalian pindah sendiri? Kalau sampai saya yang mindah, tak lempar kalian sampai ke segoro kidul (laut selatan). Mau?" Gertak Pak Rusdi.
Dini menggeram. "Di sini tempat tinggal kami! Kamu tidak berhak ngusir! Lagipula kamu hanya manusia rendah. Mana bisa menghadapi 'Sing mbaurekso' (yang punya tempat)? Hihihi."
"Ya sudah. Lihat saja nanti." Samar-samar keberadaan Dini sudah tak terlihat lagi.
Tak terasa, siang hari begitu cepat terlewati berganti senja. Langit bermegakan oranye mulai menghiasi. Sekelompok burung gereja berjejer rapi, terbang menuju arah pulang.
Tampak Pak Hamka mengelilingi rumah kosong, sembari menabur segenggam garam dari sebuah kresek hitam.
Tujuannya untuk memberi pagar batas agar makhluk yang ada di dalam tidak melarikan diri, dan makhluk yang berada diluar rumah kosong tidak bisa masuk begitu saja.
Kebetulan komplek perumahan sedang sepi saat itu. Jadi tak ada yang akan menanyakan macam-macam apa yang dilakukannya.
"Ngawiti bar isya' to?" Tanya Pak Hamka setelah menabur garam. Lalu menghampiri Pak Rusdi.(Dimulai setelah isya' kan?)
"Yo."
***
Tepat pukul 8 malam keduanya pun mulai bersiap-siap. Di saat yang sama, tiba-tiba terdengar suara gebrakan yang cukup keras dari dalam kamar Pak Hamka.
"Tak delok e sik Rus." (Saya cek dulu Rus)
Pak Hamka membuka pintu kamar. Ternyata salah satu pintu lemari jatinya terbuka.
Tampak sesuatu yang dibungkus kain mori tergeletak diatas lantai. Pak Hamka pun mengambilnya. Di dalamnya ada keris.
Sebuah keris hitam berukuran yang sedang bergetar hebat.
Pak Hamka merapalkan doa, lalu keris itu diam. Ia pun kembali meletakkan ke dalam lemari. Saat berbalik dan akan keluar kamar, benda itu keluar dan terjatuh lagi. Pak Hamka mengembalikan sekali lagi. Hingga sebanyak 3 kali.
Akhirnya Ia menghela nafas sembari membawa keris berbungkus kain mori dalam genggaman.
"Aku nggowo iki nggak opo-opo. Ket mau meta metu terus jaluk melu. Nek nggak tak jak bakal gawe geger sing lain." Sambil mengeluarkan pusaka tersebut dari bungkus kain mori. (Aku membawa ini nggak apa-apa? Dari tadi keluar terus dari lemari. Kalau tak dibawa pasti bakal buat kerisuhan dengan yang lain).
((Sedikit catatan. Maksud dengan membuat 'kerisuhan yang lain' adalah membuat onar dengan pusaka-pusaka koleksi dan peninggalan milik Pak Hamka yang lain. Karena tiap pusaka selalu ada 'isi'nya)).
"Loh? iku sing endi?" Tanya Pak Rusdi.
(Loh? Itu yang mana?)
"Sing tekan aceh." (Yang dari aceh)
Pak Rusdi bedecak. Pasalnya energi pusaka yang digenggam Pak Hamka saat ini, saling bergesekan dengan khadam dan senjata yang dibawanya.
Gesekannya tidak terlalu besar, hanya saja bisa bergejolak sewaktu-waktu. Bisa-bisa mereka sendiri yang kerepotan jika itu terjadi.
Seolah bisa membaca raut tak enak Pak Rusdi, Pak Hamka pun menenangkan.
"Gak bakal tak gawe Rus. Gak bakal tak copot tekan sarung e."
"Yawes gak opo-opo."
***
Kini mereka sudah berada di ruangan berdinding kain merah, di dalam rumah kosong.
Pak Hamka meletakkan sebuah petromaks di tengah-tengah ruangan sebagai penerangan. Suasana dalam rumah begitu hening dan dingin.
Pak Rusdi mengeluarkan barang-barang persiapannya dari dalam tas. Mengeluarkan seikat tali putih dan menyerahkannya pada Pak Hamka.
"Iki tali ne nak lawang. Tekan ujung nang ujung. Mbuh talien nang endi ae, sing penting nyantol." Pinta Pak Rusdi (Ini ikatkan pada pintu. Dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Terserah mau diikatkan bagaimana. Yang penting tak lepas).
Setelah persiapan selesai. Pak Rusdi berdiri bersedekap, lalu memejamkan mata.
Pak Hamka berdiri dibelakangnya, melihat punggung Pak Rusdi. Mengamati sekitar sambil berjaga-jaga.
Pak Rusdi perlahan membuka mata. Angin dingin berhembus pelan menerpa wajah. Diamati sekitar, dia berada di atas rumput-rumput ilalang, di tengah lahan yang luas. Di depannya berdiri rimbunan pohon mahoni tinggi, membentuk sebuah hutan.
Langit malam begitu kelam, tak menampakkan bulan apalagi bintang. Ini sisi dunia lain.
Ia pun mulai melangkahkan kaki menuju ke dalam hutan. Hutan pun begitu hening, tak juga terdengar suara binatang. Pak Rusdi terus berjalan, sesuai arahan bisikan yang didengarnya.
Ntah sudah berapa lama ia berjalan namun tak terasa melelahkan.
Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah gua. Gua itu begitu pekat. Tak gentar Pak Rusdi kembali masuk ke dalamnya.
Meski tanpa penerangan, kornea matanya tetap mampu melihat dalam gelap. Diujung gua ia melihat seberkas cahaya temaram. Semakin ia mendekat, semakin jelas bau anyir yang terhirup masuk ke saluran nafas.
Begitu sampai, matanya sempat terbelalak. Bagaimana tidak, di dalamnya terdapat puluhan atau mungkin ratusan bayi berdarah-darah tergeletak begitu saja. Bayi-bayi itu masih bergerak-gerak meski dalam kondisi mengenaskan.
Ada yang kepalanya terputus, sebelah tangan atau kakinya hilang, separuh badannya hancur, dan lain sebagainya. Bahkan ada yang masih dalam kondisi bayi tragan (bayi keguguran). Seperti segumpal daging atau kondisi tubuh yang belum sempurna.
Perlahan Pak Rusdi melangkah dengan hati-hati melewati kumpulan bayi tergeletak itu. Suara tangisnya mampu memekakkan telinga.
'Jadi ini bayi-bayi tumbal itu.'
Lalu, Pak Rusdi sampai di bagian gua yang lain. Disana ia melihat sekumpulan orang-orang yang dirantai, dibelenggu di bagian leher, tangan, dan kaki. Orang-orang itu pun kondisinya juga mengenaskan, tak jauh berbeda dari bayi-bayi sebelumnya.
Di sana terdapat sebuah singgasana batu yang sangat besar.
Berdiri sesosok makhluk yang begitu mengerikan. Makhluk itu berkepala kerbau lengkap dengan tanduk hitam yang kokoh. Bertubuh manusia.
Sosoknya berjenis kelamin laki-laki, badannya tinggi dan kekar, bertelanjang, namun tak berkelamin. Matanya merah menyala menatap tajam Pak Rusdi.
"Awakmu sing wes babat anak buahku kebeh?"(Kamu yang sudah membabat habis anak buahku?)
Pak Rusdi terdiam mendengarnya. Ia pun menoleh, beradu pandang dengan seorang lelaki gagah berpakaian perang jaman dahulu, yang kini sudah berdiri disampingnya.
Sosok itu adalah khadamnya. Yang sudah menjaga keluarganya dari jaman nenek moyang.
Rusdi mulai paham. Pantas saja sedari tadi dia tak menemukan sosok ghaib satupun. Rupanya, khadam miliknya sudah menghabisi kroco-kroco penjaga gua makhluk berkepala kerbau ini.
Pak Rusdi melepas sarung keris yang sedari tadi dipegangnya. Lalu menantang makhluk ghaib berkepala kerbau yang diketahui bernama 'Kebo Cemeng'.
Sorot mata merah itu semakin menyalang. Ia pun kembali memanggil anak buahnya yang lain. Perhelatan berdarah tak dapat dielakkan. Pak Rusdi bersama sang khadam, mulai menyerang 'Kebo Cemeng' beserta anak buahnya.
***
Di alam nyata, Pak Hamka mulai resah menunggu. Sudah 3 jam Pak Rusdi belum membuka mata. Dilihatnya bulir-bulir keringat menetes melewati dahi dan wajah Pak Rusdi. Padahal kondisi ruangan begitu dingin. Bahkan semakin membeku seolah berada di puncak pegunungan di malam hari.
Tiba-tiba sesuatu berusaha menggebrak pintu ruangan. Pintu pun terbuka dengan sendirinya. Pak Hamka berbalik.
Kuntilanak merah setinggi atap rumah kembali menampakkan diri. Berusaha masuk namun terhalang tali putih yang terikat. Pak Hamka membaca doa-doa.
Membantu menambah pagar ghaib sebagai penghalang. Namun sepertinya kuntilanak merah itu sangat murka. Kekuatannya terbilang sangat besar bagi Pak Hamka.
Ntah sampai berapa lama ia mampu menahan serangan sang kuntilanak merah.
Ilmu kebatinnya tak sekuat Pak Rusdi, yang mana masih keturunan asli dari kerajaan Mataram.
