PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 7) - Wayang Batara
Pagelaran terkutuk telah dimulai di Leuweung sasar. Wabah, teror makhluk gaib mulai menyebar di mana suara gending pagelaran terdengar.
Sementara itu dua pengkhianat sudah menjadi bagian dari pementasan.
PAGELARAN SEWU LELEMBUT
Senja saat itu tak kunjung menghitam. Warna jingga yang menghiasi langit tak serta-merta menjadi malam dan malah semakin memamerkan merahnya.
“Tolong! Tolong anak saya!!!”
Tiba-tiba seorang ibu keluar ke jalan dengan histeris. Wajahnya panik dan ketakutan. Ia mengharap pertolongan dari tetangga di sekitarnya, namun apa yang ia dapatkan adalah hal yang mengerikan.
“Kulit saya? Badan saya? Tolong…”
Kali ini seorang pemuda keluar rumah dengan kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya. Tubuhnya tiba-tiba muncul bintik-bintik bernanah dan berbau menyengat. Ia tidak sendiri, beberapa warga juga mengalami hal serupa.
“Astagfirullahaladzim…”
Suara gending gamelan yang mengerikan terdengar dari satu arah di luar desa. Abah yang melihat keadaan itu bergegas mendatangi orang-orang yang berada di desanya. Dirga ingin ikut membantu, namun Abah menahannya.
“Pergi, Dirga! Tanggung jawabmu bukan disini!” Perintah abah.
Dirga mengerti dengan jelas maksud abah. Ia tahu bahwa penyebab semua ini adalah sesuatu yang terjadi di leuweung sasar.
“Bah, Apa nggak papa Dirga tinggal?”
Dirga sadar bahwa apa yang terjadi di desanya akan semakin berbahaya, namun abah meyakinkan Dirga bahwa ia lebih dibutuhkan di tempat lain.
“Pergilah, Abah yakin masih bisa menjaga desa kita. Mas Danan dan Cahyo lebih membutuhkan kekuatanmu seutuhnya.”
Dirga terdiam sejenak, ia mencoba meneguhkan keputusannya.
“Baik, Abah. Dirga pamit. Assalamualaikum..”
Pamit dirga sambil mencium tangan ayahnya itu. “Walaikumsalam..”
Dirga pergi dengan rasa cemas. Namun ia yakin bahwa Tuhan akan melindungi desa dan orang tuanya dari segala hal buruk.
Setelah Dirga menghilang dari pandangan, Abah tak serta merta menghampiri warga-warga desa yang terjangkit penyakit aneh itu. Ia berlari ke masjid desa dan menyuarakan Adzan dengan begitu lantang.
Saat itulah hal yang mengerikan terjadi…
Seiring suara adzan yang dilantunkan oleh abah, tiba-tiba sosok makhluk-makhluk tak kasat mata yang begitu mengerikan terlihat secara samar-samar di setiap sudut desa.
Warga pun menyadari, desa mereka sudah dikuasai oleh setan-setan itu.
“Setan? Itu setan? Anak saya dirasuki setan!”
Kali ini tidak hanya satu, ada banyak orang yang panik berkeliaran meminta pertolongan atas apa yang terjadi pada anggota keluarganya.
Abah pun memerintahkan pemuda-pemuda yang menjawab panggilannya untuk melanjutkan lantunan doa-doa dan ayat suci secara bergantian.
“Jangan sampai bacaan ayat-ayat suci kalian terputus, jaga agar suara itu terus terdengar di desa kita sampai matahari kembali terbit!” Perintah Abah.
Para pemuda-pemuda itu mengerti. Sebagian dari mereka membagi giliran dan sebagian lagi mengumpulkan siapapun yang masih sadarkan diri.
Saat itu balai desa menjadi tempat evakuasi warga yang sekarat karena wabah yang tiba-tiba menjangkit desa. Alunan Gending gamelan terdengar semakin keras dan sayup-sayup terbawa oleh angin mengelilingi desa.
Sebuah mobil terdengar mendekati desa. Ada seorang pria yang buru-buru keluar dan menemui abah.
“Abah, terjadi sesuatu di pabrik. Tiba-tiba banyak kejadian aneh dan karyawan saya banyak yang jatuh sakit tiba-tiba,”
“Putra? Wabah ini sampai ke pabrik juga?”
Putra mengangguk dan menyadari bahwa keadaan di desa tidak lebih baik dengan apa yang terjadi di pabriknya.
“Kumpulkan mereka yang sakit, kerasukan, dan menunjukkan keanehan di sini. Abah akan coba menjauhkan kutukan dan setan-setan itu dari mereka,”
“Abah butuh apa? Obat-obatan? Logistik? Biar saya siapkan semua,” ucap Putra.
Abah memberi perintah kepada salah seorang warga desa untuk mengecek luka dan penyakit yang dialami warga. Setidaknya Putra bisa menyediakan obat-obatan yang bisa menangani penyakit secara medis.
Putra membantu memindahkan beberapa karyawan yang ia bawa di dalam mobil untuk ditolong oleh abah. Keadaanya tidak jauh berbeda dengan warga desa yang terbaring di balai desa. Penyakit kulit, halusinasi, dan bau aneh tersebar dalam tubuh mereka.
“Carikan mantri, dokter, perawat yang bisa membantu. Jangan lupa pastikan juga keadaan keluarga Wijaya Kartakusuma,” Ucap Abah.
“Baik, Bah. Saya segera kembali.” Pamit Putra.
“Putra!”
Putra kembali menoleh pada abah.
“Jangan melemahkan imanmu. Wabah ini hanya menyerang mereka yang goyah.”
Putra mengangguk mengerti dan kembali ke mobilnya.
Abah memulai semua usahanya untuk mengobati warga desa. Ia membacakan doa yang cukup panjang pada sebuah tempayan dan meminta warga desa meminumkan air itu pada warga yang sakit.
