Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANDAH TANAH KUBUR


Tak pernah ada habisnya untuk menyingkap sebuah misteri yang terpendam di masa lalu, walau ia berasal dari kisah di jaman usang namun tetap asik untuk di baca karena mengandung nilai-nilai pelajaran dan manfaat untuk masa-masa yang akan datang bagi khalayak ramai... tetap focus dan simak !! Malam itu suasana di sebuah desa kecil di tepian sungai barito.

Dimalam itu Herman hanya bisa menyalahkan diri nya sendiri, Semua yang terjadi memang akibat usulnya yang edan, bahkan nyaris tak berperasaan.
Dan malam ini, adalah malam yang dijanjikan oleh almarhumah isterinya agar dia menemuinya di tanah pekuburan. Bagaimana mungkin isterinya yang telah mati beberapa hari yang lalu atau tepatnya 41 hari setelah kematian nya itu memintanya bertemu di tanah pekuburan nya..! Lelaki berotot kekar yang di penuhi oleh tato itu menerawang ke atas langit-langit gubuknya yang reyot di makan usia. Dia tak pernah merasa seperti ini. Dia tak merasa begitu tersiksa dengan masa lalunya. Dan dia tak pernah teringat pada isterinya yang mati dengan tragis saat melahirkan anaknya itu.

Tapi, malam ini benar-benar terasa lain. Dalam kesunyian yang nyaris sempurna, lamat-lamat Herman malah seperti mendengar kembali suara isterinya, sebelum dia memaksanya untuk melakukan perbuatan nista itu.

.......Di hari itu......
"Bila anak kita ini lahir, apa yang Abang inginkan dariku?"

Herman tidak lekas menjawab. Hatinya tengah dipermainkan oleh suatu keingian yang aneh.

"Salmah isteriku, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," katanya saat itu.

Salmah memandangi suaminya dengan bola matanya yang penuh dengan kemurnian cinta. Dia pasrah dan begitu tulus menyayangi Herman, pria yang telah berhasil merebut cintanya. Dia bahkan rela meninggalkan orang-orang yang dikasihinya demi cintanya yang tulus. Dia tak peduli dengan segala hujatan dan ultimatum dari kedua orang tuanya bahkan di sebut sebagai anak durhaka, Salmah sama sekali tak mengira bahwa lelaki yang digila-gilakannya itu kelak justru akan menjatuhkan vonis kematian yang menyakitkan atas dirinya.

Malam itu, Herman masih ingat, ketika mereka lama saling terdiam. Bibir Salmah yang ranum terbuka kecil menantikan gerangan apa yang akan disampaikan oleh lelaki yang telah menjadi suaminya, yang sebenarnya tidak disetuju oleh kedua orang tuanya itu. Sampai akhirnya terdengar suara lemah dari mulut Herman, setelah dia menarik nafas panjang.

"Salmah, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin impianmu tidak akan menjadi kenyataan. Terpaksa ini harus kita lakukan. Bukan karena aku tidak mencintai kamu dan anak yang kini kau kandung itu, tapi sekali lagi aku terpaksa mengusulkan hal ini. Abang minta pengertianmu, Salmah ?" Herman seperti ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.

Salamah bingung, "Apa sih sebanarnya yang Abang inginkan?" tanyanya sambil menatap wajah Herman dengan tatapan kosong. Dia sungguh tak mengerti dengan apa yang dimasud oleh suaminya. Dia hanya tahu bahwa suaminya sangat mencintainya.

Malam itu, Salmah hanya diam dan menunggu. Sementara itu, Herman memperhatikan wajah isterinya dengan seksama seakan mencari tahu reaksi Salmah, Setelah menenangkan sejenak gemuruh hatinya yang kian keras, barulah Herman melanjutkan kata-katanya.

"Begini, Salmah Oleh karena keadaan kita yang sungguh terjepit, aku minta kau sudi melakukannya untukku. Kamu mau kan?"

"Maksudmu melakukan apa?" tanya Salmah gemetar, karena selama ini memang tak pernah membantah setiap kemauan suaminya.

"Bagaimana kalau kita gugurkan saja anak yang kau kandung itu?" jawab Herman lirih, seakan dia sendiri penuh keraguan untuk mengusulkan ide gila tersebut.

"Tapi Abang...oh..." hanya itu suara yang keluar dari bibir mungil milik Salmah. Kemudian terdengar isakan halus dari rongga dadanya. Dia lari memeluk bantal. Herman mendekati dan membelai dengan lembut rambut Salmah. Lelaki itu mengecup tengkuk isterinya, lalu membalikkan wajahnya.

"Salmah dengar dulu! Abang tahu perasaanmu. Aku pun sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi keadaan kita Salmah...keadaan yang memaksa kita harus melakukan nya...
Salmah dengar dulu! Abang tahu perasaanmu. Aku pun sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi keadaan kita Salmah...keadaan kita. Kau tahu betapa besar biaya yang harus kita keluarkan untuk merawat anak kita kelak. Kita masih sangat miskin, sedangkan kau tahu orang tuaku tak mungkin dapat membantu, keadaan mereka hampir tak berbeda dengan kita. Sementara orang tuamu jelas masih memusuhi kita," tutur Herman dengan suara parau.

"Salmah, bukankah lebih berdosa bila kita tak mampu merawat anak kita kelak? Nanti, setelah keuangan kita sudah memungkinkan, kita bisa memiliki selusin anak," tegasnya.

Herman sengaja menekan kata "selusin anak", untuk menunjukkan perasaannya sendiri yang sesungguhnya penuh dengan ketakutan. Dia melihat ke atas dan merasa Tuhan amat murka atas tindakannya. Namun, di pihak lain iblis terus membakar menghasut hatinya agar Herman lebih mengeraskan tekad jahatnya.

Pada akhirnya, Salmah terbius oleh bujuk rayu suaminya. Meski ada rasa khawatir dengan kandungannya yang telah berusia empat bulan, tapi dia tak kuasa berbuat apa-apa. Dia tak mampu melawan kehendak suaminya yang takut menghadapi kenyataan. Ya, sebagai kepala rumah tangga yang tak memiliki pekerjaan tetap, Herman tiba-tiba memang menjadi seorang pengecut. Dia sepertinya tak percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Adil atas semua makhlukNya. Herman memang picik, sehingga iblis menari-nari diatas kemenangannya.

Tiga bulan silam, pagi-pagi sekali, Herman mengajak Salmah pergi ke rumah seorang dukun beranak yang terkenal di kampungnya , Setelah sepasang suami isteri itu mengutarakan maksud kedatangannya, sang dukun beranak menyodorkan semacam ramuan yang harus diminum Salmah agar kendungannya ke luar sebelum saatnya. Walaupun rasanya sangat pahit dan sepat, Salmah tetap memaksakan diri untuk meminumnya.

Memang, tanpa memerlukan waktu lama ramuan itu langsung bereaksi. Perutnya terasa mulas dan sakit luar biasa. Ingin dia menjerit, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Sementara itu sang dukun beranak terus memijit perutnya ke atas dan ke bawah.

Sekitar setengah jam setelah dipijat terus menerus oleh dukun itu, sakit di perut Salmah agak berkurang. Sebelum sang dukun beranak itu mengizinkan mereka pulang, ia memberikan ramuan yang haus diminumnya lagi di rumah. Namun, ketika hari itu baru saja sampai di rumah, Salmah kembali merasakan kesakitan yang lara luar biasa. Walau berusaha menahan, tapi erangannya makin lama makin melengking tinggi.

Melihat keadaan isterinya yang begitu rupa, Herman tentu saja menjadi sangat cemas. Cukup lama Salmah bergulat dengan kesakitannya yang teramat sangat, sedangkan Herman hanya bisa bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya.

Keadaan Salmah semakin parah ketika darah mengucur deras membanjiri kedua pangkal pahanya, disusul kemudian gumpalan darah kehitam-hitaman yang keluar layaknya segenggam kepala bayi. Terdengar suaranya merintih pilu dan menyayat hati bagi siap pun yang mendengarnya. Tapi sesaat berselang Salmah terdiam, dan tubuhnya tak bergerak-gerak lagi. Nafasnya yang tadi bergemuruh, kini lenyap dan berganti ketenangan yang tak berirama. Wajahnya tampak begitu pucat. Ya, Salmah akhirnya meninggal karena kehabisan darah. Melihat peristiwa tragis itu spontan Herman terpekik sambil menguncang-guncang tubuh isterinya. Dia menjerit-jerit memanggil nama isterinya, tapi Salmah tetap terbujur kaku di tempatnya.

Herman merasa sangat menyesal dan berdosa. Dia merasa telah membunuh isterinya sendiri. Dalam hati Herman mengutuki dirinya sendiri, tapi penyesalannya memang tiada berguna lagi... Tak lama kemudian sekitar rumahnya mulai berdatangan para tetangga, karena teriakan Herman memang menembus dinding-dinding bilik rumah mereka di malam pekat itu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi Herman tak berani menjelaskan sebab musabab yang sesungguhnya.

Orang-orang kampung itu akhirnya hanya tahu bahwa Salmah mati karena keguguran. Dan, mereka mencoba menghibur Herman sambil menyatakan bela sungkawa. Para tetangganya menyuruh Herman untuk bersabar dan tawakal, lantaran tak ada seorang manusia pun yang mampu mengelak diri dari takdir Illahi.
Malam itu, beberapa hari setelah isterinya meninggal, seorang lelaki bernama Hasan datang ke rumah Herman. Wajahnya tampak begitu pucat pias seakan memendam ketakutan yang luar biasa. Dengan napas tersengal-sengal dia memanggil-manggil nama Herman.

"Ada apa, Dik Hasan?" tanya Herman sedikit kaget. Dengan terbata-bata Hasan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Pemuda itu baru saja melihat sosok wujud Salmah dengan wajah hitam yang menyeramkan di kegelapan ujung jalan desa. Bahkan, almarhumah isteri Herman tersebut sempat berpesan kepada Hasan, agar Herman mau menemuninya di tanah pemakaman pada esok malam.
Serasa bagai disambar petir di siang bolong tatkala Herman mendengar cerita pemuda itu. Sungguh rasanya tak masuk di akal. Mana mungkin orang meninggal bisa bangkit lagi? Apalagi sampai ingin ditemui dikuburannya? Begitulah hati Herman bertanya-tanya.

Dan, malam itu herman semakin dilanda penyesalan dan ketakutan. Dia seakan merasa dikejar oleh bayangan yang tak berwujud.
Keesokkan harinya peristiwa itu telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Semua warga mempergunjing kan kejadian aneh yang dialami oleh Hasan.
Lalu, apa yang terjadi dengan Herman...?
Mulanya Herman tak mau memenuhi permintaan almarhumah isterinya. Namun, atas bujukan orang kampung, dengan penuh rasa takut dan bersalah yang luar biasa dia mau mengunjungi makam tanah kubur isterinya.

Malam itu udara agak lembab. Langit tampak hitam pekat, seakan bintang-bintang segan menampakkan diri. Angin bertiup agak kencang, membuat bulu kuduk Herman dan orang-orang kampung warga pesisir sungai barito yang mengawal ikut bersama Herman, meremang tak terkendali. Batu-batu nisan di perkuburan itu bagaikan bayangan tangan setan yang siap mencengkeram siap saja. Lolongan anjing yang terdengar melengking panjang di kejauhan seolah memberi tanda bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu hal yang mengerikan.

Dengan penerangan obor, orang kampung mengantarkan Herman ke pekuburan Salmah. Dari jarak sekitar tiga meter mereka melepaskan Herman yang dengan kaki gemetar terus mendekati makam Salmah. Langkah kakinya gemetaran karena diliputi rasa takut dan sesal yang amat dalam. Api obor yang dibawanya bergerak lemah ke kiri dan ke kanan, tertiup angin yang terasa lebih kencang.

Sementara itu, lolongan anjing kian jelas memecah kesunyian malam seperti memberi isyarat maut bagi Herman..
Sewaktu kakinya telah menginjak ujung makam, tiba-tiba tampak asap putih muncul dari kepala makam. Asap itu mulanya tipis saja, tapi kian lama kian menggumpal jelas. Beberapa detik berselang dari gumpalan asap tebal itu menjelma sosok Salmah, berdiri dengan wajah sangat muram menghitam. Dia memandang Herman dengan mata penuh penyesalan dan pengharapan. Kemudian terdengar suaranya halus dan lirih.

"Abang, Salmah tidak tahan oleh azab kubur yang kini kualami. Salmah minta pengertian Abang. Salmah mohon agar Abang mau menemani Salmah untuk sama-sama merasakan penderitaan yang aku rasakan. Aku tidak sanggup menanggungnya seorang diri,.. Bukankah dulu Abang pernah berjanji mau merasakan suka dan duka bersamaku? Mau kan, Abang???...

Darah yang mengalir di tubuh Herman seolah berhenti seketika. Dia diam tak bersuara. Dia merasa tak mungkin mengabulkan pengharapan almarhumah isterinya. Sebenarnya, seperti itulah dulu perasaan Salmah tatkala dituntut mengabulkan permintaan Herman untuk menggugurkan kandungannya.
Saat itu juga Herman ingin berlari jauh meninggalkan tanah pekuburan itu, tapi kakinya bagaikan diikat seribu tali tambang, tak dapat digerakan walau sedikitpun.
Orang-orang kampung yang ingin mendekat menolong Herman.

Namun sebelum mereka bisa mendekati Herman, tangan Salmah sudah lebih dulu terulur dan menarik Herman dengan kuatnya. Dan, apa yang terjadi kemudian sungguh suatu fenomena yang sulit diterima akal sehat. Betapa tidak? Salmah tiba-tiba lenyap dari pandangan. Dia meninggalkan suara cekikikan persis suara Hantu beranak, membuat semua bulu kuduk merinding. Dan
Saat orang-orang kampung mendekati tubuh Herman yang jatuh terkulai tepat di samping batu nisan Salmah, ternyata laki-laki itu sudah tak bernyawa lagi. Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar suara nyaring tawa Salmah bergema di kejauhan....

Malam itu terasa bagai malam yang amat panjang bagi penduduk kampung di pesisir sungai barito. Lolongan anjing yang bersahut-sahutan dari dalam hutan ditingkahi suara angin di area perkuburan itu seolah mengiringi kepergian Herman yang "dicabut" nyawanya oleh almarhumah isterinya sendiri. Barangkali memang demikian adanya Siapa yang berbuat pasti akan menuai hasilnya...
~~~SELESAI~~~



close