Tiba-tiba keris yang diikat dipinggang, dibalik punggung, bergetar hebat. Lalu jatuh dari tempatnya berada. Sesuatu perlahan keluar dari dalam sana.
Sebuah kabut tebal yang kemudian berubah menjadi sosok ular raksasa yang memenuhi ruangan. Pak Hamka terkejut bukan main.
Ular raksasa itu menganga, menunjukkan taring-taring besar yang tajam. Secepat kilat ular itu melesat melewati Pak Hamka dan menerkam kuntilanak merah Ular raksasa itu melilit ketat, menelan sang kuntilanak merah secara perlahan, seperti ular biasa yang sedang memangsa korbannya.
Pak Hamka tak menyangka, bahwa kuntilanak merah itu bisa dikalahkan dengan sangat mudah.
Pantas saja Pak Rusdi tadi cukup khawatir, saat ia membawa serta pusaka dari Aceh itu.
Setelahnya ular itu kembali mendekati Pak Hamka.
Mengelilingi kedua manusia tersebut. Kepala besarnya mengendus Pak Rusdi lalu berganti ke Pak Hamka kemudian. Pak Hamka tak bergerak, hanya saja tetap membaca doa-doa.
Tak lama kemudian, si ular raksasa berubah menjadi kabut dan masuk kembali menjadi sebuah pusaka.
***
Pak Rusdi bisa membalik keadaan meski tak mudah. Ia berhasil menangkap sang Kebo Cemeng. Pak Rusdi memejamkan mata, mengonsentrasikan pikiran agar bisa kembali ke dunia manusia.
Saat Pak Rusdi membuka kembali mata, ia langsung berteriak pada Pak Hamka.
"Ham, cepet jupukne sarung keris iku!" Tunjuknya pada sebuah sarung keris yang terbuat dari kayu berukir, yang diletakkan di atas wadah yang sudah ditaburi bunga tujuh rupa. (Ham, cepat ambilkan sarung keris itu).
Pak Hamka yang masih dalam keadaan shock segera membalikkan kesadaran, bergegas menyerahkan sarung keris tersebut pada temannya.
Sambil merapalkan sebuah mantra Pak Rusdi menarik sesuatu tak kasat mata dan memasukkannya ke dalam sarung keris berukir.
Sambil merapalkan sebuah mantra Pak Rusdi menarik sesuatu tak kasat mata dan memasukkannya ke dalam sarung keris berukir. Tak lama setelahnya sebuah keris yang panjangnya kurleb 48cm sudah ada begitu saja.
Di tengah gagangnya, terdapat sebuah batu berwarna merah. Pak Hamka masih takjub dengan peristiwa itu.
"Endi wadah e?" tanya Pak Hamka kemudian. Ia tiba-tiba teringat dengan 'wadah' yang dimaksud Pak Rusdi. (Mana 'wadah'nya?)
"Yo iki wadah e. Wujud keris iki wadah e." (Ya ini 'wadah'nya. Wujud keris ini sendirilah sang wadah).
Tiba-tiba kornea mata Pak Rusdi menangkap sebuah pusaka yang tergeletak di atas lantai.
"Loh? Iku kok nang kunu?" Tanya Pak Rusdi kemudian. (Loh? Barang itu kok tiba-tiba disitu?)
Pak Hamka masih mencoba mengatur nafas.
"Iyo Rus. Iku maeng isine moro-moro metu dewe. Terus mangan kuntilanak abang sing tau mbok kalahne wingi."
(Iya Rus. Itu tadi penghuninya tiba-tiba keluar sendiri. Lalu makan kuntilanak merah yang pernah kamu kalahkan dulu).
Tentu saja Pak Hamka tidak bercerita, menyembunyikan bagian ular raksasa yang tadi mengendusi mereka.
Pak Rusdi menggelengkan kepala mendengarnya.
"Cuk! Untung ae gak garai geger pas aku golek wadah maeng." (Cuk! Untung saja tak membuat keributan saat aku sedang mencari wadah tadi).
Pak Hamka tersenyum tipis.
"Ayo bariki mindahi demit nang omah iki. Pengenmu mbok pindah nang endi?" (Ayo, kita pindahkan para penghuni rumah kosong ini ke tempat lain. Kamu maunya di pindah kemana?)
"Dipindah nang lokasi 'C' ae." Jawab Pak Hamka mantap. (Pindah ke lokasi 'C' saja).
Pak Hamka memang sudah mengevaluasi lokasi yang cocok, untuk pemindahan dari jauh-jauh hari.
"Ohhh.. Gak opo-opo ya dipindah nang kono?" Tanya Pak Rusdi memastikan. (Ohhh. Nggak apa-apa ya kalau dipindah kesitu?)
"Iyo. Nggak opo-opo."
"Tapi sik Ham. Aku tak ambekan sik. Awakku jek remek." jawab Pak Rusdi sembari melambaikan tangan. (Tapi ntar dulu Ham. Aku mau ngambil nafas dulu. Badanku rasanya masih lemes).
***
Setelah proses pemindahan penghuni lama selesai, keduanya kembali ke rumah Pak Hamka.
"Iki Rus. Di ombe kopine sik." Saji Pak Hamka pada Pak Rusdi yang sedang duduk santai di kursi tengah. (Ini Rus. Diminum dulu kopinya).
Pak Hamka dan Pak Rusdi kembali melanjutkan obrolan.
Pak Rusdi mulai menceritakan apa yang dilihat saat menghadapi Kebo Cemeng tadi.
Tentang asal-usulnya. Yang mana ternyata 'Kebo Cemeng' adalah mantan abdi dalem Nyi Roro Kidul, Sang Penguasa Pantai Selatan.
Kebo Cemeng diusir oleh sang ratu, yang mana hingga akhirnya ia menyesatkan manusia dengan menawarkan bantuan pesugihan.
Manusia-manusia yang lupa dan gelap harta dengan jalan pintas, akhirnya membuat perjanjian dengan sang makhluk berkepala kerbau itu.
Sedari dulu, Kebo Cemeng sangat menyukai bayi-bayi. Dimana makhluk yang tanpa dosa itu adalah makanan terenak baginya.
Akibat dari banyaknya manusia yang mempersembahkan tumbal, 'Kebo Cemeng' pun semakin menjadi kuat.
Jikalau bukan karena khadam Pak Rusdi yang membantu, bisa jadi Pak Rusdi hanya tinggal menjadi nama.
Darah keturunan mataram yang dimiliki Pak Rusdi, masih memiliki hubungan kuat dengan Nyi Roro Kidul. Satu alasan lain, yang mana 'Kebo Cemeng' akhirnya bisa kalah dari Pak Rusdi.
Pak Rusdi juga menceritakan tentang sosok yang mirip Harun, suami dari hantu wanita bernama Dini. Ia terikat dengan rantai dan kondisi tanpa bola mata.
Cara kerja pesugihan dari 'Kebo Cemeng' itu mengikat hingga tujuh turunan.
Di keturunan yang ketujuh, mereka harus mempebaharui perjanjian lagi. Jika salah satu keturunan memutuskan kerja sama, maka kematian adalah tebusannya. Jika mereka meneruskan kembali perjanjian, maka keturunan selanjutnya yang harus terus menerima petaka.
Pesugihan dari Kebo Cemeng tak hanya membuat kaya raya. Tapi juga membuat sang pemilik perjanjian menjadi terlihat selalu muda dan mudah menarik perhatian orang sekitarnya.
Diduga Harun adalah keturunan yang ketujuh. Yang juga memutus perjanjian dengan sang kebo cemeng.
Itulah mengapa, akhirnya ia berakhir menjadi budak sang iblis peminta tumbal.
Manusia-manusia yang sudah membuat perjanjian dengan sang iblis, meskipun telah tiada, akan berakhir menjadi budak.
Ntah itu qorin atau memang jiwanya. Ada yang bilang, mereka tak benar-benar mati. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
"Keris Kebo Cemeng iki tak gowone ya Ham. Tak amanke ben gak mangan korban maneh." (Keris Kebo Cemeng ini tak bawa ya Ham. Saya amankan biar tidak ada korban lagi).
"Monggo Rus." (Bawa saja Rus) Jawab Pak Hamka lega.
***
Epilog
SEPENGGAL KISAH AKHIR 'RUMAH BEKAS TUMBAL'
Di akhir tahun 80an, tepatnya tahun 1989. Pak Hamka beserta keluarga memutuskan menjual rumah sebelah rumah kosong tersebut, dan berpindah ke rumah baru yang sudah dibangun yang terletak di kecamatan 'K'. Rumah itu akhirnya dibeli oleh seorang pensiunan polisi.
Pak Hamka menyerahkan sebuah kunci pada seorang lelaki tua bertubuh tinggi dihadapannya.
"Semoga bapak suka dengan rumahnya." Ucap Pak Hamka ramah.
Sebelum memasuki mobil pick up yang mengangkut barang-barang pindahan terakhir miliknya. Pak Hamka berdiri menatap rumah kosong itu sekali lagi.
Matanya menyipit saat mendapati seorang wanita berbaju putih, seperti menimang-nimang seorang bayi.
Wanita berwajah pucat itu memandang Pak Hamka sembari tersenyum datar.
Dibelakangnya tampak sosok-sosok tak kasat mata lain juga berseliweran.
Pak Hamka menghela nafas panjang. Ya, mereka adalah penghuni lama yang telah kembali lagi. Meski sudah dipindahkan.
---==SELESAI==---