Legenda Ki Ageng Selo (Part 20) – Test of Faith
.jpg)
JEJAKMISTERI - Tanpa bergeming sedikitpun, Mela dengan senang hati menerima tusukan pisau itu. Meski tusukan itu mengenai perutnya, namun tiada setetes darahpun yang keluar, malah diriku sendiri yang terkapar, bersimbah penuh darah yang keluar dari perutku.
“Risa, antarkan mereka berdua untuk pulang ke kediaman keluarga Marwan sekarang, dan kembalilah sebelum ada siapapun yang melihatmu!” suruh Mela kemudian membalikkan badan, membelakangiku.
Kulihat saat itu, dia meneteskan air mata, entah air mata penyesalan atau air mata kebahagiaan. Setelah itu, aku jatuh pingsan.
“Baik, nona!”
Risa pun bersiul, dan muncul sebuah lubang dimensi di depannya. Banyak yang menyebut ini adalah ajian gaib Lara Welut. Kemudian dia masuk ke dalam ruang itu dengan membawa kami berdua yang masih pingsan itu memasukinya.
Ruang dimensi ini berbeda dari ruang yang ada di alam gaib atau semacamnya, ruang dimensi dari Lara Welut ini kita berjalan di luar angkasa yang tak berujung. Namun dalam hal ini, kita hanya bisa berjalan lurus, dan tak bisa bergerak ke kiri dan ke kanan, karena ada sebuah jurang curam yang berwarna hitam pekat siap menyantap apapun yang memasukinya.
“Kau beruntung, Umam. Kau datang di saat Nyi Imas sedang tidak mengambil alih tubuh nona Mela. Kalau tidak, mungkin kau sudah mati saat itu,” gumam Risa datar, tanpa emosi sedikitpun (Kuudere dalam anime jepang). “Tapi, jangan harap nona Mela akan murah hati seperti tadi, karena seratus hari dari sekarang, tepat bulan purnama merah, Nyi Imas akan mengambil alih total atas jiwa dan tubuh nona Mela,”
“Apa maksudmu itu?” tanya Aris yang tanpa disadari sudah bisa berdiri dan luka-lukanya sembuh. “Apa yang terjadi dengan putri keluarga Immas itu?”
“Kau? Oh, ternyata keturunan Mbok Inah hebat juga ya? Padahal racun yang kami masukkan ke teh darah itu sangatlah kuat dan bahkan ahli kanuragan maupun indigo sekalipun takkan mampu mengetahui akan racun itu!”
“Hm... kau terkejut? Sepertinya sikapmu biasa-biasa tuh!” kata Aris yang mencoba pengobrolan sedap dengan Risa. “Iya memang benar, aku pun takkan mampu mengetahui kalau di dalam teh manis itu ada racun darah, bahkan aku sempat terluka parah karenanya, namun tidak mustahil buatku meregenerasi bagian-bagian tubuhku yang sudah hancur,”
“Apa maumu?” tanya Risa sinis.
“Aku tak mau apa-apa darimu. Aku hanya menginginkan ceritamu itu, dan apa hubungannya hal itu dengan teman baikku,” jawab Aris yang mencoba merayu Risa untuk menceritakan sebuah petaka yang pernah dan akan terjadi dalam keluarga Immas. “Kau pastinya tahu sesuatu mengenai putri itu, ‘kan? Atau mau kuucapkan sebuah kata yang bakal membuatmu tertarik, hm?”
Risa masih menatap sinis ke Aris kala itu. “Nona Mela bagaikan sesosok peri emas kecil yang masih tumbuh berkembang menjadi sesosok nona yang cantik dan anggun,”
“Apa maksudmu?”
“Dia bisa mengabulkan setiap permohonan yang selalu tersirat dalam hati manusia. Dia tak tahu dengan kemampuannya itu, namun karenanya dia dikutuk,” jawab Risa menjelaskan. “Terlebih lagi di hari kematian adiknya, nona Vira. Hari itu ada jutaan kekuatan jahat yang menanggapi panggilan kesedihan dari Nona Mela.”
“Terlebih Nyi Imas, ‘kan?” sahut Aris mengerti. Risa pun hanya mengangguk, menyetujui apa yang barusan dikatakan oleh Aris.
***
Aris keluar dari lubang dimensi itu dengan menggendongku yang masih tak sadarkan diri. Ternyata lubang dimensi itu tepat mengarah ke depan pintu kediaman Marwan.
Ternyata di sana sudah menunggu kak Vita dan Danang. Sepertinya mereka tahu kalau semuanya tak berjalan sebagaimana yang aku kehendaki. Dengan cepat, kak Vita menyuruh Aris untuk membawaku ke kamarnya, sementara Danang memanggil Pak Sutrisno, dokter pribadi keluarga Marwan.
