MISTERI DESA TERKUTUK
JejakMisteri - Tujuanku saat ini adalah sebuah desa terpencil, letaknya di pelosok. Jauh dari riuh lalu-lalang kendaraan. Bahkan untuk mencapai ke sana hanya satu angkutan umum yang ada. Itu pun hanya sampai batas desa. Sisa perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati kebun karet yang banyak tumbuh di sana.
Entah mengapa, aku mau saja dibawa ke sana oleh Bik Sata. Seperti ada kekuatan magis yang menuntunku. Padahal dari kecil aku tidak pernah mau jika diajak Bik Sata untuk mengunjungi kampung halaman.
“Bik, masih jauh ya desanya?” tanyaku sembari mengurut betis yang mulai pegal. Sudah hampir satu jam kami berjalan kaki dari pinggir desa.
‘’Sebentar lagi Sekar. Paling sekitar lima menit lagi kita sudah sampai,” jawab Bibi sambil tersenyum.
Aku pun kembali berjalan mengikuti langkah Bik Sata yang lebar-lebar. Suasana sudah mulai sepi, hampir tidak ada lagi orang yang berpapasan dengan kami. Senja memang sudah hampir menjelang-waktu magrib akan tiba.
Ternyata benar apa yang dikatakan Bibi tadi, sekitar lima menit dari percakapan terakhir, kami sudah tiba di desa. Lampu-lampu yang bersasal dari pelita dan petromaks sudah menghiasi rumah-rumah penduduk.
Listrik sepertinya belum ada di kampung ini. Hanya ada satu atau dua rumah yang memakai generatror untuk menyalakan listrik. Itu pun rumah-rumah orang yang cukup terpandang di desa ini. Salah satunya adalah rumah kediaman Nenek.
“Assalammualaikum, Nek ….” Seperti biasa aku selalu mengucapkan salam, saat hendak masuk ke dalam rumah.
Bik Sata, segera mencubit pinggangku. Aku menjerit kesakitan. Aku menjadi heran, kenapa kok tidak boleh mengucap salam di sini.
Tampak Nenek berdiri di muka pintu-memperhatikaanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Perempuan lansia berwajah sederhana itu hanya menjawab salamku dengan suara sangat lirih. Seolah-olah takut kedengaran sesuatu yang menakutkan.
“Kamu sudah besar sekarang, Sekar.” Nenek memelukku penuh haru. Aku bisa merasakan kerinduan yang dalam melalui pelukannya. Aku memang sudah sangat lama sekali tidak bertemu Nenek.
Ibu selalu melarangku untuk mengunjungi Nenek. Kepergianku kali ini pun tanpa sepengetahuan beliau.
“Ayo, masuk. Tidak baik berlama-lama di depan pintu!” seru Nenek sembari menarik tanganku agar segera masuk. Bulu kudukku tiba-tiba saja merinding. Sebuah desiran angin terasa berhembus di tengkuk-terasa begitu dingin.
Spontan aku menoleh ke sekeliling, tapi tidak kelihatan bayangan yang membuatku merinding. Semua terlihat hitam. Aku pun mengangkat bahu dan segera mengikuti Nenek.
Yang membuat aku keheranan, adalah suasana di dalam rumah terasa sangat mencekam. Semacam sesajen diletakkan di sudut ruangan-berupa kembang tujuh rupa, kemenyan juga dupa yang menyala terus.
Ketika aku hendak bertanya, Bik Sata sudah terlebih dahulu menyuruhku diam. Aku pun tidak berani bersuara, dan minta diantar ke kamar saja. Waktu maghrib sudah tiba, aku ingin melaksanakan shalat magrib.
Bibi lalu mengantarku ke kamar dan menunjukkan arah kamar mandi. Mesti diliputi sedikit rasa takut, aku memberanikan diri untuk mengambil wudhu dan langsung shalat maghrib.
Lagi-lagi, aku menggigil-merinding, merasa seperti ada makhluk yang memperhatikan tindak-tandukku. Lagi pula Bik Sata seolah tidak suka kalau aku masih terus shalat. Entah apa yang ada dalam pikiran Bik Sata. Tidak biasanya bersikap seperti itu.
“Sekar sudah selesai shalatnya?” tanya Bibi seketika. Aku baru saja menyelesaikan kewajibanku itu.
“Alhamdulillah, sudah Bik.”
“Kalau sudah, sekarang ikut Bibi, di ruang tengah sudah berkumpul beberapa kerabat dekat kita.”
Aku mengangguk saja, menuruti perkataan Bibi. Ada apa sebenarnya? Kenapa kok banyak keluarga yang berkumpul?”
Meski banyak pertanyaan memenuhi rongga kepala, aku terus saja berjalan mengikuti Bibi. Ternyata benar, di ruang tengah telah berkumpul sekitar 6 orang. Wajah mereka tidak ada yang kukenal. Rata-rata mereka memiliki wajah yang agak mirip dengan Ibu atau Bik Sata.
“Jadi, ini anaknya si Surti?” tanya salah satu di antara mereka. Aku hanya terdiam. Nenek tidak nampak di sana.
“Benar, Mang!” jawab Bibi penuh hormat. Tampaknya orang itu sangat ditakuti oleh semua orang di sini.
“Hm … mungkin dia akan menjadi bagian dari kita sebentar lagi,” ujar salah seorang dari mereka. Aku bertambah bingung, Ada apa sebenarnya dengan desa ini. Mengapa semua seperti sebuah teka-teki. Termasuk tindak-tanduk Bik Sata.
Sampai waktu isya tiba, mereka masih sibuk membicarakan hal yang tidak kumengerti sama sekali. Bahkan ketika aku pamit untuk shalat isya pun mereka masih sibuk kasak-kusuk. Sempat terdengar sedikit olehku saat akan berlalu ke kamar. Bahwa ada keraguan untuk menjadikan aku penghuni kampung ini.
Aku akhirnya tidak lagi bisa merekam pembicaraan mereka. Letak kamar cukup jauh dari ruang tengah. Apalagi aku juga harus segera melaksanakan salat Isya.
Sebuah tepukan terasa mendarat di pundakku setelah aku baru selesai berzikir, membaca lamat-lamat istifghar dan Asma Allah. Refleks, aku menoleh, mencari siapa yang usil menepuk pundakku.
Tidak kudapati pemilik tangan itu. Kamar dalam keadaan kosong. Aku semakin bingung. Lagi-lagi bulu romaku tegak. Semakin cepat aku membacakan istifghar, juga ayat-ayat pendek yang biasa kubaca sebelum tidur. Murotal juga kuputar pelan-pelan, takut mengganggu orang-orang yang sedang berkumpul di sana.
Tiba-tiba, kamarku berguncang. Aku berpikir terjadi gempa. Suara-suara penuh kemarahan ramai sekali memenuhi kamar. Dulu, Ibu pernah mengingatkanku untuk tetap tenang apabila mendengar banyak suara atau sentuhan. Tidak usah takut, pesan ibu saat itu. Terus saja berzikir, pasti mereka tidak akan berani lagi mendekatimu.
Benar saja. Setelah aku mengucap istifghar dan bacaan suarat lain, guncangan itu mulai mereda. Murotal masih tetap kuperdengarkan, mencegah gangguan datang lagi. Hanya saja aku masih mendengar geraman kemarahan mereka karena tidak bisa mendekatiku.
Seingatku, Ibu pernah bercerita kalau hampir seluruh penduduk di sini menganut ilmu hitam. Dengan keluarga besar Ibu. Itulah sebabnya mengapa Ibu tidak pernah mau pulang dan tinggal di kampung ini. Ibu tidak mau mewarisi ilmu turun menurun keluarga.
Panggilan Bik Sata menghentikan ingatanku pada ibu. Aku bergegas membuka pintu dan menemuinya.
“Ada apa, Bik?” tanyaku penasaran.
“Tidak apa-apa. Kalau boleh, sebaiknya matikan saja murotal itu. Banyak yang terganggu, Sekar.” Lagi-lagi aku kebingungan dibuat Bik Sata.
“Sekar sudah terbiasa mendengarnya, Bik.”
Bik Sata hanya mengernyitkan alis, tidak lagi memintaku mematikan murotal.
“Malam ini, sebaiknya kau segera tidur. Besok banyak ritual yang akan kita ikuti” perintah Bik Sata tegas.
Bibi pun lalu meninggalkanku sendiri dalam kamar. Aku bersyukur, suasana kamar sudah lebih hangat sekarang. Hawa negatif dan dingin tadi perlahan mulai menghilang.
------------
“Bagaimana tidurmu, Sekar? Nyenyak?” tanya Nenek sembari memberi segelas teh tubruk. Wangi teh itu begitu menggoda untuk minta segera diminum. Ternyata Nenek juga sudah bangun dari tadi. Namun, mengapa Nenek kok tidak shalat subuh? Bathinku.
Kuterima gelas berisi teh itu, bermaksud meminumnya, tapi sebuah bisikan seperti mengingatkanku untuk tidak meminumnya. Aku lalu meletakkan gelas berisi teh itu dan menggantinya dengan meminum segelas air putih hangat.
“Sekar tidak minum teh?” tanya Nenek dengan tatapan mata aneh.
Aku hanya menggeleng. Menolak secara halus-takut membuat ia marah.
“Nek, Sekar boleh jalan-jalan di sekitar kampung? Aku mencoba meminta persetujuan Nenek.
“Tunggu hari sedikit terang. Jadi bisa leluasa menikmati pemandangan indah kampung ini,” usul Nenek.
Aku akhirnya setuju. Kemudian diam-diam memperhatikan dari ujung mata, Nenek membuang gelas berisi air teh tadi ke dalam kamar mandi.
Setelah langit mulai terang, aku pun berjalan di sekitar rumah Nenek. Ketika melewati sebuah tanah kosong, aku tertegun mengamati aneka bentuk makam menyerupai rumah. Di antaranya ada kuburan keluarga. Semua bentuk kuburan itu hampir sama, hanya ada sedikit ornamen sebagai pembeda.
Sebuah tepukan di pundak kembali kurasakan. Padahal hari sudah beranjak siang. Tidak mungkin ada makhluk astral yang berkeliaran. Aku kemudian berhenti-menghela napas agak panjang-mengucap istifghar dalam hati.
Sebuah kelebatan seperti menuntunku ke suatu tempat. Aku berjalan saja menuruti arah yang dituntunnya. Ternyata, aku dibawa ke satu bangunan kuno, penuh dengan ukiran kuno terbuat dari kayu.
Bangunan itu begitu berdebu, ada beberapa kitab di sana. Aku begitu takjub, ternyata itu beberapa Al-Quran. Juga ada beberapa sejadah yang sudah berselimut debu tebal. Mungkin, tempat ini adalah semacam tempat untuk shalat bagi sebagian penduduk yang tidak mau menganut ilmu hitam, dugaku.
Soalnya, Ibu juga pernah bercerita kalau Kakek Buyut bersikeras tidak mau mengikuti kepercayaan penduduk di sini hingga akhir hayatnya.
Sebuah Al-Quran kuambil dan mencoba membersihkannya dari debu. Tulisannya memang sudah mulai buram. Pasti karena tidak pernah dirawat, jadi lapuk. Aku masih bisa merasakan kehadiran sosok itu tengah menatapku. Tidak ada energi negatif yang beredar.
Dia seperti menunjuk pada satu kotak yang tersembunyi di antara tumpukan barang-barang tidak terpakai. Tidak ada keraguan saat mengikuti petunjuknya. Sedikit bergegas kubersihkan semua tumpukan itu dan membuka kotak kayu berornamen indah itu.
Selembar kain berwarna putih tampak terlipat di dalam kotak. Penasaran-aku mengambil dan melilitkannya di tubuh. Hawa positif seketika begitu kuat menyelubungi tubuh. Dari ujung mata, aku bisa melihat sosok itu tersenyum, sebelum menghilang.
Anehnya, kain itu pun seperti menyatu dalam ragaku. Sebuah bisikan kembali terdengar, agar membiarkan saja kain itu terus melekat, sampai aku bisa keluar dari kampung ini nantinya.
Sambil memperhatikan orang-orang yang berpapasan, aku terus melangkah kembali menuju rumah Nenek. Kebanyakan dari mereka seperti kepanasan ketika berpapasan denganku-menghindar untuk bertegur sapa.
Sesampainya di rumah, Nenek, Bik Sata dan beberapa orang lain sudah menunggu kedatanganku. Wajah mereka terlihat begitu tegang.
“Sekar, sekarang lebih kau ikut kami dan jangan banyak tanya!”
Aku terperangah mendengar perintah Bik Sata barusan. Kupandang tajam bola mata perempuan itu. Kelihatan sekali, dia sedikit gugup.
Aku digiring oleh mereka ke satu tempat. Nenek memandangku dengan iba. Ada air mata di sudut netra tuanya. Dia seperti tidak rela aku dibawa oleh mereka.
Sepanjang perjalanan, aku terus memutar murotal dengan suara sangat perlahan bahkan hampir tidak kedengaran. Kakiku sudah sangat letih, tapi tempat yang akan kami tuju belum juga kelihatan. Sudah hampir satu jam kami berjalan.
Matahari juga sudah berada di atas kepala, sinarnya begitu terik. Membuat peluh bercucuran di dahi. Sesekali aku menatap wajah dingin Bik Sata dan orang-orang itu.
Banyak sekali burung gagak bertengger di ranting-ranting pohon yang tumbuh sangat lebat. Mata mereka begitu mengkilat-tajam, seperti ingin menjadikan aku sebagai santapan.
“Bik, Sekar bisa istirahat dulu?” Akhirnya aku meminta izin untuk istirahat.
“Jalan saja terus, Sekar. Tidak lama lagi kita akan sampai.” Ternyata Bibi tidak mengizinkanku untuk rehat.
Sambil menahan letih, aku berjalan kembali. Akhirnya kami sampai juga dan di depan kami berdiri sebuah bangunan kuno, berbentuk seperti pura. Ada gerbang di kiri kanannya.
“Sekarang, kamu bisa istirahat!” ucap Bik Sata lagi sambil menunjuk satu sudut dengan banyak bongkahan batu untuk bertistirahat.
Aku lalu duduk di salah satu bongkahan, melepaskan penat-menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Banyak sekali bekas sesajen di sana-semuanya masih terlihat baru saja ditaruh. Sebenarnya ingin sekali, bertanya pada Bibi, tapi lagi-lagi Bibi hanya acuh saja.
Bibi kemudian mengeluarkan beberapa roti dan nasi kepal yang telah dibungkus daun jati. Bibi memaksaku untuk melahap satu bungkus nasi kepal beserta lauknya itu. Namun, lagi-lagi, aku dilarang oleh bisikan itu. Akhirnya, aku cuma mengambil sepotong roti, sementara bungkusan nasi itu kutaruh saja di antara bongkahan itu.
“Kita menunggu sampai malam di sini,” terdengar suara Bibi berkata kepada orang-orang itu. Aku memandang ngeri pada wajah-wajah beku mereka. Aku sendiri tidak diperbolehkan keluar, dan harus tetap berada di sana. Akhirnya aku pasrah, menunggu hingga malam tiba.
Saat tengah malam, lolongan anjing terdengar begitu kencang, membuat bulu kudukku kembali merinding. Bik Sata tampak gelisah-memandangku sesekali. Mereka seperti menyiapkan sesuatu di tengah ruangan. Seperti akan mengadakan prosesi sakral.
Bik Sata segera menyuruhku untuk mendekat ke tengah ruangan. Sementara suara-suara telah ramai terdengar, memenuhi seluruh ruangan, tanpa ada wujud nyata. Malam telah mencapai puncaknya.
Kakiku mulai gemetar, tertatih berjalan menuju ke sana. Bisikan itu terus memandu untuk tidak takut dan tetap berzikir-membaca istifghar.
Sesaat tiba di tengah rungan, energi negatif mulai terasa begitu dingin menyengat. Bibi dan orang-orang itu mulai menatap tajam ke arahku.
Perlahan wujud mereka semua mulai berubah menjadi makhluk jadi-jadian. Setengah manusia-setengah srigala. Dari moncong mereka keluar air liur-sangat menjijikkan.
“Sekar, malam ini, kau harus menjadi bagian dari kami. Karena di dirimu juga mengalir darah keturunan penguasa kampung ini. Manusia serigala.”
Aku begitu terkejut mendengar ucapan Bik Sata.
“Aku tidak mau, Bik. Ibu juga tidak mau menjadi bagian dari komunitas kalian!” bantahku memberanikan diri.
“Tidak bisa! Kau harus menjadi bagian dari kami” Kali ini sebuah suara berat terdengar dari sudut ruangan. Entah dari mana datangnya, seekor srigala besar telah berada di sana.
“Memang kau siapa?” tanyaku semakin berani.
“Aku adalah penguasa kampung ini,” sahutnya dengan pandangan tajam.
Tiba-tiba saja, ruangan itu telah dipenuhi banyak manusia setengah serigala. Ternyata kampung ini adalah kampung manusia serigala. Itulah sebabnya Ibu melarikan diri dan tidak mau kembali ke sini. Bik Sata awalnya juga mengikuti jejak Ibu untuk lari dari sini, tapi entah mengapa akhirnya Bik Sata menjadi salah satu pengikut mereka.
“Bik, aku tidak mau menjadi manusia serigala!” seruku kemudian. Sementara pemilik bisikan itu menyuruh menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri.
“Tidak bisa, Sekar. Kau harus menjadi manusia serigala,” sahut Bik Sata marah.
Beberapa nyanyian tiba-tiba saja terdengar, mengiringi upacara pengangkatanku menjadi manusia serigala. Tawa-tawa histeris dan melengking serta lolongan tajam dan menyayat terdengar bergemuruh.
Wujud-wujud tidak nyata tadi mulai bermunculan satu persatu. Ternyata mereka juga penghuni kampung ini. Semua berupa manusia setengah serigala. Terasa menakutkan melihat moncong liar mereka meneteskan air liur. Memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka.
“Hai, kau, anak Surti, mendekatlah kemari!” perintah srigala bertubuh paling besar.
Jujur, aku sangat takut, saat menatap mata merah serigala itu. Moncongnya pun lebih banyak memiliki gigi-gigi tajam. Siap mengoyak mangsa yang mendekat.
Bik Sata memberi isyarat, agar aku lebih mendekati mereka.
Aku kemudian dikerumuni semua orang itu, sambil menyenandungkan kidung-kidung bernada pemujaan. Suasana mistis pun semakin terasa. Sepertinya bukan hanya makhluk jadi-jadian ini saja yang hadir, tapi ada satu sosok yang mengendalikan mereka. Sesuatu yang tidak bisa kupandang secara utuh. Menyerupai serigala juga, tapi tidak ada unsur manusia. Lebih mirip dengan jin atau iblis.
Kedatangan makhluk itu segera disambut dengan teriakan histeris, lengkingan tawa dan lolongan panjang. Aku bertambah takut. Namun, suara bisikan itu terus-menerus menenangkanku.
“Ke sini kau, anak manusia!” suara berat terdengar dari makhluk itu.
Kakiku seperti terpaku, tidak mampu bergerak atau berlari. Tatapan matanya seperti ingin menghipnotisku. 'Jangan menatap matanya!’ bisik suara itu segera, saat suatu dorongan ingin menarikku menujunya.
Aku pun memalingkan wajah, mengalihkan pandangan, membuat makhluk itu bertambah beringas. Sementara wajah-wajah serigala penghuni kampung juga menjadi marah.
“Untuk apa, kalian memanggilku. Dia, tidak bisa menjadi bagian dari kampung ini. Binasakan saja, dia!” tunjuk makhluk itu penuh kemarahan.
Semua makhluk serigala yang berkumpul dalam ruangan, berlarian mencoba membunuhku. Namun, ada dua sosok manusia serigala, tiba-tiba menghadang mereka. Dari warna pakaian yang masih melekat di bagian bawah tubuh, aku bisa menduga itu milik Bik sata dan juga … Nenek. Ternyata Nenek juga diam-diam mengikutiku.
“Tidak bisa! Kalian tidak boleh membunuhnya!” jerit Nenek kalap. Dia mencoba menghalau penghuni kampung yang lain untuk mendekatiku. Demikian juga dengan Bik Sata.
“Perjanjian kita tidak seperti ini!” terdengar lengkingan Bik Sata sambil memukul satu manusia serigala yang mencoba menggigitku.
Tawa kekeh makhluk dan penghuni kampung bergema di seluruh ruangan, menertawakan kebodohan Bik Sata dan Nenek.
“Kalian benar-benar, bodoh!” ejeknya. “Anak Surti ini, adalah santapan lezat buatku!” lanjutnya lagi.
Bik Sata dan Nenek meradang, menghantam penghuni kampung yang ada. Bisikan di telingaku pun menyuruhku untuk segera berlari. Ini sudah saatnya meninggalkan desa ini. Aku juga diperintahkan melepaskan lilitan kain putih itu dan melemparkannya ke ruangan, setelah berada di luar.
Sesaat aku ragu, tapi pandangan Bik Sata dan Nenek, menguatkan tekadku untuk segera keluar.Mereka sepertinya sudah pasrah dengan kutukan yang selama ini mereka terima. Menjadi makhluk setengah serigala.
Makhluk itu berupaya menutup pintu dan menerjangku saat berlari keluar. Namun, sebuah kekuatan seperti menolongku dan membuat makhluk itu terpental. Bisikan itu menyuruhku untuk terus berlari dan membaca istifghar.
Cairan bening menyerupai air mata keluar dari bola mata Bik Sata dan Nenek, juga lolongan menyayat mereka mengiringi kepergianku.
Seperti pesan bisikan itu, setelah berada di luar, aku segerta melepaskan lilitan kain berwarna putih dan melemparkannya ke dalam.
Aku begitu takjub melihat apa yang terjadi. Kobaran api begitu besar tiba-tiba datang dan menghabiskan semua makluk yang ada di sana, termasuk Bik Sata dan Nenek.
Air mata pun seketika menetes di ke dua pipiku. Aku menjerit memanggil Bik Sata dan Nenek. Tapi, api telah membakar hangus mereka semua. Kemudian, aku dituntun pemilik bisikan itu untuk kembali ke desa yang sudah lengang dengan penghuninya.
Setelah membawa semua barang-barang, aku kembali dibawa untuk meninggalkan desa terkutuk itu. Ternyata hampir semua penghuni kampung ini melakukan persekutuan dengan iblis. Kecuali kakek buyut dan beberapa penghuni lain yang telah dibunuh mereka.
Sampai di batas desa, pemilik suara itu pun menampakkan wujudnya. Ternyata dia adalah kakek buyutku yang tidak rela aku menjadi salah satu bagian dari makhluk mengerikan itu.
Perkampungan pun akhirnya semua menjadi abu dan akan hilang keberadaannya. Kakek buyut telah menyelamatkan dan mengeluarkanku dari lingkaran mistis yang akan membelengguku nantinya.
Suara Ibu tiba-tiba terdengar, membuatku berlari ke pelukannya. Ternyata Ibu juga berhasil keluar dari lingkaran ini karena pertolongan Kakek buyut juga dan telah mengirimkan pesan melalui mata bathin untuk menjemputku di batas desa.
Kami pun memandang kepergian Kakek buyut dengan haru dan senyum-akhirnya bisa terbebas dari makhluk menyeramkan itu, meski Bik Sata dan Nenek ikut menjadi korban. Sudah saatnya, melepas masa lalu dan menuju masa depan yang lebih baik. [Penulis: Uliyatis]
~~~SELESAI~~~
BACA JUGA : SANDAH TANAH KUBUR