“Kita harus bertahan, sampai mereka bisa membungkam suara gending terkutuk ini…”
***
DALANG ALAM BATARA
Cahaya merah menyala terang di pusat kekuatan besar di leuweung sasar. Terbentang lebar kelir yang menjadi layar dimana bayangan-bayangan wayang kulit dimainkan oleh Arsa.
Cahaya merah itu membentuk bayangan yang membuat wayang-wayang itu terlihat tak seperti wayang pada umumnya. Rasa takut, amarah, ketegangan, semua terpancar dari permainan wayang yang dimainkan oleh dalang sakti di panggung itu.
Ki Arsa Suseno…
“Arsa! Apa yang kau lakukan?!” Danan menghampiri Asa dalam wujud sukmanya menghindari kerumunan penonton pagelaran itu.
Arsa tak menoleh sama sekali, sebaliknya ada sesosok Pria yang menahan rohnya untuk mendekat.
“Panggung ini bukan untukmu!”
Sukma Danan merasakan tekanan yang begitu besar. Begitu mengerikan hingga Danan tak bisa mempertahankan wujud sukmanya.
“Ki Wardi! Makhluk biadab itu ada di sana!” Budi geram melihat sosok yang menghadang sukma Danan itu. Ia pun ingin bergegas menerobos kerumunan itu.
Bugggh!!!
Belum sempat bergerak, tiba-tiba Budi terjatuh kesakitan.
“Apa maksudmu Bocah Monyet!!”
Cahyo memandang kepalan tangannya sambil menghela nafas.
“Menangkis pukulan ringanku saja kau nggak bisa. Gimana caramu menangani mereka, Mamang gondrong?!”
“Bukan urusanmu!”
Cahyo tidak peduli dengan ucapan Budi. Dengan paksaan, ia memanggul tubuh Budi menjauh dari kerumunan pagelaran itu.
“Sialan! Turunkan aku!” Berontak Budi.
“Pasti! Aku juga lebih senang gendong sekar dari pada kamu, Mang! Tapi lukamu harus diurus dulu!” Ucap Cahyo.
Cahyo menyadari dua luka tusuk yang begitu dalam di paha Budi. Itu luka yang dalam, dan Cahyo sadar ada kuasa gaib dalam luka yang terukir di paha Budi.
“Apa bisa, Mas Cahyo?” Gama terlihat khawatir.
“Jika Tuhan mengijinkan, tidak ada yang tidak bisa.”
Gama pun mempercayakan Budi pada Cahyo, namun Budi masih bersikeras memberontak tak mau meninggalkan tempat itu.
“Aku tidak mungkin meninggalkan Gama di sekumpulan makhluk-makhluk ini!”
Saat itu Danan yang baru saja kembali ke tubuhnya menghampiri Gama dan berdiri tepat di sebelahnya. Samar-samar terlihat keberadaan seekor kucing yang berjalan pincang dan seekor kera yang berlompatan di pepohonan.
“Kujaga Gama mu sampai kau kembali ke sini,” ucap Danan.
Melihat keberadaan Danan di sisi Gama, Budi mulai terlihat tenang. Ia pun tak lagi mempersulit Cahyo dan membiarkannya membawa tubuhnya ke seseorang yang mungkin bisa menyelamatkanya.
“Gama! Aku pasti kembali!”
Gama menoleh ke arah Budi sambil mengangguk percaya kepadanya.
***
Dengan berhati-hati, Cahyo membawa tubuh Budi yang terluka. Ia melihat Budi semakin lemas dengan darah yang terus mengalir dari lukanya.
“Mamang Gondrong! Sadar pertahankan kesadaranmu!”
“Tidak usah teriak! Aku tidak selemah itu!”
“Bagus! Kalau sampai ketiduran, aku pastikan kau terbangun di tukang cukur!”
Budi ingin membalas ledekan Cahyo saat itu, tapi tubuhnya terlalu lemah. Beruntung Paklek menyadari kondisi itu dan segera menghampiri mereka berdua.
“Apa yang terjadi?” Paklek memastikan.
“Dua luka tusukan. Amalan penyembuhku dan Danan tidak cukup untuk memulihkannya..” Jelas Cahyo.
Paklek memeriksa dan tidak hanya mendapati dua luka tusuk yang tertancap begitu dalam. Ia merasakan bahwa luka itu dipengaruhi oleh kekuatan gelap yang merasuki pelakunya.
Paklek tak membuang banyak waktu, ia mengambil keris sukmageninya dan menggoreskan bilah putihnya ke tangannya.
“Biarkan yang akan mati, tetap mati.. Khekhekhe.”
“Penghuni gaib leuweung sasar akan bertambah satu lagi.. khikhikhi”
Sosok-sosok mengerikan pun bermunculan menyadari ada sosok manusia yang hampir mati di sana. Mereka mengincar Budi untuk menjadi mangsanya.
“Kamu bisa membungkam mereka kan?” Ucap Paklek.
Cahyo meninggalkan Budi bersama Paklek dan memperhatikan setan-setan yang haus darah itu.
“Paklek fokus saja pada pemulihan Budi. Kupastikan mereka tidak akan bisa menyentuh kalian!”
Cahyo menutup mata sejenak. Ia memastikan keberadaan makhluk-makhluk yang mencoba menyerang mereka.
“Mereka pemakan mayat…” Gumam Cahyo.
Ia pun membuka mata, dan saat ini makhluk-makhluk berwajah pucat dengan pakaian yang sudah lusuh bersembunyi di balik pepohonan.
Cahyo pernah mendengar tentang setan-setan pemakan mayat yang mengincar mereka saat itu. Mereka adalah manusia-manusia pencari ilmu keabadian yang berusaha mengalahkan umur yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Saat seharusnya tubuh mereka sudah mati, mereka terus mencari mayat-mayat sebagai tumbal untuk memperbaiki tubuh mereka. Namun menentang hukum alam memiliki konsekuensinya sendiri.
Mereka tetap berada di alam ini dengan tubuh yang semakin cepat membusuk dan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Namun dengan umur sepanjang itu, rata-rata dari mereka memiliki kesaktian yang tidak masuk diakal.
“Ayo, Wanasura!”
Cahyo memanggil sahabatnya yang bersemayam di tubuhnya itu. Degup jantung lain terdengar dari tubuhnya bersama raungan sosok panglima kera alas Wanamarta yang sudah bersiap untuk bertarung.
“Dia akan menjadi mayat.. serahkan saja tubuhnya. Khekhke!”
Salah satu dari pemakan mayat itu tiba-tiba sudah berada di belakang Cahyo. Sosok berwujud kakek itu muncul dari kabut hitam yang merupakan bagian dari kesaktianya.
“Diam!”
Cahyo menghantam tubuh setan itu, namun pukulanya yang begitu keras hanya menembus angin dan kabut hitam di belakangnya.
“Perlu hidup ratusan tahun lagi untuk bisa berurusan dengan kami. Dan kau perlu memakan ratusan mayat untuk bisa hidup selamanya seperti kami… khekehe.”.
“Bodoh, keabadian kalian bukan kesaktian! Itu adalah kutukan atas perbuatan biadab kalian!”
Cahyo kesal dengan kebodohan makhluk-makhluk itu. Saat kabut itu kembali muncul di sekitarnya, dalam sekejap Cahyo muncul di belakang kakek pemakan mayat itu dan mencengkram lehernya.
“Kau tidak merasakan sakit kan?” Ucap Cahyo yang tanpa ragu menggunakan kekuatan Wanasura untuk menangkap leher kakek itu hingga terangkat dari tanah.
“Aku meretakkan tulang-tulangmu, memutus urat nadimu, kau tidak merasa apa-apa kan? Yang kau rasa hanya rasa sakit yang tidak berasal dari alam ini. Rasa sakit yang mengutuk jiwa dan nyawamu!”
“Lepaskan! Hentikan! Aku tidak mau mati!” Kakek itu meronta, namun Cahyo enggan melepaskan.
“Kau itu sudah mati! Keberadaan kalian sekarang hanyalah penolakan atas akhir zaman dimana neraka sudah dijanjikan untuk kalian!”
“Bocah brengsek!!”
Saat itu ucapan Cahyo memicu amarah setan-setan pemakan mayat itu. Namun Cahyo tidak gentar. Makhluk itu menyerbu Cahyo, Paklek, dan Budi. Namun Cahyo sudah bersiap. Ia melempar tubuh kakek itu ke makhluk lainnya.
Setiap ada makhluk yang mendekat, Cahyo menangkap tubuh mereka. Ia mematahkan, mencabik-cabik, dan menghancurkan tubuh mereka dengan begitu buas.
“Tubuh ini bukan hak kalian!” Teriak Cahyo yang kesal dengan keberadaan makhluk-makhluk di hadapannya.
Tumpukan mayat, potongan tubuh berserakan di tanah itu karena ulah Cahyo. Setan-setan yang menjebak dirinya di tubuh itu pun mulai kesakitan dan frustasi ketika mereka tak lagi mampu menggerakkan tubuhnya yang sudah tercerai berai.
Cahyo menghantam satu bagian tanah dengan cukup keras hingga terbentuk sebuah lubang yang besar. Ia menghempaskan tubuh-tubuh makhluk itu hingga menumpuk di lubang itu.
“Hentikan! Apa yang kau lakukan!”
Tubuh-tubuh itu masih ingin berusaha untuk bergerak. Namun tulang-tulang mereka sudah patah, bagian tubuh mereka sudah tercerai berai. Mereka hanya nyawa yang terjebak di tubuh yang tak berdaya.
“Di lubang itulah kalian akan menghabiskan sisa waktu kalian!”
“Tolong!! Ampuni kami!! Kembalikan tubuh kami!”
Setan-setan itu menjerit tak berdaya. Sebaliknya, saat itu di pikiran Cahyo terbayang sudah berapa nyawa yang mereka korbankan demi mendapatkan keabadian fana itu.
“Ampuni kami! Sampai kapan kami akan berada di lubang ini?!”
“Sampai akhir zaman!” Balas Cahyo sambil menutup lubang yang berisi jasad-jasad makhluk pemakan mayat itu.
Blarrr!!!
Cahaya api putih menyala begitu terang sesaat setelah Cahyo menutup lubang itu. Ia menoleh dan melihat Paklek telah selesai dengan ritualnya.
“Api?!! Tubuhku terbakar?!” Teriak Budi yang panik dan segera berguling di tanah mencoba memadamkan api itu.
Tak!!
Sebuah batu kecil melayang dan mengenai kepala Budi.
“Nggak usah berlebihan, Mamang Gondrong! Itu ilmu Paklek?!” Ucap Cahyo.
Budi pun menyadari perbedaan pada dirinya, luka di kakinya sudah menutup dan ia bisa berdiri dengan tegap seperti sebelumnya. ia terlihat takjub akan kekuatan itu.
“Terima kasih, Paklek! Tapi..”
“Tapi apa, Budi?”
“Tapi kepala saya luka lagi karena lemparan batu, Bocah monyet itu! Apa bisa disem…!”
Plak!!!
Cahyo segera menarik telinga Budi dan membawanya menjauh dari Paklek.
“Jangan ngelunjak!” Ucap Cahyo.
Budi pun terpaksa mengikuti Cahyo meninggalkan Paklek.
“Paklek, Terima kasih! Aku balikin dulu Mamang Gondrong ke pawangnya!” Pamit Cahyo.
Mereka pun pergi meninggalkan Paklek menuju Gama dan Danan yang sudah menunjukkan signal bahaya. Paklek pun hanya menggeleng melihat tingkah mereka.
Sebelum Paklek menyusul mereka, ia melihat kuburan setan-setan pemakan mayat yang dibuat oleh Cahyo. Suara-suara rintihan itu masih terdengar dari balik liang lahat itu. Walau setan-setan itu sudah melakukan hal yang mengerikan semasa hidupnya, Paklek tetap merasa tidak tega membiarkan mereka seperti itu.
Paklek melakukan gerakan tangan sambil membaca beberapa kalimat mantra. Ajian geni baraloka menciptakan api yang hangat di sekitar dirinya. Ia pun meletakkan api itu di liang lahat dan membuatnya meresap ke dalam tanah.
Secara perlahan suara rintihan itu mulai reda, dan Paklek pun bisa cukup tenang meninggalkan salah satu bagian leuweung sasar itu.
***
Kilatan putih dan raungan meong hideung terdengar dari arah menuju panggung pagelaran. Gama dan Danan mulai tersudut dengan serangan setan-setan gentayangan penonton pagelaran itu. Terlihat mereka bingung untuk bertindak, karena diantara mereka masih ada manusia-manusia yang terpengaruh oleh tipu muslihat makhluk-makhluk itu.
“Menjauh dari Gama!”
Budi yang tak terima melihat Gama mulai kewalahan pun mengamuk dan menghantam seseorang yang mencoba menusuk Gama dari belakang.
“Budi? Lukamu?”
“Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan bocah monyet itu membawaku ke tukang cukur..”
Gama terlihat bingung mendengar jawaban Budi. Sementara itu Cahyo berusaha menahan tawa mendengar cara Budi menjawab.
Sayangnya suasana aneh itu hanya berlangsung singkat. Arsa tak lagi berada di panggung bersama Ki Wardi. Kini serangkaian penari mengisi panggung dan melakukan gerakan-gerakan indah yang membawa perasaan aneh.
Penonton-penonton tarian itu mulai menggila. Pria dan wanita yang menyaksikan itu terbawa birahi dan mulai menanggalkan pakaian mereka di tengah kerumunan. Kibasan selendang-selendang penari itu seolah menghipnotis para penonton yang menganut ajaran-ajaran sesat itu.
Tak hanya manusia, makhluk-makhluk tak kasat mata yang ikut menonton pertunjukkan itu pun menikmati pemandangan yang ada di hadapan mereka. Tarian yang menggoda, hingga sekumpulan manusia yang memanen dosa membuat mereka menertawakan makhluk ciptaan Tuhan yang katanya paling mulia itu.
Danan tidak tinggal diam. Ia membacakan lantunan ayat-ayat suci layaknya sebuah puisi yang mengalun bersama angin yang berhembus. Ajian Gambuh Rumekso bertiup ke telinga mereka mengingatkan kebesaran Tuhan yang mereka khianati. Sayangnya setan-setan itu tidak tinggal diam.
“Danan! Awas!!”
Cahyo melompat sekuat tenaga menghalau sebuah bola api yang menerjang ke arah Danan.
Dhuaarrrrr!!!
Banaspati berukuran besar meledak setelah Cahyo menendangnya jauh ke dalam hutan.
Gama dan Budi tercengang melihat apa yang terjadi barusan.
“Sial! Kita harus berbuat sesuatu. Manusia-manusia bodoh ini sumber kekuatan setan-setan itu! Ucap Danan.
“Dosa manusia adalah sumber kekuatan setan-setan itu. Danan hasutan setan-setan itu yang memancing dosa manusia itu..” Gama memperjelas.
“Kita pisahkan mereka!” Cahyo mengambil kesimpulan.
“Setan dan manusia itu sudah menjadi satu kesatuan. Mereka dilaknat seperti manusia-manusia yang menodai leuweung sasar dahulu!” Sahut Budi.
Mereka terdiam sejenak, namun mereka sadar bahwa harus ada yang dilakukan untuk masalah ini.
“Gama..” Danan menyadari sesuatu.
“Ki Langsamana adalah ulama yang menuntun manusia. Seharusnya kamu lebih mengerti bagaimana cara menghadapi manusia.
Dan leluhur Sambara sejak dulu berurusan dengan setan-setan yang menyesatkan manusia. Seharusnya aku lebih baik dalam menangani setan-setan ini.
Biar aku yang mencoba memancing dan mengurus setan-setan ini, kau tolong cari cara untuk membubarkan manusia-manusia itu!” Ucap Danan.
“Benar Gama, Mamang Gondrong! Bubarkan mereka dengan cara apapun bahkan dengan ancaman pun tak masalah. Jika mereka selamat, mungkin mereka ada kesempatan untuk bertobat.” Tambah Cahyo.
Gama menoleh ke arah Budi dan Budi mengangguk setuju dengan rencana itu.
“Baik! Hati-hati! Kita berpisah di sini!” ucap Gama.
Danan dan Cahyo mengangguk. Mereka pun berpisah ke arah yang berlawanan untuk memecah kerumunan makhluk-makhluk itu.
“Kamu punya rencana?” Tanya Cahyo.
Danan menoleh ke arah Jagad yang masih berusaha mencari jalur gaib untuk mendekat ke arah Arsa. Sementara Paklek, Ia menebar beberapa titik api di kegelapan hutan seolah mempersiapkan tempat ini sebagai medan perang.
“Kita gunakan ini!”
Danan mengeluarkan wewangian pemberian Gama. Sebuah peninggalan Ki Langsamana yang mampu mengganggu indera makhluk-makhluk tak kasat mata.
“Masuk akal..” Cahyo mengoleskan benda itu di beberapa bagian tubuhnya hingga aroma rempah tercium oleh setan-setan leuweung sasar itu.
Danan melakukan hal yang serupa, ia pun berlari menuju tempat yang berjarak dengan panggung.
“Bau ini!! Bau ini mengganggu! Siapa yang mengganggu kesenangan ini?!”
Tiba-tiba suara yang menggegerkan hutan itu terdengar. Bola-bola api pun melayangdi pepohonan, pocong, hingga makhluk berwajah busuk mengincar keberadaan Danan dan Cahyo.
Mereka sudah menyinggung makhluk yang mengerikan.
Di bagian hutan yang lapang, Danan dan Cahyo dikepung oleh puluhan setan-setan yang sebelumnya berada di depan panggung itu. Sayangnya itu belum semua. Setidaknya mereka harus membereskan setan-setan itu terlebih dahulu sebelum memancing yang lainya.
“Kalau kalian melakukan hal itu, penonton ku tak akan bisa menikmati pertunjukkan..” Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mereka kenal berjalan dari arah setan-setan itu.
“Arsa? Apa yang kamu lakukan! Cepat kesini!” Teriak Cahyo.
“Untuk apa Mas? Tempatku di sini. Bapak menitipkan Wayang Batara ini untuk menuntaskan pagelaran ini..” Arsa terlihat tidak seperti Arsa yang Danan dan Cahyo kenal.
“Setan-setan itu mengendalikanmu?” Cahyo bingung, namun Danan menahan Cahyo untuk menghampiri Arsa.
“Nggak, Jul. Itu kemauan Arsa sendiri!”
Cahyo menoleh tidak percaya. Tapi sepertinya Danan mulai mengerti sesuatu.
“Pagelaranmu membiarkan setan-setan berkeliaran, memanggil wabah dan penyakit, mencelakakan manusia. Bukan ini yang diinginkan ayahmu Arsa!” Danan mencoba menyadarkan Arsa, tapi sayangnya Arsa tidak peduli. Ia malah memandang wayang yang begitu indah yang berada di tangannya.
“Lihat, Mas Danan! Belum pernah kan Mas Danan melihat Wayang seindah ini?
Sebuah wayang berhiaskan emas tergenggam di tangan Arsa. Danan menyadari ada kekuatan besar yang tersembunyi di wayang yang ia genggam itu.
“Inilah yang kita cari. Wayang warisan para Batara. Wayang inilah yang akan membersihkan alam ini…” Lanjut Arsa.
Danan geram melihat Arsa.
“Bapak, Bisma Sambara. Dia bukan dalang hebat seperti dirimu. Tapi dia selalu bilang bahwa semahal apapun wayang yang dimainkan, tidak ada artinya jika di tangan dalang yang salah. Nyawa wayang itu ada di dalang, bukan sebaliknya.
Seharusnya wayangmu itu membuat orang bahagia bukan sebaliknya, Arsa!” Danan benar-benar marah. Terlebih ia sudah memastikan bahwa Arsa tidak dikendalikan oleh siapapun.
“Cukup, Arsa! Sadarlah!” Teriak Cahyo.
“Hahaha! Aku sudah tersadar, Mas! Raden Girisangkur sudah menyadarkanku.
Tidak seharusnya kita manusia ada di tanah ini. Tanah ini adalah hak mereka setan-setan yang telah dilaknat Tuhan dan mereka yang ingin mengikutinya.
Wina mati! Ibu juga sudah mati! Tidak ada yang peduli pada mereka. Biarkan aku melakukan pertunjukkan terakhir yang membawa kita semua menyusul mereka!”
Deggg!
Danan terpukul mendengar perkataan Arsa. Ia benar-benar tidak mengetahui tentang kematian Ibu dan kekasihnya itu.
“Apa yang kau bilang, Sa? Bu Arimbi? Wina?”
“Jangan gila, Arsa!” Teriak Cahyo, namun Arsa tidak peduli. Ia pun mengibaska beberapa wayang dari kotak yang dibawakan oleh pengikut Raden Girisangkur itu.
Blarrrr!!!
Bayangan hitam muncul dari kibasan wayang sosok raksasa kembar muncul di tengah hutan itu.
“Subali, Sugriwa! Jangan biarkan mereka mengganggu pagelaran ini lagi!” Perintah Arsa.
Kali ini tidak hanya dedemit leuweung sasar, sosok raksasa subali sugriwa dengan buas mengincar mereka berdua.
“Jangan bercanda?! Subali dan Sugriwa tidak pernah berwujud seperti itu!” Ucap Cahyo.
Danan sudah bersiap dengan Keris Ragasukma di tangannya.
“Jangan menahan diri. Siap-siap untuk basah kuyup setelah ini!” ucap Danan.
“Tenang saja! Takkan kubiarkan makhluk ini merendahkan martabat Subali dan Sugriwa!” Balas Cahyo yang segera memanggil Kliwon ke dekatnya.
Danan meletakan Keris Ragasukma diantara ahi dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhur Sambara.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...
Mendadak langit menjadi gelap, namun bahkan gelapnya pun tak mampu mengalahkan cahaya merah yang menyala pusat hutn.
Hujan turun begitu deras bersamaan kemunculan sosok roh wanita yang anggun.
“Apa kau terlalu sombong hingga enggan memanggilku selama ini, Danan?”
Nyi Sendang Rangu membelakangi Danan. Sepertinya ia sudah mengetahui apa yang terjadi namun ia tak bisa mencampuri urusan manusia tanpa mantra leluhur Danan.
“Lawan yang saya hadapi akan semakin kuat, Nyi. Jika aku hanya mengandalkan kekuatanmu maka kemampuan dan kebajikanku tidak akan bertumbuh. Aku akan tertinggal oleh lawan-lawanku.”
Nyi Sendang Rangu menoleh dengan wajahnya yang tak pernah gagal membuat Danan dan Cahyo terpesona.
“Kau sudah semakin dewasa, Danan. Tapi ingat janji kita. Jangan menahan diri untuk memanggilku, jika kalian berada di antara hidup dan mati,” Ucap Nyi Sendang Rangu.
“Reunian Nya masih lama, Nyi? Ledek ketek-nya udah mulai main nih!” Teriak Cahyo yang sudah mulai kesulitan menghindari kejaran Raksasa Subali dan Sugriwa.
Seketika wajah Nyi Sendang Rangu berubah kecut sambil menoleh ke arah Cahyo.
“Tolong suapin temanmu itu rawit sebaskom saat semua ini selesai,” Ucap Nyi Sendang Rangu.
“Siap, Nyi!” Danan sedikit menahan tawanya.
Nyi Sendang Rangu melemparkan selendangnya ke langit dan seketika membentuk sebuah tabir yang mengelilingi mereka. Hujan pun semakin deras, dan Cahyo tahu di bawah hujan itu Ia bisa menghadirkan kedua sosok sahabatnya itu.
“Sang penguasa kera alas Wanamarta, pengendali kuasa kelam hutan belantara..
Wanasura! Wanasudra! “
Secara bersamaan suara raungan sosok kera raksasa menggema di Leuweung Sasar. Cahyo yang sebelumnya hanya berlari menghindari Subali dan Sugriwa kini berbalik.
Di bawah derasnya hujan itu Kliwon menunjukan wujud aslinya bersama Wanasura yang keluar dari tubuh Cahyo.
Dumm!!!!
Sepasang kera itu bertabrakan dengan roh subali dan sugriwa yang dipanggil oleh Arsa. Pertarungan yang tidak masuk diakal pun terjadi tengah hutan itu.
“Jangan lengah! Mereka diperkuat kekuatan wayang Batara!” Teriak Cahyo yang bergegas menaiki punggung Wanasura.
Sementara itu Danan sudah bersiap menghadapi gerombolan demit leuweung sasar yang sudah mengepungnya. Tapi belum sempat ia menarik kerisnya ia didahului oleh empat buah keris yang melayang menghadang setan-setan itu.
Blarr!! Blarr!! Blarr!!
Keris itu beradu dengan Banaspati dan menghancurkanya sebelum mendekat ke arah Danan.
“Mas Danan, biar kami yang mengurus mereka. Pasti Mas Danan punya urusan yang lebih darurat!”
Dirga tiba, dan ia tidak sendiran. Guntur menyusul di belakangnya sambil menenteng kepala pocong yang telah terpisah dari tubuhnya. Ia melempar kepala pocong yang baru saja ia kalahkan dan menyapa Danan.
“Maaf kami terlambat, Mas. Benar kata Dirga. Serahkan saja pada kami,” Ucap Guntur.
Danan memandang ke sekitar kami mencari keberadaan seseorang yang selalu bersama Guntur saat dalam bahaya.
“Nyari Nyai Jambrong, Mas? Dia nggak ikut. Aku nggak bilang kalau mau ke sini. Nyai sudah semakin tua, sudah bukan waktunya lagi ia ikut pertarungan seperti ini,” ucap Guntur.
Danan mengangguk mengerti. Ia melihat perkembangan kedua remaja yang sebelumnya ia kenal masih anak kecil. Saat ini mereka telah tumbuh dan terlihat dapat diandalkan.
“Tenang, Danan. Aku bersama mereka. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan Arsa.” Ucap Nyi Sendang Rangu.
Danan semakin tenang ketika Nyi Sendang Rangu berkata seperti itu. Ia menoleh ke arah Jagat dan menyadari gerbang gaib yang ia siapkan sudah selesai.
“Aku akan membawamu ke Arsa! Bawa kembali dia kepada kita, Danan!” Ucap Jagad.
Danan mengangguk dan kepulan kabut putih pun muncul di dekatnya. Ia berlari dan tiba di beberapa alam yang berbeda. Entah Jagad mengalihkan jalur gaib itu ke mana, namun di ujungnya ia melihat Arsa yang berdiri di tengah cahaya merah.
“Jangan mulai lagi pementasan itu, Arsa!” Teriak Danan menghentikan Arsa.
Arsa menoleh dan mengenali kemampuan lintas alam itu.
“Jangan ganggu pagelaranku!”
Arsa mengibaskan wayang berlapis sepuhan emas itu hingga sosok makhluk bermata tiga setinggi panggung muncul melayang layaknya sosok dewa yang bertahta.
Langit bergemuruh, petir menyambar, seolah makhluk itu menunjukkan tajinya sebagai sang penghuni kahyangan.
“Jadi ini kekuatan wayang Batara? Tak sehebat yang ku kira, Arsa.” Danan merespon kemunculan makhluk itu.
Walaupun berkata seperti itu, Danan kewalahan dengan tekanan kekuatan dari sosok itu. Ia sadar bahwa yang di hadapanya bukan makhluk biasa.
“Saatnya sadar diri, Mas. Kalian tidak akan mampu mengalahkan kekuatan Batara,” Ucap Arsa bangga dengan kekuatan di tangannya.
Sratt!!!
Kilatan putih melesat, kini roh Danan sudah berada tepat di belakang makhluk itu. Pipi makhluk itu tergores dan meneteskan darah hitam. Ia tidak menyangka dengan perbuatan Danan.
“Manusia melukaiku Sang penguasa alam langit, Batara Mudra?!”
Makhluk tak menyangka serangan Keris Ragasukma Danan bisa melukai dirinya.
“Kau lupa, Arsa? Kami pernah menumbangkan makhluk yang mengaku sebagai Batara Naga. Mau berapapun dewa palsu yang muncul, kami tak akan gentar,” Balas Danan.
Jagad dengan sigap menyembunyikan tubuh Danan di balik kabutnya. Ia mengerahkan kekuatan nya agar Danan bisa bertarung dalam wujud sukma tanpa khawatir dengan tubuhnya.
“Aku gagal melindungimu dari tipu muslihat Raden Girisangkur, Arsa. Tapi percayalah, sesakit-sakitnya musibah yang ada di dunia ini, itu hanyalah cara Tuhan untuk meringankan dosa kita dan membuat kita semakin lebih kuat,” Ucap Jagad.
“Lalu kenapa Tuhan mempertemukanku dengan Wina, jika ia akan mengambilnya secepat ini? Mengapa Tuhan mengambil ibu yang tidak pernah punya keinginan untuk menyakiti siapapun? Kalau semuanya akan mati pada akhirnya, apa bedanya sekarang atau nanti?!” Arsa berkata dengan penuh emosi.
Jagad menghela nafas. Ia melihat semuanya saat Raden Girisangkur muncul di hadapan mereka. Disanalah Arsa melihat jasad Wina dan Arimbi yang tergeletak di sebuah ruangan. Raden Girisangkur yang membawa kedua jasad itu untuk ditunjukkan pada Arsa.
Raden Girisangkur menceritakan bahwa apa yang diperbuat oleh ayah Arsa membawa kutukan yang akan terus mengejar semua orang terdekatnya. Kutukan dendam dari orang-orang sakti yang pernah bersinggungan dengan ayahnya.
Saat kabar Pagelaran sewu lelembut terdengar, Arimbi sang istri dari Ki Darmo Suseno menjadi incaran untuk dijadikan persembahan. Keberadaan Wina yang menjalin hubungan dengan Arsa pun juga diincar. Ini adalah saat mereka untuk membalas dendam.
Raden Girisangkur memberi kesempatan pada Arsa. Ia menawarkan Arsa kekuatan untuk membalas dendam, sebuah kekuatan yang sempat digunakan oleh ayahnya. Wayang Batara.
Dengan kekuatan itu, Arsa bisa melakukan pagelaran terbesar di tanah jawa dan membalaskan kematian orang yang ia sayangi hingga tak ada manusia lagi yang saling menyakiti di alam ini.
“Biarkan manusia-manusia kembali pada Tuhannya dan biarkan alam ini ditempati oleh makhluk yang dilaknat Tuhan…”
Perkataan itu terdengar sangat masuk akal bagi Arsa saat itu. Ia pun mengikuti Raden Girisangkur dan menjadi bagian dari Pagelaran Sewu Lelembut.
“Tak ada yang sempurna di alam ini, Sa. Tangis, tawa, hidup, dan mati semua yang membentuk alam ini menjadi seperti ini.
Tanpa adanya tangis, tawa tidak akan terasa indah. Tanpa adanya kematian, manusia tidak akan menghargai kehidupan.
Dan kita adalah makhluk yang diberkahi hati yang kuat untuk bisa melampauinya!”
Jagad masih mencoba menyadarkan Arsa. Namun mata Arsa yang menghitam masih menatap tajam. Air matanya sudah mengering menangisi kepergian orang-orang yang berharga baginya.
Bruakkk!!!
Danan terjatuh terbaring di tanah setelah petir yang besar menyambar sukmanya. “Ini sakit, Sa! Sakit sekali! Tapi apa kamu tahu apa hal terbaik dari rasa sakit?”
Danan kembali berdiri dan melayang menghadapi Batara Mudra.
“Itu menandakan bahwa kita masih hidup dan kita masih punya kesempatan untuk terus mencoba memperbaiki semuanya,”
Danan sudah tidak menahan kekuatannya lagi. Ajian lebur saketi melebur dengan Keris Ragasukma, kekuatan yang seharusnya mampu mengirimkan pukulan jarak jauh itu menjadi kilatan yang menghujani Batara Mudra tusukan berwujud kilatan putih.
Batara Mudra tak lagi dalam posi tenangnya. Tubuhnya yang mulai terkoyak membuatnya bergerak mengincar Danan sendiri.
Tubuhnya menghitam ketiga matanya menyala. Ia tak lagi terlihat anggun layaknya patung-patung batara yang terlihat di candi-candi. Wujudnya berubah menghitam dengan lidahnya yang panjang.
“Tanah ini pantas mendapat hukuman dari langit!”
Gemuruh dari langit semakin keras hingga suara yang memekakan telinga terdengar begitu keras.
“Danan?” Jagad khawatir dengan keadaan Danan.
“Belum, sebentar lagi..” Danan sudah merencanakan sesuatu. Ia sadar bahwa tidak mudah menghadapi Batara Mudra seorang diri, namun ia sadar bahwa ia tak harus melakukan itu.
Blar!!! Blarr!!!
Petir menyambar berkali-kali. Suara teriakan terdengar dari berbagai tempat. Danan mulai kewalahan menghadapi Batara Mudra yang tubuhnya terselimuti kilatan hitam itu. Namun belum sempat kekuatan yang begitu besar mengenai Danan, tiba-tiba keberadaan Batara Mudra meredup.
Brugggh!!!
Kedua raksasa Subali dan Sugriwa yang berhadapan dengan Cahyo pun terjatuh menghantam pepohonan sementara Wanasura dan Wanasudra masih berdiri kokoh memukul kedua dadanya menyatakan kekuatanya.
Arsa terjatuh. Darah merah bermuncratan dari mulutnya.
“Sial!” Umpat Arsa.
“Caramu memanggil wayang-wayang itu sama seperti aku memanggil Nyi Sendang Rangu. Kekuatan sebesar itu akan membebani tubuh dan jiwamu.” Ucap Danan.
“Cuh!” Arsa meludahkan darahnya. Ia yang mulai kehabisan tenaga pun berlari masuk ke dalam hutan menghindari Danan dan Jagad.
“Sadar Arsa! Tempatmu bukan di antara setan-setan itu!” Teriak Jagad. Namun Arsa tidak menghiraukan, setan-setan bertopeng suruhan Raden Girisangkur menghalangi Danan dan Jagad hingga Arsa tak terlihat lagi dari pandangan mereka.
***
Dengan langkah yang berat, Arsa menyeret langkahnya. Wajahnya pucat. Tubuh dan hatinya penuh luka yang sulit untuk diobati.
“Bapak?! Berikan padaku kekuatanmu! Berikan aku kekuatan yang mampu mengendalikan semua wayang-wayang batara ini!!!” Teriak Arsa dengan penuh amarah.
Namun tak satupun jawaban yang datang kepadanya.
Ia terus berjalan dan berjalan dalam keheningan. Setan-setan leuweung sasar pun hanya memandangnya dengan mengenaskan.
Dari jauh ada seseorang yang berjalan mendekati Arsa. Tubuhnya bersimbah darah dan luka yang begitu besar menembus tubuhnya. Ia terjatuh dan menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon.
“Aku ingat pertama kali Bapak mengajakku menonton pementasan wayang. Lakon perang tanding benar-benar membuatku tak tahan untuk melompat begitu senang menyaksikannya…” ucap pria itu.
“K—Ki Wardi?”
“Walau mencintai kisah pewayangan, aku tak seberuntung kamu yang bisa memainkannya.”
“Jangan! Kau nggak boleh mati Ki! Kita belum menuntaskan tujuan kita!” Arsa menyadari bahwa Ki Wardi sudah tak mungkin bertahan lagi.
“Tujuan apa Arsa? Bukankah sejak awal tujuan diciptakan wayang adalah untuk membuat penontonya bahagia? Bukankah dari tawa itu nilai dakwah bisa diterima oleh mereka?”
Ucapan Ki Wardi membuat Arsa kembali meneteskan air mata.
“Pengaruh Nyi Gadis sudah membuatku membuat begitu banyak hal buruk. Setidaknya aku beruntung bisa membagi kenanganku denganmu setelah lepas dari pengaruhnya.
Tapi kamu lebih beruntung, Arsa. Kamu masih punya banyak waktu untuk memilih jalan yang benar. Wajar jika manusia berbuat salah, namun jika kita masih hidup dan mau bertobat, kita masih memiliki waktu untuk memperbaikinya..”
Arsa menggenggam tangan Ki Wardi. Bagi Ki Wardi yang sudah melakukan kesalahan begitu besar, ada seseorang yang mau menggenggam tangan nya di akhir hayatnya adalah sebuah belas kasih dari Tuhan yang begitu besar untuknya.
“Aku akan menyaksikan permainanmu lagi dari alam sana. Pastikan permainanmu membuat aku tersenyum saat menyaksikanya..”
Ki Wardi mengambil sebuah benda yang ia selipkan di pakaianya. Sebuah Blangkon pemberian Ki Duduy yang sempat dilupakan oleh Arsa di kotak wayang yang ia tinggalkan. Dengan tangan yang lemah ia mengenakan blangkon itu pada Arsa.
Arsa tak mengucap satu katapun. Ia hanya memeluk Ki Wardi tanpa mampu membendung air matanya. Air mata Arsa jatuh di tubuh Ki Wardi, dan Darah Ki wardi membasahi tubuh Arsa.
Ki Wardi pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Di tengah malam yang sendu itu, Arsa menoleh ke satu arah. Ada dua sosok yang memandangnya dari kejauhan.
Sosok yang begitu besar dan sosok seorang pria tua yang mengenakan surjan. Bibir Arsa bergetar ia menggumamkan dua nama dari bibirnya.
“Ki Buto? Raden Suto?”
***
KEKASIH YANG DIKUTUK
Malam mencapai puncaknya, suara gending yang kelam masih terdengar tanpa penonton yang tak lagi menyaksikan pertunjukkan.
“Sepertinya Gama dan Budi berhasil..” Cahyo memastikan tidak ada lagi penonton manusia di depan panggung.
Danan mengangguk, tapi ia menyadari bahwa cahaya merah masih menerangi leuweung sasar. Firasat yang sangat buruk masih menghantui dirinya.
Dongg!!!
Suara gong menggema ke seluruh leuweung sasar. Saat itu suasana tempat pementasan yang sebelumnya telah ditinggalkan penontonnya menjadi meriah dengan arwah-arwah yang bergentayangan.
Suara teriakan dan sorak sorai benar-benar memekakan telinga mereka berdua. Gong itu memanggil sekumpulan arwah dan setan-setan untuk berkumpul di tempat itu.
“Danan? Cahyo? Apa yang terjadi?” Gama muncul bersama Budi saat menyadari semua bencana ini.
Cahyo menunjuk ke arah panggung dimana ada dua orang yang memimpin pertunjukkan itu. Di belakangnya tergantu mayat-mayat manusia yang sebelumnya melakukan ritual pemujaan terhadap dirinya.
“Raden Girisangkur..” Gumam Danan saat menatap sosok berpakaian Dalang dengan wujud yang lebih tampan dari yang pernah ia dengar.
“Nyi Gadis..” Gama mengenali sosok perempuan berselendang yang menyambut pelukan Raden Girisangkur itu.
Bersinarkan cahaya merah, Raden Girisangkur dan Nyi Gadis saling berpandangan dan mulai menautkan bibir mereka. Mereka berciuman di tengah panggung yang dihiasi oleh darah yang menetes dari mayat-mayat manusia.
“Pagelaran sewu lelembut baru akan dimulai..” Nyi Sendang Rangu muncul diantara setan-setan itu.
Budi bersiap berlari dengan membawa belatinya, namun Cahyo menariknya kembali dan menahannya untuk tidak gegabah.
“Lepaskan! Kita harus menghabisi pasangan terkutuk itu sebelum terlambat!”
“Tidak semudah itu, kita bisa mati dalam waktu singkat jika lelembut-lelembut ini marah!” Bantah Cahyo.
Mereka kebingungan untuk mengambil keputusan.
“Kita harus mencari cara agar setan-setan ini tidak ikut campur saat kita menghadapi Raden Girisangkur dan Nyi Gadis,” ucap Danan.
Mereka terdiam, namun tak ada satupun dari mereka yang memiliki rencana untuk menghentikan Pagelaran yang memancing ribuan lelembut berkumpul di tempat itu.
“Bagaimana jika ada pementasan yang mampu menandingi pagelaran ini?”
Tiba-tiba seseorang yang mengenakan seragam pemain jatilan muncul diantara setan-setan itu.
“Masnya siapa?” Tanya Danan yang bingung dengan pemuda yang muncul secara tiba-tiba itu.
“Saya Panjul.. Panjul yang asli,” pemuda itu mengenalkan diri.
Saat itu mata Cahyo terbelalak. Ia mulai mengingat wajah yang ia kenal sewaktu kecil.
“Wi—Widi?”
Pemuda itu mengangguk senang Cahyo masih mengenalnya. Cahyo pun melihat sebuah kuda lumping yang ia bawa dan ia mengingat sesuatu yang pernah ia lakukan di masa kecilnya.
“Pementasan tandingan? Maksudmu… Turonggo Mayit?”
BERSAMBUNG
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya