PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 8) - Pagelaran Penghujat Cinta
Kedatangan seseorang yang tak disangka tiba di Leuweung Sasar. Widi teman masa kecil cahyo muncul di rengah kericuhan itu. Pementasan tandingan "Turonggo Mayit" Akan diadakan...
PASANGAN YANG MENGUTUK DIRINYA
Suara irama gending gamelan mengiringi dengan meriah gerak gerik seorang penari yang menghibur warga desa di keramaian malam. Siulan, teriakan, hingga rayuan terdengar dari penonton yang terpesona dengan kemolekan bentuk tubuh sang penari.
Nyai Gadis. Siapa warga desa yang tak mengenal dirinya. Bahkan semua perempuan iri dengan kecantikan dan bentuk tubuhnya. Setiap pria mengagumi senyum indah yang menggoda dan keindahan yang tak tergambarkan yang terdapat pada dirinya.
Ada seorang pria menyaksikan dari pinggir panggung. Seorang demang ternama yang beruntung dapat menikahi sosok perempuan tercantik di desa itu. Warga memanggil sosok terhormat itu dengan nama, Demang Wiguna.
Di sudut gelap itu ia memandang orang-orang yang hanya mampu berkhayal untuk menyentuh istrinya di atas panggung itu. Sedangkan untuk dirinya, Nyai Gadis akan selalu siap untuk memuaskannya.
Tepat beberapa saat setelah gending gamelan berhenti, Nyai Gadis turun dari panggung. Tak mampu menunggu lebih lama, Demang Wiguna menarik tubuh Istrinya itu dan menciumnya dengan penuh nafsu. Nyai Gadis membalas ciuman itu hingga belakang panggung memiliki tontonan tersendiri untuk para pemain gamelan.
Siapa sangka, meskipun menjadi istri seorang demang terkaya di kerajaan, Nyai Gadis belum mendapatkan apa yang diinginkan. Ia menjalin hubungan dengan seseorang yang berhasil merebut hatinya. Sosok bangsawan yang diasingkan oleh garis keturunannya, Raden Girisangkur.
Sayangnya tidak mudah untuk seorang Girisangkur merebut Nyai Gadis dari sosok Demang Wiguna. Terlebih ambisinya jauh lebih besar. Ia tak hanya ingin memiliki Nyai Gadis dalam satu kehidupan.
Ditengah hubungan terlarang yang mereka lakukan, mereka merencanakan sebuah tragedi yang mengerikan.
Saat purnama menerangi dengan cahaya berwarna merah, sebuah pementasan besar-besaran diadakan. Raden Girisangkur memanggil sosok dalang yang terkenal di sana, dan mempersiapkan pertunjukkan yang akan disesali oleh warga desa.
Demang Wiguna menanti dengan sangat tarian dari istrinya itu. Ia sudah bersiap menghabiskan malam yang istimewa setelah menikmati tarian istrinya yang disaksikan ratusan orang di sana.
Namun itu tak pernah terjadi…
Pagelaran itu memanggil ribuan lelembut untuk menyaksikannya. Satu-persatu warga yang terhipnotis oleh pertunjukkan itu harus meregang nyawa dan menjadi tumbal Raden Girisangkur demi mendapatkan keabadiannya.
Sebuah perjanjian terjadi di tanah yang sudah dibanjiri dengan darah warga satu desa.
Sosok yang berasal dari api neraka memberkati Raden Girisangkur dengan tubuh yang tak bisa mati dan menua. Saat dibunuh, ia akan kembali bangkit saat purnama merah kembali bersinar.
Sedangkan Nyai Gadis akan terus bereinkarnasi dengan membawa perasaan cinta, dan tubuh barunya yang selalu menawan.
Demi semua keabadian semu itu, Pagelaran Sewu lelembut harus diadakan seratus tahun sekali ketika jasad Raden Girisangkur Bangkit, dan Nyai Gadis sudah bereinkarnasi.
***
TURONGGO MAYIT
Kedatangan Widi membuat Cahyo tercengang. Ia tak menyangka teman masa kecilnya itu akan muncul di tengah pertempuran gaib di hutan terlarang itu.
“Opo to, Cahyo?” (Apa sih, Cahyo?)
Widi merasa risih ketika Cahyo memainkan telapak tangan di depan mata Widi.
“Kowe kan wis ngerti dewe, mripatku wis mari..” (Kamu kan sudah tahu sendiri, mataku sudah sembuh!)
Cahyo menghela nafas mendengar jawaban itu.
“Syukurlah, aku sempat mengira kesembuhan matamu cuma sementara.”
“Syukurnya nggak, Cahyo..”
Blarrr!!!
Bayangan bola api melayang beradu dengan tirai Gaib yang di buat Danan.
“Ehm.. Reuninya masih lama?” Terdengar suara perempuan yang melayang mendampingi Danan sambil melirik ke arah Cahyo.
Wajah Cahyo seketika tersenyum kecut mengetahui Nyi Sendang Rangu membalas sindirannya.
“Untung cantik.. kalau nggak…”
“Kalau nggak, apa?” Tanya Nyi Sendang Rangu sambil sedikit melotot. Walau memasang raut wajah seperti itu, Nyi sendang rangu tetap terlihat anggun di mata mereka berdua.
“Kalau nggak, aku ajak ke salon, Nyi..” Cengir Cahyo.
“Panjul!!” Danan mendekat memanggil temanya itu.
“Iya, Apa?
“Iya, Apa?”
Cahyo dan Widi membalas panggilan Danan secara bersamaan. Danan pun bingung untuk bereaksi.
“Namanya Panjul juga?” Tanya Danan Polos.
“Eh, Nama saya Widi, Mas. Cahyo ngambil nama Panjul dari saya..” Widi memperkenalkan Dirinya.
Danan mengingat-ingat cerita tentang nama itu.
Walaupun belum pernah bertemu, sepertinya Cahyo pernah sedikit bercerita tentang anak kecil buta bernama Widi yang pernah ia bantu bersama Paklek.
“Awas, jangan diminta lagi nama itu! Udah terlanjur populer!” Ucap Cahyo.
Cahyo pun menjelaskan pada Danan bahwa widi memiliki rencana. Ia menceritakan bahwa mereka pernah menghadapi gerombolan demit dengan memanfaatkan sebuah seni Gaib.
“Namanya Turonggo Mayit, pementasan kuda lumping yang dipersembahkan untuk penghuni alam lain..” ucap Widi.
Mendengar penjelasan Widi, Danan semakin penasaran.
“Aku selalu penasaran untuk menyaksikan pementasan itu. Ada kekuatan gaib yang memancar dan menarik hati kami bangsa lelembut. Sayangnya hanya sedikit manusia yang bisa dan mau memainkannya..” Sambung Nyi Sendang Rangu.
Jawaban Nyi Sendang Rangu saat itu seolah membuat pementasan itu terdengar menjanjikan.
“Rencananya, Aku dan Widi akan memancing sebanyak mungkin setan-setan di hutan ini dengan Turonggo Mayit. Saat itu kalian, Gama, dan Budi punya kesempatan untuk menghadapi Raden Girisangkur dan Nyai Gadis,” Jelas Cahyo.
Rencana Cahyo terdengar masuk akal, namun tetap saja Danan khawatir ketika Cahyo dan Widi harus berada di tengah kerumunan demit-demit Leuweung Sasar.
“Aku akan mengawasi mereka,” Ucap Nyi Sendang Rangu menjawab keresahan Danan.
Danan cukup lega dan setuju akan keputusan Nyi Sendang Rangu.
“Bilang saja mau ikut nonton kan, Nyi?” Bisik Cahyo.
Plak!! Tanpa memperdulikan keanggunannya, Nyi sendang rangu memukul begitu saja kepala Cahyo yang tak henti meledeknya.
“Percayakan demit-demit ini pada kami!” Cahyo memperjelas.
Danan pun kembali berpaling ia mulai harus memikirkan cara mereka menghadapi kedua manusia terkutuk itu.
“Gama, Apa rencanamu?” Tanya Danan.
Gama menggeleng sementara Budi masih memandangi pemandangan yang begitu mengerikan itu.
“Cahyo akan mencoba memancing perhatian seluruh demit di hutan ini dengan Turonggo Mayit. Mungkin kita bisa memanfaatkan itu untuk menghentikan pasangan terkutuk itu!” Ucap Danan yang masih jijik melihat kedua makhluk itu saling memadu kasih di atas panggung.
“Kalau Cahyo sungguh mampu melakukan itu, mungkin aku dan Budi punya kesempatan untuk menghentikan Nyai Gadis!” Balas Gama.
“Benar! Urusanku belum selesai dengan perempuan itu dan pengikutnya!” Tambah Budi.
Danan mengerti. Mengenai Nyai Gadis, Gama dan Budilah yang paham mengenai tipu muslihatnya.
“Kupercayakan Nyai Gadis pada kalian, Kami akan mengurus Raden Girisangkur,” ucap Danan.
Gama dan Budi sepakat. Terlihat gelang gengge sudah tergenggam di tangan Gama dan sebuah belati tua sudah tergenggam di tangan Budi. Danan yakin bahwa mereka berdua akan mengerahkan segalanya dalam pertempuran ini.
“GUNTUR! DIRGA!” Danan memanggil kedua juniornya yang masih sibuk dengan demit-demit alas itu.
“Serahkan demit-demit itu pada Cahyo! Kita urus dalang dari semua kekacauan ini!”
Keris Dirga melayang ke dekat Danan, dan tak lama kemudian pemiliknya menyusul bersama Guntur yang masih menyesuaikan diri dengan situasi ini.
Ctarrr!!!
Suara cemeti terdengar menggema di Leuweung Sasar. Sewajarnya, suara itu tak akan menggubris apapun di tengah pagelaran itu. Tapi perlahan tapi pasti, ada sebuah kekuatan yang menarik perhatian bangsa lelembut yang ada di sana.
Cahyo sejenak memandangi gerakan-gerakan Widi. Satu-persatu ingatannya mulai kembali mengingat permainan serupa dengan kuda lumping yang ia lakukan saat kecil.
Ctarr!!!Cemeti kedua berbunyi…
Kali ini Cahyo mendekat ke arah widi bersama sebuah cemeti panjang dan kuda lumping di antara kedua kakinya. Ia memulai gerakan yang saling mengisi dengan permainan Widi.
“Mas Cahyo benar-benar bisa?” Kagum Guntur.
“Haha, kadang aku sendiri nggak tahu apa saja yang bisa dilakukan oleh Cahyo,” Balas Danan.
Permainan yang dilakukan Cahyo dan Widi terasa benar-benar misterius. Turonggo mayit adalah sebuah permainan yang menggambarkan tragedi perang gaib yang menghibur makhluk-makhluk tak kasat mata.
Cemeti Cahyo beradu dengan cemeti Widi, dan lompatan-lompatan yang mereka lakukan membawa mereka keluar dan masuk ke alam gaib begitu saja.
Tanpa sadar suara gending gamelan lain terdengar dari balik kabut yang muncul dari permainan mereka. sosok-sosok pemain gamelan tak kasat mata pun menyambut pertunjukkan yang mereka lakukan.
Cahyo mulai sedikit menggerakan bahunya mengikuti alunan irama. Ia pun menutup mata dan mulai menikmati denting saron dan bonang yang mulai merasuki alam bawah sadarnya.
Saat itulah Danan, guntur, dan Dirga menyadari sesuatu.
Mereka kini berada diantara setan-setan yang mulai berkerumun menyaksikan aksi yang dilakukan oleh Widi dan Cahyo.
“Ini berhasil…” ucap Cahyo.
“Yo, Pasti berhasil. Dan aku punya kejutan lain untukmu…”
Ada sosok yang mendekat ke arah mereka dari balik kabut.
“Setiap purnama merah kami selalu ada di sana, di hutan jati belakang rumahmu. Tapi mengapa kalian malah berada di tempat ini?”
Samar-samar Cahyo mengenali suara itu. Ia tak terlalu mengingatnya, namun saat semakin dekat, Beberapa nama terucap di mulutnya.
“Hamid? Nuri? Muhri?”
Cahyo tidak menyangka sosok roh yang dulu pernah menjebaknya di alam Gaib muncul kembali di hadapannya lengkap dengan perlengkapan pementasan Turonggo Mayit.
“Kalian bersedia membantu kami?” Tanya Cahyo.
Ctarr!! Ctarr!! Ctarr!!! “Justru kami yang akan marah jika kalian tidak mengajak kami di pementasan semeriah ini!” Ucap roh Nuri.
Cahyo tertawa ia tak pernah menyangka Leuweung Sasar akan menjadi tempat dimana mereka berkumpul kembali dalam situasi seperti ini.
Semua begitu berbeda. waktu, umur, hingga tempat mereka saat ini. Hanya ada satu kesamaan dengan pementasan yang mereka lakukan saat kecil dulu.
Purnama yang berwarna merah…
Gama dan Budi sudah memulai pertarungannya dengan sosok bernama Girikarang. Sosok yang ditugaskan oleh Raden Girisangkur untuk melindungi kekasihnya di setiap kehidupan. Sementara Raden Girisangkur melangkah dengan geram menyaksikan pagelaran terkutuknya tak semeriah sebelumnya.
“Apa yang lebih menarik dari pementasan ‘Darang’?” Geram Raden Girisangkur.
Tanpa keberadaan Arsa, mayat-mayat yang menarilah yang menjadi penghibur makhluk-makhluk yang berkumpul di sana. Mereka menjilati darah busuk yang menetes dari mayat itu dan menikmati jasad yang selesai melakukan tugasnya.
“Memangnya apa bagusnya tarian makhluk yang tak mempunyai nyawa itu?!” Teriak Dirga sambil mengarahkan kerisnya ke arah Raden Girisangkur.
Danan tak tinggal diam, keris ragasukma ikut melesat menemani Keris Dasasukma Dirga.
Seperti yang mereka duga, keris yang melesat begitu cepat itu tak mampu mengenai sosok yang pernah hidup ratusan tahun lalu itu.
“Rogo geni pangurip sukmo..”
Sebuah ajian dibacakan oleh Raden Girisangkur. Di saat yang bersamaan kekuatan aneh mulai mengelilingi tubuhnya dan membakar setiap bagian dari tubuh itu.
“A–apa yang terjadi?” Guntur bingung.
“Api? Tubuhnya diselimuti api?” Dirga mencoba menebak, namun apa yang dilakukan oleh Raden Girisangkur lebih dari itu.
Paklek yang telah menyelesaikan persiapanya tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.
“Sial! Dia sudah mencapai tahap itu..”
Sebagai pengguna ilmu api, Paklek mengenali apa yang dilakukan oleh Raden Girisangkur.
“Apa, Paklek? Itu apa?” Danan semakin cemas ketika serangan keris mereka berdua hanya menembus tubuh Raden Girisangkur tanpa melukainya.
“Ia tidak menyelimuti tubuhnya dengan api, ia merubah seluruh tubuhnya menjadi api. Itu adalah ilmu yang hanya bisa dipelajari setelah mengalami seratus kehidupan…”
Melawan api?
Danan tidak menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan sosok raden Girisangkur yang seperti itu.
“Banaspati? Buto Geni? Bukankan itu sama saja seperti mereka?” Tanya Danan.
“Jangan bandingkan api dari lilin kecil dengan lahar dari gunung merapi, Danan!”
Ucapan Paklek saat itu benar-benar memberi gambaran pada Danan tentang separah apa masalah yang mereka hadapi.
Danan memanggil kerisnya dan maju sendiri menghadapi Raden Girisangkur yang merubah wujudnya menjadi kobaran api.
“Jangan gegabah, Danan!”
Danan mencoba mengadu kilatan putih dari kerisnya dengan tubuh yang tak mampu dilukai oleh ketajaman keris ragasukma dan keris dasasukma itu.
Sratt!
Satu dari sekian serangan Danan berhasil menggores tubuh api itu. Kilatan putih dari keris Sukmageni menggores tubuh membara Raden Girisangkur.
Berhasil… Danan memberi isyarat pada Paklek bahwa tubuh api itu masih dapat terluka dengan serangan gaib.
“Apa yang kalian banggakan?” ucap Raden Girisangkur yang tubuhnya segera pulih sesaat setelah dilukai oleh Danan.
Seolah ingin membuat Danan putus asa, Raden Girisangkur hanya berdiam menerima semua serangan Keris Ragasukma yang sudah diselimuti cahaya kilatan putih itu.
Sratt!! Srat!!!
Danan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan terus menebaskan kerisnya di Tubuh Raden Girisangkur dan Raden Girisangkur tidak membalasnya sama sekali.
Danan kelelahan setelah semua tenaganya terkuras dalam serangan itu, dan saat menatap Raden Girisangkur, Ia mulai gemetar.
“Gi–gila!” Guntur menyadarinya.
“Tidak! Tidak mungkin!” Danan tidak percaya serangan-serangan yang menghabiskan seluruh tenaganya itu tak berarti apa-apa pada Raden Girisangkur.
Setiap luka yang ia berikan kembali menutup layaknya kobaran api yang terus membara.
“Sudah sadar perbedaan kekuatan kita? Perlu seratus kehidupan lagi bagimu untuk menyaingi aku!” Ucap Raden Girisangkur.
Melihat Danan yang kewalahan, Guntur dan Dirga mengambil alih posisi Danan. Guntur mengikat erat tasbih di lengan kanan nya sambil membaca sebuah Ajian.
Dhuaagg!!
Sebuah pukulan menghantam dengan begitu keras. Bukan ke tubuh Raden Girisangkur, Tapi ke tanah tempat dia berdiri yang seketika menggoyahkan keseimbangan tubuhnya.
Dengan sigap, Dirga mengambil kesempatan itu untuk memanggil pecahan sukma dari keris Dasasukma untuk menyerang Raden Girisangkur.
“Dirga! Guntur! Jangan terlalu dekat!” Cemas Danan, tapi Dirga dan Guntur masih tidak mundur dan terus melakukan serangan yang membuat Raden Girisangkur tak mampu memulai serangannya.
“Bocah-bocah sialan!!”
Raden Girisangkur mengincar Dirga yang sedari tadi mencoba melukai dirinya, Namun guntur mengambil alih posisi Dirga dan menerima serangan Raden Girisangkur dengan ilmu bela dirinya.
Tangan makhluk yang begitu panas itu ditepis setipis mungkin dengan tangannya yang berlapis sedikit kekuatan. Pukulan Raden Girisangkur pun menghantam udara kosong sementara Dirga kembali membangun serangannya lagi.
Danan tertegun. Ia tidak menyangka kedua pemuda yang baru tumbuh itu bisa menghadapi serangan dari makhluk yang tak lagi berwujud manusia itu.
“Kami tahu Mas Danan pasti bisa menemukan cara mengalahkannya! Sementara itu serahkan Raden Girisangkur pada kami!” Teriak Guntur.
“Kalian benar-benar menghinaku!”
Sang Raden Girisangkur benar-benar kesal dengan ucapan Guntur. Ia tidak terima jika menganggap dua pemuda yang dianggap masih hijau itu bisa menandinginya.
“Sebutan mayat lebih cocok untuk kalian!”
Raden Girisangkur semakin membara hingga seranganya menciptakan api yang mengincar Guntur dan Dirga. Tapi sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba Guntur dan Dirga menghilang. Mereka muncul tepat di atas Raden Girisangkur dan menjatuhkan serangan secara bersamaan.
“Kau yang meremehkan mereka, Kakek tua!” Ucap Jagad yang dari jauh mengatur strategi untuk menghindarkan Guntur dan Dirga dari serangan Raden Gisiangkur.
“Sekarang!” Teriak Guntur yang menghantamkan pukulannya bersamaan dengan Dirga yang menghujamkan kerisnya.
Srassh!!!
Tebasan Dirga dan pukulan Guntur berhasil mengenai tubuh yang seharusnya tak dapat dilukai itu.
Kekuatan sukma Dirga menyelimuti bilah keris Dasasukma, ajian dan tasbih Guntur menciptakan kekuatan yang membuatnya mampu menyentuh api yang diciptakan dari kekuatan gelap itu.
“Bagaimana mungkin? Tubuhku terbuat dari api?! Bagaimana mungkin kalian bisa menyerangku?” Raden Girisangkur tak menduga kedua pemuda itu bisa melukai dirinya.
“Iblis, setan, Jin… mereka semua terbuat dari api. Itu bukan berarti api neraka tidak akan menyakitkan untuk mereka,” ucap Dirga.
“Jika Tuhan berkehendak, api pun akan sangat menyakitkan untuk mereka yang juga terbuat dari api,” Tambah Guntur.
Pertarungan sengit pun terjadi ketika serangan-serangan Guntur dan Dirga berpadu dengan kemampuan Jagad yang menciptakan celah untuk serangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa strategi mereka tidak akan berlangsung lama.
Danan benar-benar gelisah. Ia memandang Cahyo dan Widi yang melakukan sebuah pementasan di tengah-tengah ribuan lelembut yang kini mengelilinginya.
Gama dan Budi juga tengah mati-matian menghadapi Girikarang dan Nyai Gadis yang tak bisa diremehkan. Guntur, Dirga, dan Jagad setengah mati menghadapi Raden Girisangkur.
Ia pun menyadari Paklek sedang mempersiapkan sesuatu dengan keris Sukmageninya.
“Apa? Apa yang harus kami lakukan untuk menghadapi seorang makhluk abadi?” ucap Danan.
“Tenang, Danan! Kau yang paling mengerti tentang semua ini diantara kita?!” Teriak Cahyo dari jauh.
Danan terus berpikir, ia menyadari bahwa paklek memiliki sedang mempersiapkan sesuatu. Dan sampai Paklek Siap, ia harus bisa mengendalikan situasi ini.
“Kalian tidak bisa berbuat apa-apa! Pementasan Darang akan dimulai kembali, dan ribuan nyawa akan melayang menjadi tumbal untuk kami…!” Tawa Raden Girisangkur.
Benar apa yang ia katakan. Suara gamelan kini dari panggung kini semakin keras dan beradu dengan suara gamelan gaib yang mengiringi Turonggo Mayit.
“Su–sudah! aku hanya ingin mati…”
“Jangan gunakan mayat kami…”
Mayat-mayat yang bergelimpangan di panggung merintih, mereka meneriakkan penderitaan yang mereka alami.
“Perjanjian sudah kalian lakukan. Kenikmatan sudah kalian nikmati semasa hidup. Mayat dan jiwa kalian adalah bayarannya…” Raden Girisangkur mempertegas pada sisa kesadaran yang ada balih jasad itu.
Mayat-mayat itu bukan mayat biasa. Mereka adalah para penganut kepercayaan sesat mengikat perjanjian pada Raden Girisangkur. Semasa hidup, mereka memuja Raden Girisangkur dan menerima kesaktiannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Sebelum kebangkitanya, kesaktian Raden Girisangkur menjadi berbagai ilmu pengasihan, santet, pemikat, hingga pemancing kekayaan. Tak ada yang gagal selama mereka berjanji setia dan bersumpah memberikan jiwa dan raganya untuk sang Raden. Ketika Raden Girisangkur bangkit, saatnya ia menuntut apa yang menjadi haknya.
Kematian bagi mereka hanyalah permulaan. Jasadnya tak dibiarkan membusuk seutuhnya dan jiwanya terkunci di dalamnya. Mereka tak mendapat tempat di alam ini maupun di akhirat.
Tubuh yang sudah menikmati dosa-dosa besar di alam manusia itu akan terus menambah dosa mereka setiap kematian datang karena pementasan Darang yang menggunakan mayat-mayat mereka.
Mereka akan terus merasakan rasa sakit dari setiap binatang-binatang kecil yang menggerogoti tubuhnya, dari luka yang mulai membusuk, dan dari jiwa yang dikuasai oleh setan suruhan Raden Girisangkur.
Sekali lagi pementasan terkutuk itu terjadi di Leuweung Sasar dengan lebih banyak mayat yang ambil andil. Namun Turonggo Mayit terlalu menarik perhatian ribuan lelembut di sana hingga mereka tak melirik lagi pada pementasan Darang itu.
“Kalau kalian lebih tertarik dengan mainan bocah-bocah itu, aku akan mencari penonton ku sendiri dari roh-roh manusia yang akan mati disekitar hutan ini!” Geram Raden Girisangkur.
Kekuatan mistis dari pementasan Darang tidak bisa diremehkan. Rasa takut dan kutukan yang tak terbendung menyebar begitu cepat.
“Bahaya!” Danan ingin mendekat dan segera melesat untuk menghentikan pementasan itu, namun Paklek mengejar menarik dirinya.
“Cah Goblok! Kamu ingat waktu kamu mendekati pementasan terkutuk itu di Desa Marni dan Mukti?!”
Beruntung Paklek tepat waktu. Hampir saja Danan terpengaruh atas pengaruh dari pementasan itu. Tapi di tengah kekhawatirannya, tiba-tiba seseorang terlihat melangkah mendekat ke pementasan Darang itu.
Sesosok raksasa dan roh seorang pria tua yang mengenakan surjan berada di belakangnya.
“Ki Arsa… Bagus, kau sudah kembali. Ayo kita tuntaskan pagelaran sewu lelembut ini!!!” Teriak Raden Girisangkur sambil tertawa.
Arsa tidak menggubrisnya ucapan itu dan dengan santainya memasang kelir berwarna putih dan lampu minyak untuk menciptakan bayangan.
“Apa yang kau lakukan Ki Arsa? Berkat Wayang batara telah jatuh padamu. Jangan sampai kekasihmu dan ibumu kecewa dengan perbuatanmu!”
Danan tersenyum melihat Arsa yang sedang bergumam menyanyikan lagu Jawa sambil menyiapkan pementasan kecilnya. Melihat ia tak terpengaruh dengan pementasan Darang dan keberadaan dua makhluk yang bersamanya, Danan tahu, Arsa tak lagi berada di sisi Raden Girisangkur.
“Izinkan aku membereskan kekacauan yang telah kuperbuat, Mas..” ucap Arsa pada Danan.
Danan tersenyum mengangguk, dan sebuah pementasan sederhana pun dimulai.
Dok..dok… dok….
“Ana wiwitan bakal ana wekasan, sapa sing nandur mesthi bakal panen. sing sapa matèni mesthi mati. Karma iku dudu kanggo dolanan…”
Kini Pementasan Arsa sudah di mulai. Leuweung Sasar benar-benar menjadi panggung pertunjukkan yang diterangi cahaya rembulan.
Pementasan Arsa benar-benar sederhana.
Tak ada yang menyaksikannya selain kedua roh yang datang bersamanya. Tapi pemandangan itu hanya berlangsung sementara.
Serangga hutan mulai mendekat. Perlahan seekor tupai mendekat malu-malu menyaksikan pementasan Arsa. Arsa tetap tidak peduli dengan siapa penontonya. Ia asik sendiri dengan wayang tua yang sudah lapuk di kedua tangannya.
Sederhana, namun Leuweung Sasar menyukainya.
“Ki Wardi… Jangan pergi sebelum pementasan ku selesai, ya!” Gumam Arsa. Ia merasa bahwa setelah kematian Ki Wardi, ia merasa sosok itu masih berada dekat dengannya.
Burung-burung hingga hewan malam tiba-tiba berkumpul menyaksikan pementasan Arsa.
“Mereka adalah perwujudan roh-roh pelindung hutan ini…” Ucap Paklek.
Danan tak sepenuhnya mengerti, tapi saat melihat kutukan dari pementasan Darang tertahan oleh pementasan Wayang Arsa, Danan mulai paham.
Di tengah keramaian leweung sasar, samar-samar terdengar banyak suara langkah kaki yang mendekat dengan terburu-buru. Mereka menghampiri pementasan kecil Arsa yang sudah setengah jalan, namun ada satu orang yang berpisah dan mendekat ke arah Danan.
“Sudah saatnya kita ambil alih pementasan ini, Mas..”
Suara itu…
Seketika suara-suara ramai di hutan itu teralihkan oleh suara seorang wanita yang menghampirinya.
“Na–Naya?”
Seorang wanita berparas ayu dengan kebaya sinden itu muncul di hadapan Danan. “Ngapain kamu di sini? Bahaya, Naya!” Danan Cemas, Namun Naya membalasnya dengan senyuman.
“Pementasan adalah keahlian kami, Mas.. Mas Danan tidak perlu khawatir. Pementasan Wayang Ki Daru Baya dan Nyai Suratmi sudah dimulai di desa Abah.
Wabah dan segala kutukan itu akan tertahan selama pementasan itu terus berjalan.”
Danan tahu benar bahwa pementasan Ki Daru Baya sangat bisa diandalkan untuk mengusir bala dan bencana yang berhubungan dengan kutukan dan entitas Gaib. Terlebih tembang sinden Ibunya sangat dicintai danyang-danyang di tanah ini.
Sosok setan-setan yang menonton Turonggo Mayit pun mulai berkurang. Danan berkesimpulan bahwa mereka mulai menyadari pementasan yang berada di luar sana dan menghampirinya.
“Sepertinya kami harus bergabung dengan kawan-kawanmu di luar sana,” Ucap Widi.
Cahyo mengangguk setuju. Ia pun menghentikan tariannya dan membiarkan Widi, Nuri, Mukti, dan Hamid menggiring penonton gaibnya itu menuju pementasan Ki Daru Baya.
“Selesaikan secepat mungkin, Cahyo, Paklek.” Pamit Widi. “Pastikan kalian kembali sebelum pementasan kami di luar sana selesai. Akan kami tunjukkan bagaimana Pagelaran Sewu Lelembut yang seharusnya…”
Paklek melambaikan tangannya pada Widi sambil tersenyum bangga padanya. Pemandangan setan-setan yang meninggalkan Leuweung Sasar itu membuat Raden Girisangkur geram.
Danan menoleh ke arah Arsa. Beberapa pemain teman-teman dari padepokan Ki Joyo Talun menghampiri seorang dalang yang memainkan wayangnya seorang diri.
“Memangnya asik main wayang sendirian?”
“Ora nganggo gending yo ora kepenak to, yo..” (Nggak pake iringan gending ya enggak enak, donk)
Arsa melihat teman-teman dari padepokan Ki Joyo Talun sibuk sendiri membongkar gerobak yang mereka bawa sambil menurunkan peralatan gamelan.
“Kalian? Di sini Bahaya!”
Arsa menghentikan sejenak permainannya khawatir dengan kedatangan teman-temannya.
“Sudah dua dalang meninggalkan kami karena bencana seperti ini dan saat itu kami tak mampu melakukan apa-apa. Jangan hal yang sama terjadi lagi, Ki Arsa..”
Mendengar perkataan itu Arsa mulai mengerti perasaan mereka.
“Hidup dan mati di tangan Tuhan, tugas kita hanya menghibur supaya hidup nggak ngebosenin kan?
Duonggg!!!
Suara gong yang dipukul menggema menandakan permainan sudah bisa dimulai. Namun sebelum itu, Naya datang menghampiri Arsa dan menunjukkan sebuah kotak berisikan beberapa wayang kulit.
“Wayang ini memang tak sesakti wayang batara, atau tidak seberharga wayang Ki Darmo. Tapi dengan wayang ini kami sudah menciptakan banyak senyum dan mendakwahkan berbagai pelajaran hidup.”
Arsa memperhatikan wayang sederhana yang tergeletak di dalam kotak kayu tua itu.
“Ini wayang milik Mas Sena?” Tanya Arsa.
“Dan sebelumnya dimiliki Ki Joyo Talun…” Perjelas Naya.
Arsa mengambil wayang itu dan mencobanya. Bagian pergelangannya sudah cukup kaku, namun ia masih bisa memainkannya. Tanpa sadar Arsa tersenyum. Ia membayangkan masa-masa Sena kecil yang terkagum-kagum dengan permainan ayahnya. Sama seperti Arsa mengagumi permainan wayang Ki Darmo.
“Sepertinya aku tahu lakon yang cocok untuk menutup pementasan sewu lelembut ini…” Senyum Arsa.
Melihat Arsa yang mulai bersemangat, Naya pun meninggalkannya dan mengambil posisinya sebagai sinden dari Padepokan Ki Joyo Talun.
“Jangankan manusia, dewa-dewi yang melakukan dosa pun mencari cara untuk pengampunan.
Seperti Dewi Uma yang dikutuk menjadi Dewi Durga dan dijatuhkan ke Setra Gandamayit, Manusia yang bergelimang dosa akan jatuh ke tempat yang dilaknat.
Inilah kisah bagaimana Sadewa meruwat sang Dewi Durga penguasa Setra Gandamayit…
Lakon Sudamala…”
Suara tembang yang dilantunkan Naya membuka pementasan padepokan Ki Joyo Talun berhadapan dengan pementasan Darang dimana mayat manusia dimainkan seperti wayang .
Tekanan kekuatan dari pementasan Darang membuat para pemain padepokan Ki Joyo Talun sulit mempertahankan kesadarannya dan tertarik untuk menyaksikan pementasan terkutuk itu. Namun saat dodogan dan kecrekan Arsa berbunyi, Seluruh pemain karawitan dan sinden mendapatkan kesadarannya kembali.
Dua gending saling beradu, dua panggung saling menantang. Satu memancing manusia kedalam dosa, Satu lagi mengingatkan siapapun untuk bertobat.
Raden Girisangkur yang melihat hal itu ingin segera menghampiri pementasan Arsa dan memporak porandakannya, namun ia masih terhalang oleh serangan-serangan Guntur dan Dirga yang masih terus memaksakan diri.
“Sekarang giliran kita, Nan..” ucap Cahyo.
Danan mengerti, ia pun menoleh ke arah Paklek dan melihat ada tiga kobaran api kecil melayang di hadapannya. Sepertinya ini adalah rencana Paklek.
“Jika bisa menyatukan ketiga api ini, mungkin kita bisa menandingi Rogo Geni Raden Girisangkur. Tapi Paklek tidak bisa melakukannya sendiri,” Ucap Paklek.
Danan dan Cahyo melihat tiga api dengan warna yang berbeda.
Api putih Sukmageni..
Api Merah Geni Baraloka..
Dan api hitam Geni Jiwo dari bilah hitam keris Sukmageni.
Danan dan Cahyo menyadari bahwa api itu tak bisa dikendalikan dengan sembarangan, terutama geni Jiwo yang begitu agresif dan tak terkendalikan.
“Aku sudah pernah mencoba mengendalikan Geni Baraloka, Paklek. Tapi Geni Jiwo…”
“Biar aku saja…” Cahyo menyela.
“Jangan ngawur, Jul!” Protes Danan.
Paklek menoleh pada Cahyo, ia sadar mau tidak mau ia harus menyerahkan api hitam itu pada salah satu dari mereka.
“Kundalini..api dalam jiwa kalian harus lebih kuat dari api-api ini untuk mengendalikannya. Tubuh dan jiwa kalian harus mampu mempertahankan diri dari panasnya api-api ini…”
“Ada Wanasura bersamaku, Paklek! Resiko api hitam ini akan lebih kecil jika aku yang membawanya. Lagipula, Danan lebih mahir mengendalikan Geni Baraloka,” ucap Cahyo.
Danan tak dapat menampik bahwa perkataan Cahyo ada benarnya. Tapi tetap saja ia khawatir akan bahayanya api hitam itu. sedangkan Sukmageni terikat dengan darah Paklek, tak ada yang mampu menyalakannya selain Paklek sendiri.
“Tak ada waktu berpikir, Guntur dan Dirga sudah kewalahan!” Teriak Cahyo.
Mereka pun bertaruh. Danan menyimpan Keris Ragasukmanya dan Cahyo berkomunikasi dengan Wanasura untuk bersiap.
Danan dengan tenang menerima Geni Baraloka, Namun Cahyo kesakitan saat api hitam itu tiba membara di atas telapak tangannya.
“Kamu yakin, Jul?” Tanya Danan.
“Sudah, Jangan banyak bicara! Cepat!!” Cahyo berlari lebih dulu menuju Raden Girisangkur sambil menahan rasa sakit dari api itu.
Danan menyusul dengan Geni baraloka yang berkobar di tangannya. Sedangkan Paklek mengendalikan sukmageninya dan melindungi mereka berdua dari belakang.
“Panasss!!!” Cahyo Kewalahan.
Raden Girisangkur yang melihat hal itu mulai merasakan bahaya. Ia meledakkan api dalam dirinya berkali kali hingga Dirga dan Guntur terpental. Jagad yang tak mengira bahwa Raden Girisangkur akan melakukan resiko itu tak sempat memindahkan Guntur dan Dirga.
“Kami belum kalah!” Teriak Guntur.
“Enak saja, ini baru dimulai!” Tambah Dirga.
Walaupun masih ingin bertarung, tapi luka di tubuh mereka tak bisa berbohong.
“Cukup! Kalian mundur! Sekarang giliran kami!” Perintah Danan.
Raden Girisangkur dengan sigap mengincar kobaran api Cahyo yang membuatnya kewalahan. Hawa panas dari tubuh Raden Girisangkur membuat api hitam itu semakin membara.
“Siall!!”
Pukulan-pukulan dari tubuh api Raden Girisangkur tak hanya sullit untuk dihindari, namun juga semakin membuat api hitam itu menggila.
“Cahyo! Gunakan ilmu itu lagi!” Teriak Danan sambil menunjukkan purnama merah yang begitu besar.
Cahyo ragu. kesadarannya akan terkikis saat ia menggunakan ilmu itu dan ia takut karenanya rencana mereka bertiga akan gagal. Namun Danan memiliki rencana.
“Nyi Sendang Rangu! Kita jaga kesadaran Cahyo!”
Suara petir menggelegar bersama hujan Nyi Sendang Rangu yang semakin deras. Ketiga api itu maupun Rogo Geni Raden Girisangkur tak terpengaruh sedikitpun dengan hujan Nyi Sendang rangu.
“Wanasura! kita lakukan sekali lagi!” Teriak Cahyo yang memisahkan diri dan berlari di antara ranting-ranting pepohonan dengan kekuatan Wanasura.
Wanasura merasuk ke tubuh Cahyo dengan cara yang berbeda. Warna mata Cahyo memerah, taringnya menajam, dan dan postur tubuh Cahyo berubah menyerupai seekor kera. Cahaya purnama saat itu menyinari setiap gerakannya, namun yang terpantul adalah bayangan Wanasura yang menyatu dengan Cahyo.
Paklek menoleh ke arah Danan, ia juga merasakan perbedaan pada dirinya. Perlahan ia menyadari keberadaan Danan menghilang. Danan melepas semua rasa duniawinya dan membawa jiwanya ke batas kesadaran.
“Bocah-bocah edan..” Geleng Paklek yang tak menyangka melihat perubahan kedua anak didiknya itu.
Raden Girisangkur tak mampu menyentuh tubuh Cahyo yang bergerak begitu cepat sementara bayangan Wanasura terus mengincar Raden Girisangkur.
Mencari kemungkinan lain, Girisangkur pun memilih untuk mengincar Paklek. Dengan cepat ia mengobarkan apinya dan menghampiri Paklek.
“Paklek! Hati-hati!” Teriak Cahyo.
Namun Pak lek tak menghindar. Ia membiarkan kobaran api raden Girisangkur mendekat kepadanya. Sebelum mereka bertabrakan, Paklek telah membacakan ajian pada keris sukmageni dan melemparkannya ke tanah.
Siapa yang mengira api dari rogogeni Girisangkur terhisap ke dalam bilah hitam yang sedang tak dihuni oleh api hitam Geni Jiwo.
“A-apa yang kau lakukan?!!” Teriak Girisangkur.
“SEKARANGG!!!” Perintah Paklek ditangkap dengan jelas oleh Danan dan Cahyo.
Keberadaan Danan tiba-tiba muncul di belakang Raden Girisangkur. Ia menanamkan Geni Baraloka dari belakang tubuhnya sementara Sukmageni tertanam langsung ke dada Raden Girisangkur.
Cahyo melesat ke atas dan membanting dirinya untuk melepaskan api terakhir ke atas tubuh Raden Girisangkur.
“Aku tidak selemah itu!” Tanpa diduga, Raden Girisangkur menangkap tangan Cahyo dan membakarnya hingga melepuh.
“Arrrggh!!!”
“Cahyo!” Danan menarik kerisnya dan bersiap menebas lengan Raden Girisangkur, Cahyo pun tidak menyerah.
“Wanasuraaaa!!!”
Tepat setelah kilatan keris ragasukma menebas lengan Raden Girisangkur, kekuatan Wanasuran mendorong tubuh Cahyo hingga Geni Jiwo merasuk kedalam kepala Raden Girisangkur.
“PERGIII!!” Perintah Paklek.
Danan dan Cahyo segera menjauh dari sosok Raden Girisangkur yang mulai terlihat aneh. Ketiga Api itu menyatu pada tubuh Raden Girisangkur dan membentuk sebuah aksara di tubuhnya.
“Apa itu, Paklek?” Tanya Danan.
“Api Trimurti.. api yang melambangkan penciptaan, pelindung, dan kehancuran. Paklek baru menyadari alasan Mbah Jiwo memberikan kekuatan api hitam itu pada Paklek. Rupanya itu Geni Jiwo melengkapi karomah kedua api yang sudah Paklek miliki…”
Danan dan Cahyo benar-benar kagum saat meliat reaksi api Trimurti menghentikan tubuh Raden Girisangkur. Ia terhenti kaku tak bergerak. Sesuatu benar-benar bergejolak di dalam tubuhnya.
“Apa dia akan terus seperti itu, Paklek?” Tanya Cahyo.
“Tidak, Paklek harus membacakan mantra yang diturunkan mbah Jiwo untuk menuntaskannya..”
Cahyo menarik jenggot tipis Paklek dengan kesal, “Terus kenapa nggak langsung dibacain to, Paklek!”
Plakk!! tingkah itu dibalas pukulan di kepala oleh Paklek.
“Gimana bisa baca kalau kalian ngajak ngomong Paklek terus!” Paklek Kesal.
Mendengar itu Danan dan Cahyo pun mundur menjauh dari Paklek. Saat itulah mantra yang sama seperti yang digunakan untuk mengaktifkan api hitam dari keris Sukmageni dibacakan.
Dalam waktu singkat seketika aksara - aksara yang menyala tertulis di setiap tubuh Raden Girisangkur. bahkan kobaran api tubuhnya tak mampu menyaingi kesilauan cahaya itu.
“Apa? Apa yang kau lakukan??!!! HENTIKAN!!”
Seketika ketiga kobaran api merah, hitam, dan putih membentuk aliran tridatu yang membara menyelimuti tubuh Raden Girisangkur.
“SAKIT! PERASAAN APA INI? HENTIKAN!!!”
Di setiap kobaran itu Raden Girisangkur merasakan siklus kehancuran, kebangkitan, dan kehidupan yang menyakitkan setiap detiknya.
Teriakan itu terus terdengar semakin melemah dan menghilang. Saat seluruh kekuatan gelap di tubuhnya sudah hangus terbakar, tubuhnya pun hangus dan terjatuh di tanah.
Cahyo segera melesat mendekat, namun Paklek melarangnya.
“Ke–kekuatanku?” Raden Girisangkur menyadari tak ada lagi kesaktian pada dirinya. Apinya tak menyala, kutukkannya tak lagi bisa ia sebarkan, namun ia melihat tubuhnya masih hidup dalam serangan semengerikan itu. Ia sadar, hanya keabadian yang tersisa dalam tubuhnya.
“Graaaorrr!!!”
Saat itu tiba-tiba terdengar suara raungan Meong Hideung dari arah pertarungan Gama dan Budi. Raden Girisangkur bertingkah aneh, ia merasakan sesuatu yang buruk terjadi di sana.
“Itu suara Meong hideung?” Tanya Cahyo.
“Benar, Apa itu artinya Gama dan Budi telah menyelesaikan pertarungannya?”
Melihat Raden Girisangkur memaksa tubuhnya untuk berlari ke arah suara itu, Danan dan Cahyo pun tidak tinggal diam. Ia mengikuti Raden Girisangkur mencegah sesuatu hal yang buruk terjadi lagi.
Tapi sebelum sampai ke sana, tiba-tiba sebuah benda jatuh ke hadapan Raden Girisangkur.
Kepala…
Raden Girisangkur menatap kepala itu dan mendapati itu adalah kepala Nyai Gadis…
Danan dan Cahyo berhenti dan menjaga jarak.
“Gadis?! Tidak!! Tidak mungkin!! Apa yang mereka lakukan padamu?!” Raden Girisangkur menangisi kepala yang tetap terlihat menawan walau tak bersama tubuhnya lagi.
“Tak, apa. Bereinkarnasilah dan kita akan bertemu kembali pada purnama merah seratus tahun lagi…” ucap Raden Girisangkur.
Ia pun menatap kepala itu, membelai rambutnya, dan menghantar kematian Nyai Gadis dengan ciuman di bibirnya.
Cahyo dan Danan hanya tertegun menatap pemandangan mengerikan dimana sosok manusia yang sudah hangus terbakar itu mencium kepala buntung seorang perempuan cantik.
Namun Raden Girisangkur menyadari sesuatu. Ia meraba bagian kepala Nyai Gadis. Ia mencari lambang perwujudan mutiara hitam yang menjadi pertanda bahwa Nyai Gadis akan bereinkarnasi kembali. Tapi, ia tidak menemukannya.
Kali ini ia benar-benar cemas. Berkali-kali ia mencari, lambang yang selalu ada di setiap reinkarnasi Nyai Gadis tidak lagi ia temukan.
“Ti–tidak! Tidak!! Jangan nyai! Tidak mungkin…”
Saat itu raut wajah Raden Girisangkur benar-benar dipenuhi amarah.
Ia pun memutuskan untuk menarik kembali jiwa sosok yang ia utus untuk melindungi Nyai Gadis. Dan kenyataan mengerikan membuat sosok abadi itu semakin murka. Amarahnya itu membangkitkan kekuatan besar yang ia pendam di Leuweung Sasar.
“TERKUTUK KAU GIRIKARANG!!!”
BERSAMBUNG
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya