Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 5) - Pusaka Waktu

Satu lagi sosok besar menampakkan dirinya dalam gejolak bencana gaib ini, sementara gejolak di Istana Indrajaya membawa mereka bertemu dengan sosok yang begitu dekat dengan Danan, Cahyo, dan Paklek.


JAMURDWIPA Dikisahkan pada zaman dulu, Pulau Jawa hampir tenggelam dan condong ke arah barat. Hal itu menyebabkan ketidakseimbangan alam hingga ketimpangan energi spiritual di Tanah Jawa. Para Dewa yang menyadari keadaan itu pun memutuskan untuk memindahkan Gunung itu ke titik tepat di tengah-tengah pulau Jawa untuk menyeimbangkannya. Namun, pada saat itu ada dua orang mpu pembuat keris yang sangat sakti sedang bekerja membuat keris keramat di tempat dimana seharusnya gunung itu diletakkan. Para dewa memperingati kedua mpu kakak beradik itu untuk menyingkir, tapi mereka menolak. Menurut mereka, keris yang mereka buat juga merupakan sesuatu yang penting dan tidak bisa mereka tinggalkan begitu saja. Kesaktian Mpu kakak beradik itu tidak bisa diremehkan. Ia mengerjakan keris itu dengan kesaktian yang memukau. Besi yang sangat panas itu mereka pegang dengan tangan kosong. Kepalannya sekuat palu yang membentuk lempengan logam keris itu. Mendengar penolakan itu para dewa pun murka dan mengutus beberapa dewa untuk mengusir kedua Mpu itu. Sayangnya kesaktian mereka mampu membuat pasukan dewa yang menyerangnya takluk dan memutuskan untuk mundur. Para Dewa yang kesal pun tak lagi mempedulikan resiko yang ada dan memilih untuk menutup mata. Mereka mengangkat Gunung Jamurdwipa dari Laut selatan, dan menjatuhkannya di tempat kedua Mpu sakti itu mengerjakan kerisnya. Kedua Mpu yang tidak mau meninggalkan prinsipnya pun tetap berada di sana dan mati tertimpa Gunung Jamurdwipa itu. Gunung itu jatuh menimpa tungku yang masih menyala membara. Sayangnya tungku itu tidak akan berhenti menyala hingga keris yang mereka buat selesai. Namun karena kedua mpu penempa keris itu sudah tiada, maka tidak ada lagi yang bisa memadamkan tungku itu. Api dari tungku itu membuat gunung itu menjadi gunung api yang agresif hingga dinamakan sebagai Gunung Merapi. …

Seorang pria tengah berdiri di pinggir kolam lahar Gunung Merapi. Ia menahan gelombang panas yang tak berhenti dari lahar yang terus bergejolak. Sebuah keris dengan dua warna bilah tergenggam di tangannya. Ki Jiwo Setro, ia mempertaruhkan darah leluhurnya sebagai penempa pusaka terbaik pada zamannya. Jika tanpa kesaktian yang ia miliki, saat ini ia pasti sudah hangus dengan panas yang tak mungkin bisa ditahan oleh manusia biasa. “Kumohon, berikan restu kalian untuk keris ini…” Mbah Jiwo mencelupkan bilah keris itu ke dalam lahar hingga membuatnya merah menyala. Mbah Jiwo menahan panas itu dengan kesaktiannya namun tetap saja rasa sakit tak tertahankan seolah memaksanya melepas keris itu dari genggamannya. “Tenang, Bimo. Walau nyawaku yang harus menjadi bayarannya, akan tetap ku selesaikan kerismu!” Rupanya panas dari lahar Merapi saja tak cukup untuk menguji Mbah Jiwo. Dari dalam lahar, muncul sepasang raksasa setinggi pohon sawo yang menatap dengan penuh ancaman. “Gunung ini adalah tungku sakral yang hanya boleh digunakan untuk pembuatan keris tuan kami,” Sosok raksasa itu memperingatkan Mbah Jiwo. “Aku hanya meminjam api ini sejenak. Pertempuran besar yang akan mengancam alam ini akan segera datang, kekuatan keris ini akan menjadi salah satu penentu di pertarungan itu..” Balas Mbah Jiwo. Kedua raksasa itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan niat. Ia mendekat ke arah Mbah Jiwo dengan tangan yang terbakar lahar panas. “Itu bukan urusan kami! Tugas kami adalah melindungi tempat api ini!” Mbah Jiwo yang merasa dalam bahaya pun mengeluarkan butiran pusaka batu hitam miliknya dan memunculkan satu-satunya sosok yang selama ini ia andalkan. “Ki Mahesa Ombo, mungkin permintaanku mustahil. Tapi tolong tahan mereka selama yang kau bisa,” Pinta Mbah Jiwo. Sosok makhluk berwajah kerbau itu mengangguk dan mengambil posisi di salah satu batu di antara lahar itu. Ia setuju untuk melindungi mbah Jiwo, namun tubuhnya tak bisa berbohong. Tubuh Ki Mahesa Ombo yang perkasa itu tetap gemetar saat menghadapi kedua raksasa di hadapannya itu. “GGGrrrroooooooowwww!” Ki Mahesa Ombo menggunakan pusaka lonceng lembu yang diberikan oleh Mbah Jiwo. Tubuhnya pun membesar mengikuti wujud lawannya. Dharrrr!!!

Benturan kekuatan mereka bertiga membuat kola lahar bergejolak. Mbah Jiwo yang hanya seorang manusia di situ harus menghindari percikan lahar itu tanpa membiarkan keris sukmageni yang ia celupkan bersama kepalan tangannya itu keluar dari lahar. “Tuan kalian sudah mati! Seharusnya kalian tidak perlu menjaga tungku ini lagi!” Teriak Mbah Jiwo. Braaaaakkk!!! Ki Mahesa Ombo terpental ke dalam kolam lahar. Bau hangus tercium dari tubuhnya, namun ia tetap mencari pijakan untuk berdiri di dalam kolam lahar itu. “Sama seperti tungku ini, ia tidak akan padam sampai tuannya yang memadamkanya. Kami pun akan terus menjaga tempat ini sampai perintah ini dicabut, meskipun kami harus menjaga hingga akhir zaman…” Balas raksasa itu. Mbah Jiwo kagum akan kesetiaan kedua raksasa itu, namun saat ini hal itu menjadi perkara besar untuk dirinya. Pertarungan ketia makhluk raksasa itu membuat gunung itu pun terusik. Terasa gempa dari dalam bumi dan letusan abu dari tempat itu. Dhummmm!!! Di tengah kepulan asap dan abu, Ki Mahesa Ombo masih dengan sekuat tenaga berusaha menahan kedua raksasa itu. Adu kekuatan yang besar terjadi bertubi-tubi. Tujuannya bukan mengalahkan mereka. Ia sadar, bahwa itu adalah hal yang mustahil. Tapi setidaknya ia harus menahan kedua makhluk itu walau hanya beberapa saat. Perlahan-lahan, Mbah Jiwo mulai menyadari bahwa pengorbanan itu membuahkan hasil. Kedua bilah keris Sukmageni yang berada di tangannya pun melebur menjadi satu. Bagi seorang Mpu sepertinya, hal itu adalah kanvas kosong dimana ia bisa menuliskan kekuatan baru untuk keris itu. “Sedikit lagi, Ki Mahesa Ombo!” “Grrrrroroooooo!!!!!” Jarang sekali Mbah Jiwo mendengar suara Ki Maesa Ombo. Ia menyadari teriakan itu adalah pertanda temanya itu sedang berusaha melewati batas kemampuannya. Mengetahui hal itu, Mbah Jiwo tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan dari Ki Maesa Ombo. Bilah putih, kekuatan api penyembuh dari masa lalu. Bilah hitam, kekuatan api hitam yang membakar segalanya. Kekuatan yang Mbah Jiwo sematkan pada keris Sukmageni di masa ini. Hal apa yang bisa menyatukan kedua kekuatan yang bertolak belakang yang bahkan berbeda masa ini? Semakin Mbah Jiwo membentuk kekuatan di kubangan lahar itu, semakin besar getaran di puncak gunung itu. Terlebih pertarungan Ki Maesa Ombo menghancurkan beberapa sisi bebatuan yang menopang tempat itu. “Sudah cukup! Kalian harus melebur dengan lahar ini!” Ucap salah satu Raksasa itu.

Ke dua raksasa itu pun menarik dua buah gada yang muncul dari dalam lahar. Mbah Jiwo menyadari bahwa gada itu bukanlah gada biasa. Itu adalah pusaka yang bisa menggetarkan gunung. “Ki Maesa Ombo! Pergi!!” Perintah Mbah Jiwo. Bukannya mengikuti perintah Mbah Jiwo, Ki maesa Ombo malah berlari dan melompat ke arah dua raksasa itu. Ia mengarahkan tanduknya yang mengeluarkan cahaya emas ke tubuh raksasa itu. Mbah Jiwo tahu, itu adalah serangan terakhir yang bisa ia lakukan. Kraaaaaakkkk!!!! Mbah Jiwo terpaku. Serangan dahsyat yang mungkin mampu melubangi karang itu sia-sia. Pusaka itu menghantam Ki Maesa Ombo dan mematahkan tanduknya. “Sudah! Cukup! Kembalilah, kelak kau harus membantu Danan dan yang lain!” Perintah Mbah Jiwo.

Ki Maesa Ombo yang terkapar kembali memaksa berdiri, namun tubuhnya tak sanggup. Ia merangkak membawa tubuhnya berada di depan Mbah Jiwo. Ia memutuskan untuk mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Mbah Jiwo. “Jadilah makanan bagi tempat ini! Ucap raksasa itu sambil mengayunkan gadanya lagi. Namun sebelum serangan itu mencapai Ki Maesa Ombo. Kedua raksasa itu tiba-tiba terpental dengan sendirinya. Brakkk!!! Brakkkk!!!! Mbah Jiwo menyadari kehadiran sesuatu yang lebih besar dari kedua raksasa itu. Sosok yang bahkan bisa membuat mereka terpental hanya dengan keberadaanya. “Siapa yang lancang membuat Merapi bergetar?” Ucap sosok itu. Mbah Jiwo tidak berani menoleh. Ia sama sekali tidak menyangka sosok sebesar itu akan menampakkan wujudnya. “Saya! Mungkin sayalah yang bertanggung jawab atas kekacauan ini!” Balas Mbah Jiwo yang masih berusaha untuk melindungi Ki Mahesa Ombo yang sudah sekarat. Sosok besar itu melihat Mbah Jiwo yang tidak menoleh dan tangannya yang masih menahan panasnya lahar dengan keris sukmageni di genggamannya. Kedua raksasa itu tiba-tiba kehilangan tajinya dan tak berkutik dengan kemunculan sosok itu. ia bukan tuannya, namun kedua raksasa itu tetap tahu perbedaan derajat di antara bangsa lelembut. “Penciptaan kerismu menggetarkan gunung ini, tujuanmu juga tidak salah, namun apa pengguna keris itu pantas menerima pengorbananmu?”Ucap sosok itu. “Mereka lebih dari sekedar pantas..” Balas Mbah Jiwo tanpa ragu. “Kau akan mati…” “Mereka lebih rela mati demi kami…” Mbah Jiwo mengingat bagaimana pengorbanan Paklek, Danan, dan Cahyo saat berkorban tetap di Jagad Segoro Demit demi keselamatan Mbah Jiwo dan yang lain. Bahkan saat ini, Mbah Jiwo sadar kalau mereka bertiga tengah berada diambang kehidupan dan kematian. Mbah Jiwo gemetar, Ia tidak mampu menebak apa yang akan dilakukan oleh sosok besar itu. … “Selesaikan keris itu, dan tuntaskan pertarungan kalian. Aku akan membiarkanmu kali ini, sebagai gantinya bersihkan gunung ini dari mereka yang mengincarmu!” Mbah Jiwo cukup lega mendengar ucapan itu. Namun ucapan sosok itu juga membuat ia yang sebelumnya hanya terfokus pada pembuatan kerisnya pun sadar, bahwa ada banyak sosok yang mendekat ke arahnya.

“Kami bertugas menjaga tempat ini agar tetap suci!” Sosok sepasang raksasa itu melayangkan protesnya pada sosok besar itu. “Kalau kalian mati saat ini, artinya kalian tidak bisa menjalankan tugas kalian bukan?”Ucap Sosok itu sambil melayangkan kekuatan besar yang menekan kedua raksasa itu. Kedua raksasa itu pun mundur, ucapan itu membuat mereka tak lagi berani berkata-kata lagi. Sampai akhir kemunculannya, Mbah Jiwo masih tidak berani menoleh ke arah sosok itu. Ia sadar, sosok itu adalah salah satu penyeimbang tanah Jawa yang tidak bisa ditemui oleh sembarang orang. Kemurahan hatinya saat ini sudah merupakan keuntungan yang besar untuknya. “Selesaikan urusanmu, dan lakukan permintaanya..” Ucap salah satu raksasa yang tiba-tiba berdiri di salah satu sisi puncak gunung sambil menatap ke bawah lereng Merapi. “Kalau dia sudah mengakuimu, tidak mungkin kami ingin berseberangan. Kami akan membantumu membersihkan gunung ini dari makhluk-makhluk itu sampai kau benar-benar meninggalkan gunung ini,” Tambah salah satu raksasa lainnya. Mendengar itu Mbah Jiwo pun merasa lega. Ia semakin yakin bahwa apa yang ia lakukan saat ini sudah digariskan oleh Sang Pencipta. “Terima kasih atas niat baik kalian, setidaknya ijinkan saya mengetahui nama kalian berdua,” Ucap Mbah Jiwo. Kedua raksasa itu terdiam sejenak. Matanya memandang ke arah kaki gunung merapi yang mulai di masuki oleh berbagai sosok. “Wilarama dan Wilapama.. Kami hanyalah perwujudan titah tuan kami, tidak lebih.” Mbah jiwo mengangguk mengerti. Ia menghargai keberadaan kedua sosok itu dan tak menaruh dendam atas apa yang mereka lakukan pada dirinya dan Ki Maesa ombo. Mbah Jiwo meminta Ki Maesa ombo untuk kembali ke wujud semulanya untuk melakukan semedi dan memulihkan kekuatannya walau hanya sebentar. Setelah ini mereka masih harus menghadapi makhluk-makhluk yang mengincar mereka. “Istirahatlah sejenak. Sambil menunggu keris Sukmageni selesai, aku akan menceritakan sebuah kisah legenda di gunung ini. Tentang sosok besar penjaga kawah Merapi yang bahkan berkuasa mengatur aliran laharnya. Ia berwujud raksasa yang berwibawa dan mengemban tugas yang sangat besar. Beberapa orang mengenal mereka dengan nama. Ki Juru Taman…” ***

INDRAJAYA (Sudut pandang Danan...) Semesta ternyata masih menyimpan misteri yang tidak terduga. Melalui jagad segoro demit, entah mengapa tiba-tiba kami berada di zaman yang berada jauh sebelum kami hidup. Semua yang berada di zaman ini masih serba tradisional. Tidak ada satupun teknologi yang merusak alam. Rumah-rumah mereka pun masih berdampingan dengan ladang dan hutan yang luas. Seakan-akan pada zaman ini manusia masih selaras dengan alam. “Kami akan membentuk pasukan untuk mencari keberadaan patih jatayu wungu, sebaiknya kalian beristirahat di istana dulu,” ucap Panglima Brasma. “Patih? Sudah berkhianat sampai segitunya masih kalian sebut patih?” Balas Cahyo kesal. “Bener, Jul! mending diganti saja jabatannya menjadi ‘kacung emprit’, kebagusan kalau Jatayu!” Tambah Paklek. “Hahaha, masukan kalian akan saya pertimbangkan,” Tawa Raja Indrajaya sambil membalas beberapa lambaian warga desa yang menyapanya. Tidak ada rakyat yang bersujud saat sang raja melintas, mereka seperti sudah begitu dekat dengan sang raja dan menyapa layaknya orang dekat mereka yang melintas. Aku merasa sepertinya pemandangan ini jauh lebih baik dari pada sambutan rakyat yang membentuk barisan dan bersujud seperti di film-film. Walaupun aku menyebutnya desa, namun di zaman ini tempat ini terlihat cukup sibuk. Mereka menyebut tempat ini dengan wilayah ragapati, desa yang menempel langsung dengan dinding keraton yang menjadi salah satu perdagangan, pemerintahan, dan pertukaran Informasi . Terlihat sebuah pintu kayu yang begitu besar di pertemuan dinding-dinding keraton yang besar dan megah. Tak sedikit penjaga yang berjaga di menara-menara dan sekitar dinding. Kedatangan kami disambut oleh beberapa prajurit, dan salah satunya merapat ke raja seperti segera menceritakan keadaan sepeninggalan sang raja. Sementara itu, aku merasa ada yang membuatku tidak nyaman saat memasuki istana. “Danan,” Paklek memanggil dan memberi isyarat padaku. Sepertinya paklek juga merasakan hal yang sama. “Iya, Paklek..” Balasku singkat. Entah cahyo merasakannya juga atau tidak, tapi ada sesuatu di istana ini yang membuatku merasa aneh. Kami diantar ke sebuah kamar yang berada di bangunan timur. Bangunan ini bersebelahan langsung dengan bangunan utama tempat Raja tinggal yang menempel dengan ruang singgasana. “Kalian istirahatlah dulu, setelah pelayan selesai mempersiapkan jamuan, kita akan berkumpul di ruang singgasana,” Ucap Raja yang ikut mengantar kami seolah ingin memastikan kami nyaman di tempat yang kami tempati. “Terima kasih, Yang Mulia,” balasku.

Ia mengangguk, dan berpamitan. Sepertinya ia masih lelah setelah semua kejadian yang ia alami sebelumnya. “Panglima…” Sebelum mereka sempat menjauh, aku memanggil panglima brasma sejenak. “Sepertinya, untuk saat ini panglima jangan jauh-jauh dari Raja Indrajaya dulu..” ucapku mengutarakan kegelisahanku didukung dengan paklek yang ikut mengangguk. Panglima Brasma menatapku dan paklek, sepertinya ia mengerti maksudku dan membalas dengan anggukan. Ia pun menyusul sang raja meninggalkan kami. “Terus, kita gimana, Paklek?” Tanya Cahyo sambil mencari posisi yang nyaman untuk beristirahat. “Bener, Paklek. Kalau kita memang berada di masa lalu, bagaimana caranya kita kembali?” Tambahku. “Mbuh, Paklek juga nggak tahu. Ini semua diluar kuasa Paklek,” Balasnya sambil mengambil posisi berbaring di kasur kapuk yang terasa begitu nyaman. Dalam hitungan detik suara dengkuran paklek sudah terdengar, sepertinya ia juga kelelahan. Mungkin ada baiknya waktu yang ada ini kami gunakan untuk beristirahat, kami tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

… Suara langkah kaki mendekat memasuki tempat yang begitu gelap. Ia hanya membawa sebuah obor yang menunjukkan bahwa tempat ini adalah sebuah gua yang diselimuti hawa dingin. Aku seolah bisa melihat semua yang ada di sini, namun aku tak bisa bergerak. Di sebelahku ada raga Paklek, dan di sisi satunya ada Raga Cahyo. Aku menebak bahwa orang yang mendekat itu adalah Sang Pria bertopeng hitam yang berasal dari desa yang sama dengan desa kelahiran Cahyo. Sebuah pusaka berbentuk batu prasasti berada tak jauh dari ketiga raga kami. Orang itu menggoreskan telapak tangannya dan meneteskan darah ke prasasti itu. Seketika, hawa dingin semakin meluas di tempat ini. Pria itu mendekat dan mengoleskan ramuan di ubun-ubun raga kami. Saat mendekat, aku melihat tubuh pria bertopeng itu penuh dengan luka. “Kita harus menyelesaikan pertarungan kita, jangan mati sebelum hal itu terjadi!” Ucap Sosok itu pada raga Cahyo. “Raga ini sudah siap, kembalilah jika kalian mampu…” … Aku membuka mata dan tersadar dengan mimpi aneh itu. Tapi dari betapa jelasnya kejadian tadi, aku merasa bahwa itu bukan hanya sekedar mimpi. “Tubuh kita sudah siap,” Ucap Cahyo yang juga terbangun. “Benar, tapi kita masih terjebak di alam ini…” Belum sempat kami berpikir panjang tiba-tiba terdengar suara pintu kamar yang diketuk. “Maaf tuan, makan malam sudah siap. Yang Mulia sudah menunggu di ruang singgasana,” Ucap seorang pelayan yang ditugaskan untuk membangunkan kami. Cahyo buru-buru meninggalkan tempat tidurnya untuk membuka pintu. “Jangan, Jul!” Tiba-tiba Paklek tersadar dan melarang Cahyo untuk membuka pintu. “Kenapa, Paklek?” Tanya Cahyo. Aku menyadari raut wajah paklek yang menunjukkan kecurigaan. Aku pun memusatkan konsentrasi dan mencoba menerawang apa yang sebenarnya dimaksud paklek. “Benar, Jul! Mundur..” Tambahku mengaminkan perinah paklek. Kami bertiga pun berdiri menjauh dari pintu. Tok..tok..tok…

“Tuan, Yang mulia sudah menunggu..” Pelayan itu memanggil kami lagi. “Saya ijin masuk ya…” Pintu kamar kami pun terbuka perlahan dan seorang perempuan masuk ke dalam. Raut wajahnya berubah ketika tak menemukan keberadaan kami yang tengah bersembunyi. Sekilas sosok pelayan itu terlihat biasa saja layaknya pelayan kerajaan yang mengenakan kebaya. Namun dengan mata batin, kami menyadari sosok sebenarnya dari perempuan itu. “Ular brengsek!” umpat cahyo dengan berbisik. Aku memberikan isyarat diam pada cahyo. Walau bisa melawan makhluk itu, tapi kami masih ingin mencari tahu tentang keadaan ini. Jangan sampai kami yang bersembunyi di celah dinding kayu ketahuan oleh mereka. “Mereka tidak ada..” ucap sosok itu pada entah siapa yang berjaga di luar. Sepertinya kami berhasil menyembunyikan keberadaan kami hingga sosok itu meninggalkan kamar ini. Sepertinya aku akan mengingat sosok itu. Sosok perempuan yang sebenarnya merupakan siluman ular dengan tubuh penuh sisik. Yang menjijikkan, bahkan ular-ular juga hidup di setiap lubang di tubuhnya. “Ternyata wujud siluman di zaman ini lebih mengerikan,” ucapku yang membuka tabir gaib yang melindungi kami. “Lebih menjijikkan tepatnya,” Tambah Cahyo. Paklek mengintip keadaan di lorong luar kamar kami dan tak mendapati keberadaan makhluk itu. “Sesuatu terjadi, kita harus menemui Raja Indrajaya dan Panglima Brasma dengan berhati-hati,” Ucap Paklek. “Benar, kita memutar lewat jendela,” Ajak Cahyo yang juga selesai memastikan keadaan di luar jendela aman. Kami meninggalkan bangunan tempat kami beristirahat dan segera memastikan keadaan. Cahyo yang sempat menaiki atap menyadari sesuatu. “Semua terlihat seperti biasa saja. Prajurit berjaga di tempatnya masing-masing. Tapi…” “Tapi opo, Jul?” Paklek penasaran. “Tapi aku seperti merasa bahwa ruang singgasana sedang dikepung. Entah bagaimana cara menjelaskannya, tapi itu yang kurasakan,” Jelas Cahyo. Mengetahui apa yang disampaikan oleh Cahyo, aku merasa apa yang kami hadapi bukan sesuatu yang sepele. Mereka bukan setan yang hanya mengincar nyawa. Mereka bahkan bisa membuat perencanaan sebesar ini. “Kita harus ke ruang singgasana,” ucapku “Bener, Nan! Ada aroma ayam bakar dari sana!” Timpal Cahyo. Plakkk!!! “Yang Serius dikit!” Tergur Paklek yang melepaskan sandalnya untuk menegur Cahyo. “Hehe, ndak usah repot-repot lepas sandal nggak papa lho, Paklek..” balas Cahyo. Yah, mau bagaimana. Walaupun bercanda, tapi kami memang cukup lapar.

Dengan berhati-hati kami menutupi keberadaan kami dengan tabir gaib dan bersembunyi dari pandangan siapapun yang kami temui. Saat ini kami tidak bisa segera membedakan mana prajurit yang sebenarnya dan mana yang merupakan siluman yang menyusup. Kami cukup lega saat mendapati Raja Indrajaya dan Panglima Brasma sudah berada di ruang singgasana bersama beberapa pejabat lain. Awalnya kami ingin segera masuk, namun saat itu kami memilih untuk mengendap-endap dan memberi isyarat pada Panglima Brasma. Panglima Brasma yang mengetahui keberadaan kami pun melipir dan menemui kami. “Panglima, bangunan ini sudah dikepung..” Aku mencoba menjelaskan situasinya pada Panglima Brasma. “Dikepung?” Panglima Brasma menoleh ke pintu masuk dan beberapa sisi yang menunjukkan keberadaan di luar. “Prajurit masih berjaga, sepertinya tidak ada yang aneh,” Ucap Panglima Brasma. “Awalnya kami juga berpikir begitu, tapi tidak semua prajurit dan orang-orang di istana ini adalah manusia,” Jelas Cahyo. Paklek meminta waktu sebentar untuk menceritakan kedatangan pelayan ke kamar kami tadi. Ia menceritakan bahwa mungkin sebagian orang di istana ini bukanlah manusia. Panglima Brasma terlihat percaya dengan ucapan kami. Ia pun berniat menghampiri Raja Indrajaya yang sedang berbicara serius dengan beberapa orang. “Panglima..” Panggil Cahyo sebelum Panglima Brasma berjalan jauh. “Titip ubi rebus nya!” Plakkk!!! Sekali lagi sandal paklek mendarat di kepala Cahyo. “Lha piye, Paklek? Laper…” keluh Cahyo. “Sama…” Balas Paklek sambil mengenakan kembali sandalnya. Panglima Brasma tersenyum dan melanjutkan niatnya menemui Raja. Ia pun membisikkan sesuatu hingga Raja Indrajaya mau meninggalkan percakapannya dan berjalan ke arah kami. Kami sedikit menjauh dari tempat yang terlihat agar perbincangan kami dan raja tidak terlihat pejabat lain. “Apa ucapan kalian benar?” Tanya Raja Indrajaya begitu tiba di tempat kami. Kami mengangguk serentak dan setelahnya Raja mengajak kami dan Panglima Brasma untuk meninggalkan tempat itu. “Kita mau kemana, Yang Mulia?” Tanya Panglima Brasma. “Di kamar saya ada pintu rahasia menuju keluar istana. Kita tinggalkan istana melewati jalur itu,” Jelas Raja. “Ya—yang mulia tidak mau memastikan ucapan kami dulu?” Tanyaku yang bingung dengan sikap Raja Indrajaya yang begitu saja percaya kepada kami. “Untuk apa? Ketika terbukti bukankah itu artinya akan segera terjadi pertarungan?” Balas Raja indrajaya sambil bergegas.”Lagipula saya adalah seseorang yang menaruh kepercayaan kepada seseorang, bukan perkataan,” “Maksudnya?” “Ketika Yang Mulia sudah percaya dengan seseorang, ia tidak mempedulikan apakah perkataan orang itu benar atau bohong. Ia percaya bahwa semua yang dituturkan oleh orang yang ia percaya pasti demi hal yang baik,” Mas Brasma menjelaskan maksud Sang Raja. Itu sama saja artinya saat ini Raja Indrajaya benar-benar mempercayai kami sepenuhnya. Ucapan itu benar-benar sebuah kehormatan untuk kami. Kami memasuki sebuah kamar yang cukup megah. Walau begitu nyaman, aku merasa kamar ini tidak begitu sering digunakan. Jika melihat Raja Indrajaya adalah sosok raja yang sering berada di sekitar masyarakat, hal ini masuk akal. Ada sebuah tembok kayu yang cukup kopong. Raja Indrajaya membongkar kayu itu bersama Panglima Brama dan di baliknya terdapat tanggak menuju bawah tanah yang gelap. Kami membantu memasang kayu itu lagi dari dalam dan bergegas memasuki jalur itu dengan penerangan sebuah lampu minyak yang sudah tersedia di sana. Kami berjalan dengan berhati-hati. Tidak mustahil keberadaan jalur ini juga diketahui oleh mereka yang menyusup di kerajaan. “Ini..”

Di tengah kewaspadaan kami tiba-tiba Panglima Brasma menyenggol tubuh Cahyo. Ia menyerahkan sesuatu padanya. “Apa ini?” Tanya Cahyo. “Ubi rebus terlalu jauh, saya hanya sempat mengambil singkong rebus ini,” Balas Panglima Brasma yang menyerahkan bungkusan daun pisang yang berisi beberapa potong singkong rebus. Mendengar itu aku dan Paklek bergegas mendekat ke arah Cahyo. “Wah! Panglima Brasma memang terbaik!” Puji Cahyo. Kami bertiga pun melahap dengan cepat beberapa potong singkong itu untuk mengisi perut kami. Setidaknya, ini bisa menjadi amunisi kami untuk melanjutkan perjalanan. “Maaf kalian tidak sempat menikmati hidangan kerajaan, saja janji setelah ini saya akan mengajak kalian untuk menikmati masakan terenak di kerajaan ini,” Ucap Raja Indrajaya. “Yang Mulia? Kita mau ke desa itu?” Tanya Panglima Brasma. “Saat ini hanya desa itu yang jarang didatangi Prajurit kerajaan. Setelah mengambil kuda, sepertinya kita harus menyusun rencana disana agar lebih leluasa,” Jelas Sang Raja. “Saya setuju, sepertinya kita akan merepotkan Nyai sekali lagi…” ***

Setelah meninggalkan istana, Panglima Brasma membawa kami ke salah satu camp prajurit miliknya. Ia memilih prajurit kepercayaanya untuk mengantarkan kami ke sebuah desa terpencil di kerajaan ini. Desa Wirobayan.. Aku tidak mengerti mengapa mereka mengajak kami ke desa yang tidak terlindungi oleh kekuatan militer. Jika kami melihat, mungkin saja camp prajurit tadi atau markas Panglima Brasma lebih aman dari tempat yang akan kami datangi. Namun soal hal ini, aku yakin sang raja lebih mengerti dari kami. Kami menuntaskan istirahat kami di kereta kuda yang mengantar kami menuju desa wirobayan. Walaupun jalur perjalanan kami tidak mulus tapi udara sejuk dan pemandangan indah di sekitar kami membuat kami merasa cukup nyaman. Sebuah desa di pinggir kerajaan yang seolah sengaja menyingkir dari pesatnya perkembangan zaman. Dilihat dari sisi manapun tempat ini jauh dari jalur perdagangan maupun pusat kerajaan. Walau begitu, interaksi antar warga desa terasa begitu hangat. Kedatangan kami disambut banyak pasang mata yang memandang dengan kagum. Sepertinya kedatangan prajurit berkuda seperti ini sangat jarang memasuki desa ini. Kami pun tiba di tempat yang tidak kusangka. Sebuah rumah sederhana dengan lahan kecil yang ditanami tanaman kacang dan sayur. Mengetahui keramaian yang mendekat ke rumahnya, sosok pemilik rumah itu pun keluar dan menyambut kami. “Ono opo meneh iki, Brasma?” (Ada apa lagi ini, Brasma?) Ucap seorang perempuan yang keluar dari rumah itu. Ia terlihat sudah cukup berumur dengan pakaian yang sangat sederhana. Paklek mengernyitkan dahi melihat perempuan itu seolah tidak asing dengan wajahnya. “Kalian lepaskan atribut prajurit kalian dan ganti dengan pakaian biasa, setelah itu lepaskan kuda-kuda itu di hutan dan sembunyikan keretanya,” Perintah Panglima Brasma pada prajurit-prajuritnya. “Berbaurlah dengan warga, jaga desa ini secara diam-diam,” Tambah Raja Indrajaya. “Baik Yang Mulia…” Balas para prajurit itu. “Heh.. sebentar-sebentar. Sudah nganterin kalian jauh-jauh langsung disuruh kerja saja.” Ucap perempuan itu. “Nanti sebelum malam mampir ke sini lagi ya, biar ikut makan bareng kami. Biar saya masakin dulu..” “Ba—baik, Nyai!” Prajurit-prajurit itu merespon dengan wajah sumringah. Mereka pun meninggalkan kami dengan membawa semua hal yang menunjukkan atribut istana menjauh dari desa.

“Kalian pasti tidak menyangka, masakan terenak di seluruh kerajaan berada di rumah seperti ini,” ucap Raja Indrajaya. “Kami sudah tahu..” Balas paklek sambil tersenyum. “Kami bahkan sangat tahu…” Aku dan Cahyo menoleh ke arah Paklek. “Paklek, jangan-jangan dia…?” tanyaku mencoba menebak dan paklek membalas dengan anggukan. “Kalau gitu jangan lama-lama, ayo…!” Ucap Cahyo yang terlihat sudah membayangkan masakan di rumah itu. Namun aku menjewernya dan menahannya masuk sebelum Raja Indrajaya dan Panglima Brasma Masuk. “Yang Sopan..” “Hehe.. maap, kebiasaan…” Kami pun disambut dengan tikar sederhana dan beberapa gelas teh panas yang sangat melegakan. “Kalau kalian mencari Daryana, ia sudah beberapa minggu tidak pulang. Biasanya ia sedang berlatih..” jelas wanita itu. Mendengar nama Daryana, aku dan paklek semakin yakin dimana tempat kami berada saat ini. “Daryana sedang berusaha keras, mungkin kami akan membutuhkan bantuannya nanti. Tapi bukan sekarang,” Ucap Raja Indrajaya. “Lantas apa tujuan kalian,” Brasma menceritakan kondisi kerajaan yang tidak bisa ditebak. Ada sosok yang menyusup di dalam kerajaan. Masalahnya, mereka bukan manusia yang bisa begitu saja ditangkap dan di hukum. Mereka adalah sosok-sosok siluman ataupun makhluk gaib yang bisa berwujud siapa saja. Mereka berbaur dengan orang-orang kerajaan yang mungkin juga disusupi oleh pengkhianat. Hal itulah yang membuat kami terpaksa mengasingkan diri terlebih dahulu untuk mengamankan Raja sambil mencari cara untuk menangani masalah ini. “Lalu siapa yang menjaga istana dan mengatur kekuatan di sana?” “Masih ada Sadewo, Mardaya, dan Girwana. Hanya mereka yang bisa kami percaya untuk saat ini,” Jelas Panglima Brasma. “Lalu, siapa ketiga pemuda ini? Mereka terasa tidak asing?” tanya perempuan itu. “Itu juga yang ingin kami perjelas di tempat ini. Aku kira Nyai mengenal mereka, karena diantara mereka juga menyandang nama Sambara…” Ucap Raja Indrajaya. Mendengar ucapan itu seketika perempuan itu menoleh dan mengernyitkan dahinya menatap tajam ke arah kami. “Sambara?” … “Sebentar eyang… biar saya ceritakan dulu. Mungkin ini tidak masuk akal, tapi setidaknya dengarkan dulu..” Aku mencoba memperjelas situasi saat ini. “Eyang?” Perempuan itu makin bingung. “Eyang Suratimi, kami ini cucu buyutmu. Sebuah kejadian membawa kami ke masa ini…” Paklek membuka penjelasan itu. Apa yang paklek katakan itu membuat semua orang di ruangan itu bingung. Memang ini semua tidak masuk akal, namun paklek mencoba menjelaskan semua. Ia menjelaskan kejadian dimana zaman kami akan mengalami sebuah bencana. Tentang bagaimana sebuah trah terkutuk mencoba membangkitkan kekuatan dari tempat dimana perang terbesar pernah terjadi. Sebuah bencana yang terpendam di bawah padang Kurusetra yang menerima darah dan mayat pada masa perang antar makhluk itu. Saat itu kami yang mengira sudah mati ternyata roh kami dipindahkan ke Jagad Segoro demit dan sebuah kejadian membuat kami tersadar di zaman ini. “Tiga pemuda yang tubuhnya kami rasuki ini adalah warga desa di wilayah pegunungan yang hampir ditumbalkan. Mereka kehilangan sukmanya, dan saat kami sedang mencari kami malah bertemu dengan Yang Mulia dan Panglima Brasma,” Jelasku.

“Benar, seharusnya takdir yang sudah tertulis tidak akan bisa di rubah. Apa yang kita lakukan saat ini akan pasti juga pernah terjadi di masa kami. Hanya saja alam dan waktu sudah menguburnya,” Tambah Paklek. Kami pun memperkenalkan diri pada Eyang Suratmi. Walau kami tidak ingin memusingkan tentang paradoks waktu, kami tetap menjaga informasi yang kami sampaikan pada eyang. “Aroma sayur lodeh…” guman cahyo tiba-tiba. “Iyo, Jul! Persis kan sama buatan bulekmu?” “Ho’oh.. persis. Kapan lagi kita bisa makan masakan dari pemilik resep aslinya langsung,” Melihat tingkah Cahyo dan Paklek, semua orang di tempat itu pun menggeleng. Eyang Suratmi yang memastikan makananya sudah matang pun mengajak kami untuk menikmati masakannya dulu. Seperti yang Ia perintahkan. Para prajurit datang sebelum gelap dan ikut menikmati masakan yang tidak pernah gagal menghapus rasa lelah dan kegelisahan kami itu. Walaupun mungkin kami berbeda zaman, cara berbicara, pemahaman, hingga kebiasaan. Namun masakan ini seolah jadi bahasa yang sama untuk menyatukan kami menikmati saat-saat itu. “Setelah makan, kalian batu evakuasi warga desa, ya!” ucap Nyai Suratmi. “Maksud Nyai?” tanya Raja. “Ada satu prajurit kalian yang tidak kembali ke sini. Sebaiknya kita berjaga-jaga,” Ucap Nyai Suratmi.

Mendengar kalimat itu, Panglima Brasma pun berdiri dan mengecek prajuritnya. Dan benar, ada seorang prajurit yang tidak ikut kembali ke tempat ini. Terdengar sepele memang, namun dalam kondisi genting seperti ini, ini bisa jadi masalah yang besar. Desa yang sebelumnya tenang itu perlahan menjadi ramai dengan warga yang bingung dengan perintah tiba-tiba itu. Namun saat melihat sosok sang raja berada di tengah mereka, mereka pun patuh dan tidak membantah sama sekali. “Yang Mulia, saya Bira, salah satu juragan di desa ini. Ada beberapa benda di rumah saya yang mungkin berguna untuk Yang Mulia. Jangan segan-segan untuk menggunakannya jika dibutuhkan,” Ucap salah seorang warga. “Terima kasih, Den Bira.. niatmu pasti akan sangat membantu,” balas Raja Indrajaya. “Yang Mulia mengetahui panggilan saya?” Den Bira kaget. “Haha.. Daryana pernah bercerita tentangmu. Mana mungkin saya melupakan kisah juragan yang tak segan membela hal benar..” “Terima kasih.. Terima kasih yang mulia. Kehormatan untuk saya,” Pamit Den Bira. “Jaga dirimu baik-baik, Den Bira. Prajuritku akan melindungi kalian,” Ucap Panglima Brasma yang juga mengenali wajah itu. Den Bira pun meninggalkan desa setelah memastikan tidak ada warga sipil lain yang berada di desa. “Desa ini banyak diisi orang baik..” ucap Panglima Brasma.. “Benar, Widarpa curang.. bisa-bisanya dia mendapatkan tempat sebaik ini untuk keluarganya,” Balas Raja Indrajaya. Benar firasat Nyai Suratmi. Menjelang tengah malam, Desa Wirobayan dikelilingi oleh kekuatan yang membuat kami cemas. “Ada yang datang…” ucap Paklek. Kami melihat keluar dan desa ini sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. banyak sosok melayang-layang di jalan desa dengan wujud bagian tubuh manusia. Kepala yang melayang-layang, kaki yang menapak tanpa tubuh, hingga usus dan organ manusia yang beterbangan. “Mereka adalah setan perang. Sosok yang berasal dari korban-korban yang mati saat peperangan,” jelas paklek. “Apa bisa ditenangkan?” Tanya Panglima Brasma. “Bisa, selama kita mengalahkan empunya..”

Seperti biasa, Cahyo memanjat rumah Eyang Suratmi dan mencari tahu keberadaan sosok yang menjadi penyebab kemunculan setan-setan ini. “Siluman…” Gumam Cahyo. “Tapi pakaian yang ia kenakan seperti yang dikenakan oleh Jatayu Wungu,” Mendengar ucapan itu wajah Raja Indrajaya dan Panglima Brasma pun kaget. Ia menyusul cahyo ke atas rumah dan mendapati sosok yang mereka kenal. “Patih Singo ireng… Rupanya petunjuk yang kita dapat dari Watara benar adanya,” Ucap Panglima Brasma. “Aku sempat berharap kalau namanya hanya dimanfaatkan oleh Jatayu Wungu,” Tambah Panglima Brasma. Aku pun merasakan kedatangan sosok yang mengerikan. Kekuatanya jauh melebihi Patih Jatayu Wungu sebelumnya. Dan Faktanya, Patih Singo Ireng tidak memanggil setan-setan korban perang yang datang ke desa ini. Setan-setan itu hanya menikmati kekuatan gelap yang begitu besar dari sosok itu. Patih singo ireng membawa pasukannya sendiri. Segerombolan setan anjing-anjing besar yang terlihat begitu buas dan siap melahap siapa saja. “Ini tidak akan mudah..” Ucapku sambil menelan ludah. “Benar, kita butuh lebih dari sekedar ilmu kanuragan kita untuk menangani ini semua,” Tambah Paklek. Mengetahui keadaan semakin bertambah rumit, Cahyo pun turun dan menghampiri Eyang Suratmi. “Eyang, sebaiknya eyang ikut mengungsi. Aku akan menghantarkan eyang ke luar desa,” Tawar Cahyo. “Saya akan tetap di sini, saya yakin kalian bisa menangani ini semua..” Tolak Eyang Suratmi. Mendengar penolakan itu aku dan paklek menghampiri Eyang Suratmi untuk ikut membujuknya, namun ia malah masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa sebuah kotak kayu. “Kalau kalian memiliki darah Sambara, harusnya kalian bisa menggunakan ini. Seharusnya ini bisa membantu kalian,” Ucap Eyang Suratmi menyerahkan kotak kayu itu. Kami semua berkumpul dan melihat isi kotak itu. Dua buah keris… “Ini keris yang Widarpa gunakan untuk menyelamatkan nyawaku dulu..” Ucap Raja Indrajaya. Aku dan Paklek sangat mengenal dua keris itu. Walau berada di zaman yang berbeda, aku tahu bahwa keris ini adalah benda yang sama. “Keris Sukmageni, dan Keris Ragasukma!” Cahyo semangat melihat kedua keris itu. Aku segera mengambil keris ragasukma dan seketika wujud gaib keris itu merasuki sukmaku. “Ternyata kalian benar cucuku…” Ucap Eyang Suratmi yang menyadari fenomena itu.

Paklek mengambil keris Sukmageni dan menyatukan sukmanya pada keris itu. Mereka pun terhubung dengan mudah seolah keris dari zaman dulu pun mengetahui siapa tuannya di masa depan. Paklek sadar darah dari tubuh yang ia rasuki sekarang tidak akan bisa mengaktifkan kekuatan keris sukmageni. Ia pun melakukan ikatan perjanjian sementara pada tubuh itu untuk menggunakannya. Darah Paklek menetes pada bilah keris sukmageni, dan ketika keris itu menyala kami menyadari bahwa kedua keris ini bersedia membantu pertarungan kami. “Dan kamu, Cahyo. Apa kamu tidak memiliki pusaka?” Tanya Raja Indrajaya. “Hahaha! Aku tidak cocok menggunakan benda seperti itu. Sarungku saja tidak pernah kucuci apalagi pusaka yang merepotkan!” Balas cahyo. “Haha, kau sama seperti seseorang yang ku kenal. Dia enggan kuwariskan pusaka dan memilih untuk mencari ilmu di hutan..” Ucap Raja Indrajaya. “Wah sama! Cahyo juga sering main ke hutan sama Kliwon teman keranya. Memang siapa kenalan Yang Mulia?” Tanyaku. “Anak kedua saya, Baswara. Kalian punya banyak kemiripan. Kalian harus bertemu dengannya suatu saat nanti!” “Boleh, tapi setelah kita kita membereskan Patih Siluman itu dulu” Balas Cahyo. Sosok itu pun mendekat, keberadaan kami sudah tercium oleh anjing-anjing hitam yang menggeram menunggu perintah. Diantara mereka ada sosok manusia gagah dengan kulit yang sudah hitam terbakar hangus. Aku yakin rusaknya tubuh itu karena ilmu yang mengubahnya menjadi siluman. “Semasa menjadi manusia saja Patih Singo Ireng sudah yang terkuat diantara para Patih. Apa kita bisa mengalahkan dia yang berada dalam wujud itu?” Cemas Panglima Brasma. “Tenang saja.. Danan dan Paklek sudah menggenggam pusakanya. Semuanya akan berbeda setelah ini,” Ucap Cahyo.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close