Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RAMBUT NYAI RARA MAYIT

“Anakku begitu cantik, akan semakin cantik bila kucungkil kedua bola matanya…”


Desember 2001,

Pagi ini adikku mati…

Ibu membunuhnya dengan mencungkil kedua bola matanya, ayahku menutupi kejadian itu dengan menguburkan adikku di kampung halaman kami di Lamongan.

Ibu menyesal, namun ucapannya itu sama sekali tidak seperti raut wajahnya kemarin malam yang betapa menikmatinya dia ketika membunuh adikku.

Ia terus tertawa mencengkeram wajah adikku yang masih kecil dan menikmati tangisannya seolah itu adalah musik yang merdu.

Bahkan baginya, darah adikku yang mengalir di wajahnya seperti semburan air segar. Kejadian itu selalu terpatri dalam ingatanku saat aku hanya bisa merunduk di sudut ruangan, menyaksikan kegilaan itu.

Ibuku bernama Ningrum, dan Ayahku adalah Cokro Darmono, sebuah pasangan suami istri dari keluarga terpandang yang memiliki pengaruh besar. Kami menjalani kehidupan yang berkecukupan, bahkan bisa dikatakan mewah untuk standar kota kecil tempat tinggalku.

Namun, perlu diingat, aku bukanlah anak yang lahir dalam kemewahan ini.
Di masa lalu yang kelam, Bapak dan Ibu terperangkap dalam belenggu keterbatasan.

Badai kehidupan menghantam dengan kekejaman ketika kobaran api merenggut rumah dan harta Bapak, mengubur segala kenangan manis dalam kepompong kepapaan dan kekayaan.

Desa mereka menjadi saksi bisu dari tragedi yang tak terlupakan, di mana beberapa rumah menjadi arang hitam yang menyala di tengah malam.
Dalam reruntuhan itu, Bapak terpaksa menyerahkan diri pada takdir yang kejam.

Pekerjaan sebagai loper koran adalah satu-satunya tali penghubung dengan realitas yang terus merosot. Penghasilan yang tidak menentu hanya seakan menjadi bayang-bayang gelap yang menari-nari di tepi kehidupan mereka.

Saat itu, keluarga Bapak terpuruk dalam ketidakpastian, dan malah dihantui oleh ketidakakuan saudara-saudaranya yang menolak mengakui ikatan darah sebagai anggota sejati dari Trah Darmoyo.

Namun, entah bagaimana keajaiban terjadi, dalam waktu singkat, kondisi ekonomi keluarga kami membaik. Ibu hanya bercerita bahwa kami mendapatkan suntikan modal untuk menjalankan bisnis kelapa sawit di Kalimantan.

Meski begitu, aku belum pernah melihat secara langsung kebun-kebun yang dimiliki oleh Bapak.
Oh iya, Aku Lastri. Siswi yang baru saja mengijakkan kaki di jenjang SMA. Sebagai anak dari Pak Cakra, aku bisa hidup dengan nyaman di kota ini.

Tetangga segan padaku, dan teman-teman di sekolah juga memperlakukanku dengan baik. Aku yakin, itu semua karena pengaruh dari keluargaku. Namun setiap sampai di rumah, entah mengapa rasa nyaman itu berubah.

“Mesakne kowe, Nduk. Nek iso, lungo seko omah iki yo,” (Kasihan kamu, Nak. Kalau bisa, kamu keluar dari rumah ini, ya)
Tiba-tiba ada seorang kakek tuna netra yang berhenti mematung di depan rumahku. Ia tidak menoleh ke arahku, namun aku merasa ucapan itu memang untukku.

Apalagi tidak ada siapapun di sini selain kami berdua.

“Kek? Maksud kakek apa?” Tanyaku bingung.

Ia pun hanya menghela nafas dan berpaling meninggalkanku. “Mbuh piye carane, metuo seko omah iki. Enek sing ora nggenah,”

(Terserah bagaimanapun caranya, keluarlah dari rumah ini. Ada yang nggak bener) ucapnya.

Aku tidak mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh kakek itu, tetapi sepertinya dia sedang membicarakan keadaan rumahku yang singup dan sepi. Sebenarnya, aku sendiri juga merasakannya.

Bapak selalu mengatakan bahwa rumah yang besar namun ditinggali oleh sedikit orang pasti terasa sepi. Saya pun percaya bahwa itu adalah alasan yang masuk akal.

Namun, ternyata itu bukanlah maksud sebenarnya dari ucapannya. Kakek tuna netra itu merasakan keberadaan sosok yang sangat jahat di dalam rumah ini, dan baru beberapa bulan kemudian aku mengetahuinya.

DIA RARA MAYIT ?

Malam itu, aku terbangun tepat saat jarum jam melewati jam dua belas malam. Suasana terasa tidak biasa, namun aku memilih untuk mengacuhkannya dan kembali tidur. Tetapi, langkah-langkah di luar kamar membuatku memutuskan untuk keluar dan mengeceknya.

Itu adalah ibu…
Wajahnya terlihat aneh, hanya berjalan dengan wajah pucat dan meninggalkan rumah. Aku sempat ingin memanggilnya, tetapi mengurungkan niatku karena rasa bingung. Saat itulah, suara dari kamar bapak dan ibu terdengar.

Ada suara perempuan…

Sementara ibu keluar rumah, kalau begitu, siapa sosok menyerupai ibu yang berada di dalam kamar? Pertanyaan itu menggantung di udara, meninggalkan kebingungan dibalik perasaanku.

Aku pun menghampiri kamar bapak yang pintunya masih sedikit terbuka seolah baru saja ada seseorang yang keluar dari sana. Ada helaian rambut putih di lantai depan pintu kamar Bapak.

Tapi, sebelum memutuskan untuk masuk aku tersadar akan sebuah pemandangan yang sulit untuk kulupakan.

“Nyai, nikmat sekali nyai. Teruskan Nyai…”

Suara itu terdengar dari bapak yang sedang bersenggama dengan seorang perempuan.

Aku tidak melihatnya dengan jelas sampai saat aku mendekat, aku yakin perempuan itu bukan ibuku. Bapak bersenggama dengan seorang perempuan berambut putih panjang dan mengenakan kebaya lusuh berwaran merah darah.

Cantik? Tidak.. sosok itu bermata hitam dan berbibir hitam. Kulitnya pun penuh dengan keriput dan borok seolah umurnya sudah sangat tua. Bahkan aku hampir muntah saat melihatnya.

Terlebih samar-samar aku mencium bau bangkai dari arah kamar. Tetapi sepertinya bapak melihatnya dengan sosok yang berbeda.

Saat itu aku terlalu takut dan tidak berani berbuat apa-apa. Perbuatan menjijikkan itu terjadi di depan mataku dan aku selalu berharap, itu adalah mimpi buruk. Tak tahan dengan apa yang terjadi,

aku pun memilih untuk kembali ke kamar dan berusaha melupakan semua hal yang kulihat tadi, namun sepertinya itu sulit.

Begitu banyak pertanyaan di kepalaku, namun apa itu artinya selama ini bapak memiliki hubungan dengan makhluk itu?

TUMBAL BERIKUTNYA

Setelah kejadian malam itu, semua nampak seperti biasa. Ibu sudah kembali dan memasakkan sarapan untukku. Aku ingin menanyakan apa yang terjadi semalam, namun pertanyaanku tertahan karena takut semua tidak akan lagi seperti biasa jika aku mengatakannya.

Aku pun memutuskan untuk menutup mulut dan melanjutkan hidup seperti biasa.

Sayangnya, mungkin keputusanku salah…

Juli 2005,

Beberapa tahun setelah aku menyaksikan kejadian menjijikkan itu, aku kembali terbangun dengan perasaan aneh yang sama. Kali ini aku memutuskan untuk tetap berada di kamar dan berusaha untuk kembali tidur.

Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman.

Ada suara mengganggu dari jendela kamarku.
Suara itu seperti seseorang yang memainkan kukunya di kaca jendela. Aku berusaha untuk membiarkan, namun suara itu semakin keras dan tiba-tiba jendela terbuka dengan sendirinya.

Angin masuk ke dalam kamar, menerbangkan lembaran kertas di atas mejaku. Aku secara refleks terbangun, segera menutup jendela yang terbuka. Namun, wajahku berubah pucat saat aku melihat apa yang ada di luar jendela.

Di sana, sosok perempuan muncul.
Rambutnya putih panjang, matanya dan mulutnya hitam, dan kulitnya penuh borok. Ia melayang-layang di udara sambil tertawa menatapku. Jantungku berdegup kencang, ketakutan melanda, dan aku memutuskan untuk berlari keluar rumah.

Sayangnya, bahkan untuk berdiri saja, kakiku begitu lemas. Dengan susah payah, aku berusaha mencapai pintu, namun entah mengapa pintu kamarku tak bisa terbuka meskipun aku menggunakan seluruh tenagaku.

Dalam kepanikan, aku ingin berteriak meminta tolong, tapi suaraku terasa tertahan. Hanya bisikan-bisikan kecil yang keluar dari mulutku. Saat itu, aku tak mampu lagi mempertahankan kesadaran diriku, dan dunia di sekitarku mulai memudar.

“Lastri! Kenapa kamu tidur di lantai? Kamu nggak sekolah?”
Pagi itu ibu membangunkanku yang tak kunjung keluar dari kamar. Aku mencoba mengingat kejadian semalam yang membuatku terbaring di lantai.

Mengetahui wajahku yang pucat dan keadaanku yang tidak baik, ibu pun memaklumiku untuk tidak bersekolah. Namun saat itu aku memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi semalam.
Di meja makan itu, raut wajah bapak dan ibu berubah.

Mereka saling bertatapan seolah menutupi sesuatu. Tapi apa yang keluar dari mulutnya ternyata berbeda dengan perubahan ekspresi mereka sebelumnya.

“Kamu kecapekan, Lastri.. istirahat beberapa hari aja baru masuk sekolah lagi..” Ucap Ibu.

“Iya, nanti kalau ada waktu kita refreshing aja, jalan-jalan..” Tambah bapak.

Aku sedikit ngotot meyakinkan bahwa kejadian semalam itu nyata, namun mereka tetap saja menyangkal dan berusaha menenangkanku.

Aku sempat ingin menceritakan tentang apa yang kulihat di kamar bapak, tapi aku takut ucapanku akan merusak hubungan bapak dan ibu.

Saat itu aku pun hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tidak memikirkan kejadian semalam. Tapi perasaanku tetap tidak tenang.

Sayangnya, malam itu hanyalah permulaan. Aku menyadarinya setelah beberapa kejadian aneh menimpaku.

Saat itu aku sedang kelas olah raga di sekolah. Aku dan teman-teman sekolah melakukan ujian atletik bergantian dan menyelesaikannya dengan cepat,

tapi setelahnya aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Aku mual semual-mualnya.
Temanku Ratih menemaniku ke kamar mandi untuk membantuku.

Aku pun muntah di kamar mandi, namun yang keluar dari mulutku adalah gumpalan rambut putih yang terendam cariran merah darah. Aku pun panik dan semakin pucat. Benda itu tidak hanya satu kali keluar,

namun aku terus memuntahkan rambut itu hingga aku sampai rumah dan sampai maghrib tiba.
Saat itu kedua orang tuaku cemas. Mereka pun mencoba membawaku ke klinik namun tidak menemukan keanehan apapun pada tubuhku.

Tapi, wajah sang dokter saat itu seolah mengetahui sesuatu. Ia menatap kedua orang tuaku dengan raut wajah kesal.
Keadaan tubuhku semakin lama semakin melemah. Aku kesulitan untuk makan dan gumpalan rambut itu masih sering keluar dari tubuhku.

Kupikir hal itu sudah cukup mengerikan, namun nyatanya sebuah kejadian membuatku merasa ingin menyerah.
Suatu malam bapak pulang terlambat karena sebuah urusan mendadak.

Aku pun menghabiskan waktu dengan menonton televisi sampai jam tidurku tiba. Sedari tadi selama menonton televisi aku merasakan perasaan yang aneh yang sulit untuk kujelaskan. Barulah saat aku menoleh ke belakang ke arah ruangan dapur, aku sadar.

Itu ibu…

Ibu hanya menatapku terdiam di satu tempat tanpa bergerak sedikitpun. Ia tersenyum, namun aku tahu dengan jelas bahwa senyum itu bukanlah senyum ibu yang biasa. Itu adalah senyum yang kulihat saat Ibu membunuh adikku dulu.

“Bu… Ibu,” Aku mencoba memastikan keadaan ibu. Namun ia tidak bergerak sama sekali. Aku ingin menhampirinya, namun rasa takut menyelimutiku. Sebaliknya, ibu malah tertawa dengan suara tawa yang aneh. Dengan perlahan, ibu mengambil sebuah pisau dan mendekat ke arahku.

“Kowe cantik, nduk.. Luwih cantik nek matamu oleh tak jaluk,” (Kamu cantik, Nak.. lebih cantik kalau matamu boleh kuminta)

Mendengar ucapan itu sontak aku pun memaksakan diriku yang lemah untuk menjauh dari ibu.

Aku ingin berlari ke kamar, namun aku teringat bagaimana di kamar itu juga adikku mati di tangan ibu. Saat itu aku memilih untuk berlari keluar rumah tapi tak kusangka di depan sudah ada sekumpulan orang.

Mereka memberi isyarat padaku untuk keluar, dan aku pun menurutinya. Diantara mereka ada beberapa orang yang kukenal. Yang pertama adalah kakek tuna netra yang kulihat beberapa waktu lalu, dan ada beberapa pakde dan budeku juga yang ada di sana.

“Lastri, kowe rapopo, Nduk?” Bude Diah segera merangkulku yang benar-benar terlihat pucat. “Ibu, Bude… Ibu…” Ucapku yang kali ini tak mampu menahan air mata.

Rupanya sedari tadi sudah ada beberapa orang yang mencoba untuk masuk, namun mereka semua gagal. Ada sesuatu yang tidak logis yang membuat rumahku tidak bisa dimasuki oleh siapapun.

“Nyai Rara Mayit masih di sana.. kamu masih diincar,” Terdengar suara kakek tuna netra itu yang memperingatkanku.

“Nyai Rara Mayit?” tanyaku bingung.

“Sudah, Lastri. Sekarang kamu ikut bude dulu ya. Biar bude yang menjelaskan semuanya,” Ucap Bude Diah.

EMPAT PULUH HARI

Saat ini aku tengah terbungkus kain kafan.

Mati?

Belum… aku masih hidup. Namun ini adalah ritual agar sosok Nyai Roro Mayit itu tidak menemukan keberadaanku.

Aku sendiri saat ini tinggal di rumah Bude Diah yang tidak diketahui oleh anggota keluarga Darmono. Di sinilah cerita tentang apa yang terjadi pada keluarga kami diceritakan oleh bude dengan gamblang.
Aku adalah tumbal pesugihan berikutnya…

“Bapakmu sudah lelah, Nduk. Ia sedang mencari cara untuk mengentikan perjanjian ini..” Jelas Bude Diah.

Rupanya, bapaklah yang meminta pakde dan bude untuk pergi ke rumah dan menolongku. Ia sudah membaca kemungkinan terjadinya hal ini.

Perjanjian yang dimaksud oleh Bude adalah sebuah ikatan yang terjalin antara Bapak dan Ibuku dengan entitas yang menghuni tempat keramat di sebuah bukit, yang sering disebut sebagai Punden Mayit.

Bude Diah mengisahkan bahwa pada saat itu, Ayahku dan Ibuku tidak mampu menahan derasnya cemoohan dari orang-orang yang merendahkan mereka karena kondisi keuangan keluarga yang sangat sulit.

Bahkan, beberapa saudara kami bahkan menolak mengakui Bapak sebagai kerabat mereka karena hidup kami yang sangat menderita. Dan pada titik itulah, keputusan berat ini diambil.
Mereka pergi ke Punden Mayit,

tempat yang dianggap keramat dan dipercayai sebagai tempat di mana Nyai Rara Mayit bersemayam.

Di sana, mereka menjalani ritual yang rumit dan mengerikan yang melibatkan penelanan gumpalan rambut putih yang mereka dapatkan dari Punden Mayit.

Dalam kegelapan malam, mereka menelan gumpalan rambut putih itu sebagai bentuk perjanjian dengan Nyai Rara Mayit.
Gumpalan rambut itu hanyalah simbol, namun dibalik itu Rara Mayit meminta sebuah perjanjian.

Bapak harus menikah dengan Rara Mayit dan melakukan hubungan terlarang pada malam malam tertentu. Bapak yang sudah gelap mata pun menyetujui itu tanpa sepengatahuan ibu.

Setelah kembali, hidup kami mengalami perubahan yang sangat signifikan.

Keluarga kami tiba tiba menjadi kaya dan dihormati di desa. Namun, kebahagiaan itu nyatanya datang dengan biaya yang sangat besar. Adikku dan aku terpaksa menjadi tumbal untuk perjanjian tersebut.

Dan, saat waktuku telah habis di dunia ini, giliran Ibuku dan Bapak yang akan menjadi korban selanjutnya dari perjanjian yang kelam itu.
Saat ini bapak masih belum kembali.

Bude mengatakan bapak masih mencari orang-orang yang mungkin bisa menolong kami,

sedangkan kondisi ibu membuatku khawatir. Setelah kejadian malam itu, mental ibu tidak stabil. Terkadang ia sering tertawa-tawa sendiri seperti orang gila, hingga Pakde memutuskan menitipkan ibu sementara di rumah sakit jiwa.

Menurut mereka, masalah terbesar adalah aku.
Umurku hanya empat puluh hari setelah Nyai Rara Mayit menunjukku sebagai tumbalnya. Selama empat puluh hari itu teror akan terus terjadi. Aku mengingat setelah melihat sosok itu, hari berikutnya aku memuntahkan gumpalan rambut,

tak berapa lama ibu mencoba membunuhku, tapi jika aku mati oleh ibu, itu belum empat puluh hari?

“Setan itu sadar kalau ayahmu ingin berbuat sesuatu, mungkin saat itu setan itu ingin memberi peringatan kepada ayahmu dengan membunuhmu lebih cepat,” Jelas Bude.

Belum ada orang yang merasa mampu untuk mengatasi masalah ini. Pakde mempunyai kenalan seseorang yang mengerti dengan hal seperti ini, namun ia pun tidak berani bila harus menghadapi makhluk itu.

Ia hanya memberi cara, satu-satunya cara agar tidak ditemukan oleh Nyai Roro Mayit adalah aku harus dipakaikan kafan dan dikelilingi kembang tujuh rupa sebelum matahari terbenam sampai matahari terbit.
Hal ini harus dilakukan kepadaku sampai masa empat puluh hari itu terlewati.

Aku tidak memiliki pilihan lain selain pasrah kepada keputusan bude dan pakdeku. Mereka terlihat benar-benar khawatir dan merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada keluarga kami.

KAIN KAFAN

Berbaring di balik kafan ini bukanlah hal yang mudah. Selain harus berada disini selama dua belas jam, semakin lama aku mulai merasakan keanehan.
Mungkin Nyai Rara Mayit tidak menemukanku, tapi makhluk-makhluk halus di sekitar tempat ini mulai tertarik kepadaku.

Aku mulai bisa melihat mereka.

Aku bisa melihat sosok pocong yang menempelkan dirinya di langit-langit rumah dan terus memandangku dari atas. Aku bisa melihat sosok setan berekor yang merayap di dinding dengan wajah yang mengerikan.

Aku juga bisa melihat sosok wanita berwajah pucat mengintip kami dari balik jendela.
Ini terlalu mengerikan..
Beruntung selama dalam ritual kafan ini selalu ada setidaknya satu orang yang menemaniku.

Setidaknya ketika aku ketakutan, aku akan mengajak ngobrol mereka untuk mengusir rasa takutku.
Empat puluh hari pun berlalu. Kakek tuna netra itu datang bersama pakde dan melihat keadaaanku.

Rupanya ia juga seorang pelaku spiritual yang memang sejak awal khawatir dengan keadaanku.

“Nduk, kamu selamat. Tapi ini tidak selamanya… “ Ucapnya.
Bude Diahpun melepaskan kafan itu dari tubuhku dan melipatnya.

Sementara aku mempertanyakan tentang ucapan kakek itu.

“Maksudnya bagaimana, Mbah?” Tanyaku.

“Cakra, ayahmu sudah menemukan seseorang yang bisa menghalau Nyai Rara Mayit dari dirimu. Namun itu hanya sementara.

Ketika orang itu wafat atau melemah, Setan itu akan mencari celah dan membalas dengan lebih kejam,” Jelas Kakek itu.

Mendengar ucapan itu aku pun menelan ludah takut membayangkan seandainya hal itu terjadi.

“Lantas saya harus bagaimana, Mbah?” Tanyaku lagi.

“Mbah juga tidak tahu, tapi jika kamu ditakdirkan untuk selamat yakinlah kalian akan selamat. Hanya Tuhan yang mengatur hidup dan matinya seseorang,” Ucapnya.

Aku setuju dengan pernyataan itu. saat ini yang bisa aku lakukan hanya berserah kepada Yang Maha Pencipta sembari mencari cara untuk memperbaiki keadaan ini.
Awalnya, aku mengira pernyataan itu merupakan pukulan terberat dari semua masalah ini.

Namun setelahnya, aku baru mengetahui sebuah kenyataan yang membuatku hampir tidak mampu mempertahankan kesadaranku.
Kabar itu seolah menjadi pukulan terberat dalam hidupku, namun tak disangka,

kebenaran yang baru saja terungkap membuatku hampir kehilangan pegangan pada kenyataan. Ibu, tampaknya, akan terperangkap dalam lorong-lorong rumah sakit jiwa untuk waktu yang cukup lama. Sementara Ayah, kehadirannya tak mungkin lagi menyatu bersama kami.

Saat berita itu mencapai telingaku, air mataku mulai menetes tanpa henti...

Pakde memberikan kabar pahit bahwa jasad Ayah ditemukan di sebuah hotel tua di wilayah Lamongan.

Tubuhnya penuh dengan borok dan rambut putih berserakan di sekitarnya. Terungkap bahwa Ayah berhasil menemukan seseorang yang dapat melindungiku dari ancaman Nyai Rara Mayit, namun sayangnya, orang itu tidak dapat melindungi Ayah.

Dalam perjalanannya yang kelam, Ayah hanya bisa merelakan dirinya menjadi pelampiasan bagi setan itu. Ia pun harus menutup matanya sebagai ganjaran atas dosa yang dilakukan bersama Ibu.

Ketika memahami kenyataan itu, kesedihan dan kehilangan merajalela dalam diriku.

Hidupku seakan-akan runtuh, meninggalkan luka-luka yang tak terobati. Ayah, yang seharusnya menjadi pelindung, harus pergi meninggalkan kami sebagai konsekuensi dari pesugihan yang dulu kami lakukan.

TAMAT
close