PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 6) - Gong Pemanggil Arwah
Sekali lagi Legenda pendekar sambara terdengar di sebuah kampung yang dihuni oleh bangsa lelembut. Bisma dan Bimo Sambara memiliki kisah besar yang mempengaruhi masa ini.
KAMPUNG LELEMBUT
Kabut putih semakin tebal setiap kami menembus hutan-hutan lebat di hulu sungai. Suara aliran air masih terdengar, namun suara itu perlahan menghilang seiring kami melangkah.
“Desa itu saja sudah terpencil, tapi masih ada yang lebih tersembunyi lagi di tempat ini,” ucapku.
“Benar, Nan. Hati-hati. Di semesta Bara pun aku tidak sampai ke tempat-tempat ini,” Balas Cahyo.
Mbah Tanggir berjalan (melayang) di depan kami menembus kabut dan pepohonan. Sesekali kami harus mendaki batuan besar dan menuruni jalur dekat jurang.
“Sudah lama sekali tidak ada yang mendatangi mereka. Dan sudah lama juga mereka tidak menerima kedatangan siapapun,” Ucap Mbah Tanggir.
“Mereka itu siapa, Mbah? Kita sudah berjalan hampir satu jam tapi Mbah masih belum memberi tahu siapa yang akan kami datangi,” protes Cahyo.
“Aku ceritakan pun percuma. Sebaiknya biar mereka sendiri yang menjelaskannya pada kalian. Lagipula, mereka punya sesuatu yang mungkin berhubungan dengan pegelaran terkutuk yang akan kalian hadapi.”
Mbah Tanggir masih meminta kami untuk bersabar.
Jalur yang kami lewati memang sulit, bila tanpa arahan dari mbah tanggir mungkin kami akan tersesat atau bahkan celaka dengan medan yang ada.
Kami tiba di tempat yang tak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan dengan kabut semakin pekat. Samar-samar aku mendengar suara-suara yang di sekitar kami.
“Kita sampai..”
Mbah Tanggir berhenti dan menatap ke berbagai arah.
Cahyo terlihat waspada, sepertinya ia juga merasakan apa yang kurasa. Saat ini kami berada di tengah-tengah keramaian. Memang tak terlihat, tapi kami sadar bahwa ada sesuatu yang mengelilingi kami.
Seolah menyambut kedatangan kami, kabut pun menipis dan menunjukkan suasana yang benar-benar tidak biasa.
“Kampung lelembut..” Gumam Cahyo sambil memperhatikan berbagai sosok yang beraktivitas layaknya manusia di sekitar kami.
Baru sejenak kami memperhatikan keadaan sekitar, beberapa sosok sudah datang menghampiri kami. Sepertinya merekalah yang berkuasa di tempat ini.
Ada tiga orang. Mereka semua memiliki gaya rambut yang cukup asing di mata kami. Tiga orang pria berambut panjang, namun dikuncir cukup banyak. Sepertinya itu adalah ciri khas sukunya saat mereka hidup.
“Selamat datang di persinggahan ‘sementara’ kami. Saya Sastro Kecik, yang bertanggung jawab di tempat ini.” Ucap salah satu dari mereka.
“Saya, Dananjaya Sambara..” Balasku memperkenalkan diri sambil sedikit menunduk.
Mendengar perkataanku, tiba-tiba mereka bertiga tersenyum senang. Mereka buru-buru mengerubungiku.
“Akhirnya kau sampai kesini juga!” Ucap Sastro Kecik.
Bersamaan dengan itu kedua temannya yang belum sempat diperkenalkan itu mengoleskan jarinya pada sebuah mangkuk kecil yang berisi ramuan hitam. Tanpa persetujuanku, mereka mengoleskan ramuan itu pada wajahku begitu saja.
“A—apa ini?”
“Itu sambutan kami untuk kerabat dari Bisma Sambara,” Balas Sastro Kecik.
Aku tak begitu mengerti, tapi sepertinya ramuan hitam itu bukanlah hal yang berbahaya.
“Siapa pemuda yang satu lagi?” Tanyanya.
“Saya Cahyo! Cahyo bukan sambara..” Jawab Cahyo dengan berhati-hati. “Jadi nggak perlu dikasi item-item kayak begitu juga.”
Sial Panjul, rupanya dia sudah mengantisipasi.
Sayangnya jawaban Cahyo tidak cukup untuk menyurutkan niat orang-orang itu mengoleskan ramuan hitam itu.
“Hahaha.. jangan begitu. Ramuan ini penting untuk kalian.
Manusia yang masuk ke kampung lelembut biasanya akan kehilangan bau manusianya dan menjadi bagian dari kami. Ramuan ini mencegah hal itu terjadi,” Jelas Sastro Kecik.
Mendengar ucapan itu tiba-tiba cahyo mengambil cairan itu sendiri dan mengoleskan ke wajahnya dengan celemotan.
“Bilang donk dari tadi. Telat dikit bisa-bisa aku jadi nggak bisa pulang,” Protes Cahyo sambil terus mengoleskan ramuan itu..
Sekali lagi aku menertawakan tingkah cahyo yang tidak bisa ditebak itu. Tapi aku memang pernah mendengar cerita tentang hal dimana jika ada manusia yang tersesat di kampung lelembut, mereka bisa tidak kembali karena menjadi bagian dari kampung itu.
Tempat ini benar-benar seperti desa manusia pada umumnya. Semua beraktifitas layaknya manusia yang masih hidup. Ada yang mencuci, ada yang berjualan, dan mereka bersosialisasi layaknya warga kampung biasa.
“Sebenarnya, ada hubungan apa bapak dengan ayah saya?” Tanyaku langsung pada intinya.
“Hahaha.. sabar, Nak Danan. Kita ngobrol di pendopo saja. Sekalian ada yang mau saya tunjukkan..”
Aku menoleh ke arah Mbah Tanggir dan ia memberiku isyarat untuk mengikutinya. Aku pun memilih untuk mempercayai mereka setelah memastikan tidak ada firasat yang aneh di tempat ini.
Desa kabut. Mungkin aku akan menyebut desa ini dengan nama itu. Sebuah desa di perbatasan gunung yang diselimuti oleh kabut.
Berada di desa ini seperti berada di Indonesia sebelum zaman kemerdekaan. Bangunannya masih bangunan kayu yang seadanya, dan pakaian warganya masih mengenakan kain dan kebaya yang saat ini sudah banyak ditinggalkan oleh anak muda jaman sekarang.
Ah.. aku rindu.
Apa mungkin suatu saat aku bisa melihat lagi rakyat Indonesia kembali kepada indentitasnya. Seperti orang-orang jawa yang mengenakan kebaya, surjan, jarik, blangkon dan mendengarkan tembang-tembang nuansa jawa yang sering ditembangkan bapak-bapak sambil bekerja. Pantas saja, aku merasa nyaman berada di desa ini.
“Kalau ini bukan kampung lelembut, mungkin aku akan betah tinggal di sini, Pak Sastro!” Ucap Cahyo yang juga kagum dengan suasana di desa ini.
“Haha.. semua kenyamanan yang ada di desa ini juga berkat Bisma. Ayo masuk, biar saya ceritakan..”
Kami tiba di sebuah pendopo desa sederhana yang biasa dijadikan tempat berkumpul warga desa. Ada papan tulis yang berisikan kegiatan-kegiatan warga desa tergantung di dinding dan televisi kecil. Aku cukup penasaran juga siaran apa yang ditonton di kampung lelembut, dan bagaimana hubungan mereka dengan kampung lainnya.
“Nan..” Cahyo memanggilku sambil memberi isyarat dengan matanya ke salah satu arah.
Ada sebuah gong berwarna hitam pekat di sudut pendopo itu. Dari seluruh hal yang kami lihat di desa tadi, hanya gong itu yang memancarkan kekuatan aneh.
“Itu gong apa, Pak Sastro?” Aku mencoba memastikannya langsung.
“Itu alasan saya mengajak kalian kesini. Sebelumnya, monggo ada beberapa cemilan..”
Sastro Kecik menggeser makanan yang sudah disajikan sebelum kami datang. Ada kue nogosari, jadah bakar dan beberapa makanan yang cukup menggugah selera kami.
“Nahh!! Gini donk..” Dengan semangat Cahyo mengambil arem-arem yang disajikan dan membukanya.
“Monggo dimakan kalau mau jadi warga sini.” Lanjut Sastro Kecik sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu Cahyo tak jadi memakan arem-arem yang sudah ada di depan mulutnya.
“Astaga.. Nggak lucu, Pak!” Protes cahyo yang setengah tidak ikhlas meletakkan kembali makanan yang ada di tangannya itu.
“Makanya, Jul! Jangan asal nyosor..” Ledekku yang sebenarnya hampir juga kegocek.
“Haha.. maaf. Jangan dimasukin ke hati ya. Tapi memang sudah tradisi kami untuk menyajikan suguhan ke tamu yang datang. Jadi, ini formalitas saja.” Ucapnya merujuk kepada suguhan-suguhan di hadapan kami.
“Nggih, Pak. Saya paham..” Balasku.
Tapi tidak dengan Cahyo. Wajahnya masih kusut karena gagal menikmati makanan tadi.
“Gong itu adalah benda yang kami bawa dari sebuah ritual. Kutukan pada gong itu dipercaya bisa memporak porandakan satu desa,” Ucap Sastro Kecik. Kali ini tawanya meredup, dan wajahnya terilah cemas mengingat apa yang ingin ia ceritakan kepada kami.
Sebuah cerita pun diperdengarkan kepada kami.
***
LEGENDA PENDEKAR SAMBARA
Langit gelap, petir menyambar, hujan turun dengan deras. Alam seolah mengamuk melihat pebuatan manusia yang menodai kepercayaan Tuhan pencipta alam semesta ini.
Dua orang pemuda berdiri di tengah hujan yang enggan untuk berhenti. Sedangkan kilatan yang menyambar, menunjukkan bayangan-bayangan besar yang mengelilingi sebuah desa.
“Mas.. Mas Bisma yakin?” Tanya Bimo yang mulai merasa gentar menyaksikan sosok-sosok itu.
“Kalau kamu nggak yakin ikut bersembunyi sama warga saja, Mo. Jagain mereka,” Bisma berkata tanpa menoleh. Ia terus mengawasi sosok-sosok yang bisa menyerang mereka kapan saja.
“Bisa saja ini di luar kemampuan kita, Mas. Lawan kita ini bukan lagi roh gentayangan atau setan alas.”
Bisma menggenggam erat keris ragasukma dan menatapnya.
“Apa bedanya? Tujuannya kan sama. Melindungi agar tidak lagi ada nyawa manusia yang melayang atau tersesat di jalan yang dilaknat Tuhan.”
Mendengar jawaban kakaknya itu Bimo hanya menghela nafas. Dalam lubuk hatinya yang terdalam ia memiliki perasaan yang sama dengan Bisma, namun keraguan masih menghantui dirinya.
Masih ada bekas-bekas ritual di desa itu. Sebelumnya desa tempat mereka berada adalah tempat yang damai. Sebuah desa nelayan dimana segala kebutuhan hidup selalu tercukupi dari hasil alam. Sampai suatu ketika, desa mereka dilanda bencana.
Air pasang, gempa, hingga angin kencang mulai melanda desa. Nelayan tak dapat melaut, hasil bumi pun tak ada yang bisa dipanen. Musibah itu membuat warga desa menderita dan kebingungan dengan apa yang terjadi.
Kelaparan pun melanda desa itu. Letaknya yang jauh dari desa lain membuat hanya sedikit bantuan yang mereka dapatkan. Bencana itu membuat warga desa melakukan sebuah tindakan bodoh.
Mereka menganggap semua bencana yang melanda desanya adalah amarah para dewa yang sedang menghukum mereka. Sebagian orang berinisiatif melakukan ritual kuno yang mereka percaya dapat meredakan amarah para desa.
Tiga nyawa dikorbankan.
Nyawa sang pemimpin desa yang dianggap sebagai yang bertanggung jawab atas semua dosa-dosa desa, Nyawa perawan tercantik yang dianggap sebagai hadiah untuk para dewa, dan nyawa bayi yang baru lahir sebagai ungkapan bahwa mereka siap memulai lagi dari awal sesuai dengan kehendak dewa.
Suara tangis pecah diantara keluarga-keluarga korban, namun warga yang sudah kesulitan menahan rasa laparnya tak lagi bisa berpikir dengan sehat.
Ritual kuno berumur ratusan tahun yang sudah lama ditinggalkan kini dilakukan kembali.
Seorang pemuda diwajibkan untuk berpuasa selama tujuh hari, setiap malam ia harus menghabiskan waktunya untuk kumkum di sebuah sendang keramat yang berada tak jauh dari desa. Saat sang pemuda sudah dianggap ‘bersih’ ia akan dibawa ke tengah desa untuk melakukan ritual.
Sang pemuda akan dijadikan wadah untuk utusan para dewa yang akan mengambil persembahannya.
Di hadapan warga desa, beberapa sesepuh membacakan mantra secara bersamaan mengelilingi pemuda itu sepanjang hari. Saat hari mulai gelap, sosok yang dimaksudpun merasuki sang pemuda. Ia sudah tahu apa perannya.
Semua terjadi dihadapan seluruh warga desa..
Pemuda itu mengakhiri nyawa kepala desa dengan menyembelih lehernya. Darah menetes membasahi tanah desa yang ia perjuangkan selama ini. Setelah memastikan kematian itu, ia menghampiri sang perawan tercantik yang sudah disiapkan untuknya.
Di hadapan seluruh warga desa, Pemuda itu menyetubuhi sang gadis perawan itu sebagai perantara dewa yang menerima pemberian warga desa. Dan yang terakhir, pemuda itu memakan hidup—hidup bayi yang dipersembahkan untuk para dewa itu.
Suara tangisan bayi memecah keheningan warga yang memandang dengan takut. Sebagai manusia mereka tidak tega, tapi kebodohan mereka membuat semua hal ini terjadi.
Pernumbalan yang mereka lalukan berakibat bencana. Ritual itu memanggil ketiga sosok terkutuk yang terikat dengan warga desa. Warga melihat dengan mata kepalanya sendiri ketiga sosok yang tingginya melebihi pepohonan di desanya.
Sebagian warga berlutut mengira ketiga sosok itu adalah dewa yang akan menyelamatkan desanya, namun ketiga makhluk itu justru menertawakan kebodohan manusia-manusia itu.
Sosok itu menghilang begitu saja pada malam itu, namun warga desa tidak sadar bahwa ketiga makhluk itu sudah menjadi bagian dari desa. Mereka merasuki satu-persatu warga sesuka mereka.
Tiba-tiba saja ada warga desa yang mati dengan darah yang sudah mengering. Belum lagi ada perempuan-perempuan yang mati mengenaskan tanpa pakaian di hutan-hutan desa. Dan itu semua adalah ulah setan-setan yang muncul karena ritual yang mereka lakukan.
Warga desa sadar akan kebodohan mereka. Persembahan kepada dewa yang mereka lakukan malah memanggil tiga iblis kuno yang ingin memangsa seluruh warga desa itu.
Tak sedikit orang sakti yang mereka minta tolong untuk mengusir setan itu dari desa. Namun ikatan perjanjian darah antara warga desa dan setan-setan itu membuat mereka begitu kuat. Setan-setan itu tidak akan berhenti sampai seluruh warga desa mati dan menjadi budak mereka sampai akhir zaman.
Sampai perjalanan Bisma dan Bimo membawa mereka sampai di desa itu. Mereka menyadari seberapa mengerikannya keadaan di sana.
Nyawa tak lagi ada harganya, sebagian orang lebih memilih mati bunuh diri daripada mati oleh siksaan setan-setan itu. Kelaparan hingga penyakit menular sudah menjangkit di desa yang akhirnya terisolasi itu.
Kini ketiga iblis kuno itu sudah ada di hadapan mereka.
“Di zaman kerajaan dulu, beberapa orang menggunakan jalan pintas untuk mendapat kekuatan. Ada tiga nama yang mereka puja untuk mendapatkanya.
Sewantra, sang pembawa kematian.
Gawantri, sang pemikat.
Jurdana, sang wabah.
Mereka adalah iblis yang memberi berkat pada manusia-manusia yang haus akan kekuatan, kesaktian dan pemikat. Ada yang percaya bahwa santet, pelet, dan kutukan berasal dari ketiga iblis itu,” Jelas Bisma pada adiknya itu.
“Maksudnya, yang kita lawan adalah tiga makhluk itu?” Bimo memastikan.
Bisma mengangguk. Ia sadar bahwa yang akan ia lawan bukan masalah biasa.
“Kekuatan ketiga makhluk itu sudah diruwat di masa itu. Tapi tak kusangka mereka mereka masih semengerikan ini..” Bisma melihat ketiga makhluk yang merasakan ancaman dari keberadaan mereka berdua.
“Mas Bisma punya rencana?”
“Lindungi saja tubuhku…”
Di tengah hujan itu warga mendengar suara-suara tanpa wujud. Suara teriakan, senjata yang beradu, hingga suara menggeram seperti hewan buas. Mata Bimo terus menatap ke segala arah mengawasi pertarungan tak masuk akal yang dilakukan kakaknya itu.
“Hoeekkk!!!”
Tiba-tiba tubuh Bisma memuntahkan darah. Dengan sigap Bimo menyelimuti tubuh kakaknya itu dengan ajian pemulih raga yang menjadi keahliannya. Tapi, semua tidak berjalan mulus begitu saja.
Di sekelilingnya saat ini sudah bermunculan sosok-sosok roh warga desa yang menjadi korban ketiga setan itu. Mereka yang telah mengikat perjanjian dengan setan akan terus menjadi budak setan setelah kematiannya. Kini mereka mengincar Bimo dan tubuh Bisma.
Beruntung, mereka berdua bukan manusia sembarangan. Di tempat itu, Bimo meruwat tanah yang telah ternodai oleh darah warga desa yang ditumbalkan. Ia membelenggu roh-roh warga desa yang menjadi budak ketiga makhluk itu dengan api yang muncul dari mantra yang ia bacakan.
Sedangkan Bisma yang kewalahan tak mampu untuk mengalahkan ketiga makhluk itu begitu saja.
Sebelum kekuatanya habis dan tubuhnya tak mampu bertahan, Bisma menemukan cara. Dalam pertarunganya itu ia menemukan bahwa desa itu mempunyai tiga benda pusaka yang berasal dari zaman yang sama dengan ketiga setan itu. Sebuah gong, sebuah topeng, dan mahkota kuningan.
Dengan bantuan kekuatan keris ragasukma, Bisma menyegel ketiga makhluk itu kedalam ketiga pusaka itu. Sewantra pada sebuath topeng, Gawantri pada gong, dan Jurdana pada mahkota.
Bisma hampir saja mati saat melakukan ritual penyegelan itu. Namun Bisma yakin bahwa ketiga makhluk itu tidak akan bangkit lagi kecuali ada kekuatan besar yang mampu menenggalamkan pulau jawa yang campur tangan.
Setelah Sewantra, Gawantri, dan Jurdana dapat ditaklukkan, desa pun kembali tenang. Gejala alam yang menerpa desa tak lagi terasa mengerikan bila dibanding dengan kutukan ketiga makhluk itu. Sayangnya, dosa yang warga desa lakukan harus dipertanggungjawabkan.
Mereka terikat dengan setan-setan yang tersegel di ketiga pusaka itu. Walau sudah bertobat semasa hidupnya, setelah mati mereka masih terus bergentayangan hingga ketiga makhluk itu kembali ke neraka.
Roh warga desa yang telah mati pun menciptakan kampung mereka di tempat yang paling tenang. Dimana mereka tidak tergoda untuk mengganggu manusia, dan mereka tidak dimanfaatkan oleh manusia. Sebuah hutan yang penuh kabut menjadi pilihan mereka.
Gong yang menjadi keramat itu pun ikut bersama mereka. Mereka merasa harus menjaga gong itu dari siapapun yang berniat jahat. Sedangkan kedua pusaka lainnya dipercayakan kepada sesepuh-sesepuh yang masih hidup. Namun keberadaanya tidak pernah diketahui lagi.
Nama kedua pendekar Sambara pun selalu teringat di benak warga desa. Kedua pemuda yang bukan siapa-siapa berjuang mempertaruhkan nyawanya demi desa yang tinggal menanti ajal.
Berkat mereka, warga desa memiliki sisa waktu semasa hidupnya untuk bertobat dan memohon ampun atas ritual terkutuk yang telah mereka lakukan. Kini roh mereka hanya tinggal menanti sampai waktunya dosa mereka diampuni dan mereka bisa kembali kepada sang pencipta
***
WASIAT HIDUP
(Sudut Pandang Danan…)
Cerita dari Sastro Kecik sekali lagi membuatku semakin kagum pada bapak. Kekuatan penyegel dari keris ragasukma pun aku tak pernah mengetahuinya. Sebenarnya seberapa jeniuskah Bapak?
“Kenapa Paklek nggak pernah cerita soal ini ya?” Cahyo penasaran. Terlihat ketertarikan di raut wajahnya.
“Kalian saja yang mungkin tidak tahu sudah berapa ratus orang yang ditolong oleh kedua orang itu. Kalau sampai kalian tidak tahu, berarti mereka memang memberi pertolongan dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian,” Ucap Sastro Kecik.
Aku setuju dengan perkataan itu. Bapak dan Paklek jarang sekali menceritakan tentang orang-orang yang mereka tolong. Biasanya mereka baru bercerita jika ada kasus serupa yang membuat kami kesulitan.
“Sekarang masalahnya, ketiga pusaka keramat diincar untuk Pagelaran Sewu Lelembut. Hal mengerikan akan terjadi jika pusaka-pusaka keramat berkumpul di satu tempat,” Jelas Sastro Kecik.
“Maksudnya mereka mengincar gong ini?” Cahyo memastikan.
Sastro kecik mengangguk. Ia menceritakan bahwa Raden Girisangkur sudah menguasai pusaka topeng Sawantra.
Topeng itulah yang ia gunakan untuk mengumpulkan pengikutnya hingga saat ini. Sedangkan mereka tahu, akan ada yang mengambil gong tua yang mereka sembunyikan di balik kabut ini.
“Tidak ada yang bisa menghalangi jika mereka ingin merebut gong ini. Kekuatan gelap yang dimiliki oleh gong ini bagaikan magnet bagi mereka,” Ucap Sastro Kecik.
“Lantas, apa yang harus kami lakukan dengan gong ini?” Tanyaku.
“Tidak ada..” Balasnya singkat.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Sastro Kecik.
“Kalau memang tidak ada yang bisa kami lakukan, untuk apa kami diajak ke tempat ini,” Balasku.
“Mengenali kekuatan lawan juga merupakan strategi peperangan. Setidaknya sekaran kalian sedikit mengetahui tentang kekuatan yang akan kalian hadapi.
Selain itu saya juga berharap kalian mewarisi semangat Bisma dan Bimo yang mungkin bisa menjadi petunjuk dalam pertarungan kalian nanti,” Jelas Sastro Kecik.
“Emm.. ngapunten Pak Sastro. Ngomongnya jangan kayak gitu. Paklek Bimo masih hidup kok. Masih di Klaten.” Potong Cahyo.
Aku menyikut cahyo menegur atas ketidak sopanannya.
“Lha bener kan? Paklek kan masih hidup?” Bisik Cahyo.
Memang wajah Sasto kecik dan Mbah Tanggir terlihat bingung. Ia seolah mengingat-ingat sesuatu dan tiba-tiba tertawa.
“Haha.. benar juga. Saat itu Bimo memang masih sangat muda. Sampaikan salamku padanya saat kalian kembali,” Balas Sastro Kacik.
Kami pun ikut tertawa mendengarnya. Ternyata dugaan cahyo benar. Hanya karena Bapak sudah mendinggal, warga kampung lelembut pun mengira Paklek juga sudah meninggal.
“Salam kembali, Pak Kacik..”
Tiba-tiba suara yang kukenal terdengar di dekat kami. Aku menoleh ke asal suara itu dan melihat ada sosok roh yang mendekat ke arah kami.
“Paklek??”
Benar. Itu roh paklek. Aku tidak salah lihat. Ia sedang menggunakan ilmu Ragasukmanya untuk menghampiri kami.
“Bimo? Kau sudah setua ini?” Sastro Kacik begitu semangat melihat keberadaan paklek. Ia pun spontan meminta teman-temanya memanggil warga desa. Saat itulah keriuhan terjadi.
“Tidak usah berlebihan, Pak Kacik,” Ucap Paklek.
Seluruh warga kampung lelembut itu mengerubungi paklek. Mereka penasaran dengan keadaan seseorang yang pernah menyelamatkan mereka. Saat itu aku dan Cahyo hanya menjadi pemerang figuran.
Kami menyaksikan bagaimana semangatnya warga desa yang bisa bertemu lagi dengan paklek. Ada pertanyaan-pertanyaan kecil mereka sampaikan pada paklek, namun paklek membalas seadanya saja karena kedatangan paklek kesini pastilah atas suatu hal yang mendesak.
Setelah menyapa warga desa, Paklek menceritakan maksud dan tujuannya ke tempat ini.
“Apa yang bisa kami bantu, Bimo?” Tanya Sasto Kacik.
“Tidak ada, Pak Sastro. Saat mereka datang untuk mengambil gong itu, biarkan saja. Menjauhlah dari mereka, jangan sampai mereka merusak apa yang sudah baik di sini,” Jawab Paklek.
Aku benar-benar heran. Apa memang tidak ada yang bisa kami lakukan agar gong ini tidak berpindah tangan?
“Bagaimana kalau kita bawa saja gong itu, Paklek? Biar kita yang menghadapai mereka,” Ucapku.
Paklek menggeleng. Ia memperhatikan gong yang mungkin setelah ini akan menjadi masalah untuk kami.
“Tidak bisa. Jika Gawantri bangkit di tempat ini hal yang lebih buruk mungkin akan terjadi. Biarkan semua masalah ini berpusat di leuwung sasar,” jelas Paklek.
Kali ini aku mengangguk mengerti. Kami hanya bisa mempercayai rencana paklek.
“Berarti Paklek ada tujuan lain kan menemui kami?” Tanya Cahyo.
Wajah Paklek terlihat cemas. Ia menyentuh kepalaku dan Cahyo dan menunjukkan sebuah penglihatan.
“Mas Jagad?”
Tiba-tiba sebuah penglihatan muncul di kepalaku. Terlihat Mas Jagad berada di sebuah padepokan. Tubuhnya dipasung bersama beberapa orang yang berpenampilan seperti dukun. Wajahnya penuh dengan luka.
“Paklek? Apa yang terjadi sama Mas Jagad?” Cahyo tak bisa menahan amarahnya.
“Mereka tertangkap..”
“Lalu Arsa? Arsa bersama Mas Jagad kan?” Aku benar-benar cemas.
Paklek menggeleng dengan wajah penuh kekhawatiran. “Paklek masih belum menemukan jejak Arsa.”
Mendengar jawaban itu, Aku dan Cahyo segera berdiri. “Maaf Pak Sastro, sepertinya kami harus pamit lebih cepat. Teman-teman kami membutuhkan bantuan kami,”
Sastro Kecik mengangguk mengerti. Ia mempersilahkan kami untuk pergi, namun sebelum kami berangkat, ia membawakan kami sebuah kendi kecil yang berisi ramuan hitam.
“Bawalah, mungkin kelak akan beguna untuk kalian,” ucap Pak Sastro.
Itu adalah ramuan yang dioleskan pada wajah kami tadi. Aku pun punya firasat bahwa suatu saat ramuan ini akan berguna untuk kami.
“Terima kasih, Pak. Saat semua selesa, saya akan mampir lagi ke sini,” Balasku.
Kami pun pergi meninggalkan desa, dan di belakang kami Sastro kecik dan warga desa berkumpul mengantar kepergian kami. Secara perlahan desa itu pun kembali tertutup kabut. Semua hal yang membuatku terkesan di sana kembali tak terlihat dan berganti dengan hutan-hutan yang lebat.
“Aku akan menuntun kalian sampai keluar..”
Suara Mbah Tanggir kembali terdengar bersama kemunculan rohnya di hadapan kami. Kami pun mengikuti arahanya hingga sampai di tempat yang aman.
“Terima kasih, Mbah. Sampai jumpa lagi,” Pamitku.
“Datanglah kapanpun kalian mau. Saya punya firasat bahwa kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat,” Balas Mbah Tanggir.
Kami pun meninggalkan hutan yang merupakan jalan masuk menuju desa tumbal yang sudah ditinggalkan oleh warganya itu.
Setelah berjalan cukup lama menuju jalan utama, sebuah bus pun melintas dan menghantarkan kami untuk meninggalkan tempat yang penuh misteri itu.
***
PENYERBUAN
Rasa cemas akan keadaan Mas Jagad membuat kami tak tenang. Tak hanya kami, rupanya paklek juga mengabari teman-teman yang lain. Sepertinya sesuatu yang mengalahkan Mas Jagad dan Arsa bukan lawan yang sembarangan.
Saat ini kami berada di salah satu pedalaman hutan. Ada sebuah pohon besar yang tumbang dan sisa-sisa pementasan di sini. Kami sama-sama tahu bahwa di depan kami sekarang ada ratusan makhluk yang bersiap menghabisi kami.
“Setelah melewati sungai itu, nyawa kita berada dalam pertaruhan,” Peringat Paklek.
“Kami mengerti, Paklek. Hati-hati, kita tidak tahu jebakan apa yang mereka persiapkan untuk kita,” Tambah Cahyo.
Aku dan Paklek sudah menggenggam keris pusaka masing-masing. Sedangkan Cahyo sudah bersama Kliwon. Kami tidak bisa setengah-setangah dalam pertarungan ini.
Tepat saat melewati sungai, kami segera berlari menuju sebuah bangunan tua yang ditunjukkan oleh paklek. Ia sudah mencari tahu keberadaan Jagad dengan ilmu ragasukmanya.
Ada yang sudah menanti kami di sana. Sebuah keris pusaka yang sudah bersabar cukup lama untuk misi ini. Keris Dasasukma.
“Ayo Dirga!” Teriakku pada sebuah keris yang telah dirasuki oleh sukma Dirga.
Aku mengambilnya dan melemparkanya sekuat tenaga ke arah langit.
“Darah!! Tumpahkan darah kalian di sini!!”
Aku yakin ini masih di alam manusia, namun keberadaan makhluk-makhluk berwajah pucat dan roh yang bergentayangan membuat seolah kami berada di alam mereka.
Setelah melihat sosok kampung lelembut yang begitu nyaman. Sekarang kami malah dihadapkan dengan desa yang dipenuhi oleh setan-setan mengerikan ini.
“Minggir!!”
Dengan kekuatan Wanasura, Cahyo menghantamkan serangannya ke tanah hingga setan-setan itu tercerai berai. Sayangnya, tak satupun dari mereka berniat untuk mundur. Mereka terus bangkit walau tubuhnya terus hancur.
“Darah kalian akan menyempurnakan kami, khekhekehke”
Seketika wajah wanita setengah tengkorak sudah melayang di hadapanku.
Srattt!!
Tanpa berbasa-basi aku menancapkan keris ragasukma ke lubang matanya dan menghancurkannya. Sementara itu keris dirga sudah melayang menembus seluruh makhluk yang mencoba menghalangi kami itu.
Tidak ada satupun dari kami yang membuang-buang waktu. Api hitam paklek juga sudah menyala membakar puluhan makhluk-makhluk itu hingga suara rintihan kesakitan memekakan telinga kami.
“Terlalu mengerikan. Mereka adalah korban-korban dari Pagelaran Sewu Lelembut ratusan tahun yang lalu..” Ucap Paklek.
“Mereka semua?? Mereka jadi setan sampai saat ini?” Cahyo terdengar tidak percaya, namun Paklek mengangguk membenarkan ucapannya.
“Gila, seandainya kita gagal makhluk seperti mereka akan bertambah banyak..”
Saat kami hendak mencapai rumah tua tempat Mas Jagad dipasung, kami dihadang oleh sosok roh wanita yang bergelantungan di sebuah pohon.
“Kalian tidak diundang..”
Srattt!!
Aku tak peduli dan menebaskan kerisku pada perempuan itu, namun luka yang kuciptakan seketika tertutup begitu saja.
“Tumbal tak sepantasnya melawan!” Setan wanita itu berbeda dari makhluk lainnya.
“DANAN! CAHYO! JAUHI SETAN WANITA ITU!!!”
Itu suara Mas Jagad..
Dari dalam bangunan terdengar suara Mas Jagad yang berteriak sekuat tenaga dari dalam sana. Ia memperingatkan kami akan setan perempuan itu.
Aku mengawasi setan itu, dan makhluk itu justru tersenyum dengan lebar dengan mulutnya yang robek.
Makhluk itu terjatuh dan merayap mengincar kami. Ada dua tangan lain yang tumbuh dari tubuhnya dan ekor ular muncul dari bagian bawah tubuhnya.
“Danan! Menyingkir!!”
Cahyo menarik tubuhku yang tanpa sadar sudah diincar dengan ekor perempuan itu.
Aku selamat, namun setan itu merangkak dengan cepat dan sudah ada di hadapanku.
“Minggir!” Cahyo mengangkat tubuh makhluk itu dan melemparkannya jauh-jauh, anehnya makhluk itu dengan cepat bisa merangkak dan tiba di dekat kami lagi.
Keempat tangan mengerikan itu terus berusaha meraih tubuhku, aku menghindar sekaligus menggunakan keris ragasukmaku untuk bertahan. Bau busuk dari setan itu semakin lama semakin menggangguku.
“Mas, jangan jauh-jauh…”
Dalam sekejap, tiba-tiba wajah dan suara setan itu berubah menjadi Naya.
“Na—naya?”
Aku terhenti sejenak, dan saati itulah tangan setan itu berhasil mencengkeram wajahku.
“Bisa mati di hadapan orang yang kau sayangi adalah kebahagiaan bukan? Khikhikhi”
Itu benar-benar wajah Naya, tanpa perbedaan sedikitpun. Aku lengah, dan tak mampu menggerakkan seluruh tubuhku. Ketiga tangan setan itu menahan tangan dan tubuhku.
Sial! Aku lengah.
“Mas, mati sekarang saja ya. Naya benci Mas Danan..”
Deggg!
Ucapan itu menusuk jantungku, padahal aku tahu itu adalah ucapan dari sosok setan. Entah mengapa itu terasa begitu nyata dan begitu menyakitkan. Aku ingin mati saja…
Blarrr!!!
Api merah menyala di hadapan wajahku. Makhluk itu tiba-tiba terbakar begitu saja. Aku menyadari bahwa ini adalah perbuatan paklek.
“Panass!! Panas!! Mas Danan.. tolong!!”
Suara Naya.. Wajah Naya… Dia kesakitan.
Tanpa sadar aku melangkah mencoba meraih makhluk itu.
Plak!!!
“Jangan goblok!!” Tiba-tiba Cahyo memukul kepalaku sekuat tenaga hingga hampir terjatuh. “Setan itu berbahaya bukan karna kekuatanya, tapi karna tipu dayanya!”
Benar ucapan Cahyo. Seharusnya aku sadar akan hal itu, namun entah mengapa aku tidak bisa melawan perasaan ini.
“Ayo, Paklek!!”
Cahyo melempar makhluk itu ke atas agar ia tidak bisa segera menghampiriku lagi, sementara paklek menyalakan Geni Baraloka yang sudah besiap menghanguskan setan perempuan itu tepat saat ia terjatuh.
“Musnah kau makhluk biadab!!!” Teriak Cahyo.
Saat makhluk itu mulai terjatuh, tiba-tiba makhluk itu mulai tersenyum dan menatap ke arah Paklek.
“Bapak…”
Seketika wajah Paklek berubah pucat. Paklek ragu dan geni baralokanya padam begitu saja.
“Khekehkehke….”
Rencana makhluk itu berhasil, ia jatuh ke tanah dengan selamat. Namun kali ini ia tidak menyerang kami, ia merangkak dengan cepat pergi menjauhi kami begitu saja. Makhluk itu melarikan diri.
“Paklek? Apa yang terjadi?”
Paklek jatuh berlutut dengan air mata yang menetes. Aku penasaran wajah seperti apa yang ditunjukkan makhluk itu pada paklek. Mengapa ia memanggilnya Bapak.
“Jangan tanya macam-macam ke paklek,” Ucap cahyo memperingatkanku.
Aku mengangguk mengerti. Kami tidak ingin membuka luka lama paklek yang membuatnya terpuruk hingga seperti ini.
Sementara kami sibuk melawan makhluk itu, rupanya Dirga dalam wujud keris ragasukma sudah berhasil melumpuhkan setan-setan di sekitar bangunan itu.
“Cepat, Mas! Sebelum mereka bangkit lagi!” Teriak Dirga melalui sukmanya.
Kami pun bergegas memasuki bangunan itu dan memasuki beberapa ruangan yang tak berbentuk. Paklek yang masih terguncang berusaha mengingat keberadaan Jagad saat ia menemukannya dalam wujud sukma.
“Disana!” Ucap paklek menunjuk ke sebuah ruangan paling belakang.
Paklek Benar, di sana ada beberapa orang yang dipasung.
“Mas Jagad?!” Cahyo segera menolong Mas Jagad dengan membuka pasung di tubuhnya.
Tubuh Mas Jagad lemas bahkan untuk berdiri saja ia kesulitan.
“Minum ini… “ Paklek memberikan air yang sudah didoakan pada Mas Jagad. Mas Jagad berhasil mendapatkan kesadarannya kembali, tapi itu saja belum cukup.
Paklek menggunakan kesaktian keris sukmageni dengan meneteskan darahnya pada bilah putihnya. Tetesan api itu jatuh pada tubuh mas jagad dan menutup luka-lukanya.
“Terima kasih, Paklek..”
Aku lega melihat Mas Jagad kembali pulih, namun aku sadar tidak semua luka di tubuh Mas Jagad tertutup. Entah apa yang sudah ia hadapi sampai luka yang begitu parah bersarang di tubuhnya.
“Kita tolong mereka juga, Paklek,” Ucap Mas Jagad.
“Mereka siapa, Mas?” Tanyaku.
“Dukun, orang pintar, ulama, entah.. Mereka adalah orang-orang yang mencoba menggagalkan rencana Raden Girisangkur. Tumbal orang sakti sangat dinanti di pagelaran itu.” Jelas Mas jagad.
Aku menatap wajah mereka satu persatu. Sebagian dari mereka tidak sadarkan diri. Mas Jagad meminumkan air doa dari paklek pada orang-orang itu hingga mereka tersadar.
“Apa mereka tidak sadar semengerikan apa sosok yang mereka hadapi,” Geleng Cahyo.
…
“Khekekhe… memang hanya kalian saja orang-orang bodoh di tanah ini.” Tiba-tiba suara seorang kakek terdengar dari sudut ruangan.
Kami menoleh, dan disana terlihat seorang kakek dengant ubuh yang begitu kurus. Wajahnya terlihat begitu mengerikan dengan kedua matanya yang dijahit.
“Kakek siapa?” Tanyaku.
“Khekehe.. Orang bodoh! Sama seperti kalian. Khekehkehe”
Dengan keadaanya yang seperti ini kakek itu masih tertawa.
“Tak ada banyak waktu, Pagelaran akan segera dimulai..!” Ucap Mas Jagad.
Kami ingin segera pergi, tapi setan-setan di luar tadi sudah mengepung bangunan ini. Tidak mungkin kami meninggalkan orang-orang ini. Bahkan jika membawa mereka dengan ilmu lintas alam Mas Jagad, mereka akan mati lebih dulu di alam lain.
“Kalian pergi saja, biar aku yang mengurus orang-orang ini dan membereskan mereka..” Ucap kakek dengan mata terjahit itu.
“Kakek jangan bercanda!” ucap Cahyo.
Cuh!!!
Kakek itu merespon cahyo dengan melepeh sesuatu dari mulutnya ke arah cahyo. Dengan sigap cahyo menahan dengan tangannya dan tangan cahyo terluka.
“Kakek sia…”
“BAWA BENDA ITU!” Kakek itu tak membiarkan cahyo berbicara. Namun dari luka yang diterima Cahyo, kami jadi sadar bahwa kakek itu mungkin benar-benar punya kemampuan untuk menyelamatkan mereka.
“Bawa benda itu dan pergi dari sini! CEPAT!” Teriaknya.
“Baiklah kalau begitu, Kek. Saya titip mereka,” Balas Mas Jagad yang saat itu juga membaca sebuah ajian yang membuat salah satu sudut ruangan ini dipenuhi kabut. Di tanganya sudah tergenggam keris Dasasukma yang sudah dirasuki sukma Dirga.
“Ternyata orang-orang seperti kalian masih ada di tanah ini.. khkehkehe,” Tawa kakek itu menghantar kepergian kami.
Saat perasaanku benar-benar tidak menentu seolah sesuatu yang sangat buruk sudah menanti kami di sana.
Kami mengikuti mas jagad berlari melintasi kabut yang semakin menghitam. Mohon tandus, bukit kering, hingga suara rintihan yang mengerikan mengiringi perjalanan kami melintasi alam yang dipilih oleh mas jagad.
“Persiapkan semuanya!”
Kabut pekat pun menyelimuti kami. Suara gending yang mengalun dengan meriah menyambut kedatangan kami di sebuah hutan yang begitu kelam. Leuweung Sasar. Kami tiba di hutan ini sekali lagi.
Ini pemandangan yang tidak masuk akal. Sebuah Pagelaran sudah menanti di depan sana. Hutan yang sebelumnya sepi ini kini dipenuhi makhluk-makhluk yang mengerikan.
Kami berada diantara setan-setan yang melayang-layang, pocong yang berada di setiap sudut pohon, hingga sosok raksasa yang menyaksikan dari balik pepohonan.
Sialnya, tidak hanya setan-setan saja yang menanti Pagelaran Sewu Lelembut. Ada kumpulan-kumpulan manusia yang mennyaksikan pementasan terkutuk ini. Mereka adalah pemuja setan-setan yang terlibat dalam pagelaran ini. Orang-orang bodoh yang mengharapkan kenikmatan duniawi sejenak dengan mengorbankan segalanya.
“Danan?! Cahyo!!” Terdengar suara seseorang yang ku kenal dari salah satu sisi hutan.
“Gama? Budi? Bagaimana kalian bisa ada di sini?” Tanyaku menyambut mereka.
Gama memberi salam pada paklek dan yang lain sebelum menjawab pertanyaanku.
“Kami mengejar seseorang, dan saat tiba kami disuguhkan pemandangan mengerikan ini…” Jelas Gama.
“Kali ini kita akan mengamuk sepuasnya, Mamang gondong,” Sambut Cahyo pada budi. Namun ia menyadari keanehan pada keadaan Budi.
“Kuijinkan kau terus memanggilku Mamang Gondrong jika kau bisa membersihkan hutan ini dari semua makhluk ini,” Balas Budi.
Aku yang melihat mereka berdua masih benar-benar bingung dengan cara mereka berteman. Tapi terkadang perilaku mereka dua bisa menjadi hiburan tersendiri untuk kami.
Dok..dok dok..dok..
Suara dodogan dan kecrekan terdengar dari panggung yang begitu besar sekaligus mengerikan. Ada bayangan gunungan wayang yang terlihat di kelir panggung itu. Seorang dalang sudah ingin memulai permainannya.
Deggg!!
Diba-tiba suasana yang aneh terbentuk saat wayang itu dimainkan. Gama dan Budi terlihat menyadari sesuatu di atas panggung.
“Gama! Itu Ki Wardi!” Teriak Budi.
Gama menyadari keberadaan sosok yang mendampingi sang dalang di atas panggung itu.
“Dan dalang itu, terlihat tidak asing..” Tambah gama.
“Danan! Itu Arsa!!!” Teriak Cahyo yang menyadari siapa Dalang yang memimpin Pagelaran Sewu Lelembut itu!.
BERSAMBUNG
Terima kasih sudah mempaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya