PAGELARAN SEWU LELEMBUT (Part 9 END) - Empat Nyawa
Pagelaran telah berakhir, namun empat nyawa harus tetap berada di sana menanggung kutukan yang tersimpan di Leuweung Sasar
Apa telinga ini masih kurang cukup mendengar keluhmu?
Apa kematian setiap tubuh ini masih belum cukup untuk melindungi dirimu?
Dan apa jiwa ini masih belum pantas menerima ‘rasa’mu?
Lantas mengapa nama itu yang masih ada di dalam hatimu?
- Giri Karang
AKHIR RASA SANG ABDI
Titah itu mutlak. Perjanjian darah Trah Girisangkur dengan Girikarang mengikat sampai akhir zaman.
“Lindungi Nyai Gadis dalam setiap kehidupannya. Pastikan ia tidak kurang suatu apapun di setiap kebangkitanku…”
Sebuah titah yang mutlak turun dari seorang Raden Girisangkur kepada roh tua yang setia kepada leluhur dan keturuannya. Sosok roh tua yang sudah mengabdi dengan puluhan leluhur Trah Girisangkur.
“Baik, Raden..”
Tak ada keluhan, tak ada bantahan. Perintah yang diberikan tuan adalah kebahagiaan bagi sang hamba. Tapi tak akan ada yang menyangka ratusan tahun, dan sekian kehidupan menciptakan perbedaan.
Dalam tubuh manusia, ia melihat senyum wanita itu ribuan kali lebih banyak, ia mendengar tangis wanita itu ribuan kali lebih lirih, ia menerima rasa itu jutaan kali lebih dalam.
Tembok kepatuhan itu pun mulai retak.
“Keabadian itu menyiksa, Nyai..” Giri Karang pernah mengucapkan kalimat itu pada Nyai Gadis saat mereka sedang menghabiskan waktu berdua sesudah pementasan.
Sejenak, tatapan mata Nyai Gadis terlihat kosong. Namun sebuah senyuman muncul di bibirnya.
“Tidak, Giri Karang. Keabadian akan indah, jika kita tahu ada orang istimewa yang terus menanti kita..”
Girikarang sudah mengikuti Nyai Gadis dalam puluhan kehidupan. Ia bisa membaca dengan jelas bahwa ada keraguan di senyumnya itu.
“Harus ada yang menyadarkanmu, dan harus ada yang membebaskanmu dari kutukan ini, Nyai. Dan mungkin itu adalah aku..”
Dalam hati Giri Karang menggumam. Kepatuhanya kepada Raden Girisangkur bergumul dengan perasaan yang tumbuh kepada Nyai Gadis.
Suara pementasan yang meriah terdengar ke seluruh desa. Hampir tak ada yang melewatkan panggung meriah yang diramaikan sekelompok pemain gamelan dan tarian menawan Nyai Gadis.
Sekali lagi Giri Karang menyaksikan dari jauh sosok yang tak pernah gagal membuat siapapun terpesona. Di tempat itu Giri Karang meyakini dirinya sebagai pelindung sang penari. Bila tak boleh ada satu pun orang yang menyakiti Nyai Gadis, maka begitu pun tuannya.
Seperti yang terjadi malam-malam tertentu. Giri Karang mendampingi Nyai Gadis di kamarnya. Sebagai seorang abdi, Giri Karang mematuhi dan memenuhi keinginan Nyai Gadis untuk mendapatkan ‘cinta’ dan kehangatan dari seorang pria.
“Perjumpaanku dengan Raden Girisangkur akan segera terjadi. Mari kita rayakan ini Giri Karang!”
Seolah jantungnya tertusuk pisau yang tajam, ucapan Nyai Gadis membuat Giri Karang mengambil keputusan besar.
Sebelum penyatuan itu terjadi, Giri Karang membasuh tubuhnya dengan ritual darah. Nyai Gadis pun memandang Giri Karang dengan cara yang berbeda setelahnya.
Di malam pengkhianatan itu bibir mereka saling bertaut, tubuh mereka saling bersentuhan, mereka saling membagi kenikmatan tanpa menahan diri.
Tanpa Nyai Gadis sadari, malam itu ritual Giri Karang membuat dirinya melupakan kekasih abadinya. Ikatan itu pun terputus. Lambang yang menjadi tanda bahwa dirinya akan bereinkarnasi hingga akhir zaman menghilang dari belakang telinganya.
Malam itu menjadi akhirnya ikatan sepasang kekasih, dan menjadi akhirnya ikatan sang abdi.
***
SESAL SANG PUJANGGA
Seluruh ingatan Giri Karang muncul di pikiran Girisangkur saat ia menarik jiwa abdinya itu. Wajahnya merah padam dan amarahnya tak lagi terbendung.
“Terkutuk!! Berani beraninya kau melakukan itu pada Nyai Gadis!”
Dengan kekuatan darah Trah Girisangkur, ia menyiksa kepulan kekuatan hitam perwujudan sang Giri Karang.
“Tak apa, habisi saja aku. Mungkin kau adalah orang pertama yang dia cintai. Aku tak menyesal saat menyadari akulah cinta yang terakhir untuk dirinya.
Kematianku adalah kebahagiaan…”
Ucapan itu membuat Raden Girisangkur Frustasi.
“AAAARRRGGHHHHH!!!!!!!”
Teriakan kesakitan seseorang yang kehilangan itu menggema ke seluruh hutan. Tubuhnya mulai hancur, namun tak sehancur hatinya yang telah dikhianati.
“Tidak.. Tidak mungkin Gadis berpaling. Giri Karang berdusta!”
“Dari mana kau tahu? Perempuan itu kan sudah mati?” Cahyo memanaskan situasi.
Danan yang melihat hal itu segera menarik tubuh Cahyo dan menahannya. “Jangan cari gara-gara!”
Saat itu mereka berdua pun hanya menyaksikan pemandangan sesosok pria yang mengutuk dirinya sendiri. Ia yang mampu menghabisi ratusan nyawa itu bahkan tak mampu mengatasi satu kehilangan.
“Abadi? Untuk apa…” Gumam Raden Girisangkur.
Untuk apa aku bangkit kembali di dunia dimana Nyai Gadis tidak ada lagi.
“Nah betul,i..” Cahyo mulai tak mampu menahan diri, beruntung Danan dengan sigap menutup mulut Cahyo.
“Hei makhluk neraka.. ku kembalikan keabadian pemberianmu ini!” Ucap Raden Girisangkur.
Saat itu tanah leweung sasar bergetar besama munculnya kekuatan hitam yang dari bawah tanah tempatnya berpijak.
“Hahahaha manusia bodoh! Sudah berapa ratus nyawa kau korbankan untuk keabadianmu?! Dan kau ingin melepaskanya begitu saja?!”
“Ya!” Balasnya tanpa ragu sedikitpun.
Saat itu tubuh Danan dan Cahyo gemetar. Ia menyadari bahwa sosok yang mengikat perjanjian dengan Girisangkur itu bukan makhluk yang pantas berada di alam ini.
“Tidak.. aku lebih suka melihatmu tersiksa dalam keabadian!
Hahahaha Aku ingin melihat kau kembali bangkit dalam kekosongan. Meratapi dan menyiksa dirimu dalam setiap kehidupan. Kau akan terus membunuh dirimu untuk menghindari rasa sakit itu.
Tapi setiap bangkit, rasa sakit itu akan semakin besar dan terus menyiksamu!”
Iblis itu benar-benar mempermainkan Raden Girisangkur.
“Cih!” Seolah sudah tahu akan jawaban itu Raden Girisangkur berdiri dengan terus memeluk kepala kekasihnya itu.
“Aku punya bayaran…”
Mendengar perkataan itu getaran di tanah pun berhenti.
“Apa yang pantas untuk memberikanmu kematian?” ucap makhluk itu.
“Seluruh nyawa di pulau ini…”
Mendengar ucapan itu Danan dan Cahyo pun panik.
“Wanasura!!” Cahyo melesat ke arah Raden Girisangkur, namun kekuatan yang begitu besar mementalkanya hingga darah bermuncratan dari tubuhnya. Dengan sigap Danan menangkap tubuh temannya itu.
“Sial” Mereka tidak menyerah, namun sepertinya makhluk neraka itu tidak memberi kesempatan pada siapapun untuk mendekati mereka.
“Tubuh abadiku yang kusembunyikan membawa kutukan yang menyatu dengan hutan ini. Musnahkan jiwaku, setelahnya wabah, penyakit, bencana, hingga kesengsaraan akan menyebar hingga seluruh batas samudera..”
“Gila!” Teriak Danan.
“Jangan bodoh, Girisangkur!!” Teriak Cahyo.
Raden Girisangkur tidak peduli. Namun tawaranya itu berhasil menarik perhatian iblis itu.
“Baik. Aku terima kesepakatan ini…”
Raden Girisangkur memeluk erat-erat kepala nyai Gadis di dadanya. Ia mengecup keningnya dan menanti akan kemusnahanya.
“Sekarang matilah…”
Tubuh Raden Girisangkur mulai membusuk dari ujung kakinya dan perlahan naik ke tubunya. Ia sudah siap menerima semua itu, namun sebelum musnah seutuhnya setan itu berucap.
“Asal kau tahu. Siksaan yang akan kau terima jauh melebihi yang kau rasakan saat ini..”
“A—apa?”
“Kau pikir apa yang akan diterima oleh seseorang yang telah menghabisi ratusan nyawa di neraka? Mungkin saja kau akan melihat Nyai Gadis disetubuhi oleh seluruh setan-setan di sana. Hahahaha” Makhluk itu tertawa puas. “Dan jangan lupa. Siksaan itu abadi!”
“Ti—tidak!! Tidak!!!”
Perjanjian sudah terjadi. Pengorbanan yang diberikan Raden Girisangkur membawanya pada akhir yang paling mengerikan. Tipu daya iblis membuat ciptaan Tuhan yang mulia jatuh menjadi bagian dari setan-setan yang dikutuk.
Sayangnya kematian itu membuka petaka baru.
***
“Danan! Budi!!” Cahyo menyadari sesuatu. Kliwon yang tiba-tiba muncul memberi pertanda tentang keadaan Budi.
Secepat mungkin mereka berlari mendatangi medan perang yang telah usai itu. Danan menyaksikan tubuh nyai gadis yang tak lagi menyatu dengan kepalanya. Di dekatnya ada tubuh manusia yang sebelumnya menjadi wadah untuk Giri Karang.
Lebih dari itu, wajah Gama benar-benar pucat dan cemas sambil menahan luka di paha dan leher Budi.
“Apa yang terjadi?!” Wajah Cahyo benar-benar khawatir melihat Budi yang sudah terbaring terpejam.
“Kami gagal menahan serangan Giri Karang. Seharusnya aku bisa melindungi Budi!” Sesal Gama.
“Danan?” Cahyo memberi isyarat pada Danan untuk membaca situasi ini.
Samar-samar api menyala dari tangan Danan. Itu adalah sisa-sisa geni baraloka yang bisa memulihkan kesadaran Budi, namun itu tak cukup untuk menutup luka Budi.
“Setidaknya api ini mampu mengecilkan lukanya dan membuat Budi bertahan sampai kita membawanya ke Paklek,” ucap Danan.
Gama dan Cahyo cukup merasa lega, namun saat mendapatkan kesadaranya kembali, Budi justru menahan tangan Danan.
“Jangan, Danan.. Bukan ke tempat Paklek! Leuweung sasar dalam bahaya!”
Danan dan Cahyo menyadari maksud Budi. Sebagai pelindung Leuweung Sasar, sudah sewajarnya ia menyadari apa yang terjadi.
“Nggak, Mang! Nyawamu di ujung tanduk!” Bantah Cahyo.
“Tidak! Saat Paklek selesai, hutan ini sudah mati! kita akan terlambat”
Gama menyadari ada bahaya, namun ia baru mengerti ketika Danan dan Cahyo menceritakan tentang akan menyebarnya kutukan dari tubuh sebenarnya Raden Girisangkur ia sembunyikan di hutan ini.
“Sudah di ramalkan sebelumnya..” Ucap Budi sambil menahan lukanya.
“Ketika Tanah merah dan Cahaya rembulan merah bertemu maka Leweung sasar akan meminta darah merah untuk menyiraminya…”
Gama, Danan, dan Cahyo menyadari bahwa saat inilah yang dimaksud.
“Banjir Getih..” Gumam Danan.
“Hanya aku yang bisa menunjukkan satu-satunya tempat dimana Girisangkur menyembunyikan tubuhnya…”
Tidak ada yang salah dari ucapan Budi, namun tak ada satupun dari mereka bertiga yang berani memutuskan.
“Gama! Tidak ada waktu lagi!” Teriak Budi. Setelahnya ia terbatuk dan memuntahkan darah.
Gama tersentak..
Melihat kejadian itu Cahyo dengan cepat melepa sarungnya dan mengikatkan dengan kencang pada luka yang berada di paha Budi.
Tanpa berucap apapun, Cahyo segera membantu Budi untuk menaiki punggungnya.
“Kalau kau mati, itu artinya aku yang membunuhmu. Jadi, jangan jadikan aku pembunuh..” Ucap Cahyo.
“Aku tidak selemah dirimu. Lagi pula aku takkan kubiarkan kau membawaku ke tukang cukur terkutuk itu!” Balas Budi.
“Simpan candaanmu untuk memperpanjang nyawamu, Mamang Gondrong..”
Gama dan Danan benar-benar tidak bisa berkata apa-apa melihat ikatan kedua orang itu. Satu hal yang pasti. Ini satu-satunya kesempatan mereka menghentikan kutukan Raden Girisangkur.
“Gama! Bawa ini!” Seseorang buru-buru mengekati Gama dan memberikan sekantung pasir hitam.
“Mang Idim? Pasir ini?”
“Itu sisa pasir terakhir. Berikan pada Budi dan gunakan untuk menyegel hutan ini lagi setelah semua bencana ini selesai..” ucap Mang Idim.
Gama mengangguk. Tanpa banyak berbicara mereka pun segera bergegas memasuki hutan yang lebih dalam sesuai arahan Budi.
“Sebelumnya, Leuweung Sasar memiliki sebuah pohon keramat…” Budi mencoba menceritakan sesuatu selama perjalanan.
“Pohon itu menjadi tempat pemujaan dan membuat ikatan antara manusia dengan setan-setan di hutan ini.
Banyak manusia yang tersesat dan menjadi budak dari setan. Bahkan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon yang berwujud seperti orang-orang tersesat..”
Cerita Budi menggambarkan seberapa keramatnya pohon yang ia maksud.
“Dengan berbagai usaha, Bapak meniadakan pohon itu agar tak ada lagi orang-orang yang menjadi korban dari sisi gelap hutan ini. Saat itulah, Abah menemukan sebuah lubang.
Bapak sadar bahwa lubang misterius itu menyimpan sesuatu yang berbahaya. Ia memasukinya, namun ia belum mampu untuk menemukan apapun hingga memutuskan untuk menutup lubang itu..”
“Jadi karna itulah kau yakin tubuh Raden Girisangkur disembunyikan di sana?” Tanya Cahyo.
“Tak ada tempat yang tidak dapat kurasakan di Leuweung Sasar Taneuh Beureum selain lubang itu..”
Mendengar keyakinan Budi, mereka bertiga pun semakin mantap untuk menuju ke arah itu.
“Seandainya aku gagal, kutitipkan Leuweung Sasar padamu..”
Gama menoleh saat Budi berkata kalimat itu pada Cahyo. Belum pernah Budi mau menyerahkan urusan hutan yang merupakan tanah kelahiran dan kenangan masa lalunya pada orang lain.
“Berani mengatakan itu sekali lagi, aku sendiri yang akan memangkas rambutmu!” Ucap Cahyo Kesal.
Walau berbicara dengan keras, terlihat dengan jelas Cahyo menahan air matanya. Ia tahu bahwa seorang manusia takkan mampu bertahan lebih lama dengan luka sedalam itu.
Danan berusaha mengalihkan padangan matanya dari kedua orang itu. Ia begitu kalut menahan perasaanya. Namun ia sempat melihat senyuman di wajah Budi sebelum kesadarannya kembali menghilang.
***
“Naya.. Apa yang harus kita perbuat?” Arsa yang telah menyelesaikan pagelaranya menyadari bahaya yang akan terjadi.
“Menunggu.. saat ini kita hanya bisa percaya pada mereka,” Balas Naya.
Dibanding kebingungan Arsa, rasa cemas Naya benar-benar menyesakkan hatinya. Saat ini sekali lagi kekasihnya itu harus mempertaruhkan hidup dan matinya demi alam ini.
Naya melihat sekelilingnya. Tak ada yang beranjak dari tempat itu. Jagad memposisikan tubuhnya bersemedi untuk mencari jalur menyusul Danan dan Cahyo, Paklek memainkan apinya memastikan dirinya siap ketika mereka kembali dan membawa Budi yang sedang bertahan dalam batas hidupnya.
Dirga dan Guntur yang sedari tadi berjuang sekuat tenaga menghadapi Raden Girisangkur pun sedang berusaha memulihkan dirinya. Mereka semua memastikan kesiapan dirinya untuk kemungkinan terburuk.
Naya melangkah menghampiri kepala seorang perempuan yang menjadi sumber dari segala bencana ini. Tubuh yang memeluknya sudah membusuk dan hancur berkat perjanjian terakhir yang ia sesali.
“Entah apakah aku mampu jika harus menunggu Mas Danan selama dirimu menunggu Raden Girisangkur…” ucap Naya.
Ia menyatukan kepala itu kepada jasadnya dan bersimpuh sebentar untuk membacakan doa untuk jasad perempuan itu.
“Ada alasan mengapa kita diajarkan untuk menjaga kesucian tubuh kita sebagai seorang perempuan.
Apa yang terjadi padamu seharusnya mampu menjadi pelajaran bagi perempuan agar lebih menghargai tubuh yang dipercayakan Tuhan padanya..”
Walaupun mengetahui kekejaman Nyai Gadis. Sebagai seorang perempuan, hatinya ikut merasa hancur ketika menyadari perasaan sebenarnya seorang Nyai Gadis.
Apakah ia harus menanti seorang yang ia cintai? Sementara di dekatnya ada seseorang yang mampu membunuh kegundahanya dan membuatnya bahagia?
“Mas Danan, kamu nggak akan membuat Naya menunggu selama itu kan?” Gumam Naya sambil menatap cahaya rembulan merah yang bersinar terang.
…
Di bawah cahaya rembulan yang sama Danan, Gama, Cahyo dan Budi terhenti di sebuah tempat sesuai petunjuk Budi. Sebuah tempat yang dikelilingi oleh pepohonan yang menyerupai manusia.
Leuweung Sasar Taneuh Bereum..
Di sinilah manusia yang menyesatkan dirinya dan mengikat perjanjian dengan yang dikutuk berakhir tragis. Tubuh itu tak diterima bumi dan akan menjadi saksi atas pengkhianatan mereka pada Penciptanya.
“Aku sempat melewati tempat mengerikan ini saat dalam wujud sukma, namun tak kusangka ada sesuatu yang tersembunyi di sini..”
Degg!!!
Tiba-tiba perasaan yang menekan terasa di jantung Cahyo. Ia terjatuh dengan lututnya yang menyentuh tanah saat merasakan firasat itu. Wajah Cahyo pucat seketika.
“Tidak… kita tibak boleh gagal. Bencana yang terjadi dari hutan ini akan jauh lebih mengerikan dibanding kutukan Alas Wetan,” ucap Cahyo yang mulai bisa merasakan keberadaan sumber kutukan itu.
Tak ada bantahan dari mulut Gama dan Danan. Walau tak sepeka Cahyo, mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Cahyo.
“Kita mu…” Baru saja Gama ingin memimpin mereka untuk membuka lubang itu, tiba-tiba dua pohon terbesar di sekitar tempat itu bergerak.
“Gama! Hati-hati!” Ucap Danan.
Srassssh!!!
Sebuah tangan yang begitu besar tiba-tiba muncul mencoba meraih Gama. Danan yang menyadari hal itu melompat dan menabrak Gama hingga tubuh mereka terguling di tanah.
“Maaf, aku lengah!” Ucap Gama.
“Benar.. tidak mungkin sesuatu sepenting tubuh Raden Girisangkur tak ada yang menjaga,” Balas Danan.
Cahyo kembali berdiri dan mengenali kedua raksasa itu. “Mereka dua raksasa yang kita temui saat terakhir kali kita mendatangi leuweung sasar,”
Mereka mengingatnya. Kedua raksasa itulah yang mengurunkan niat mereka untuk menghentikan persiapan pagelaran di Leuweung Sasar saat itu.
Dummm!!! Dummmm!!!
Tanah di tempat itu bergetar. Setiap langkah raksasa setinggi pohon itu memiliki maksud untuk meratakan tubuh mereka.
“Gama! Serahkan mereka pada kami! Hanya kamu yang mengerti cara membuka lubang itu!” Ucap Danan.
“Mereka bukan makhluk biasa, Danan! Jangan bercanda!” Tolak Gama.
“Kita harus bertaruh!” Cahyo menyandarkan tubuh Budi pada sebuah pohon dengan posisi yang nyaman. Sekilas Cahyo melihat tubuh Budi bergerak. Cahyo sadar, Budi masih berusaha untuk mendapat kesadarannya kembali.
“Kalian berdualah yang paling mengerti seluk beluk hutan ini. Dan untuk masalah perang sama dedemit, seharusnya kami lebih ahli..” Lanjut Cahyo.
Gama yang masih cemas tak punya pilihan. Mau tidak mau mereka harus bertaruh. Kegagalan mereka adalah akhir dari ribuan nyawa manusia.
“Kuserahkan pada kalian!” ucap Gama.
Danan dan Cahyo mengangguk. Mereka tak lagi menoleh kepada Gama dan Budi. Keduanya tengah berjuang dengan apa yang mereka hadapi.
“Nyi…” Danan menggumam dalam hati, dan rintikan hujan Nyi Sendang Rangu turun bersama kemunculan roh yang masih mengawasi hutan itu sedari tadi.
“Wanasura.. Wanasudra! Main di kandang lawan tidak melemahkan kalian kan?” ucap Cahyo melangkah maju ke arah dua raksasa itu.
Seekor monyet kecil melangkah mendahului Cahyo. Di tengah guyuran hujan Nyi Sendang Rangu, sosok itu melepaskan wujud aslinya bersama Wanasura yang keluar dari tubuh Cahyo.
“GRAAOOOOOORRRR!!!”
Raungan Monyet Kembar Alas Wetan menggema ke seluruh Leuweung Sasar. Kedua panglima kera itu bergegas menghadang kedua raksasa penjaga lubang keramat itu.
“Mereka dinamakan Kalantaka dan Kalanjaya. Sosok raksasa yang mewarisi kekuatan dari pemilik asli nama tersebut..” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Cih! Terlalu banyak sosok yang mengatas namakan sosok yang melegenda di tanah Jawa hanya karena mereka menurunkan sedikit kekuatannya!” Balas Danan.
Cahyo menguatkan tubuhnya dengan Ajian penguat Raga. Ia menaiki tubuh Wanasura yang segera melontarkan tubuhnya ke atas Kalantaka.
Dhuaggg!! Pukulan Cahyo menghantam wajah Kalantaka, sayangnya serangan itu pukulan itu hanya membuat wajah Kalantaka sedikit menoleh.
“Bodoh jika kalian merasa bisa mengalahkan kekuatan dewa!” Sombong Kalantaka.
Cahyo mendarat di tubuh Wanasura yang tanpa disadari sudah berada tepat di bawah Kalantaka dan menghantamkan pukulan gilanya ke raksasa itu.
Duaaaaagggg!!!!
Kali ini Kalantaka terpental.
“Dewa?! Batara?! Aku bosan mendengar itu semua! Panggilan itu tidak akan merubah kenyataan bahwa kalian adalah Setan!!” Teriak Cahyo.
Sementara Itu Kliwon dalam wujud Wanasudra menabrakkan tubuhnya ke Kalanjaya, namun kekuatan raksasa itu sangat mampu untuk menahan Wanasudra.
“Wanara ingin beradu kekuatan dengan Raksasa?” Tawa Kalanjaya.
Sratttt!!!!
Sementara ia menyombongkan diri, roh Danan telah terpisah dari tubuhnya dan menghujamkan Keris Ragasukma menembus jantung Kalanjaya.
Danan dan Cahyo tidak memiliki banyak waktu, ia harus mengerahkan segalanya untuk menahan makhluk itu mendekati Gama.
“Nyi Sendang Rangu!” Danan memberi isyarat.
Ada sesuatu yang berbeda dari sosok Nyi Sendang Rangu. Ia menghirup kekuatan hitam dari Kalantaka dan Kalanjaya yang seketika merubah wajahnya menjadi begitu mengerikan. Selendang dan kebayanya menghitam.
“Kukembalikan dosa-dosa manusia bodoh yang bersekutu dengan kalian!” ucap Nyi Sendang Rangu.
Danan dan Cahyo terdiam, tubuh mereka sedikit gemetar. Ini pertama kali mereka melihat wujud Nyi Sendang Rangu semengerikan itu.
“Dia menjadi cermin atas semua dosa yang pernah terjadi di Leuweung Sasar?” Tanya Cahyo.
Wanasura dan Wanasudra pun menjaga jarak dari wujud mengerikan Nyi Sendang Rangu itu.
Seketika wujud sepasang raksasa itu gentar. Mereka pun mencoba menjauh dari sosok yang membuat mereka terancam itu.
“Cahyo! Tahan mereka!” Teriak Danan.
Deggg!!!
Kalanjaya jatuh berlutut. Matanya kosong dan dari luka tusukan keris di jantungnya dimulailah ribuan luka sayatan yang mengoyak tubuhnya.
“Hentikan!! A–ampun!!! Sakit!!”
Tubuh raksasa itu terkoyak, membusuk, dan perlahan terbakar setelah Nyi Sendang Rangu mengunci pandangan raksasa itu pada dirinya.
“KA–KALANJAYA??!”
Kalantaka mengetahu persis rasa sakit yang dirasakan kembaranya itu. Ia berusaha untuk kabur dari kutukan Nyi Sendang Rangu.
Bruaggh!!!
Cahyo memerintahkan Wanasura dan Wanasudra untuk menahan Kalantaka, sementara itu sekali lagi roh Danan menembus jantung Kalantaka yang menjadi pertanda bahwa sosok itu akan menerima penghakiman kekuatan Nyi Sendang Rangu.
“AAAARRRGHH!!! HENTIKAN!!! Aku tidak ingin musnah!!!”
Cahyo memandang dengan mengerikan bagaimana tubuh raksasa itu terkoyak-koyak dari dalam. Dari bekas luka tusukan Keris Ragasukma yang dihujamkan oleh Danan.
“Itu ilmu yang mengerikan, Nan!” Ucap Cahyo.
“Nggak, Jul! Dosa-dosa mereka yang mengerikan. Ilmu itu tidak akan berarti apa-apa untuk makhluk yang berjalan di jalan kebajikan…”
Wanasura kembali merasuk ke dalam tubuh Cahyo, sementara Wanasudra kembali ke wujud Kliwon. Danan dan Cahyo pun berpaling dari raksasa-raksasa yang perlahan musnah oleh siksaan dari perwujudan dosa.
“Gama!”
Cahyo dan Danan bergegas. Ia melihat lubang yang dimaksud sudah terbuka, namun wajah Gama terlihat cemas.
“Berhasil?” Tanya Danan.
“Aku berhasil membuka lubang itu, tapi kutukan Raden Girisangkur….”
Terlihat tulang belulang hitam telah terbakar hangus membentuk gumpalan debu hitam. Dalam sekejap ketakutan yang mendalam merasuk dan membuat mereka gentar.
“Tidak mungkin! Kita terlambat?” Tanya Cahyo.
“Gumpalan itu akan menyebar bersama angin dan membawa bencana,” Jelas Danan.
“GRRRRRR” Raungan Meong Hideung terdengar cemas. Tak ada lagi yang bisa menghentikan kutukan Raden Girisangkur.
“Cahyo! apa yang kau lakukan!!” Teriak Danan yang melihat Cahyo bergegas pergi.
“Pagar ghaib! Pelindung! Gunakan apa saja! Apa saja!!! Jangan sampai kutukan itu keluar dari tempat ini!” Cahyo masih tidak mau menyerah.
“Tidak.. itu tidak akan berhasil. Kutukan ratusan tahun tidak akan tertahan hanya dengan ilmu itu,” Ucap Danan.
“Setidaknya aku tidak akan menyerah! Di luar sana ada Sekar, Bulek, Bude, Abah, Paklek, semuanya akan menjadi korban bencana ini!!” Teriak Cahyo.
Sratt… Srat…
Suara langkah yang terseret lemah terdengar mendekat.
“Ga—Gama, pasir dari Mang Idim..”
Gama masih terdiam melihat Budi yang sekuat tenaga mempertahankan kesadaranya.
“Aku akan menyegel lubang ini. Jangan ada yang mendekat. Atau kalian akan mati..” Ucap Budi.
Danan, Cahyo, dan Gama mulai mencerna apa yang akan Budi lakukan.
Tap! Gama menahan tangan Budi.
“Kamu bisa mati, Bud! Itu pun tidak menjamin kutukan itu akan terhenti sepenuhnya!” Tolak Gama.
“Ini tugasku. Aku tidak terpikirkan kemungkinan lain” Budi masih dengan keras kepalanya.
Dummm!!!
Suara dentuman mulai terdengar dari tanah di bawah gumpalan kutukan Raden Girisangkur itu.
“Aku tak mengerti maksudmu, tapi kalau itu memungkinkan untuk kita menahan ledakan kutukan ini, pertaruhkan nyawaku juga!” Ucap Cahyo yang merebut kantung pasir itu dan berjalan ke arah lubang.
“Kita selesaikan ini sama-sama, Bud!” Gama setuju dengan Cahyo.
“Kalian mempunyai orang-orang yang harus kalian jaga. Jangan sia-siakan nyawa kalian!” Ucap Budi.
Danan masih terdiam, namun ia terpikirkan sesuatu.
“Segel pasir hitam… Mungkin kita bisa menahan kutukan itu di tempat ini, jika…” Danan ragu.
“Jika apa, Danan?” Gama masih berharap.
“Jika kita menggunakan nyawa kita berempat..”
Budi, Gama, dan Cahyo berpaling ke arah Danan tanpa adanya keraguan diantara mereka.
“Katakan!” ucap Gama.
“Empat manusia, empat roh.. kita bentuk pelindung dengan menjadikan diri kita sebagai pasak hidup yang merapalkan kekuatan pasir hitam itu.
Keempat roh melakukan hal yang sama dari alam gaib. Nyi Sendang Rangu, Wanasura, Wanasudra, Meong Hideung.. Mereka akan menjadi batas di alam gaib..”
“Masuk akal..” Gumam Cahyo.
“Danan, kau yakin?” Nyi Sendang Rangu datang dengan cemas. “Ledakan kutukan itu tidak akan berpengaruh untuk roh. Tapi kecil kemungkinan tubuh kalian untuk selamat..”
Danan menoleh kearah mereka bertiga, dan mata mereka menunjukkan tatapan yang sama.
“Kita selamatkan Sekar, Naya, Bulek, Paklek, dan yang lain..” Ucap Cahyo.
“Ki Duduy, Mang Idim…” Ucap Gama.
“Warga dewa Tilas Jajar…” Ucap Budi.
“Nyawa kami hanya bayaran yang murah jika bisa ditukar dengan keselamatan mereka, Nyi…” Ucap Danan.
Mendengar jawaban itu Nyi Sendang Rangu tak lagi menahan mereka. Sesuai ucapan Danan, mereka berempat mengisi posisi empat mata angin di sekitar lubangdan memasang segel pasir hitam sesuati perintah Budi.
“Grrraaorrr!!! GRrrrr!!!” Suara auman keempat roh yang mendampingi mereka terdengar sendu dari alam yang berbeda.
Krakkk!!! Krakkk!!
Tanah di bawah luban itu mulai retak. Seolah merespon sesuatu yang muncul dari tanah, gumpalan abu Raden Girisangkur membesar dan menarik kekuatan hitam dari dalam tanah.
Srasshhh!! Srashhh!!
“Sa–sakit..” Cahyo mulai merasakan rasa sakit yang idak wajar saat kekuatan itu menyentuh tubuhnya. Tapi mereka juga mendapati bahwa kutukan itu tak keluar dari batas tempat mereka berdiri.
Pasir hitam yang tersisa itu menghalangi setiap kekuatan yang mencoba keluar dari batas yang mereka buat.
“Berhasil?” Senyum Gama yang wajahnya berubah merasakan sakit yang sama.
“Maafkan aku, Gama..” Budi menunduk. Ia merasa gagal menjaga seseorang yang seharusnya ia lindungi dengan nyawanya.
“Tegakkan kepalamu, Budi! Berjuang bersamamu sama sekali bukan hal yang buruk!” Ucap Gama.
“Kehormatan bagi kami bisa menjadi pelindung Leuweung Sasar bersamamu,” tambah Danan.
“Seandainya kita bisa selamat dari hal ini. Aku bernazar akan mecah celengan ayamku dan mentraktir kalian sambel pecak!” Cahyo masih berusaha menciptakan senyum di bibir mereka berempat dengan segala rasa sakit dari kutukan yang mulai merasuk ke dalam diri mereka.
“AAArrrrgghh!!!!”Tak ada lagi suara yang terdengar selain teriakan mereka berempat yang menahan rasa sakit.
Di alam gaib, Nyi Sendang Rangu menitikkan air mata menyaksikan penderitaan yang diterima Danan.
Gelap. Rasa sakit itu tak lagi terasa di tubuh mereka. seluruh indra mereka mulai melemah dan hal yang terakhir yang mereka saksikan adalah ledakan kekuatan hitam yang besar mendatangi mereka.
DHHHHAAAARRRRRRR !!!!!!
Sebelum sempat kehilangan kesadaran Danan melihat satu sosok melintas sejenak di hadapannya.
“Teruslah berjalan di jalan kebajikan, Danan..” Ucap Nyi Sendang Rangu.
Di sisi hutan lain, Paklek panik mendengar suara dan perasaan mengerikan yang ia terima dari tempat dimana Danan berada.
“Mas Danan? Mas Cahyo?” Arsa merasakan kekhawatiran yang sama.
“Mereka membayar hidup kita dengan nyawa mereka..” Raden Suto menaiki tubuh Ki Buto memandang tempat yang sama.
Air mata menetes di pipi Naya. Sekali lagi jantungnya seperti tertusuk rasa sakit yang begitu tajam.
“Mas Danan…”
Ratusan nyawa bisa tak berarti sebagai tumbal satu manusia, namun nyawa satu manusia mungkin bisa menyelamatkan ratusan nyawa jika memiliki hati yang bersih dan kokoh.
Tragedi Leuweung Sasar berakhir tanpa kembalinya empat nama yang mengakhiri hidupnya untuk menahan ledakan kutukan Raden Girisangkur.
Dananjaya Sambara
Digjaya Adiguna Gama
Cahyo
Jalu Kertarajasa
Leuweung Sasar pun kembali tertutup. Semua yang mencoba datang takkan menemukan jalan untuk masuk. Pagelaran Sewu Lelembut pun menjadi penutup dari berakhirnya petaka di Leuweung Sasar.
***
Di Desa Dirga…
Hangatnya cahaya matahari masuk dari celah jendela dan jatuh di tubuh Danan. Panas di tubuhnya baru saja reda setelah begitu lama tak sadarkan diri.
“Mas Danan..”
Suara seorang perempuan yang duduk tertidur di pinggir kasur menyambut kesadaran Danan. Tubuhnya yang lemah membuatnya masih belum bisa mengingat dengan jelas akan apa yang terjadi.
“Na–Naya?”
Danan menoleh memperhatikan apa yang ada di sekitarnya. Ia mengenali kamar itu, salah satu kamar yang biasa mereka gunakan saat menginap di rumah abah. Tak jauh di sebelahnya ada Cahyo yang masih terbaring dengan keadaan yang sama.
“Cahyo? Cahyo gimana, Naya?” Danan sedikit demi sedikit mulai mengingat apa yang terjadi.
“Mas Cahyo nggak papa, Mas. Paklek merawat kalian semalaman,” Jawab Naya sambil memberikan segelas air putih untuk Danan.
Danan meminum beberapa teguk air itu dan menenangkan pikiranya. Ia terdiam sejenak, dan mendengar suara dari arah Cahyo.
“Ini? Kita dimana, Nan?” Cahyo pun masih bingung dengan keadaanya.
“Di rumah Abah, Jul..” Jawab Danan singkat.
“Kita selamat?”
Saat itu Danan baru mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi. Ia mengingat bagaimana mereka berempat menjadi pondasi pelindung untuk mencegah ledakan dari kutukan Raden Girisangkur menyebar di pulau ini.
“Kita masih hidup? Budi? Gama? Mereka dimana?” Danan mulai panik meninggalkan kasurnya, Cahyo yang juga cemas pun ingin menyusul Danan namun sebelum mereka keluar Paklek masuk dan menahan mereka.
Plak!! Plak!!
Pukulan Paklek pun mendarat di kedua kepala mereka.
“Jangan bikin khawatir orang! Kalian masih belum pulih! Tubuh kalian saja masih demam!” Tegur Paklek.
“Tapi Gama dan Budi?” Protes Cahyo.
“Mereka selamat. Mang Idim dan kawannya membantu mereka keluar dari hutan,” Balas Paklek.
“Paklek juga sudah membantu memulihkan mereka sebisa mungkin. Sekarang mungkin mereka sedang dirawat oleh Ki Duduy,” Tambah Naya.
Danan dan Cahyo mulai tenang ketika mendengar penjelasan itu.
“Paklek, bagaimana kami bisa selamat?” Tanya Danan penasaran.
Paklek menghela nafas, ia menggeleng sebagai isyarat bahwa ia sendiri tidak mengerti akan apa yang terjadi.
“Saat ledakan kutukan Raden Girisangkur tertahan kami memastikan bahwa bahaya telah terlewati. Saat itu kami menemukan tubuh kalian diantara pohon-pohon yang menyerupai wujud manusia.”
Dari energi kutukan yang tersisa di tempat mereka berada, Paklek mengetahui bahwa mereka berempat menahan kekuatan yang begitu besar hingga mengorbankan nyawa mereka, namun tak disangka Paklek masih merasakan nafas di tubuh mereka.
“Aku tak percaya tubuh kita masih utuh setelah kejadian itu,” ucap Cahyo.
“Pasti ada yang terjadi…” Danan berusaha mengingat. Ia memegangi dahinya merasa ada sesuatu yang salah.
Danan dan Cahyo mencoba mengingat segala hal yang terjadi pasca ledakan terjadi.
“Samar-samar aku melihat leluhur Gama Ki Langsamana dan sosok yang kukira orang tua Mamang Gondrong, aku kira itu pertanda bahwa sudah saatnya aku mati..” ucap Cahyo.
Danan mengingat sebuah kalimat yang terdengar sebelum tak sadarkan diri.
“Teruslah berjalan di jalan kebajikan, Danan..”
Danan mengingatnya..
“Nyi Sendang Rangu!!!”
Danan kembali berdiri dari ranjangnya dan bergegas keluar Ia pergi ke halaman belakang sementara Cahyo, Paklek, dan Naya berusaha menyusulnya. Keris Ragasukma kini berada di genggaman Danan. Ada sesuatu yang ingin ia pastikan.
Danan meletakan Keris Ragasukma di antara dahi dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhur Sambara.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
…
Degggg!!!
Seketika perasaan yang mengerikan terasa di dada Danan. Ia terjatuh, sesuatu seperti mengiris hati dan perasaanya.
“Danan!” Cahyo cemas, namun Paklek menahannya.
Langit tak menjadi gelap, Tak ada sosok yang muncul di hadapan mereka. Yang terjadi adalah hal yang berbeda. Mata Danan menghitam dan sebuah penglihatan mengerikan muncul kepada Danan.
“Nyi!! Tidak mungkin!!!”
Di dalam penglihatannya, Danan melihat keberadaan Nyi Sendang Rangu dengan wujud yang begitu mengerikan. Semua tubuhnya menghitam, wajah dan kulitnya yang cantik rusak dan membusuk. Kekuatan hitam mengalir tak terbendung dari dalam dirinya.
Dalam keadaan yang seperti itu, Nyi Sendang Rangu menyegel dirinya sendiri di suatu tempat yang terpencil.
“AAARGGGH!!!!” Danan berteriak dan mulai menangis. berkali-kali memukul tanah menyesali apa yang ia lihat.
Cahyo, Naya, dan Paklek mendekat dan berusaha menenangkan Danan dengan memeluknya dari belakang.
“Ceritakan, Nan.. ” Ucap Cahyo yang sebenarnya sudah menerka apa yang terjad
“Nyi Sendang Rangu…Sebelum ledakan kutukan itu menghabisi nyawa kita, ia menjadikan dirinya wadah untuk menyegel kutukan itu…”
Degg!!
Jantung Cahyo seperti terkoyak mendengar ucapan Danan itu.
“Kekuatan kutukan itu terlalu mengerikan. Nyi Sendang Rangu menahan kekuatan itu sendirian. Tubuhnya hancur, wujudnya semakin mengerikan, ia menyegel dirinya sendiri bersama kutukan itu agar tidak mencelakai siapapun.
Sakit… Nyi Sendang Rangu kesakitan…” Tangis Danan.
Naya menggigit bibirnya tak bisa membayangkan seberapa siksaan yang Nyi Sendang Rangu rasakan saat ini. Tubuh Paklek pun panas dingin mengetahui semua kekuatan mematikan itu kini bersarang di tubuh Nyi Sendang Rangu.
Keheningan terjadi diantara mereka. Hanya isak tangis yang terdengar di tempat itu.
“Kita tolong Nyi Sendang Rangu, Nan,” ucap Cahyo.
“Harus..” Danan Bertekad.
“Nyi Sendang Rangu mengambil resiko itu pasti karena dirinya percaya kalian bisa menyelamatkannya,” Ucap Naya.
Paklek memeluk kedua pundak muridnya itu. Ia menghela nafas mencoba menenangkan dirinya.
“Pulihkan diri kalian. Jangan sia-siakan pengorbanan Nyi Sendang Rangu..” ucap Paklek.
Danan dan Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun kembali ke kamar sejenak untuk menenangkan diri mereka.
Tak jauh dari tempat mereka berada dua orang pemuda menyaksikan apa yang terjadi di sana sambil mengunyah kacang dari tangannya.
“Mereka benar-benar kuat ya, Tur.” ucap Dirga pada Guntur yang asik duduk di ranting pohon.
“Kalau aku pasti udah nangis guling-guling sambil minta di puk puk sama Arum,” Balas Guntur.
“Mas Danan di puk puk Mbak Naya, Kamu di puk puk Arum. Lah aku di puk puk siapa?” Keluh Dirga.
“Nyai Jambrong..”
Mendengar jawaban itu Dirga menoleh dengan kesal ke arah Guntur. Ia pun melempar kulit kacang yang sedari tadi ia nikmati ke arah Guntur..
“Ngawur!” Kesal Dirga.
Guntur tertawa melihat raut wajah Dirga saat itu.
…
Setelah keadaan semakin membaik, Danan dan Cahyo pun memutuskan untuk keluar dan melihat keadaan sekitar. Desa yang sebelumnya mengalami tragedi mengerikan itu kini mulai pulih. Satu persatu warga yang terjangkit penyakit gaib sudah pulih dan mulai beraktivitas.
Danan dan Cahyo mampir ke balai desa tempat dimana teman-teman padepokan Ki Daru Baya dan Ki Joyo Talun beristirahat. Ia melihat Ki Daru Baya dan Arsa sedang asik berbincang si pelataran.
Arsa yang melihat keberadaan Danan dan Cahyo segera berdiri dan menyambut mereka.
“Mas Danan, Kulo nyuwun pangapunten yo, Mas..” (Mas, aku minta maaf ya, Mas..) Arsa masih merasa bersalah atas perbuatannya.
“Minta maaf apa? Semua tahu kalau itu semua terjadi karena tipu muslihat Raden Girisangkur..”
“Tapi tetap saja saya membuat banyak masalah..” Tunduk Arsa.
Mendengar ucapan itu Cahyo merangkul Arsa dan memiting lehernya.
“Jangan sombong kamu. Bikin masalah? kalau kayak begitu doang bukan masalah buat Wanasura,” Cahyo berusaha mencairkan suasana.
“Kami yang minta maaf, Sa. Kami tak mengetahui apapun tentang Wina dan ibumu..” Ucap Danan.
“Ka–kalau itu. Ki Buto dan Raden Suto memberi kabar yang mengejutkan saya, Mas.”
Rupanya kedatangan Ki Buto dan Raden Suto bukan sekedar untuk mendampingi Arsa. Kematian Wina dan Ibunya merupakan rencana Raden Girisangkur dan pengikutnya. Tapi Raden Suto sudah mengantisipasinya.
Saat rumah mereka dibakar, Raden Suto dan Ki Buto merasuk ke tubuh Wina dan ibunya. Mereka mengambil pengikut Raden Girisangkur untuk menggantikan mereka di dalam rumah. Jasad yang dianggap sebagai Wina dan Ibunya ternyata hanyalah pengganti.
“Saat ini ibu dan Wina berada di Bukit Rawuh, tempat yang dijaga oleh Ki Buto..”
Mendengar kabar itu Danan dan Cahyo cukup lega. Mereka pun bergabung dengan perbincangan kedua dalang itu.
“Kalau keputusanmu sudah bulat, lakukanlah..” ucap Ki Daru Baya.
“Saya mohon restunya, Ki. Semoga saya bisa jadi dalang yang bijak seperti ki Daru Baya,” ucap Arsa.
Danan dan Cahyo baru mengerti, ternyata kejadian di Leuweung Sasar membuat Arsa merasa begitu banyak kekurangan dalam dirinya. Terkena tipu daya setan adalah pukulan telak yang membuatnya merasa rendah.
“Apa rencanamu, Arsa?” Tanya Danan.
“Saya mau napak tilas, Mas. Saya mau meniti jalan yang pernah dilakukan Bapak. Sekaligus saya mau menempa diri saya agar lebih bijak..” Ucap Arsa.
Danan dan Cahyo senang mendengar perkembangan seorang pemuda yang memilih jalannya sendiri. Arsa menitipkan wayang-wayang keramatnya kepada Ki Daru Baya, menjaga agar wayang itu tidak lagi ia salah gunakan.
Pengalaman dirinya saat memainkan wayang tua milik Padepokan Ki Joyo Talun membuatnya sadar, bahwa sebelum menggunakan benda yang memikul tanggung jawab besar, ia perlu menempa diri agar pantas mengemban tanggung jawab itu.
“Memangnya tanpa wayang-wayang itu kamu mau ngapain, Sa?” Tanya Cahyo.
Arsa menghela nafas sambil menatap ke jalan dimana anak-anak kecil bermain dengan asik.
“Aku mau mengadakan pementasan- pementasan kecil, Mas. Nggak harus jadi dalang juga.
Aku mau ke desa-desa kecil hanya sekedar untuk mengadakan pementasan kecil di pasar, Bergabung dengan pementasan keliling, atau malah hanya mendongeng kepada anak-anak kecil seperti mereka..
Pokoknya aku mau mulai dari dasar. Mulai lagi mengenal dari mana sebuah senyum bisa diciptakan”
Danan, Cahyo, dan Ki Daru Baya tersenyum mendengar niat Arsa. Mereka sadar, suatu saat Arsa akan menjadi sosok yang besar. Mungkin akan ada waktunya dimana Danan dan Cahyo tak bisa berperan, dan Arsa memiliki panggungnya sendiri.
Danan sadar, bahwa tak selamanya mereka mampu menghadapi masalah yang datang. Akan muncul pemuda-pemuda seperti Arsa, Guntur, dan Dirga yang akan mewarisi niat yang sama dengan mereka.
Langit mulai mendung, gerimis turun membasahi desa. Tetesan-tetesan air itu seolah membersihkan sisa-sisa ketakutan yang sempat terjadi di desa-desa sekitar Leuweung sasar.
Danan berdiri seorang diri di bawah rintikan hujan itu. Ia menikmati setiap tetesan yang jatuh ke wajahnya. Entah mengapa ia begitu merindukan tetesan hujan Nyi Sendang Rangu yang selalu hadir di akhir pertempuran mereka.
Danan mengingat saat-saat mereka terjebak di Jagad Segoro Demit. Hujan Nyi Sendang Rangu lah yang terus menjaga mereka tetap memiliki kesadaran sebagai manusia.
Danan mengingat saat mereka ia, Cahyo, dan Paklek menemani Buto Lireng di akhir hayatnya. Hujan Nyi Sendang Rangu menjadi penenang sekaligus menyamarkan setiap tetes air mata mereka.
Naya yang melihat kekasihnya sendiri di tengah hujan itu pun menghampirinya.
“Naya? Nggak usah ikut-ikutan. Mas bentar lagi masuk kok. Cuma kangen sama hujan aja..”
Naya tak menjawab. Di bawah hujan itu ia hanya mengusap mata Danan yang mulai memerah. Berkali-kali Naya mengusap air di bawa mata Danan, akan ada tetesan air baru yang akan membasahi wajahnya.
“Ada dua jenis wanita saat melihat kekasihnya menikmati hujan. Satu membawakan payung agar ia tidak sakit, dan satu lagi ikut menemaninya menikmati hujan.
Sepertinya aku dan Nyi Sendang Rangu adalah wanita yang kedua..” Ucap Naya sambil ikut menikmati tetesan hujan itu.
“Kenapa kamu seyakin itu?”
“Karena aku lebih memilih resiko masuk angin daripada menutupi indah dan sejuknya hujan dengan payung..”
Di bawah rintikan hujan itu Naya menyenderkan kepalanya dipundak Danan. Matanya ikut berkaca-kaca membayangkan Nyi Sendang Rangu.
“Aku cemburu, Mas..”
Mendengar kalimat itu Danan menaruh perhatiannya pada Naya.
“Maafin Mas ya..”
“Ssst..” Naya meletekkan telunjuknya di bibir Danan.
“Naya nggak nyalahin Mas Danan..
Naya hanya cemburu karena tidak bisa melakukan apa yang Nyi Sendang Rangu lakukan untuk Mas Danan..
Naya hanya cemburu karena ternyata ada sosok makhluk yang sesayang itu sama Mas Danan..”
Mendengar ucapan itu Danan pun memeluk Naya. Di bawah tetesan hujan itu pelukan Naya sedikit mengobati luka di hati Danan yang teriris saat mengetahui pengorbanan Nyi Sendang Rangu.
“Nyi Sendang Rangu tidak hanya melindungi Mas Danan. Pengorbananya melindungi kita semua…”
Naya mengangguk di pelukan Danan. Mereka menikmati sejenak sejuknya tetesan hujan dan hangatnya pelukan itu.
Sebuah janji pun terukir di hati Danan.
“Tunggulah, Nyi Sendang Rangu.. Aku pasti akan datang menyelamatkanmu!”
TAMAT
EPILOG 1
JEJAK SANG DALANG
Di tengah pengaruh sihir Nyai Gadis, Ki Wardi menyaksikan Arsa yang meratapi kematian ibu dan sahabat kecilnya itu. Samar-samar ia mengenali beberapa ciri khas yang dikenakan oleh Arsa.
“Sebaiknya kau batalkan niatmu. Pagelaran ini bukan untuk bocah ingusan sepertimu,” ucap Ki Wardi.
Arsa yang sedang terpuruk terbakar emosinya. Ia mengambil wayangnya hendak memanggil ‘sosok’ untuk memberi Ki Wardi pelajaran. Namun belum sempat ia mengayunkan wayangnya, Ki Wardi dengan sigap memegang tangan Arsa.
“Wayang Ki Darmo Suseno…” Ucap Ki Wardi mengenali wayang itu.
Alih-alih mengeluarkan sosok, sesuatu dari wayang itu justru melemahkan pengaruh sihir Nyai Gadis. Sebuah ingatan pun kembali terpampang di pikiranya.
…
Suara piring yang pecah dan teriakan terdengar dari sebuah rumah. Seorang anak yang tak tahan dengan keadaan di rumah itu pun pergi meninggalkan rumah sambil membanting pintu.
Brakkk!!!
“Suatu saat aku akan meninggalkan tempat ini selamanya!” Gumamnya dalam hati.
Dengan terus mengumpat ia membawa amarahnya menelusuri gelapnya malam. Ia sampai di dekat sebuah waduk dan sebuah pemandangan yang tidak biasa terlihat di sana.
Dok..dok..dok… Crekk..
Suara dodogan dan kecrekan terdengar di sana bersama suara seorang dalang yang memainkan wayangnya.
“Suara wayang? Di malam hari?” Gumam anak itu. Seketika ia pun merinding dan mengingat berbagai kabar burung tentang keberadaan dalang demit yang katanya sering menculik manusia. Walau begitu rasa penasaran membuat anak itu mengintip dari mana asal suara itu.
Benar saja. Ada seorang dalang yang tengah memainkan wayangnya di pinggir waduk seorang diri. Ia memastikan bahwa sosok itu memang benar-benar manusia, bukan dalang demit seperti yang ia pikirkan.
Namun, di tengah keraguanya itu tanpa sadar ia terbawa suasana dengan permainan yang dimainkan dalang itu.
“Kalau mau nonton, ke sini. Jangan ngintip-ngintip di sana,” ucap Dalang itu.
Mendengar ajakan itu, anak itu pun senang. Ia tanpa ragu menyaksikan permainan sang dalang yang dalam sekejap membuat segala perasaan kalutnya sirna.
Permainan itu pun ditutup tepat saat malam mencapai puncaknya. Anak itu tak berhenti tersenyum setelah menonton cerita Subali Sugriwa dari permainan kecil itu.
“Nama kamu siapa? Kenapa malam-malam ada di pinggir waduk?” Tanya dalang itu.
“Wardi. Nama saya, Wardi. Bapak ini sebenarnya siapa? Main wayang sendirian di waduk, nggak takut dikira Dalang Demit?” Tanya Wardi.
“Haha… Kalau dalang demit nggak ada. Kalau demitnya, sedari tadi juga nonton bareng kamu,” ucap Dalang itu.
Saat itu seketika tengkuk Wardi terasa dingin. Ia pun menyadari untuk siapa pementasan malam itu diadakan.
“Saya Ki Darmo Suseno. Besok malam akan ada pagelaran, tapi ada sesuatu yang tidak baik berasal dari tempat ini.
Permainan tadi adalah pementasan kecil untuk mereka agar mereka tidak mengganggu jalannya pagelaran besok,” Jelas Ki Darmo.
Saat itu Ki Darmo sadar bahwa seni permainan wayang tidak hanya sekedar hiburan semata. Ada berbagai nilai yang dibawa termasuk keselarasan manusia dengan alam.
Selama di desa Wardi mengikuti kemanapun Ki Darmo pergi. Ia tak bosan-bosannya menyaksikan permainan yang dimainkan dalang itu. Namun pertemuan itu hanya berlangsung singkat, Ki Darmo harus melanjutkan lagi perjalananya dan meninggalkan desa.
“Ki? Apa saya bisa melihat permainan Ki Darmo lagi?” Tanya Wardi yang khawatir.
“Haha.. kalau kamu memang suka wayang, kamu akan melihat permainan yang lebih menarik lagi dari yang kumainkan. Banyak dalang hebat di luar sana..”
“Tapi bagaimana kalau mereka berbeda dengan wayang Ki Darmo?”
“Tenang saja. Kau akan melihat lagi permainanku pada beberapa dalang yang pernah mengenalku..”
Ucapan Ki Darmo saat itu berhasil menenangkan Wardi. Ia pun mengantarkan kepergian Ki Darmo dengan berbagai harap.
…
“Permainan ayahmu yang membuatku mulai tertarik dengan pertunjukkan wayang,” ucap Ki Wardi sambil memandang Wayang yang masih belum dilepas oleh Arsa.
“Bapak sudah mati! dan ibu baru saja menyusulnya!” Teriak Arsa dengan mata yang masih berkaca-kaca.
Bugghh!!!
Ki Darmo tiba-tiba memukul wajah Arsa hingga terjatuh. Kali ini ia melakukan itu tanpa pengaruh sihir Nyai Gadis. Saat itu air mata menetes di pipinya. Ia sadar bahwa tak lama lagi sihir nyai gadis akan mempengaruhi pikiranya lagi.
“Giri Karang.. Ia melemparkan jari manis anakku Cahyati ke wajahku bersama cincin istriku.” Ucap Ki Wardi.
Dalam emosinya ia menceritakan bagaimana dirinya dipermainkan ketika anaknya terkena penyakit dan hanya dapat pulih dengan ramuan yang diberikan Nyai Gadis. Sementara itu Nyai Gadis memaksa Ki Wardi untuk patuh demi mendapatkan ramuan untuk anaknya. Namun pada akhirnya, semua itu hanyalah tipu daya nyai gadis.
Ia menceritakan bahwa anaknya mati di tangan Giri Karang setelah dipaksa mengatakan keberadaan Leuweung Sasar sebagai lokasi Pagelaran Sewu Lelembut.
Arsa tidak menduga bahwa keadaan Ki Wardi tak lebih baik dari apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia sadar bahwa cerita Ki Wardi tidak merubah kenyataan bahwa Ibunya dan Wina telah mati.
Arsa pun mengacuhkan Ki Wardi dan kembali ke tempatnya dimana wayang-wayangnya berada.
“Aku tak peduli. Semuanya akan pergi pada akhirnya. Kekuatan Batara akan menjadikan pagelaran ini istimewa dan memusnahkan segalanya. Itulah hal yang pantas diterima manusia..” Ucap Arsa.
“Sihir Nyai Gadis akan kembali memanipulasi pikiranku, sama seperti yang terjadi padamu. Hanya satu hal yang kusesalkan saat ini.
Seandainya aku bertemu denganmu lebih cepat, mungkin aku akan melihat sekali lagi permainan Ki Darmo di dirimu. Permainan yang membahagiakan setiap makhluk yang menontonya.
Bukan permainan ‘istimewa’ yang akan kau mainkan setelah ini..”
Mendengar ucapan itu Arsa terdian sejenak. Pikiranya berkecamuk. Seandainya dalam keadaan normal, mungkin Arsa mampu melawan pengaruh yang memanipulasi pikiranya itu. Namun kabar tentang kematian Wina dan Ibunya membuatnya menyalahkan Tuhan dan menjadikan pikiranya dikuasai oleh pengaruh gelap itu.
Brugghh!!
Ki Wardi jatuh berlutut, tubuhnya lemas bersamaan dengan kembalinya pengaruh sihir Nyai Gadis.
“Kita sama-sama kehilangan. Maka mereka semua harus merasakan hal yang sama,” ucap Ki Wardi yang berubah seketika.
“Benar, semua harus sama-sama musnah..” Ucap Arsa yang sepenuhnya dikuasai oleh kegelapan.
***
Kejadian di belakang panggung sebelum Pagelaran Sewu Lelembut itu dimulai terus terngiang-ngiang di pikiran Arsa. Seandainya dulu ia lebih kuat dan tidak kalah oleh pengaruh sihir Raden Girisangkur, mungkin ia bisa menyelamatkan Ki Wardi dan menghentikan Pagelaran itu dengan lebih cepat.
Kini Arsa berada di sebuah desa dengan sebuah waduk besar berada di pinggirnya. Ia melamun seorang diri di sana sejak siang hari hingga matahari mulai tenggelam. Ia berusaha menenangkan pikiranya dengan menikmati riak air di hadapanya.
Sambil menggumam ia memainkan wayang kulit di tanganya. Ia mengingat kisah beberapa lakon yang pernah ia mainkan.
Samar-samar dari arah air terlihat sosok makhluk yang penasaran dengan permainan Arsa. Pantulan cahaya rembulan di permukaan air seolah menjadi lampu yang menghiasi pmentasan kecilnya.
Arsa pun menyadari bahwa dari pepohonan ia diawasi oleh ‘sosok lain’ yang mengharapkan penampilan lebih darinya.
“Jadi bapak sering melakukan hal seperti ini ya?” Gumamnya sambil mengingat cerita dari Ki Wardi.
Ia pun mengeluargan Dodogan dan Kecrekanya dan memulai sebuah permainan kecil.
Di pinggir danau itu seorang dalang sedang asik memainkan wayangnya seorang diri. Tak ada manusia yang menonton, namun di alam lain berbagai roh bersorak menikmati permainan wayang sederhana dari seorang dalang yang bernama Ki Arsa Suseno.
***
EPILOG 2
SARUNG PUSAKA
Empat piring makan terlihat bersih tanpa lauk yang tersiksa di sebuah warung nasi di Kampung Wetan Tilasjajah. Cahyo menepati janjinya untuk mentraktir Gama, Budi, dan Danan sekaligus memastikan keadaan kedua teman mereka itu.
“Terkadang memang ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan tangan manusia ya,” ucap Gama mengingat tentang bagaimana putus asanya mereka menghadapi Ledakan Kutukan itu.
“Benar. Ternyata terkadang hanya tangan Tuhan yang bisa menyelesaikan masalah kita ,” Balas Danan.
Mereka berempat masih tidak ada habisnya membahas tentang bagaimana mereka bisa selamat. Banyak hal diluar nalar yang ternyata dapat terjadi di alam ini.
Mulai dari Raden Girisangkur yang mendapatkan keabadian demi terus bersama nyai Gadis, Sosok Nyai Gadis yang terus bereinkanrasi demi menemui kekasihnya itu, Hingga cinta terpendam dari sosok Girikarang yang selalu mendampingi Nyai Gadis di setiap kehidupanya.
“Ternyata sesuatu yang disebut dengan ‘cinta’ bisa membuat manusia sampai segila itu,” Ucap Gama.
“Ada banyak hal yang bisa menjadikan motivasi seseorang untuk berbuat dosa. Kekayaan, kekuasaan, ketenaran, hingga kehormatan. Namun tak kusangka rasa cinta yang merupakan anugerah terindah dari Tuhan bisa menjadi motivasi seseorang berbuat dosa sedalam ini..” Balas Danan.
Sudah dua cangkir kopi masing-masing mereka habiskan untuk menemani perbincangan yang enggan untuk diselesaikan. Perbincangan-perbincangan seriu hingga celetukan bodoh Cahyo membuat mereka nyaman dan enggan untuk beranjak dari sana.
“Kira-kira apa ada peninggalan Ki Langsamana yang bisa memulihkan seseorang dari kutukan yang begitu gelap?” Tanya Cahyo pada Gama.
“Nyi Sendang Rangu ya?” Gama memperjelas. Cahyo dan Danan mengiyakan.
“Mungkin ada, namun biasanya tak lebih dari amalan dan ruqiyah. Tapi aku akan mencari tahu. Seandanya ada yang memungkinkan aku akan segera memberi tahu kalian,”
“Terima kasih..” Ucap Danan.
Di tengah perbincangan itu tiba-tiba Budi teringat akan sesuatu.
“Aku akan mencari tahu dari mana kekuatan pasir hitam yang mampu menyegel kekuatan Leuweung Sasar. Mungkin saja itu bisa membantu,” Ucapnya sambil membersihkan belati andalanya itu.
“Masuk akal. Kita harus mencoba semua kemungkinan yang ada,” Balas Cahyo.
Saat langit mulai memerah mereka pun meninggalkan warung makan itu dan berpisah.
“Mang, bawa ini..” Cahyo menyerahkan sebuah sarung yang masih baru dan terlipat rapi.
“Apa ini?” Budi bingung dengan pemberian Cahyo itu.
“Sudah bawa saja. Siapa tahu berguna,”
Danan dan Gama saling bersikutan melihat pemandangan canggung itu. Namun tanpa banyak bertanya Budi menerima sarung itu dan berterima kasih.
Di sebuah jembatan batas desa mereka pun berpisah. Leuweung sasar terlihat dari sana. Jembatan dimana pertama kalinya Cahyo melihat burung-burung hitam beterbangan dari Leuweung Sasar.
Jembatan dimana pertama kali Budi dan Cahyo bertemu tanpa sengaja dengan rasa saling curiga.
Tapi kini mereka berada di sana sebagai seorang teman yang penting dan saling memahami perasaan masing-masing.
“Mamang gondrong, Gama.. Kami pamit,” ucap Cahyo.
Lambaian tangan Gama dan Budi menghantar kepergian Danan dan Cahyo dengan vespa tuanya. Suara kenalpot ‘si mbah’ memecah keheningan senja di sana.
“Kenapa sarung?” Tanya Danan mencoba mencari tahu.
“Haha.. bingung aja. Kalau ditanya benda apa yang paling aku suka saat ini, jawabanya pasti sarung. Jadi itu saja yang kuberikan pada Budi,” Jawab Cahyo.
Danan tersenyum mendengan jawaban polos Cahyo. Namun Cahyo masih meneruskan perkataanya.
“Lebih dari itu, sarung itu juga sebagai pengingat untuk Mamang Gondrong. Bahwa sekarang ia tidak perlu menanggung bebannya seorang diri…”
***
EPILOG 3
Langkah seorang nenek terlihat terburu-buru menembus pedalaman hutan. Ada seseorang pria yang mengikuti langkah itu dengan cemas.
“Benar ucapanmu, Nyai Jambrong. Mereka bisa menyelesaikan masalah itu tanpa kita,” Ucap Mbah Jiwo yang telah menyadari berakhirnya bencana Pagelaran Sewu Lelembut.
“Keberadaan kita di sana tidak akan banyak berpengaruh, tapi bila kita tidak mengantisipasi apa yang ada di depan kita ini, mungkin kita akan terlambat,” Balas Nyai Jambrong.
Mereka pun melalui jalan hutan hanya bermodalkan obor yang dibawa oleh mbah Jiwo. Di tempat yang mereka tuju, seseorang sudah menanti mereka sambil bermeditasi dan duduk bersila.
Pemandangan yang mengerikan menyambut mereka dari sebuah tempat di kedalaman hutan itu.
“Siapa yang melakukan semua ini…” Mbah Jiwo cemas.
Mereka melihat pocong-pocong yang digantung terbalik di pepohonan. Darah mereka menetes di tanah persis seperti ritual yang pernah mereka lihat sebelumnya.
Sebuah bangunan tua yang cukup besar berada di tengah-tengah tragedi itu.
“Apa yang terjadi, Bli Waja?” Tanya Nyai Jambrong.
“Kita terlambat, Nyai. Pengorbanan sudah selesai saat aku tiba,”
Nyai Jambrong memasuki bangunan itu dan menemukan banyak mayat dari pria berpakaian kebaya jawa yang lengkap dengan keris di pinggangnya.
“Aksara ini…” Gumam Nyai Jambrong.
“Lambang ini…” Mbah Jiwo menyadari apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Bli Waja masuk menyusul mereka. Seketika wajah mereka diliputi rasa cemas.
“Benar. Mereka membuka gerbang Jagad Segoro Demit…”
SELESAI
Sampai jumpa di
JAGAD SEGORO DEMIT II
Terima kasih sudah membaca Pagelaran Sewu Lelembut hingga selesai.