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanya ibuku cemas.
“Ibu tak perlu khawatir, dek Umam sudah saya obati, dan luka-luka dalamnya sudah saya jahit,” jawab dokter Sutrisno mencoba menenangkan ibuku. “Kalau boleh tahu, ada apa ini sebenarnya? Mengapa dek Umam bisa terluka seperti ini?” tanya balik dokter Sutrisno.
“Ah, ini cuman family matter saja, dok!” kata ibuku yang mencoba menutupi rahasia tentangku kepada dokter Sutrisno. “Lagian dokter pasti takkan percaya dengan hal-hal gaib bukan?”
“Maaf, nyonya Erna. Saya tak bermaksud lancang atau semacamnya, namun aku juga percaya akan hal-hal gituan, bu. Sudah banyak kejadian gaib-gaib yang tak bisa dinalar terjadi terhadap pasien-pasien saya, apalagi saya sudah jadi dokter pribadi untuk keluarga Marwan ini selama lima belas tahun,” jawab dokter Sutrisno mencoba mencari jalan tengah atas tuduhan ibuku. “Kalian semua tahukan kalau almh. Mbok Ruqayah, istri dari Mbah Jayos pernah menyembuhkan istri dan anak laki-lakiku yang di santet mantan rekan kerjaku. Mulai dari situlah aku mempercayai akan hal-hal gaib dan berhutang budi pada keluarga kalian,”
Malam harinya, banyak sanak saudara dan tetangga juga teman-temanku yang menjengukku di rumah. Mereka mendapat kabar burukku dari adikku lewat whatsapp, dan berita itu langsung diterima oleh Niken, yang merupakan teman dari Danang, dan dari situ, menyebar ke seluruh sekolah.
Mereka semua datang membawa oleh-oleh jajan yang teramat banyak, bahkan takkan habis untuk seminggu kedepan. Dan pastinya orang yang merebut jajan-jajan itu adalah kedua adik perempuanku, Leina dan Tiara. Soalnya mereka terlalu Greedy sama yang namanya oleh-oleh.
“Ini punyaku!” kata Tiara.
“Tidak! Ini punyaku!” sahut Leina.
Mereka berdua saling berebutan jajan yang diberikan Niken. Keluarga Niken, yaitu keluarga Prida adalah salah satu keluarga darah biru yang disegani di Jawa, jadi tidak heran jikalau dia membawa jajan yang begitu mewah, sampai membuat kedua adik perempuan serakahku itu rebutan.
Keduanya masih saja berantem sampai datang Danang yang langsung menjitak kepala mereka berdua.
“Berisik! Di ruang tamu ada banyak orang dan kak Umam sedang beristirahat. Jadi mengertilah sedikit!” kata Danang memberi nasehat kepada keduanya.
“Dasar, ah! Kak Danang jahat!” mereka berdua ngambek. “Kak Danang pemarah, tak seperti kak Umam yang baik hati,” tambahnya.
“Maaf saja ya kalau kakak tak sebaik kak Umam. Namun, lihat hasil didikannya pada kalian berdua? Dia begitu memanjakan kalian, sampai di usia kalian yang hampir menginjak sembilan tahun, kalian masih tak tahu akan tata krama!” Danang balas meledek. Kali ini dia dengan telak mengalahkan kedua gadis kecil itu dengan sepotong kalimat menohok.
Malam itu rumah kami terasa begitu hidup dengan suara obrolan-obrolan dari orang-orang yang menjengukku hari ini. Aku benar-benar bersyukur jikalau ada orang yang memperhatikanku setelah sebelumnya, aku sama sekali hampa.
***
Dua hari berlalu semenjak aku tertidur terus di atas ranjang. Semua sanak saudaraku bergantian untuk saling menjagaku, menunggu aku siuman. Namun sampai saat ini, aku masih tetap tertidur.
Padahal, sebenarnya aku tak merasa kalau aku sedang tertidur, namun malah aku sedang berada di alam mimpi. Di sana aku bertemu dengan tiga orang yang sangat aku sayangi, Kakung (Kakek) Satori, Kyai Marwan, dan Astrid.
Mereka saling bertukar senyuman indah padaku. Mereka menyemangatiku dan memasrahkan apa yang akan kulakukan tentang keluarga Immas padaku. Entah aku mau mendamaikan kedua keluarga kami, atau menghapus eksistensi keluarga itu dengan membunuh Mela dan menciptakan perdamaian di dunia.
“Yang dikatakan oleh Jayos itu benar, Umam! Kau harus tetap mengajaknya menjadi pasanganmu di test itu,” kata Kyai Marwan memberikan saran. “Jayos adalah putraku yang takkan membuat orang lain melakukan sesuatu yang tak ia rencanakan dan tahu sebelumnya. Mungkin ada sebuah alasan kuat mengapa dia menyuruhmu!”
“Tapi, dia sudah bukan Mela yang kukenal dulu. Bahkan aku sudah tak melihat sosok Mela yang manja dan ceria seperti dulu.” Jawabku murung, mengepal tangan menahan amarahku yang mulai muncul. “Bahkan dia sudah melukai sahabat baikku!”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan, cucuku?” tanya kakung Satori serius. Aku tak bisa menjawab pertanyaan kakungku itu. Entah apa yang harus kulakukan atas Mela nantinya.
Astrid yang berada di sampingku tersenyum teramat manis dan hangat, membuatku menyadari kalau selama ini dia memang benar-benar cantik, walaupun kutahu kalau dia telah tiada.
“Kalau begitu, bukankah sudah jelas, Mam? Hatimu sudah move on dariku, dan sepertinya kau sudah menganggap Mela lebih dari seorang sahabat sama seperti saat kau masih bersamaku. Kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan. Aku percaya itu!” kata Astid yang benar-benar tahu akan perasaanku.
“Astrid, aku...”
Dia hanya menggeleng. “Tak perlu bicara apapun lagi, Mam. Kamu memang seseorang yang terlalu baik sama orang lain. Bahkan kebaikanmu itu sering membuat seorang gadis yang berada di sampingmu itu terluka, kau tahu itu?”
Astrid kemudian langsung menciumku sembari menangis, mengungkapkan kerinduannya padaku. Saat Astrid menciumku, aku dapat merasakan kehangatan luar biasa, sama seperti saat dia masih hidup dulu.
Kehangatan itu secara tiba-tiba menghapuskan luka (seperti besi berkarat yang terus menyebar) dan membuatku sembuh.
“Le, cucuku. Ada sebuah alasan kuat mengapa kau kami bawa kemari. Dan itu adalah...” ujar kakung Satori tegang. Aku mendengar setiap kata-katanya yang mau dikatakan, dan setiap kata yang ia lontarkan, mampu membuatku menelan ludah dan bergidik ngeri akan apa yang dikatakannya.
Namun sebelum aku sempat bertanya masalah itu, aku akhirnya terbangun juga.
Setelah tersadar, aku lihat kakak dan ketiga adikku sedang tertidur lelap di sampingku. Melihat saudara-saudariku itu membuat hatiku terharu. Tak kusangka di balik sikap manja, egois, dan sinis mereka, mereka masih peduli terhadap saudaranya.
Tak mau membangunkan mereka, karena tahu kalau mereka baru saja tidur, aku segera sisihkan tangan-tangan mereka dari kaki dan juga pundakku. Setelah itu, aku bangun dan segera pergi ke kamar mandi.
Selesai mandi, aku masih memperhatikan mereka yang masih tidur pulas, kubiarkan mereka dan bergegas keluar dari kamar. Sesaat aku keluar, dari balik pintu sudah menunggu Nana yang hendak membangunkan kak Vita. Aku segera mencegahnya dan kutarik dia untuk menuruni tangga atas dan kuajak ia bicara di ruang tamu bawah.
“Nana, biarkan kakakku untuk tidur nyenyak hari ini,” ujarku ke Nana, dia hanya menatapku kosong dan sinis, tanpa emosi apapun. Mungkin ini ya yang disebut sebagai cewek kuudere. “Kakakku sudah kelelahan karena kemaren menjagaku terus bersama adik-adikku. Jadi sebaiknya kau biarkan ia beristirahat!”
Nana pun mengangguk, “Baik, tuan Umam! Tapi kedatanganku di depan kamarmu bukan karena itu, namun aku ada perlu dengan tuan muda,”
“He, aku? Ada apa?”
“Sebelum itu, bukankah seharusnya tuan segera berangkat ke padepokan Abdurrahman, tuan?” tanya Nana yang malah balik bertanya, seolah mengalihkan pertanyaanku tadi. “Hari ini bukankah hari di mana Test of Faith itu digelar, kenapa tuan muda masih malas-malasan saja?”
Aku tersentak kaget mendengarnya. “Apa!? Hari ini?!”
Nana mengangguk dan aku bergegas untuk kembali ke kamar untuk menyiapkan segala keperluanku untuk mengikuti test itu. Namun tak kusangka semua keperluanku sudah siap, lebih tepatnya adalah sudah ada yang menyiapkannya.
Kak Vita.
Ya, kakak manja dan anehku itu sudah menyiapkan segala keperluanku. Dari mulai bekal makan-minum, uang jajan, buku-buku, dan sebagainya.
“Kak, Vita, kau yang menyiapkan semua ini?” tanyaku.
Dia menggeleng. “Tidak, kemaren malam kami berempat gotong royong membantumu menyiapkan persiapan untuk test itu karena kami yakin kau akan tergesa-gesa menyiapkan bekal mengetahui kalau ujiannya akan dimulai di saat kau bangun. Pagi ini, aku hanya memasukkan segala keperluan yang sudah kami siapkan kemaren ke dalam tas ranselmu, Mam!”
“Terima kasih, kak!”
“Jangan berterima kasih padaku saja, tapi kepada adik-adik kita nantinya. Selain itu juga kau terlalu cepat mengucapkan terima kasihmu itu, Mam!” jawab kak Vita sambil tersenyum kecut. “Berterima kasihlah ketika kau mampu melewati ujian ini. Mungkin dari seratus peserta kali ini yang akan lolos hanya segelintir saja, dan yang lainnya akan menghilang ataupun mati.”
“Cih! Mereka mengadakan ujian ini cuman menginginkan pengorbanan darah-darah pemuda-pemudi yang tak tahu apa-apa mengenai apa yang akan mereka hadapi dalam ujian ini. Itu membuatku muak!”
“Jangan terburu-buru berkata demikian, Mam. Mereka semua adalah putra-putri dari keluarga jawara maupun dukun seantero nusantara yang dulu sempat membantu pendahulu kita, Kyai Marwan dalam menghadapi Nyi Imas. Jadi, meskipun mereka nanti mati, namun kuyakin mereka akan hidup kembali karena ajian Pancasona mereka,” jawab kak Vita yang sama sekali tak mengkhawatirkan mereka.
“Syukurlah kalau begitu,” aku lega mendengarnya.
“Namun ada juga di antara mereka yang akan benar-benar mati dan menghilang, Mam, tanpa ada seseorang yang mengingat dan juga mengkhawatirkan mereka. Apa kau tahu kalau ada sebagian kecil dari keluarga mereka yang tak mau menganut ilmu-ilmu kanuragan?” kata kak Vita mulai kecut. “Jikalau mereka mendapati ajal mereka di dalam ujian itu, mereka akan benar-benar mati!”
Aku geram mendengarnya. “Lalu buat apa mereka diizinkan untuk mengikuti ujian berbahaya itu!?”
“Ini semua karena adat. Adat yang ada dan disepakati antara Kyai Marwan dengan ketujuh puluh dua kyai, pemuka agama lain, dukun, dan para jawara, Mam!” jawab kak Vita sendu. “Karena adat inilah kakak harus kehilangan banyak teman empat tahun lalu, dan karena inilah dirimu harus gagal lolos dalam ujian itu dan harus merelakan Astrid,”
“Aku takkan membiarkan siapapun yang kusayangi meregang nyawa untuk kedua kalinya, kak! Aku percaya akan hal itu!”
Setelah bicara cukup lama dengan kakakku, aku segera diantar ke ponpes Abdurrahman oleh Pak Joko. Sampai di tengah jalan, aku melihat Mela sedang melambai-lambai ke arah mobilku dari halte bus di pinggir jalan. Dengan segera kusuruh Pak Joko untuk menghampiri Mela dan seolah tak pernah terjadi sesuatu beberapa hari lalu, kupersilahkan Mela untuk masuk ke mobil.
Hari ini, dia akan menjadi partnerku dalam ujian Test of Faith kali ini. Setelah mendapat amanah dari mimpiku, aku tak berani membatalkan keinginanku untuk menjadikannya pasanganku kali ini, apalagi setelah kejadian beberapa waktu lalu. Namun, hari ini dia terlihat seperti Mela yang kukenal dulu, jadi aku memutuskan untuk tetap mengajaknya, walaupun agak risih sebenarnya di mana dia terlalu lengket denganku.
“Mela, apa kabarmu?”
“Baik-baik saja, darling. Kemaren aku ingin menjengukmu di rumah, namun Risa melarangku, jadi... maaf!” jawab Mela sembari tertunduk penuh dengan penyesalan. “Kata Risa aku ya yang melukaimu? Apa itu benar, darling?” tambahnya yang balik bertanya padaku.
“Eh, nggak kok!” jawabku mengelak, menutupi semua kejadian itu dari Mela. Kata Aris yang mendengar dari Risa sendiri, Mela mempunyai ketidakstabilan mental yang mana membuatnya tidak mengingat akan apa yang telah ia lakukan sebelumnya.
“Oh ya, darling. Kenapa sms dan teleponku kemaren gak kau jawab? Kemaren aku benar-benar khawatir tau!”
“Ah, nggak apa-apa kok. Kemaren aku sudah tidur lebih awal jadi...” jawabku yang tak ingin menjawab pertanyaannya tadi. Tadi pagi kulihat smartphoneku sudah ada lebih dari rua ratus sms dan seratus panggilan masuk dari nomer si Mela ini. Duuh, dasar gadis aneh!
Sesampainya di ponpes Abdurrahman, kami berdua turun dari mobil. Tak lupa juga kami berpamitan dengan Pak Joko dan setelah itu, pak Joko pun berlalu.
Kami berdua berkumpul di halaman ponpes dan melakukan upacara bendera dan upacara adat budaya dari seluruh nusantara. Eits sebelum kalian berpikir aneh-aneh, upacara adat ini bukanlah upacara yang musyrik kok, cuman memamerkan adat-adat yang ada di seluruh penjuru nusantara.
Setelah itu, kami semua dikumpulkan di sebuah aula ponpes di mana kami diberi instruksi mengenai ujian tahun ini. Di sana dari kesekian banyak peserta, ada seorang pemuda yang menatap gairah kepada Mela, namun menatap apatis padaku. Aku sih tak mempedulikan itu, namun lain hanya dengan Mela. Dia sudah terlihat ketakutan dan mengencangkan pegangan tangannya ke lenganku membuatku risih.
Duh! Padahal kamu bisa melukaiku dan juga temanku, lalu kenapa kau bisa takut melihat tatapan gairah pemuda itu? Pikirku.
Setelah pembicaraan yang panjang dan tak ada artinya, akhirnya kini Mbah Jayos, selaku mentor utama segera naik ke panggung untuk memberikan sepatah dua patah kalimat yang akan dia sampaikan pada para peserta.
“Ehm, oke anak-anak. Saya ke sini akan memberikan sepatah dua patah kata bagi peserta yang akan mengikuti ujian Test of Faith ini,” kata Mbah Jayos membuka pidato. “Seperti yang kalian ketahui kalau dalam ujian ini, kalian harus mengerahkan segala kemampuan yang kalian punya untuk kembali menyegel para demit-demit ke dalam Angus Poloso. Oleh karena itu, kalian harus mencurahkan segalanya dalam ujian ini, baik harta, semangat, kemampuan, bahkan nyawa kalian. Dari seratus peserta, saya memastikan hanya tiga puluh orang saja yang akan bisa keluar dengan selamat dari ujian ini dan yang lainnya akan meregang nyawa maupun hilang!”
***
Gerbang gaib
Setelah pembicaraan yang panjang dan tak ada artinya, akhirnya kini Mbah Jayos, selaku mentor utama segera naik ke panggung untuk memberikan sepatah dua patah kalimat yang akan dia sampaikan pada para peserta.
“Ehm, oke anak-anak. Saya ke sini akan memberikan sepatah dua patah kata bagi peserta yang akan mengikuti ujian Test of Faith ini,” kata Mbah Jayos membuka pidato. “Seperti yang kalian ketahui kalau dalam ujian ini, kalian harus mengerahkan segala kemampuan yang kalian punya untuk kembali menyegel para demit-demit ke dalam Angus Poloso. Oleh karena itu, kalian harus mencurahkan segalanya dalam ujian ini, baik harta, semangat, kemampuan, bahkan nyawa kalian. Dari seratus peserta, saya memastikan hanya tiga puluh orang saja yang akan bisa keluar dengan selamat dari ujian ini dan yang lainnya akan meregang nyawa maupun hilang!”
Mereka semua terdiam, tak ada yang berani atau memang sudah tahu akan resikonya. Aku pun juga terdiam mengetahui kalau hal ini telah diceritakan oleh kak Vita, namun namun berbeda dengan Mela, dia sudah terlihat ketakutan setengah mati, bahkan tangannya sama sekali tak terlepas dari pelukannya kepadaku.
“Mela kau takut ya?” tanyaku khawatir.
“Eh, nggak kok. Cuman ini adalah pengalaman pertamaku, jadi...” jawabnya mencoba menutupi rasa ketakutannya itu.
“Itu namanya kau ketakutan, tau! Nggak apa-apa kok, ada aku di sini yang siap melindungimu.”
Kemudian terdengar suara dari atas mimbar, Mbah Jayos seperti melihatku yang tengah menenangkan ketakutan Mela. “Oke, anak-anak. Sebelum ujian ini di mulai sebaiknya kalian segera beristirahat terlebih dahulu sekaligus mencari dan membentuk tim kalian.”
Dari penjelasan Mbah Jayos di atas aku berhasil mengambil beberapa kesimpulan dalam pembentukan tim nanti. Setiap tim harus mempunyai lima anggota, dan partner itu tidak dihitung sebagai anggota, jadi kami harus mengumpulkan sepuluh orang, jikalau partner mereka ikut dihitung.
“Anoo, maukah kau menjadi salah satu regu timku?” tanya seorang gadis sembari menarik-narik pakaianku dari belakang. Aku menoleh ke belakang sampai kedua mata kami saling berpapasan.
“Meme Febtyana,” ucapku yang terkejut melihatnya.
“Eh, kak Umam. Aku tak menyangka kakak bisa ada di sini. Ikut Test of Faith lagi ya kak?” jawabnya sembari balik bertanya. “Oh ya, gimana kabar Danang?”
“Ah, biasalah. Tiga tahun lalu aku gagal dalam ujian ini, jadi aku harus mengulang lagi deh!” jawabku sekenanya. “Soal Danang, dia masih seperti dulu kok. Lain kali kau mampir saja ke rumah kalau ada waktu,”
Meme Febtyana ini adalah pacar atau lebih tepatnya tunangan dari Danang. Dia adalah sesosok gadis yang mampu menyembuhkan rasa trauma Danang saat ia dihianati oleh Dewi Anjar yang telah menipunya mentah-mentah.
Melihat obrolan akrab kami, Mela yang berada di sampingku itu merasa diacuhkan, dan hal itu membuatnya tak nyaman. Dengan segera, dia mengarahkan telunjuk tangannya ke arah Meme, dan dengan tatapan kosongnya, dia berkata, “Darling, apakah aku boleh membunuh gadis ini? Aku tak suka diacuhkan oleh orang yang kucintai. Jadi, sebelum gadis ini ikut campur, bolehkan jikalau aku membunuhnya?”
Ucapan Mela langsung membuat kami berdua tak nyaman. “Tenang, Mela, tenang! Meme ini adalah pacar adikku, jadi mana mungkin aku ada rasa padanya,”
Dengan segera Meme segera mengajak Mela berkenalan, ya walaupun aku tahu dia terlihat sedikit takut, “Aku Meme, pacarnya Danang. Salam kenal ya?”
Mela pun kembali ke kondisinya semula dan bergegas memperkenalkan diri pula. “Aku Mela, tunangannya Umam. Salam kenal juga!”
Mereka berduapun akhirnya bersalaman. Melihat tingkah Mela barusan, membuat Meme mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam timku. Namun setelah kukatakan kalau dalam ujian kali ini akan banyak petaka yang menimpa, dia pun memutuskan lagi untuk masuk ke dalam timku.
Duh! Apaan yang barusaja aku rasakan ini. Mela yang begitu manja itu ternyata memiliki sikap seperti itu. Sikap seorang yandere yang begitu over dalam mencintai seseorang. Tak mau memperburuk suasana, aku ajak mereka berdua untuk berjalan menyusuri koridor-koridor kelas di ponpes itu dan berharap ada seseorang yang mau bergabung ke tim kami.
“Oh ya, Feby. Pasanganmu mana?” tanyaku baru teringat mengenai pasangan Meme yang belum muncul.
“Oh, entahlah! Tidak biasanya Siti seperti ini,” jawab Meme yang menengok ke kanan ke kiri mencari pasangannya itu. “Umam, bisakah kau bantu aku mencarinya?” pintanya. Aku sih fine-fine aja, tapi tidak dengan Mela. Dia menatap Meme sudah seperti ingin membunuhnya. Walaupun begitu, aku tetap membujuknya supaya mengerti, dan akhirnya aku pun mendapat izinnya.
Aku meninggalkan Mela di depan kantin sementara kami berdua segera mencari Siti dari segala tempat yang ada. Ruang kelas, asrama, mushola dan sebagainya, namun tak ditemukan batang hidungnya.
Setelah lama pencarian, kami berdua menemukannya tepat di kamar mandi. Di sana dia melakukan sesuatu yang bahkan orang gila takkan mau melakukannya. Naudzubillah Min Dzalik...!
Dia menggaruk-garuk perutnya sampai sobek dan ketika darah mengucur, dia menadahi darah yang keluar itu dengan kedua tangannya dan kemudian dia minum darahnya sendiri.
Aku benar-benar mual melihatnya, bahkan hampir saja membuatku muntah. Namun ketika aku hendak menolongnya dan mengantarnya ke lokasi para mentor, dari belakang, Meme tiba-tiba menusukkan pisau yang ia bawa, mengenai punggungku.
Mereka berdua kesurupan!
Untung saja kala itu, mengetahui ada yang janggal kepada Meme, aku bergegas memasukkan sebuah katon ke dalam pakaian belakangku, sehingga tusukan pisau itu sama sekali tak melukaiku. Dengan segera kubalikkan badanku dan kupukul bagian perutnya sehingga ia mengaduh dan lemas. Aku pukul untuk kedua kali dan akhirnya dia pun jatuh pingsan di sana.
Setelah itu, aku bergegas menuju ke tempat para mentor berada dan memberitahukan apa yang terjadi kepada anggota timku. Dengan segera dua orang di antara mereka datang menolongku untuk membopong Meme dan Siti ke mushola dan meruqyahnya.
Butuh waktu sejam lebih bagi para ustadz dan ulama di sana untuk meruqyah Feby dan Siti. Namun perjuangan keras mereka membuahkan hasil, dan Feby (kusebut saja Feby biar enak daripada Meme) juga Siti akhirnya siuman.
Sebelum itu terjadi...
“Hahaha... aku adalah penguasa malam dan kegelapan. Kuikat jiwa dan tubuh gadis ini untuk mengakhiri gadis yang bersamamu, cicit Kyai Marwan,” Feby teriak-teriak sembari mengarahkan telunjuknya ke arahku. Para ustadz dan ulama lain lagi membaca doa.
“Mela? Apa urusan demit macam kau dengannya, he!?”
“Dia adalah kegelapan itu sendiri. Lepaskan kami anak muda, kau akan tahu sendiri kalau gadis itu tidaklah sebaik yang kau duga,” sahut Siti yang menyahuti pembicaraan kami. “Tidak hanya kami yang sedang mengamati gadis itu, namun ada ribuan, tidak jutaan demit dan iblis yang sedang memata-matai gadis itu sekarang. Dan begitu kalian lengah, maka nyawa gadis itu akan melayang di tangan kami. Hahaha!”
“Demi Allah, dan demi keagungan kalam-Nya. Jangan bicara yang tidak-tidak mengenai tunanganku. Iblis keparat!”
Sesadarnya mereka dari kesurupan, mereka berdua bilang tak tahu apa-apa. Feby pun tak tahu kalau aku mengikuti ujian ini dan dia masuk ke reguku. Itu berarti dia kesurupan sebelum aku bertemu lagi dengannya.
Aku yakin kalau demit-demit yang sudah merasuki Feby dan Siti itu adalah panggilan dari seseorang, karena tak mungkin demit itu tahu kalau aku mengajak Mela untuk mengikuti ujian ini, dan mana mungkin sesosok demit kelas teri mampu merasuki tubuh manusia yang punya garis darah dari Kyai Marwan, selain karena kehendak manusia itu sendiri yang mengizinkannya.
***
Setelah semua kembali normal, aku, Feby, dan Siti bergegas menuju ke halaman ponpes guna mencari anggota. Namun sayangnya kami terlambat. Semua peserta sudah mendapat pasangan mereka masing-masing.
Tak mendapat anggota baru, kami segera kembali ke tempat di mana kutinggal Mela. Di sana sudah berkumpul empat pria yang mencoba merayu Mela untuk ikut ke kelompoknya. Tak tahu mengapa, saat mereka mencoba menyentuh dan meraba tangan Mela yang halus itu membuat tempramenku meninggi seketika dan langsung memukul keempat pemuda itu.
“Kalian jangan ganggu kekasihku!”
“Cih! Berani juga kau?”
Mereka berempat langsung memukuliku secara bergantian. Jujur saja seni bela diriku kalah dengan mereka. Sehingga di sana aku hanya menjadi bulan-bulanan mereka saja. Feby dan Siti tak bisa berbuat banyak untuk menolongku karena mereka hanya gadis yang lemah, sementara Mela, mencoba menolongku namun dia terkena imbasnya pula.
Sampai datang Mbah Ibu yang datang dan melerai perkelahian kami. Melihat cicitnya terluka akibat dipukuli oleh peserta-peserta lain, membuat amarah Mbah Ibu memuncak. Dia hendak mengeluarkan keempat peserta tadi, namun hal itu kucegah.
“Jangan, Mbah Ibu! Kalau kau mengeluarkan mereka, maka akan mempersulit anggota timnya yang lain. Jadi kumohon untuk memaafkan mereka!” kataku yang mencoba membujuk Mbah Ibu. “Lagian aku orang pertama yang memukul mereka, jadi salahnya juga padaku.”
Mbah Ibu akhirnya menghela napas panjang. Dia pun segera mengobati luka-lukaku dengan ajian Sewu Urip miliknya. “Ya udah, nak! Terkadang keputusan baikmu ini bakal menjadi petaka buatmu nanti. Namun, mbah bersyukur kau mempunyai hati yang lapang!”
Setengah jam kemudian, karena kami sudah tak bisa mencari anggota lain, maka kami dipasangkan secara acak dengan peserta yang masih tersisa. Ya walaupun anggota kami kurang dari sepuluh orang, namun setidaknya mereka mempunyai kekuatan mental dan supranatural yang mumpuni.
Mereka adalah: (Umam dan Mela), (Feby dan Siti), (Andre dan Wulan), dan (Agung dan Cici). Karena sudah pernah mengikuti ujian ini, aku diminta oleh semuanya untuk menjadi pemimpin sekaligus penanggung jawab kelompok ini, sedangkan Feby diangkat menjadi wakilnya. Hal ini sedikit membuat Mela cemberut setengah mati, namun pada akhirnya dia pun setuju.
Setelah semua siap, kami semua dipanggil oleh Mbah Jayos ke dalam aula ponpes. Kami adalah tim yang terakhir yang belum dikirim ke dimensi lain oleh para mentor, namun ternyata ini ada alasan buat Mbah Jayos bicara pada kami.
“Le, apa kau tahu mengapa kau kupanggil ke mari?” tanya Mbah Jayos ramah. Tatapan matanya terlihat sejuk untuk dilihat. “Apa kau tahu alasannya mengapa aku menyegel kekuatanmu?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, Mbah. Tapi aku juga tidak mengerti.”
Kulihat Mbah Jayos sedikit melirik ke arah Mela yang masih tak henti-hentinya merangkul lenganku erat-erat, seolah takut dengan tatapan Mbah Jayos padanya.
“Oh begitu? Lalu apa yang tidak kau mengerti itu, nak?” tanyanya.
“Mengapa mbah menyegel kekuatanku? Aku yakin ada alasan lain selain apa yang dikatakan Mbah Gel beberapa waktu lalu. Apa itu?” jawabku yang meminta sebuah kepastian akan alasan mengapa kekuatanku disegel, padahal di ujian kali ini aku sangat membutuhkannya.
“Iya, kalau darling masih punya kekuatan, pastinya dia nggak akan terluka macam tadi, mbah,” seru Mela membelaku.
“Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya kata-katamu, Mam!” sahut yang lain membelaku.
Mbah Jayos hanya tersenyum kecut mendapati pembelaan mereka semua. “Diam kalian semua! Kalian tak tahu apa yang sudah kurencanakan. Aku melakukan semua ini untuk melindunginya!”
Semua terkejut seketika. “Melindungi? Melindungi dari apa?”
“Banyak hal. Kukatakan satu saja alasannya. Melindungi dari kejaran Ki Sugeng, Ki Ujek, dan Ki Susilo. Apa kalian sudah paham?” jawab Mbah Jayos yang sedikit membentak. “Asal kalian tahu, mengajak Mela dalam ujian ini menimbulkan banyak bencana, kalian tahu? Semua sekte sesat yang ada di penjuru negeri ini pada berbondong-bondong ke jawa hanya ingin mendapatkannya!”
“Jadi semua ini salahku?” tanya Mela yang mulai menyalahkan dirinya sendiri. “Jadi aku hanya ada di sini karena diriku dikhawatirkan, bukan karena kau ingin mengajakku begitu, Mam?”
Mela bergegas keluar dari ruang, dan aku langsung menggenggam tangannya dan kupeluk dia. Pertama-tama dia masih memberontak, namun pada akhirnya dia pun menyerah dan membiarkanku menenangkan hatinya.
“Cih! Jadi baper liatnya,” ujar Andre. “Kudenger-denger sih mereka sudah bertunangan. Apa itu benar?”
“Iya, kak Umam itu adalah kakak dari pacarku, jadi aku tahu semua tentang dia. Kalau Mela, ini baru pertama kali aku bertemu dengannya.” Jawab Feby.
Setelah semua siap, kami pun dikirim ke dimensi lain yang menghubungkan ruang dan waktu oleh Mbah Jayos. Entah kita akan dikirim ke tempat mana maupun petualangan apa yang akan kami hadapi, namun satu yang pasti.
Kami akan saling menjaga satu sama lain supaya tim yang kupimpin kali ini berhasil melewati ujian ini tanpa harus kehilangan siapapun.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya