Legenda Ki Ageng Selo (Part 21) – Pelet Pengasihan
.jpg)
JEJAKMISTERI - Setelah melewati lorong waktu milik Mbah Jayos, kami berdelapan sampai di sebuah hutan yang begitu rindang dan sepi. Hutan itu masih begitu asri dan lebat, tidak seperti sekarang yang sudah banyak penggundulan hutan.
Kami semua mulai menyusuri kawasan hutan itu berharap ada sebuah desa ataupun kota yang bisa kita gunakan sebagai tempat untuk berteduh, karena waktunya sudah hampir magrib, dan kami ingin menunaikan shalat maghrib berjamaah di mushola maupun masjid sekitar.
Setelah keluar dari kawasan hutan, kami bertemu dengan orang-orang yang masih lalu-lalang menggotong kayu bakar mereka masing-masing sembari menatap kami dengan tatapan yang aneh dan mencurigakan.
“Cok! Kita ditatap dengan tatapan yang asing,” ujar Andre mengumpat. “Mereka kira kita ini setan atau demit, ya?”
“Biasalah, Ndre! Kita ini kan berbeda zaman dari mereka. So take it easy!” sahut Agung mencoba menenangkan Andre yang emosinya mulai tersulut.
“Udah diam kalian! Sebaiknya kita segera cari warung di sekitar sini. Aku sudah lapar,” ujarku yang mencoba menenangkan suasana. “Feby, ayo ikut aku mencari warung sekitar sini! Kalian berenam tetap di sini ya,”
“Okelah, ketua!” jawab Siti patuh-patuh aja.
Mela langsung mencegatku untuk pergi. “Darling, aku ikut ya?”
“Nggak usah Mela! Kau tetap di sini dan berjaga. Biar aku dan Feby saja yang mencari warung sekitar sini. Kalau bisa, kita akan langsung cari tempat untuk kita menginap malam ini.” Jawabku yang langsung melepaskan tangannya. “Ndre, Gong, kalian tolong jaga Mela ya! Dia soalnya mempunyai sikap layaknya gadis kecil. Bisa?”
“Okelah, Mam!” sahut mereka berdua santai.
Kami akhirnya sampai ke sebuah warung yang buka malam itu. Di sana kami mendapat sambutan yang kurang mengenakkan dari pemilik warung dan para pengunjung warung tersebut.
Mereka menatap kami aneh, sinis, dan apatis. Seolah kami ini orang asing, orang non-pribumi yang datang untuk menjajah kembali tanah air. Bahkan ada yang menuduh kami sebagai dukun santet yang meresahkan penduduk sekitar.
“Aden, dan eneng orang mana?” tanya pemilik warung tersebut. “Kok kami belum pernah lihat orang seperti kalian?” tanyanya lagi.
“Ah, kami orang Blitar, bu.” Jawab Feby menerangkan. “Mungkin akan terdengar sedikit aneh, tapi kami datang bukan dari zaman ini, tapi dari tiga puluh tahun kedepan.” Tambahnya.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. “Mana mungkin ada orang dari masa depan datang ke zaman serba susah seperti sekarang? Pastinya kalian ini dukun santet, ya?”
“Bukan, pak! Memang ada apa sih?” tanyaku mencoba mengelak dari tuduhan mereka.
“Sebenarnya gini, nak! Dalam kurun waktu dua tahun ini, desa ini diteror terus oleh dukun santet yang membalas dendam atas kematian putranya karena diamuk masa karena dituduh melakukan pelet pengasihan kepada gadis-gadis cantik di desa ini,” jawab si pemilik warung tersebut gusar. “Mulai saat itu, teror-teror pelet pengasihan mulai menyebar ke seluruh pelosok desa, dan tiap malam jum’at kliwon, pasti ada setidaknya tiga gadis yang menghilang dalam kesunyian malam.”
“Denger-denger sih, mereka digunakan sebagai tumbal untuk memperkuat pelet pengasihan putra kedua dari dukun santet itu!” sahut para pembeli yang lainnya. “Untunglah dukun santet itu sudah kami habisi, kalau tidak desa ini akan terus diteror oleh santetnya. Tapi, kami dengar kalau putra si dukun santet sialan itu masih hidup dan meneruskan pelet pengasihannya untuk menikahi para gadis yang ada di desa ini, bahkan...”
“Bahkan apa?” tanya Feby penasaran.
Salah satu dari pembeli langsung mendekat ke arah telinga kami dan menceritakan semuanya. “Bahkan dia telah memelet kembang desa yang merupakan putri dari kepala desa. Mulai saat itulah keadaan di desa ini semakin mencekam karena...”
Belum sempat ia mengatakan alasannya, dia pun bergegas pergi dari warung itu begitu melihat sesosok gadis cantik nan jelita datang menghampiri warung itu. Bersamaan dengan itu, Mela dan yang lainnya menyusul kami ke warung itu.
“Kok lama banget sih, darling?” sapa Mela yang mulai mendekati tempat dudukku sambil sedikit cemberut. “Kalian main selingkuh ya di sini?” tanyanya penuh curiga.
“Eh, enggak kok, Mel. Kami cuman terperangah sama cerita bapak-bapak sini barusan. Iyakan, kak Umam?” sahut Feby menanggapi kecurigaan Mela yang berlebih itu.
“Iya, Mel! Kau nggak perlu khawatir segitunya kale. Sudah kukatakan kalau Feby ini pacar adikku. Mana mungkin aku selingkuh dengannya?” jawabku. Mela mengangguk percaya dan segera duduk di sampingku, membuat Feby agak sedikit menjauh dan kondisipun stabil.
Di saat teman-temanku pada makan, datanglah seorang gadis cantik dan jelita, yang rumornya merupakan gadis tercantik dan kembang desa yang ada di kampung itu sekaligus putri kedua dari kepala desa.
“Ano, apakah kalian orang-orang asing itu?” tanyanya ramah. “Banyak warga di sini yang sedang membicarakan kemunculan kalian di desa kami. Bisakah kalian ikut denganku ke kantor kepala desa? Pak kades ada sedikit perlu dengan kalian,” tambahnya.
“Njir, ayune...!” sahut Andre dan Agung serempak. Mereka berdua pun bergegas mengajak kenalan tuh kembang desa. Dan syukurlah dia bukan orang yang cuek dan angkuh, sehingga ia mau memberitahukan siapakah namanya.
“Oh, maaf. Nama saya Ratih, mas Andre dan mas Agung. Aku adalah putri kedua dari pak kades Supratno di desa Lenggor Jati ini, mas e,” jawab Ratih sembari menyalami kedua playboy cap lengkuas itu.
Masih ada perlu dengan pemilik warung, aku suruh mereka semua untuk pergi duluan. Tanpa membantah lagi, mereka menurut begitu saja. Menyisakan diriku dengan Mela dan Cici yang masih ada di sana.
Cici kala itu merasakan sebuah firasat yang buruk terhadap Ratih dan desa ini. Aku tak mau menyangkalnya karena akupun juga sama. Sepertinya memang ada sesuatu yang janggal dengan desa ini. Oleh karena itu, aku berniat untuk menanyakan hal ini kepada si pemilik warung.
“Ano, bude. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini? Dan mengapa kondisinya semakin mencekam seperti ini?” tanyaku ramah ke pemilik warung itu. “Tadi saya sempat ke surau namun tidak ada siapapun yang melaksanakan ibadah sholat. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi selain hal yang menyangkut pelet dan dukun itu,” tambahku langsung menskak obrolan pemilik warung itu yang terlihat masih basa-basi.
Pemilik warung itu cuman menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah sedang menelisik akan sesuatu di balik pepohonan itu. “Anu, nak! Maaf karena tak bisa menceritakan hal ini, karena nyawa saya sedang terancam. Sebaiknya adek-adek ini segera pergi dari sini!” kata pemilik warung tersebut ramah seolah ingin mengusir secara halus.
“Oh, baiklah bude. Kami permisi!”
Kami bertiga pun bergegas menuju ke rumah pak kades desa Lenggor Jati ini. Sementara di sana, teman-teman kami yang berangkat duluan langsung kena bentak oleh pak Supratno yang bahkan suara bentakannya sampai terdengar ke luar rumah.
“Kalian aneh-aneh saja! Menyebut kedua puteriku kena pelet pengasihan!!” bentak pak Supratno itu keras. “Aku ini Supratno, mantan jawara kampung sini. Tidak ada yang berani sama aku. Bahkan dukun santet itu tak bisa mengalahkanku. Paham!?”
“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi apakah bapak pernah menaruh curiga dengan glagat puteri-puteri bapak?” sahut Andre mencoba meyakinkan si kades keras kepala itu. “Kalau tuan mengizinkan, saya dan teman-teman saya akan mendalami kasus ini dan menemukan siapa dalang dari semua ini.”
“Bedebah! Penjaga, cepat kurung mereka berlima ke gudang kosong di bawah tanah. Biar mereka rasakan akibatnya setelah menentang aku, Supratno!” perintah kades itu kepada ketiga penjaganya.
Mereka berlimapun di kurung di gudang kosong di bawah tanah. Sementara kami bertiga hanya menunggu di kediaman seorang pemuda, seorang santri lebih tepatnya yang letaknya hanya sepuluh meter dari rumah pak kades. Menunggu kelima teman-teman kami yang belum keluar dari ruang kades.
Hal ini menimbulkan rasa curiga di benakku. Aku memutuskan untuk menyelidiki hal ini seorang diri, namun keinginanku diketahui oleh si santri dan dia melarangku keras-keras.
“Jangan, adek Umam. Teror anak dukun santet itu akan mencelakaimu jika kau berurusan dengan boneka-bonekanya,” ujar si santri yang bernama Wisnu itu. “Saya lihat dari penerawanganku, teman-temanmu saat ini sedang disekap di sebuah ruangan bawah tanah, dan hanya si kades seoranglah yang mengetahuinya!”
Hal itu membuat emosiku sedikit meluap. “Santri, mereka adalah teman-temanku, dan mereka adalah amanah yang diberikan padaku untuk kujaga. Jadi, bagaimanapun juga aku akan menyelematkan mereka!”
“Aha, bagaimana kalau kita habisi saja mereka? Dengan begitu, si anak dukun santet lemah itu pasti akan menunjukkan diri di hadapan kita. Dan setelah itu, kita bunuh juga dia,” ujar Mela menyarankan. Duh, yang ada dipikirannya cuman membunuh dan membunuh aja.
“Ano, dia ini siapa, dek Umam?” tanya si Wisnu keheranan mendengar ucapan Mela barusan.
“Oh, dia ini Mela, kak Wisnu. Maklumi aja dia seperti itu. Hidupnya tragis dan hanya dengan itu, dia mampu bertahan,” jawabku menjelaskan. Kak Wisnu hanya mengangguk-angguk seolah memikirkan sesuatu.
“Kalau menurutku, sebaiknya kau turuti apa maunya si santri, Mam! Soalnya dia adalah penduduk asli sini, beda dengan kita yang datang dari masa depan,” sahut Cici menyarankan.
Malam ini kami habiskan dengan tidur sembari menyambut hari esok dan berharap kalau esok hari jauh lebih baik dari hari ini. Namun entah mengapa aku tak bisa untuk memejamkan mata, sementara Mela dan Cici terlihat terlelap di kamar tamu.
Karena insomnia ini dan pikiran akan teman-temanku selalu menghantuiku, aku putuskan untuk setidaknya berjalan-jalan ke luar sebentar, berharap dengan joging sebentar, akan menimbulkan rasa kantuk dan aku bisa tidur. Namun itu semua percuma. Aku malah semakin tak bisa tidur malam itu.
Waktu menunjukkan pukul satu malam. Keheningan yang kurasakan pun sirna ketika mendapati kak Wisnu sudah berada di belakangku dan menepuk pundakku dua kali.
“Kau tak bisa tidur, ya?”
“Tidak, kak! Aku masih kepikiran soal teman-temanku. Apa jadinya mereka ditangan si kades yang terkena guna-guna santet bersama kedua putrinya itu,”
“Aku mengerti perasaanmu. Namun, ilmu kita masih kalah jauh dengan anak si dukun santet itu. Kalau saja Kyai Umar masih hidup,”
“Kyai Umar? Siapa dia?” tanyaku.
“Dia adalah guru besar di ponpes Miftakhul Huda, sekaligus murid dari kyai Marwan bin Muhammad,” jawabnya lesu. Sepertinya kyai Umar adalah gurunya. “Dia wafat kurang lebih tujuh tahun lalu, setelah bertarung dengan dukun santet yang bernama Ki Brojo itu,” tambahnya seolah memendam amarahnya yang tidak kuasa ia keluarkan.
“Ehm, mungkin dirasa aneh. Tapi aku adalah keturunan dari kyai Marwan, kak Wisnu,” jawabku yang mengatakan istilah sebenarnya dari diriku. “Dan Ki Brojo itu di zamanku masih hidup. Dia adalah murid dari ketiga dukun Mahasakti, Ki Sugeng, Ki Ujek, dan Ki Susilo.”
“Astagfirullah, mengapa aku tak menyadarinya? Rupamu dengan rupa kyai Marwan yang diceritakan oleh kyai Umar benar-benar mirip. Maaf aku tak menyadarinya,” katanya yang benar-benar shok mengetahui kalau diriku adalah keturunan dari kyai Marwan. “Kalau yang kau katakan itu benar, itu memang benar-benar logis sih. Ki Brojo dulunya adalah murid dari kyai Umar, sampai suatu ketika, ia begitu terobsesi dengan kanuragan yang diajarkan oleh kyai Umar, sampai-sampai ia keblinger dengan ilmunya itu dan akhirnya keluar dari ponpes.”
Aku bergegas menanyakan hal yang penting padanya. “Anu, kak Wisnu. Sebenarnya apa sih hubunganmu dengan si kades itu? Mengapa kau seolah-olah ingin menolongnya?”
Kak Wisnu langsung tersentak mendengar pertanyaanku itu, dan mungkin sebenarnya dia enggan untuk menceritakannya, namun pada akhirnya diapun mau cerita.
“Kau tahu Ratih, ‘kan? Dia adalah tunanganku pada awalnya. Namun, semua berubah tepat setengah tahun lalu...” jawabnya lesu penuh dengan penyesalan dan keputusasaan. “Seorang pria datang ke desa kami, dan merubah segalanya. Bahkan Ratih tak ingat sama sekali dengan kisah cinta kami,”
“Astagfirullah, saya tidak tahu itu. Maafkan aku karena telah menanyakan sesuatu yang teramat sensitif untukmu, kak Wisnu,” sahutku meminta maaf telah mendengarnya. Aku pun segera menepuk kedua pundaknya dan berkata, “Kau tak perlu takut, kak! Besok kami akan menyelamatkan desa ini berserta penduduk-penduduknya. Dan semoga kita semua tetap berada dalam lindungan-Nya!”
“Amin. Terima kasih ya, dek Umam,”
***
Keesokan harinya, adalah hari yang kami tunggu-tunggu. Pagi ini kami bersiap untuk menyelamatkan teman-teman sekaligus setiap penduduk yang ada di kampung Lenggor Jati ini. Dengan mengharap ridho dan perlindungan dari Allah, dan dengan mengucap lafadz basmallah, kami siap untuk pergi menuju ke tempat kades Lenggor Jati itu.
Sesampainya di sana, kami melihat banyak janur kuning melingkar di setiap pintu gerbang rumah si kades itu. Kami semua berspekulasi kalau hari ini adalah hari pernikahan dari Ratih dengan anak si dukun santet itu.
Kami harus mencegah hal ini, karena menurut kak Wisnu, siapapun yang menikah dengan si anak dukun santet itu akan dijadikan tumbal kepada demit Alas Ireng peliharaan si dukun santet itu.
“Ratih! Aku datang untuk menyelamatkanmu,” teriak kak Wisnu dari luar gerbang yang menggema sampai ke dalam ruangan, ditemani oleh Cici. Sementara diriku dan Mela menyusup dari bagian belakang dan menculik Ratih yang masih mengenakan gaun pengantinnya di kamarnya.
Pak Supratno dan Lusman yang selaku calon pengantin dari Ratih pun keluar berserta para penjaganya. Dia menatap garang ke arah kak Wisnu yang sudah menghalangi acara pernikahan mereka.
“Wisnu, kamu mau apa lagi di sini? Puteriku sudah memilih orang yang pantas untuknya,” tanya Pak Supratno mengancam. “Enggak kapok-kapok juga kamu memperjuangkan untuk mendapatkan puteriku? Tak tahu diri kamu!” tambahnya mengumpat.
“Aku tak akan pernah menyerah, walau selangkahpun, pak Supratno. Aku dan Ratih saling mencintai,” jawab kak Wisnu lantang dan penuh kepercayaan. “Dek Cici, sebaiknya kau cari teman-temanmu, biar urusan ini aku yang hadapi. Aku yakin mereka ada di gudang bawah tanah sekarang!”
“Tapi, bagaimana dengan kakak?” tanya Cici polos.
“Tak usah mengkhawatirkanku. Aku bisa menjaga diri kok!” jawab kak Wisnu keren. Mendengar ucapan yang begitu keren dari kak Wisnu sedikit membuat Cici jatuh hati, namun ia urungkan perasaannya karena kak Wisnu sudah punya kekasih. Dia pun segera bergegas pergi melewati Pak Supratno dan penjaganya dan menuju ke gudang bawah tanah.
“Pak Supratno, sebaiknya kamu kejar gadis kecil itu. Biar urusan bocah tengil ini serahkan padaku dan para penjagaku!” kata Lusman seolah memerintah. Dan tak tahu mengapa si kades keras kepala itu menurut begitu saja.
Setelah pak kades itu pergi.
“Tak terasa kita akan berjumpa dengan cara begini ya, Wisnu. Aku tak sabar ingin membunuhmu layaknya aku membunuh kedua orangtuamu dua tahun lalu!” ujar Lusman sembari tertawa terbahak-bahak.
“Apa!? Jadi kau rupanya yang telah membunuh kedua orangtuaku! Aku tak menyangka semua ini, Lusman. Kau yang dulunya lugu, bisa berbuat perbuatan nekad seperti itu!” jawab kak Wisnu geram. Kalau saja bukan karena persahabatan yang mereka berdua punya ketika masih kecil, mungkin saat itu kak Wisnu sudah menyerang dan menghabisinya.
“Hahaha... itu karena kepolosan mereka sendiri, Wisnu. Orangtuamu terlalu baik sampai tidak menyadari kalau serigala sedang mengintai mereka,” kata Lusman yang masih dibarengi dengan tawa terbahaknya. “Sudah cukup bicaranya. Mari kita selesaikan kebencian di antara kita berdua dengan saling bunuh-membunuh!”
Mereka pun bertarung sembari beradu ilmu kanuragan dan juga pencak silat mereka. Mereka saling melukai, adu jotos dan tendangan. Terlihat di antara mereka tidak ada yang mengalah, karena siapapun yang mengalah berarti kalah.
Sampai ketika Lusman lengah, kaki Wisnu berhasil menendang dada Lusman sampai terpental sejauh tiga meter dan tersungkur memuntahkan darah segar.
“Sudah cukup sampai di sini, Lusman! Aku tak ingin membunuhmu,” kata kak Wisnu yang masih berbelas kasih kepada teman satu perguruan itu, walaupun di hatinya masih tersimpan bara api amarah yang meluap-luap. “Aku mengampunimu kalau kau mau melepaskan orang-orang yang kau susahkan dengan pelet pengasihan itu,”
Lusman pun tertawa mendengarnya, “Hahaha... sepertinya aku adalah orang yang dikasihani sekarang ini. Cuih! Sampai matipun aku takkan melakukannya, Wisnu!”
Dengan segera, menggunakan darah yang keluar dari mulutnya sendiri, Lusman segera memanggil dua sosok penjaga gaibnya, yaitu dua genderuwo dari alas Ireng, Blitar. Membuat keadaan di sana semakin mencekam.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya