Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Nyata : Waktu Diminta Tolong Oleh Tetangga Yang Sakit

JejakMisteri - Cerita ini adalah pengalaman Paman saya sebut saja Paman Dwi. Waktu diminta tolong oleh tetangga yang sakit. Btw salah seorang dari yang mengalami kejadian ini sudah meninggal bukan karena kejadian ini, tapi meninggalnya karena sakit tua, jadi untuk kebaikan bersama maka semua nama saya samarkan seperti biasa.
Nggak tau kenapa akhir-akhir ini saya suka mendengarkan paman Dwi bercerita pengalaman-pengalaman beliau yang menurut saya kok bisa ya begitu. Dan ceritanya cukup membuat saya menghela nafas panjang, semua selalu membuat saya terdiam keheranan.

Langsung saja simak kisahnya:

Awal tahun 1990an. Di sebuah desa transmigrasi, sebut saja desa Bumi Makmur, desa yang sedang menggeliat pembangunannya di setiap sudut desa. Desa itu di buka pada tahun 1976,

bukan asli hutan, karena sudah ada penduduk asli yang memang mendiami disana. Pada waktu itu mereka masih bisa di kategorikan suku primitif yang takut jika bertemu orang diluar sukunya. Mereka lebih memilih mengasingkan diri daripada harus bersosialisasi dengan pendatang.

Segala hal berbau mistis pun masih kental di daerah itu. Rata-rata suku asli mereka tinggal di pinggir sungai dan berpindah-pindah. Mata pencaharian mereka adalah berkebun. Dimana kebun terlihat seperti kebun biasa tapi jika orang yang bisa "melihat" kebun itu dilindungi oleh

sejenis minyak yang mengandung unsur gaib didalamnya.

Tersebutlah dua orang tukang batu yang menjadi bagian dari proyek pembangunan jalan provinsi, jalur yang sedang mereka kerjakan berada ditengah-tengah hutan. Mungkin sebagian dari kita sering melihat tenda atau gubuk pekerja

proyek jalanan dipinggir jalan yang sedang di perbaiki. Jika proyek pengerjaan jalan sekarang, jalanannya banyak di lalui kendaraan berlalu lalang, maka lain halnya dengan pada masa itu. Awal tahun 1990an daerah yang berada di pulau Kalimantan ini adalah hutan belantara, di mana

hutan itu di rintis untuk pembuatan jalan

Namanya Abah Omin dan Sugito, 2 orang yang bertetangga di desanya, yang menjadi tukang pengerjaan jalan trans Kalimantan. Selisih umur Abah Omin dan Sugito sangat jauh, mereka layaknya anak dan ayah. Sugito pemuda desa yang putus

sekolah, lalu di ajak Abah Omin bekerja di proyek itu. Seperti pemuda pada umumnya yang aktif, enerjik dan nekatan, begitu juga dengan Sugito. Mereka bekerja dengan tekun dan bersemangat sekali. Bayaran beberapa rupiah sangat berarti untuk sekedar membeli gula untuk ngopi.

Rokok tembakau linting selalu menemani di sela-sela pekerjaan mereka menata batu jalanan.

Hari itu mereka menyelesaikan pekerjaan menata batu di area yang sudah ditetapkan lebih awal. Area yang mereka kerjakan memiliki nama daerah Gunung P***r.

Yang menurut cerita orang sampai hingga tahun ini, ditempat itu di huni oleh mereka yang gaib, yang sesekali menampakan diri. Sekedar mengerjai sopir-sopir truk ekspedisi yang melintas di malam hari, atau sekedar memberi tahukan bahwa mereka ada.

Daerah gunung P****r itu dikelilingi oleh pohon-pohon hutan hujan tropis yang tinggi menjulang. Menambah seram suasana ditambah lagi pada tahun 1990an itu belum ada kendaraan2 yang melintas, kecuali truck pengangkut hasil hutan berupa kayu gelondongan besar.

Sore itu setelah mengerjakan tugas mereka, mereka bersiap untuk pulang, karena bahan baku telah habis dan masih dalam pengiriman. Butuh waktu beberapa hari untuk bisa melanjutkan proyek tersebut. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke desa terlebih dahulu,

sembari menunggu kendaraan proyek yang menjemput mereka pulang ke desa, Sugito merasakan lapar yang luar biasa.

Ia pergi memasuki hutan yang ada di pinggir jalan proyek itu.

Kemana To?" Tanya Abah Omin dengan sedikit berteriak.

"Nyari-nyari bah, sapa tau ada yang bisa dimakan. Laper" Sahut Sugito sambil terus berjalan dan menebas semak dengan parang panjangnya.

Abah Omin dan Adi membiarkan Sugito masuk kedalam "hutan" itu. Selang beberapa menit,

ia keluar dengan menenteng sebuah buah elay_mirip durian berwarna oranye yang rasanya sama sekali tidak mirip durian_senyum sumringah menghiasi bibirnya yang menghitam akibat rokok linting.

"Liat nih, lumayan buat ganjel perut." Ucapnya senang.

"Eh dapat di mana To? Ada yang punya nggak?" Tanya Abah Omin heran juga senang. Di raihnya buah itu, di endusnya, aroma khas buah elay yang sedap menyebar di Indra penciumannya. Buahnya matang sempurna.

"Di hutan situ Bah, tapi cuma satu yang jatuh, mungkin nggak ada yang punya Bah, kan di hutan ini." Ucap Sugito sambil meraih kembali buah itu, sembari bersiap membuka kulit buah yang berduri.

"Hati-hati To, nanti ada yang punya.." Adi temannya mengingatnya,

Temanya mengingatkannya, yg tampaknya dianggap angin lalu oleh Sugito.

Sugito dan Abah Omin langsung melahap buah Elay yang ada di hadapannya. Pada biji yang kedua, tiba-tiba Abah Omin merasa panas pada perutnya.

Dipikirnya itu akibat memakan buah setelah minum kopi. Ia pun menghentikan makannya.

"Kok udahan Bah?" Sugito memandang Abah Omin sambil terus memakan daging buah yang membalut biji itu.

"Panas perut To, mungkin gara-gara ngopi." Ujar Abah Omin sambil mengelus perutnya.

"Oh iya kali Bah, Di kamu nggak mau nyobain?" Sugito beralih kepada Adi.

Adi menggelengkan kepala seraya berucap "nggak doyan aku." Adi menghisap rokoknya dalam-dalam.

Sugito pun menghabiskan sisa buah itu sendirian.

Dijilati sisa buah yang menempel di jari-jarinya lalu bersendawa, sambil berucap, " lumayan, kenyang!".

Di saat yang bersamaan sesosok makhluk tinggi besar memandang dengan marah ke arah Sugito dan Abah Omin. Tentu saja Sugito dan Abah Omin tak menyadari bahwa mereka sedang

menjadi incaran makhluk gaib yang sengaja di letakan pemilik pohon Elay untuk menjaga yang merupakan suku asli daerah tersebut.

Tak berselang mobil jemputan pekerja sudah datang, didalamnya sudah ramai oleh pekerja-pekerja lainnya yang sama-sama akan kembali ke desa.

Mereka akhirnya menaiki mobil itu, lagi-lagi tanpa menyadari bahwa mereka ikut serta membawa makhluk menyeramkan haus darah itu.

Mereka tiba di rumah ketika hari sudah gelap. Azan isya baru saja berkumandang. Sugito baru saja selesai membersihkan diri bersiap untuk makan

makanan yang sudah di siapkan oleh ibunya yang dipanggilnya Iyung.

Tiba-tiba ia merasa seperti dihantam hawa panas di punggungnya. Sugito tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia meracau tak karuan. Piringnya ia lempar begitu saja hingga pecah berantakan.

"To Kowe keneopo nang? (To, kamu kenapa nak)"kata Iyung yang seorang transmigran dari tanah Jawa terbelalak kaget.

"Grrrr..... Hkkkkkkk.... Grrrr...!" Suara menyeramkan seolah ingin menerkam di keluarkan oleh Sugito. Kemudian ia menyeringai menatap Iyung.

"Paknang.....!!! Paknaaanggg Gito pakkknaang!" Iyung histeris memanggil suaminya.

"Ene opo?! (Ada apa!)" Laki-laki yang dipanggil Paknang itu sedang duduk di teras tergopoh mendatangi teriakan istrinya.

Tangan Gito mengepal keras, duduk bersila. Lalu menggeram lagi.

Semua yang ada di rumah itu panik. Kakak-kakak dan adik Sugito yang laki-laki memegangi Sugito yang berusaha berlari. Ia selalu melihat arah pintu lalu menyeringai. Meracau dengan bahasa yang tidak bisa di mengerti.

Kakaknya yang laki-laki sebut saja Mas Darji emosi

ia lalu menampar pipi Sugito dengan maksud agar Sugito sadar. Sebaliknya Sugito justru mendelik ke arah kakaknya. Suasana malam itu mencekam. Suasana memang di desa itu sangat mencekam ketika malam sudah tiba. Desa yang belum dialiri listrik, hanya menggunakan lampu ublik atau

petromax. Sedang orang yg dengan ekonomi baik menggunakan penerangan genset.

Lampu ublik dengan asap hitam di atasnya meliuk-liuk seperti berada di pusara hawa yang tidak baik, yang ikut mengdukung suasana yang mencekam penghuni rumah itu.

Braaakkkkkk!!!

"Aaaaaaaa!!" Mereka berteriak bersama-sama atap rumah seperti di hantam benda berat.

"Paknang celu'no Pak Dwi kono, wedi aku Pak...(Pak panggilkan pak Dwi sana, aku takut)" Kata Iyung kepada suaminya dengan bergetar. Rumah berlantai tanah dengan ruang tamu luas

yang hanya di terangi ublik tua, memantulkan bayangan penghuninya. Menambah seram suasana.

Paknang bergegas memanggil Pak Dwi yang rumahnya berjarak 150 meter.

"Pak Dwi !!! Pakkkk, kulonuwunnn!" Teriak Paknang dengan panik.

"Nggih, enten nopo Mbah( iyaa, ada apa mbah)?" Kata Pak Dwi dengan tergesa membuka pintu, kaget melihat Paknang yang panik.

"Niku Pak, tulungi niku Gito ngamuk...!"

"Ngamuk pripun Mbah? (Ngamuk gimana Mbah?)" Pak Dwi bertanya bingung

Mboten ngerti, balek kerjo arepe mangan, langsung piringe di banting! Motone mendelik, kudu mlayu nang dalanan (nggak tahu, pulang kerja mau makan, piringnya langsung di banting! Matanya melotot, mau lari ke jalanan)" jelas Paknang.

Tanpa basa basi Pak Dwi mengikuti Paknang yang

terburu-buru. Istri Pak Dwi yang sedang hamil pun turut ikut. Karena tidak berani dirumah sendirian.

Dengan senter mereka melewati jalan setapak, lalu ke jalan besar menyebrang ke rumah Paknang. Rumah pak Nang berada di tikungan jalan pertigaan.

Orang sering menyebutnya rumah tusuk sate. Kondisi kontur jalan yang tinggi. Membuat rumah PakNang tidak terlihat dari jalanan. Rumahnya seperti berada di bawah jalan setinggi 5 meter. Baru memasuki halaman rumah kayu bercat hijau botol dengan banyak jendela didepannya, Pak Dwi

sudah merasakan sesuatu yang jahat yang entah berasal dari mana.

Memasuki rumah istri Dwi merasa tengkuk dan lengannya merinding dengan hebat. Ia merapatkan pengangan tangannya ke Pak Dwi.

Sugito duduk bersila di dipan yang ada di pojok ruang tamu besar itu.

Kakak-kakak laki-lakinya menjaga di sekitarnya.

Istri Pak Dwi lalu duduk di sebelah Iyung dan Kakak perempuan Sugito yang sedang menangis ketakutan melihat kondisi Sugito.

Melihat Pak Dwi Sugito langsung menunduk.

Kepalanya begoyang-goyang seperti orang ketakutan. Tangannya yang tadinya mengepal bergetar hebat.

"To, Lapo Kowe?(To ngapain kamu?)" Tanya Pak Dwi, yang di sambut Sugito dengan senyum menyeringai yang mengerikan. Seolah memberikan tanda bahwa ia bukan Sugito.

Pak Dwi meminta air putih, lalu mulai berdoa dengan memejamkan mata. Seketika Sugito berteriak dan ranjang yang di duduki Sugito terangkat( mumbul), badan Sugito seolah berubah menjadi besar sekali dengan cepat.

"Abis ngapain kamu To ditempat kerja?" Kata Pak Dwi sambil mengusa

mengusapkan air ke wajah Sugito.

"HAHAHAHAHAA, ANAK INI BODOH. TIDAK SOPAN! DIA HARUS MENANGGUNGNYA!" Sugito mendelik, mengeluarkan suara yang asing yang keras. Perempuan-perempuan yang melihat beristigfar dan membaca doa-doa. Mereka di selimuti ketakutan yang luar biasa.

"Nanggung apa sih?, wes minum sek (nanggung apa sih?, Dah minum dulu)" kata Pak Dwi memberikan gelas air ke kakak Sugito untuk di minumkan.

Selesai minum Sugito langsung terkulai lemas sambil berteriak kesakitan.

"Aduuuuhh panass pakk, panaass. Apa ini paakk. Panass aduh pakk, jangan pakkkk!"

"Kamu habis makan apa?" Tanya pak Dwi.

"Mbuh (nggak tau) Pak, aduuh panas Pak! Tolongin Pak!" Jerit Sugito.

"Kamu Nemu apa di hutan yang kamu makan ?" Tanya Pak Dwi lagi.

Ele Pak, aku nemu buah Ele. Tadi... Aduuuhh, panass pakk, tolong pakkk!" Pak Dwi memegang dahi Sugito sambil membaca doa. Akhirnya Sugito tenang. Tapi rumah itu mendadak menjadi sangat gerah. Pak Dwi keluar rumah menantap langit atas rumah itu. Sesosok makhluk besar berdiri

kemudian hilang begitu saja.

Pak Dwi meminta botol yang diisi air kemudian ia doakan air itu. Sugito harus meminum air itu sampai habis.

Akhirnya Sugito tenang malam itu. Walaupun ketika tidur ia masih mengigau seperti ketakutan.

Semua mengira bahwa Sugito sudah tidak apa-apa

Tapi ternyata berlanjut ke malam kedua, makhluk itu datang lagi. Sugito mengamuk tidak karuan saat menjelang magrib.

Pak Dwi di minta kembali ke rumah Sugito. Hal yang sama pun terjadi. Sugito menunduk seperti ketakutan ketika Pak Dwi menghampirinya.

Gelisah seperti menghindari tatapan Pak Dwi.

"Ngece Kowe yo (ngolok kamu ya)" kata Pak Dwi, Sugito kembali tersenyum. Senyum yang mengerikan.

Pak Dwi membacakan doa di air putih, dan kembali meminumkannya ke Sugito. Kali ini Sugito lemas tidak berdaya.

Pak Dwi menunggu sampai Sugito sadar. Lalu menanyai Sugito.

"Kamu nemu buah itu di mana?" Tanya Pak Dwi.

"Di hutan pak dekat proyek jalanan itu" kata Sugito dengan mata yang menerawang.

"Kamu tau nggak pohon itu ada yang punya?" Kata pak Dwi lagi.

"Nggak tau pak, itu aku ngambilnya udah jatuh buahnya." Sugito membela diri.

"Ngawur aja kamu To. Itu buah ada yang jaga. Kamu di ikuti mulai habis ngambil sampai sekarang. Kamu tau nggak siapa yang punya itu?!" Pak Dwi merasa gemas dengan Sugito.

"Nggak tau Pak. Soalnya kukira bukan kebunnya orang. Cuma satu pohon itu aja.

"Lain kali jangan begitu. Kamu nggak tau di hutan itu sehelai daun pun ada yg punya." Kata Pak Dwi lagi.

"Iya pak nggak saya ulangi lagi." Sesal Sugito.

"Sama siapa kamu makan itu?" Selidik Pak Dwi,

ia merasumsi bahwa Sugito tidak mungkin makan sendirian.

"Sama Abah Omin pak."

"Ya ampun To, kamu ini, mbok ojo nggeragas ( Jangan rakus)!" Pesan Pak Dwi sedikit kesal. Lalu Pak Dwi pun berpamitan. Menuju rumah Abah Omin, kebetulan Abah Omin adalah teman kerja Pak Dwi,

ketika Pak Dwi masih baru datang merantau ke daerah itu. Sesampainya di rumah Abah Omin. Pak Dwi disambut oleh istrinya.

"Alhamdulillah Bapak Dwi, baru aja saya mau suruh anak-anak kesana. si Abah sakit nggak mau makan, nggak mau minum. Ngomongnya mati-mati terus.

Saya Takut bapak..." Tangis Bu Dirah pecah.

"Mang... Mang..." Pak Dwi mengusap lengan Abah Omin yang pandangannya kosong mengarah ke atap rumah tanpa langit-langit itu. Seperti sebelumnya Pak Dwi meminta air Putih. Yang kemudian didoakan, setelah itu meminumkan ke Abah Omin ,

lalu mengusapkan ke wajah, perut dan kaki Abah Omin. Seketika Abah Omin terduduk.

"Lho Pak Dwi, ngapain di sini. Lho saya kok di rumah." Abah Omin keheranan seperti orang linglung.

"Memangnya mang Omin di mana tadi?" Tanya Pak Dwi sambil tertawa.

"Saya tadi di proyekan, sama bosnya nggak boleh pulang. Tadi sore abis makan ele sama Sugito, bosnya datang. Padahal batu sudah habis. Tapi nggak boleh pulang." Kata Abah Omin masih dengan kebingungannya.

"Abah gimana sih, Abah sudah dua hari sakit. Bengong aja nggak mau makan, nggak mau minum. Ngomong mati-mati terus. Bikin Emak takut." Kata Bu Dirah menjelaskan.

Lalu Pak Dwi menjelaskan bahwa yg di makan oleh Abah Omin dan Sugito itu adalah buah yg seharusnya tdk boleh dimakan.

Akhirnya Pak Dwi pulang kerumahnya. Malam itu hawa berbeda terasa di rumah Pak Dwi, Pak Dwi merasakannya. Ia sudah bersiap dengan seseorang yang akan datang. Istri Pak Dwi sudah terlelap ketika Pak Dwi sampai rumah. Malam itu sudah pukul 1.00 malam.

Selepas menghisap sebatang rokok di ruang tamu, Pak Dwi naik ke ranjang bersiap untuk tidur. Pak Dwi memejamkan mata duduk dan berdoa sebelum tidur, tiba-tiba bulu kuduknya meremang, dan sesosok menyerupai laki-laki tua berbadan besar turun dari langit-langit rumah.

Memakai pakaian khas suku asli yang ada di daerah tinggal Pak Dwi, berwarna kuning. Kakinya tidak menyentuh lantai. Ia tersenyum lalu berkata.

"Kamu bisa mijit ya Nak?"

"Iya, saya bisa" jawab Pak Dwi.

"Bagus, teruskan saja membantu orang, pesanku buat 2 orang yang lancang masuk kebunku, beruntung mereka bertemu kau Nak." Kata laki-laki tua itu lagi dengan logat khas suku yang Pak Dwi tahu.

"Mereka tidak tahu pohon itu punya Datuk." Kata Pak Dwi lagi.

"Ya Sudah Nak, teruskan membantu orang. Aku pamit dulu lah. Maaf anak buahku merepotkan." kata laki-laki tua itu lagi sambil tersenyum.

"Ya Datuk , silahkan." Kata pak Dwi mengangguk takzim. Lalu lelaki tua yang dipanggil Datuk itu kembali naik ke langit2 rumah dan menghilang.

Setelah kejadian itu akhirnya Sugito dan Abah Omin kembali pulih seperti sedia kala. Hanya saja Sugito jadi gampang kesurupan setelahnya. Apalagi setelah terkena penyakit malaria yang pernah mewabah di daerah itu. Dan hanya bisa di obati oleh Pak Dwi.

Sampai akhirnya sekarang ia sudah menikah, dan memiliki anak. Yang mengherankan anak Sugito yang sudah berusia 17 tahun kerap kali kesurupan. Seperti Sugito dulu. Hanya saja bukan Pak Dwi yang mengobati.

Abah Omin dan Bu Dirah juga sudah meninggal karena penyakit tua sekitar 10 tahun yang lalu.

Cerita ini diceritakan Pak Dwi yang adalah bokap Gw sendiri. Ketika kejadian ini terjadi gw masih di dalam perut ibu gw.

Ibu gw yang gw konfirm soal cerita ini mengaminkan dan lebih heboh lagi kalau cerita. "Ibu sampe mengkorok. Itu dipannya langsung mumbul, berubah jadi gede lek Sugito." Kata ibu Gw dengan hebohnya. 🤭

Nah ternyata itu pohon buah Elay atau di daerah lain di sebut pempaken milik

orang suku asli di daerah itu. Dan itu di jaga dengan minyak p****. Pernah dengar minyak bintang Kalimantan?. Nah minyak p**** itu sejenis dengan minyak bintang. Biasanya di taro di kebun atau di rumah orang2 suku itu untuk penjagaan.

Biasanya kalau orang berniat jahat masuk ke daerah yang di pasangi minyak itu mereka akan linglung, dan terus berputar-putar di lokasi yang sama, sampai akhirnya di temukan oleh pemilik kebun/rumah. Biasanya mereka akan menasehati si orang jahat yang terjebak itu supaya tidak

masuk ke lahan orang lain dengan maksud jahat. Atau jika tidak sengaja terkena badan orang yang tidak tahu apa-apa efek minyak itu bermacam-macam. Dulu bokap gw juga pernah ngobatin yang terkena karena tidak sengaja. Yang terkena akan merasa gatal di sekujur tubuhnya. Dan panas,

sehingga ketika pakai baju merasa gatal. Dan mereka lebih memilih telanjang bulat. Nah kata bokap gw juga minyak itu ada kelemahannya. Yaitu terong yang di bakar. Jadi minyak itu akan hilang kehebatannya ketika ada orang membakar terong ungu. Pernah sih temen gw yang tetanggaan

sama suku itu. Nah bakar terong nih dia, trus didatangi sama tetangganya. Minta tolong jangan bakar terong, soalnya dia pasang "pager" di kebunnya. Wallahu alam sih. Kembali lagi ghaib itu ada. Semua ada batas dunianya masing2.

Kata bokap gw, makanya jangan celamitan.

Dihutan di mana-mana, jangan mengambil yang bukan miliknya. Yang bukan haknya. Kita nggak pernah tau apa yang ada di balik barang yang bukan milik kita. Jangan menantang dengan yang tidak terlihat, dan tidak mengganggu. Jadilah manusia yang pada porsinya.

Cukup percaya pada yang gaib. Jangan pernah bekerja sama dengan yang gaib. Karena imbasnya bisa ke anak cucu.

Sekian


BACA JUGA : Kisah Nyata Bertemu Kakek Misterius di Gunung Lawu

KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~

close