Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 6) - Ikatan Leluhur

GENDING KEBOGIRO Langkah kaki sekelompok orang mendekat di tepi sebuah desa mati di pesisir pantai selatan. Beberapa dari mereka adalah sosok berumur dan berambut putih seperti salju yang melambangkan kebijaksanaan yang telah mereka jejaki semasa hidup. Sejenak, keheningan di antara mereka hanya terpotong oleh deru ombak yang menggulung di kejauhan.Mereka pun terhenti tepat saat mencapai sebuah desa yang tak lagi dihuni oleh manusia. Sebaliknya, bangsa tak kasat mata merajai desa itu dengan mayat-mayat manusia sebagai pondasinya. “Bagaimana, eyang? Apa kita bisa membersihkan desa itu?” Tanya seorang perempuan pada kakeknya. Sang kakek menoleh kepada beberapa temannya yang sudah memasang wajah cemas semenjak mendekati desa itu. “Kalau untuk melawan setan-setan yang berkeliaran di desa itu, mungkin bukan masalah besar. Namun sesuatu yang membuat setan-setan itu berkumpul di tempat inilah yang berbahaya,” Jawab Sang kakek. Mereka adalah orang-orang pelaku spiritual yang memiliki kesaktian yang tak bisa diremehkan, Padepokan Ki Kumbang Ranu. Berbekal pusaka dan ilmu kanuragan, mereka seringkali berurusan dengan makhluk tak kasat mata yang mengganggu orang-orang yang meminta pertolongannya. Tapi masalah kali ini berbeda… Belum sempat mengambil keputusan, tiba-tiba laut bergejolak saat purnama merah menyala dengan terang di langit hitam. Tiba-tiba ada suara alunan musik gamelan terdengar dari arah desa seolah menyambut sesuatu. “Pergi, Nduk. Kamu nggak boleh ada di tempat ini!” Perintah Ki Kumbang Ranu pada cucunya yang mengantar mereka. “Nggak, Eyang! Ranaya harus pastiin Eyang kembali dengan selamat,” Wajah Ki Kumbang Ranu benar-benar berbeda dari biasanya. Ranaya mengetahui itu. Terlebih ia merasakan gejolak besar yang berasal dari arah laut. “Itu gending kebogiro, Eyang! Ada sosok yang mereka sambut!” Ki Kumbang Ranu mengangguk dan menelan ludah. Keringat menetes di pelipisnya saat menyadari kekuatan besar yang mendekat dari samudra. Dari dalam rumah-rumah di desa itu tiba-tiba muncul beberapa orang dengan bentuk tubuh yang aneh. Kulitnya hitam seolah pernah membusuk dengan bau yang amat menyengat. Ki Kumbang Ranu menggeleng melihat sosok-sosok itu. Orang-orang itu masing-masing membawa sebuah nampan berisi taburan kembang dan kemenyan. Tapi tak hanya itu. Saat mereka membuka kain yang menutupi sesajen, terlihat kepala perempuan muda yang akan dijadikan persembahan. “Ini adalah bukti kesetiaan pengikutmu. Kepala anak kandung dari pengikut setiamu di zaman ini…” Ucap mereka sembari meletakkan nampan-nampan itu di sekitar punden berundak yang berada di tengah desa. Alunan gending terdengar semakin keras bersama api yang mulai menyala di tengah-tengah mereka. “Mereka itu siapa, Eyang?” Tanya Ranaya yang heran dengan orang-orang yang berada di desa itu. “Mayat..” “Hah? Mayat?” Ki Kumbang Ranu mengangguk, “Mereka bukan manusia dari zaman ini. Roh mereka tertahan selama ratusan tahun, dan mayat mereka diawetkan dengan sebuah ilmu. Saat waktunya tiba, mereka akan dibangkitkan kembali, dan itu adalah di masa ini.”


Ranaya merinding mendengar cerita itu. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ada jasad yang bisa hidup kembali setelah ratusan tahun. Duoooongggg!!! Suara gong terdengar dan alunan gamelan semakin meriah, saat itu kepulan kabut laut menutupi pusat desa dan mengeluarkan bau amis yang pekat. Dari balik kabut itu samar-samar terlihat bayangan seorang perempuan bersanggul mengenakan selendang. “Selamat atas kebangkitan Nyai Ratu Tanusedo, Ratu Pakujagar yang agung!” Teriak salah seorang diantara mereka. Kabut laut itu pun menghilang dan menampakkan seorang wanita yang sangat tua dengan pakaian kebaya agung berwarna hitam. Wajahnya mengerikan, seolah kulit-kulit di tubuhnya ingin mengelupas dan mengeluarkan bau busuk. Namun tanpa menunggu lama, para pemujanya itu menghantarkan kepala perawan yang mengelilingi punden tempat ia bangkit itu. Sosok yang disebut dengan Nyai Ratu Tanusedo itu meminum satu persatu darah yang diperah dari kepala-kepala itu. Setiap darah yang ia minum membuatnya menjadi lebih muda dan menawan. “Mana suamiku? Prabu Junoyo?” ucap Nyai Tanusedo. “Mohon maaf Nyai Ratu, Prabu Junoyo sedang mengurus pengganggu-pengganggu yang berada di luar sana. Ia ingin memastikan tak ada satupun yang menghalangi kebangkitan Nyai Ratu,” Balas salah satu pengikutnya. “Bagus, siapapun yang menentang Trah Pakujagar harus mati!” Saat itu seketika aura mengerikan memancar hingga keluar desa. “Sebaiknya kita sambut dulu tamu kita..” Ucap Nyai Ratu dengan menoleh jauh ke arah kelompok Ki Kumbang Ranu. Dheggg!!! Seketika firasat bahaya menyelimuti mereka. “Lari, Nduk! Pergi dari sini!” Perintah Ki Kumbang Ranu pada Ranaya. “Nggak, eyang! Nggak!” Sosok Nyai Ratu Tanusedo pun mulai melayang ke arah mereka. “Pilihannya hanya dua. Bergabung denganku dan menyembahku, atau bergabung sebagai tumbalku,” ucap sosok itu. Ki Kumbang Ranu merasakan bahwa saat ini nyawanya dan kelompoknya sedang diujung tanduk. Padahal belum terjadi apa-apa diantara mereka. “Untuk kali ini saja kamu dengerin perintah eyang, Nduk!” “Tapi, eyang?” “Benar, Ranaya. Ini diluar kapasitas kami. Tapi jika kamu selamat, mungkin kamu bisa mencari orang yang bisa menyelamatkan kami…” Tambah salah seorang teman Ki Kumbang Ranu. Ranaya menatap mata eyangnya dengan khawatir, namun alasan itu masuk akal. Ia pun dengan berat hati meninggalkan ketiga eyang-eyangnya dan secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Ki Kumbang Ranu mengeluarkan sebuah topeng berwarna merah dengan bentuk mengerikan dan mengenakannya. Kedua temannya melakukan hal yang sama, mereka mengenakan topeng putih dengan bentuk yang tak jauh berbeda. Saat itu seketika energi di tubuh Ki Kumbang Ranu dan kawan-kawan nya berubah. Ada sosok makhluk berwujud setan kuno yang merasuki tubuh mereka. “Tindakan bodoh!”

Kedua teman Ki Kumbang Ranu melesat dengan menghentakkan kakinya ke tanah hingga tanah itu bergetar. Dengan cepat tiba-tiba mereka sudah berada di sisi-sisi Nyai Ratu Tanusedo dan merapalkan mantra pembakar. Ki Kumbang Ranu tetap berada di tempatnya, namun ia sudah mempersiapkan ilmunya yang seketika memunculkan wujud ular api raksasa dari bawah tubuh Nyai Ratu. “Musnahlah!” Teriak Ki Kumbang Ranu. Panas api menyala begitu membara jauh lebih panas daripada api yang ada. Namun dengan serangan sehebat itu seluruh pengikut Nyai Ratu terlihat tenang, sama sekali tidak terlihat kekhawatiran diantara mereka. Sosok tubuh yang hangus terbakar pun muncul dari api itu, namun dalam sekejap setiap daging dan kulit dari tubuh itu pulih sendiri. Energi gaibnya membentuk tubuh dan pakaian nya yang anggun kembali. “Sepertinya dangi-daging kalian lebih berguna untuk makanan pengikutku,” Ucap Nyai Ratu. Tanpa sempat berbuat apa-apa tiba-tiba tubuh Ki Kumbang Ranu dan kedua temannya itu tercekik dan melayang begitu tinggi. Sebagian topeng mereka pecah dengan kuatnya tekanan dari Ratu Trah Pakujagar itu. Dari jauh Ranaya terhenti dan tubuh Eyangnya melayang menembus pepohonan. “Eyang…” Cemas ranaya yang tak mampu menahan air matanya. “Per…. Gi…” Dari jauh Ranaya membaca gerak bibir eyangnya yang menoleh ke arahnya. Ranaya tak mampu melihat kejadian setelah itu. Ia pun memaksakan diri untuk berpaling dan menghapus air matanya. Secepat mungkin ia berlari meninggalkan tempat terkutuk itu dan berharap ada keajaiban yang menyelamatkan eyang-eyangnya itu. Suara hantaman keras terdengar seperti benda yang jatuh dari tempat yang begitu tinggi. Ranaya sadar, tak mungkin ada yang bisa selamat dari keadaan seperti itu. ***

WARISAN MASA LALU (Sudut pandang Danan…) Desa yang sebelumnya sangat tenang dan damai ini tiba-tiba berubah mencekam dengan kedatangan sosok pengkhianat kerajaan yang tidak pernah diduga. Patih Singo Ireng… Aku bisa menebak wujud sebenarnya adalah seorang patih yang bertubuh besar dan gagah. Namun kali ini, sebagian dari tubuhnya menghitam dan berbulu seperti hewan buas. Sebagian wajahnya pun sudah berubah seperti binatang pembunuh. Hanya ada seorang prajurit di belakangnya, kami mengenali wajahnya. Ia adalah pengkhianat dari prajurit Mas Brasma. “Ini pertama kalinya prajuritmu ada yang berkhianat, Brasma.” Ucap Raja Indrajaya.. “Dia tidak berkhianat, Paduka. Dia dikendalikan. Aku selalu percaya dengan prajurit-prajuritku,” Mendengar perbincangan itu, kami pun memperhatikan prajurit tadi. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan pada dirinya, namun ketika kami memperhatikan lebih jauh, kami menyadari tidak hanya ada satu roh yang berada di tubuhnya. Patih Singo Ireng memanggil prajurit itu mendekat. Ia memberikan tetesan darahnya pada prajurit mas brasma itu. Seperti kesetanan, prajurit itu meraih tetesan darah Patih Singo Ireng dan menjilatinya. Pemandangan mengerikan terjadi di hadapan kami. Mata prajurit itu memerah, liurnya menetes dengan gigi yang semakin tajam, bulu-bulu mulai tumbuh di tubuhnya dan raungan buas mulai terdengar dari mulutnya. “Gila, dia dirubah jadi hewan?” Cahyo heran. “Berarti bisa saja anjing-anjing besar yang mengawalnya itu prajurit-prajuritnya sendiri,” Tambahku. Melihat kejadian itu Mas Brasma dan Raja Indrajaya geram. “Berani-beraninya ia memperlakukan prajuritku seperti itu,” geram Mas Brasma. “Tidak bisa dimaafkan,” Raja Indrajaya kesal dan sedih melihat prajurit-prajuritnya berubah menjadi siluman anjing yang menjadi budak Patih Singo Ireng. Grrrrrrr!!!! Lebih dari sepuluh siluman anjing menyerbu masuk ke dalam desa. Langkahnya begitu cepat dan lincah menelusuri bangunan-bangunan di desa. Cahyo melompat lebih dulu ke tengah-tengah pertarungan. Tubuhnya sudah diselimuti ajian penguat raga yang menjadi perantara amarahnya atas perbuatan Patih Singo Ireng. Mengetahui niat Cahyo, siluman-siluman anjing itu berlari ke satu arah dan mengincar cahyo. Tapi sebelum mereka sempat mendekat… Srattt!! Sratt!!! Srattt!!! Satu persatu siluman-siluman anjing itu berjatuhan. Luka sayatan yang dalam menggores tubuh mereka hingga darah mereka yang telah menghitam bermuncratan di udara. “Apa yang terjadi?!” Mas Brasma heran dengan apa yang mereka lihat. “Kau urus, biangnya. Mereka urusanku,” Ucapku dalam wujud sukma. Raja Indrajaya menoleh ke arah tubuhku yang tengah duduk bersila dengan menggenggam Keris Ragasukma. Ya, itu ulahku. Sebelum siluman anjing itu mendekat, aku harus membereskanya untuk mengurangi pertarungan yang tidak perlu. Dhuaagggg!!! Sebuah pukulan keras beradu antara Cahyo dan Patih Singo Ireng. Pukulan mereka terlihat seimbang, namun serangan cahyo itu berhasil mendorong Patih Singo Ireng jatuh dari kudanya. “Bangun!” Perintah Cahyo. Cahyo benar-benar marah. Bahkan kuda tunggangan Patih Singo Ireng merasakan tekanan dari Cahyo dan memilih untuk melarikan diri. “Manusia-manusia bodoh!”

Patih Singo Ireng mencabut kedua pedang darin pinggangnya dan melesat menyerang cahyo. Dengan gesit cahyo menghindari serangan-serangan Patih Singo Ireng, namun aku tahu itu tidak mudah. “Kita bantu Cahyo!” Perintah Raja Indrajaya. Panglima Brasma dan Raja Indra berlari menembus serangan siluman-siluman anjing itu. Aku memperhatikan paklek yang sedang mempersiapkan rencana dengan menciptakan kobaran-kobaran api di sekitarnya. “Jaga tenagamu, Danan. Yang mengerikan baru akan datang,” Ucap Paklek. Aku tidak mengerti ucapan paklek. Apa maksudnya setan korban perang yang bergentayangan dan Patih Singo Ireng ini bukan lawan sebenarnya yang mengincar kami? Tapi aku percaya pada prediksi paklek dan mengikuti arahannya. Dengan segera aku kembali ke tubuhku dan terjun kembali menghadapi anak buah Patih Singo Ireng. Hanya dalam beberapa saat, Desa Wirobayan berubah menjadi medan perang antara kami dan makhluk-makhluk tak kasat mata. “Sepertinya kalian begitu terbiasa dengan pertarungan seperti ini. Apa kalian tinggal di masa-masa yang mencekam?” Nyai Suratmi bertanya dengan wajah khawatir pada Paklek. “Jangan khawatir, Nyai. Kami hidup bahagia di tempat yang damai. Hanya saja kami diberi anugerah untuk menjadi bagian dari orang-orang yang menjaga perdamaian itu. Nyai akan sangat mengerti kelak,” Balas Paklek. “Kamu berkata jujur?” Paklek mengangguk dengan sedikit tersenyum meyakinkan Nyai Suratmi. Sepertinya ia meyakini aku dan paklek sebagai garis keturunannya dan cemas dengan kehidupan kami kelak. “Nyai jangan jauh-jauh dari saya, selesai pertarungan ini, kita bicarakan sedikit tentang masa itu,” Balas Paklek. Yah, aku juga menanti saat untuk bercerita pada Nyai Suratmi yang tak sempat kami temui saat ia menunggu keris sukmageni yang diwariskan pada paklek. Setidaknya hal itu menjadi motivasi kami untuk segera menyelesaikan pertarungan ini. Jalannya pertarungan tidak berkembang, setiap siluman yang kami kalahkan mencoba terus berdiri dengan kekuatan dari darah hitam yang merasuki mereka, walaupun pada kenyataanya tubuh mereka sudah tak mampu untuk bergerak dan begitu tersiksa. Tapi kami tidak memperhitungkan satu hal. Bulan purnama… Saat itu kami tidak menyadari bahwa bulan purnama bersinar dengan terang tepat di atas kepala kami. Saat itu Patih Singo Ireng mengambil jarak dan bertingkah aneh. “Getih ireng nggugah kakuwasan peteng, panguwoso ing wengi sudi masrahake kekuwatan marang panembah...” Sebuah mantra terdengar dari Patih Singo Ireng dengan posisi tubuh berpusat pada purnama. Tubuh Patih Singo Ireng perlahan membesar. Kulit-kulitnya robek memamerkan dagingnya, dan nafasnya menderu-deru seolah bernafsu mengejar mangsanya.

“Cahyo, mundur!!” Teriakku memperingatkan Cahyo. Sratt!! Srattt!!! Trang! Trang!!! Tidak sempat! Dalam sekejap dua tebasan Patih Singo Ireng merobek dada Cahyo, sementara dua tebasan berikutnya dapat tertahan dengan sigap oleh Panglima Brasma dan Raja Indrajaya. “Cahyo!!” Darah mengalir dari luka cahyo yang membuatnya terbaring di tanah, namun sebelum ia merasakan kesakitan api putih melayang yang membakar bekas luka itu. “Jangan lengah, Jul!” Teriak Paklek yang dengan sigap menutup luka Cahyo dengan ilmunya. Aku menghela nafas lega, dan dengan hati-hati merinci serangan terakhir terhadap kroco-kroco anak buah Patih Singo Ireng itu. Meski pertarungan telah berlangsung sengit, namun semangat untuk menyelesaikan pertarungan ini tetap membara di dadaku. Saat tubuh Patih Singo Ireng berubah menjadi sesosok monster mengerikan, anak buahnya pun tak luput dari dampak mengerikan tersebut. Mereka berubah menjadi makhluk mengerikan dengan tubuh yang terkoyak dan mata yang memancarkan kegilaan. Aku merasa ragu apakah mereka masih dapat bertahan hidup setelah malam ini. "Paklek!" Panggilanku memecah keheningan malam, dan paklek segera merespons dengan melemparkan kobaran api Geni Baraloka yang memukau. Aku menerima panji suci itu dan segera menyematkannya pada Keris Ragasukma. Geni Baraloka, api keramat dari jurus terhebat paklek, menjadi penawar bagi kutukan, penenang roh, hingga penyembuh luka gaib. Meskipun tidak setangguh sukmageni, namun kekuatan api ini dapat terus membara dan dikendalikan oleh yang memiliki kewibawaan. Dengan mantap, aku menebaskan Keris Ragasukma yang ditenagai oleh Geni Baraloka ke arah siluman-siluman anjing yang semakin mengamuk dengan brutal. "Sratt!! Sratt!!" Suara gesekan keris memecah udara malam, menyertai setiap goresan yang kuhantamkan pada tubuh makhluk-makhluk terkutuk itu. Meski begitu, jumlah mereka yang melimpah membuat pelarianku semakin sulit. Cakaran dan gigitan tak terhindarkan, dan tubuhku mulai terasa terhimpit oleh rasa sakit. Namun, tekadku untuk menyelesaikan pertarungan ini tak berkurang sedikit pun. Perasaan hangat menyelimuti tubuhku, sebuah kehangatan yang terasa begitu ajaib. Tanpa disadari, setiap luka di tubuhku perlahan mulai sembuh, dan aku tahu inilah uluran tangan ajaib paklek. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk membacakan mantra khusus pada Keris Ragasukma, mantra yang sama dengan ajian lebur saketi. Seketika itu juga, Keris Ragasukma tersemat dengan kekuatan Geni Baraloka, menyatu dalam cahaya putih yang mempesona. Ketika siluman-siluman itu mulai meluncur menuju arahku, aku melancarkan tebasan-tebasan bertubi-tubi dengan Geni Baraloka, memotong ruang udara dengan gemuruh. Tubuhku terasa seperti melibatkan diri dalam tarian magis, dihiasi oleh kilatan api yang menaklukkan setiap setan yang berani mendekat. Dan berhasil...

Siluman-siluman itu terkapar, kutukan yang mengubah mereka menjadi makhluk mengerikan mulai menghilang bersama kehadiran Geni Baraloka. Mereka tak lagi mampu pulih, hanya bisa terbaring dan merintih kesakitan, sementara cahaya putih yang menenangkan menyelimuti tubuh mereka. Rasa sakit kutukan itu membuat mereka merasakan sakit dari tubuh mereka yang melampaui batas wajar. Saat itu juga aku kembali berpaling ke arah Patih Singo Ireng yang sedang menjadikan Cahyo, Panglima Brasma, dan Raja Indrajaya sebagai bulan-bulanannya. “Ggrrraorr!! Darahmu! Darah seorang raja akan menyempurnakan kebangkitan kami!” Patih Singo Ireng menyerang dengan buas, sementara serangan-serangan yang dihantamkan kepada dirinya seolah tidak ia rasakan. Mereka bertiga kewalahan, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda putus asa di mata mereka. “Ambil jarak!” Perintah Raja Indrajaya. Ia mengambil kendi kecil dari sakunya dan melemparkannya ke tanah. Ia membacakan sebuah ajian dan merubah genagan itu menjadi uap yang begitu banyak dan meniupkan ke sekitarnya. Tidak ada yang berubah, namun Patih Singo Ireng dan semua makhluk yang berada di sekitar itu tertahan. Ada asap hitam yang menguap dari tubuh mereka. “Apa ajian itu berguna?” Tanya Panglima Brasma. “Aku tidak yakin, tapi setidaknya keluarnya asap dari tubuh Patih Singo Ireng menandakan ada kekuatan hitam yang terlepas walau hanya sedikit. Kita manfaatkan kesempatan itu,” Dengan isyarat dari Raja Indrajaya, serangan mereka menyapu Patih Singo Ireng secara bersamaan. Patih Singo Ireng terlihat tengah bergulat dengan kekuatan yang tak terlihat di dalam dirinya, namun nalurinya masih mampu menahan serangan ketiganya. “MATI KALIAAN!!!” jeritannya memenuhi udara saat pikirannya semakin terombang-ambing. Patih Singo Ireng melancarkan serangan membabi buta, menggemparkan sekitarnya hingga pohon-pohon tumbang dan bangunan rusak. Namun, inilah peluang yang ditunggu. "Aku saja," ucap Cahyo. Ia mengumpulkan kekuatan aji pada salah satu lengannya, membaca serangan tak terarah Patih Singo Ireng, dan menghantamnya dengan pukulan ke dahi. Patih Singo Ireng terpental, terbaring di tanah, dan darah hitam mengalir dari mata, hidung, dan telinganya. Serangan Cahyo sepertinya telah menghancurkannya. “Jangan mengulangi kesalahan yang sama seperti saat melawan Jatayu Wungu!” perintah Raja Indrajaya. Mereka pun bersiap bersama Panglima Brasma untuk menyudahi hidup Patih Singo Ireng. Trang!! Tranggg!!!

Belum sempat pedang mereka menyentuh tubuh yang hampir tak berdaya itu, senjata mereka terpental oleh serangan misterius. “Mundur!!!” teriakku. Firasatku merasakan kehadiran sesuatu yang mengerikan. Cahyo yang merasakan firasat yang sama dengan cepat menarik Raja Indrajaya dan Panglima Brasma ke belakang. Ada sesosok makhluk yang berdiri melindungi tubuh Patih Singo Ireng yang terkapar itu. Rasa tegang melingkupi udara, dan pertarungan yang tampaknya sudah berakhir mendadak menjadi lebih rumit. “Cih, ternyata kau tetap saja pecundang,” ucap sosok itu. Manusia? Entahlah. Kekuatan yang baru saja tiba sepertinya melampaui batas kemampuan manusia. Gelapnya energi yang mengalir dari tubuhnya memicu reaksi mengerikan pada tubuh-tubuh siluman di sekitarnya. Seolah-olah kehadirannya sendiri adalah mimpi buruk yang membisikkan ketakutan pada kegelapan malam. Kulitnya hitam pekat, seakan menyerap segala cahaya yang mencoba menyentuhnya, dan matanya memancarkan warna merah yang menyiratkan ketidaknyamanan. Tubuhnya kokoh dan besar, dikuasai oleh kekuatan yang melebihi akal manusia. Kuku-kuku panjangnya seperti senjata mematikan yang siap meluluhlantakkan segala yang berani mendekatinya. Apa yang membuatnya semakin menyeramkan adalah keberadaan keris aneh yang menancap di tengah-tengah dadanya. Meski begitu, bukanlah kematian yang dihasilkan oleh senjata itu. Gagang keris yang berwarna hijau, dengan ukiran menyerupai ombak, menambah aura misterius dan menakutkan pada sosok tersebut. “Jaga bicaramu! Raja pecundang itu dilindungi orang-orang sakti,” Balas Patih Singo Ireng yang kembali mencoba berdiri dengan bantuan tenaga hitam dari sekutunya itu. “Dalam peperangan, mulailah dari yang terlemah!” Dheggg! Perasaanku seketika berubah tidak enak. Sosok itu pun menghilang dari pandangan kami. “PAKLEK! EYANG SURATMI!!!” Teriakku. Dugaanku benar, sosok itu tiba-tiba berada di belakang Eyang Suratmi yang berlindung tak jauh dari Paklek berada. “Dimulai darimu..” Makhluk itu menghujamkan cakarnya pada tubuh nyai suratmi. Jlebbb!!! Cakar yang tajam dan penuh kekuatan hitam menusuk tubuh, mengoyak daging. Paklek terlambat menahan serangan itu, dan teriakanku memotong hening malam. “Eyang!!” seruku, namun darah merah sudah membasahi kuku panjang makhluk itu. Ia menjilati darah itu dengan senyum penuh kebanggaan atas perbuatan keji yang baru dilakukannya. “I—Itu bukan saya!” Tiba-tiba, suara Eyang Suratmi terdengar dari tempat yang tak jauh dari Cahyo dan Panglima Brasma. Kami menoleh, dan benar, Eyang Suratmi berdiri di sana. Lalu... “Ra—raja Indrajaya!!” teriak Paklek panik saat menyadari posisi sang raja kini bertukar tempat dengan Eyang Suratmi. “Makhluk biadab!!!” Paklek mengamuk dan membangkitkan kobaran api merah yang menyala. Ia melontarkan kobaran api itu pada makhluk itu. Dhaaarrr!!! Sebuah ledakan melubangi bagian rumah Eyang Suratmi, tapi makhluk itu lenyap. "Ra—raja! Apa yang terjadi?" teriak Paklek, mencoba mempertahankan kesadaran Raja Indrajaya sambil menggoreskan darahnya pada Keris Sukmageni. Api putih muncul dari bilah keris sukmageni, membakar tubuh raja, memulihkan dan menyembuhkan, namun luka itu masih terbuka. Ilmu itu, meski kuat, tampaknya belum cukup untuk menyelamatkan nyawa sang raja. “Nyai Suratmi… selamat?” bisik sang raja lemah. “Iya, Nyai Suratmi baik-baik saja,” jawabku yang baru tiba.

Aku menunjukkan Cahyo yang tengah melindungi Nyai Suratmi, sambil tetap waspada terhadap makhluk yang kembali berada di sisi Patih Singo Ireng. “Syukurlah…” “Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya cahyo yang masih bingung dengan kejadian yang begitu cepat ini. “Yang Mulia bertukar tempat dengan Nyai Suratmi dengan ajian saipi anginnya... Sungguh, aku tidak menyangka ia bisa senekat itu,” ucap Panglima Brasma, cemas, tetapi masih harus memastikan bahwa mereka tetap aman dari ancaman makhluk itu. “Danan, kita habisi makhluk itu,” Ucap Cahyo Geram. Kali ini ia benar-benar marah. Aku pun menitipkan Eyang Suratmi pada paklek. Ia pun bergegas membantu paklek mengobati sang raja dengan peralatan seadanya. “Lepaskan semua kekuatan yang kita punya, tidak ada lagi belas kasihan untuk mereka,” ucapku. Aku dan Cahyo berlari menerjang mereka, namun Patih Singo Ireng menghadang kami. “Ku Balas perbuatan kalian!” Teriaknya. Belum sempat kami melancarkan serangan sebuah pedang melayang dengan cahaya menyelimutinya. Pedang itu mengarah tepat ke tubuh Patih Singo Ireng. Jleb!! Pedang itu tertancap di bahunya, namun ia melepaskannya begitu saja. “Biar aku yang menghabisi patih pengkhianat ini!” Ucap Panglima Brasma yang mengambil alih pertarungan itu. “JANGAN SOMBONG KAU BRASMA!!!” Amarah kami bertiga sudah tak terbendung lagi. Dengan Patih Singo Ireng yang sekarat, harapan kami kini bertumpu pada Panglima Brasma. Ajian lebur saketi dan pukulan Cahyo bergantian menerjang, mengguncang tanah di sekeliling, namun makhluk itu tetap tak tergoyahkan. “Kau pikir dengan serangan begini bisa menghadapiku?” ucap makhluk itu sombong, tetapi kami tak kenal ampun, terus menyerangnya. “Aku satu-satunya pangeran Pakujagar yang mewarisi kekuatan para batara. Mati dan menjadi tumbalku adalah kebanggaan bagi kalian,” ucap makhluk itu, meracuni telinga kami dengan kata-kata kesombongannya. “Tidak sudi!” Bhuugggg!!! Pukulan Cahyo menghantam wajah makhluk itu, memalingkan pandangan sejenak, tetapi itu tak cukup. Namun, namanya Pakujagar menggugah kenangan buruk tentang zaman kami. Apakah ini sebabnya kami terjebak di alam ini? Aku tak ingin terlalu memikirkan itu dan terus menyerang, mengarahkan keris Ragasukma ke tubuh makhluk itu.

“Serangan keris bodohmu takkan ada artinya,” ucapnya, menepis beberapa seranganku, namun pukulan Cahyo sekali lagi membuatnya kehilangan fokus dan aku berhasil menusuk keris Ragasukma ke tubuhnya. “Sudah kukatakan, tak ada artinya...” ucapku, tetapi ia seakan tak merasakan rasa sakit dan bersiap untuk melukai kami dengan cakarnya. Tapi aku belum menyerah. Aku mengucapkan ajian, dan tiba-tiba, kilatan cahaya menyelimuti Keris Ragasukma. Sraaaaattttt!!! Makhluk itu terluka, merintih kesakitan. “Kekuatan Batara? Jangan bercanda,” ucap Cahyo dengan nada tajam. Pangeran Pakujagar murka. Ia menyentuh keris yang menancap di dadanya, perbuatanya itu pun menyulut cahaya hijau yang menyala dari keris itu.. “Cahyo! Awas!!!” Kami berusaha menjauh, namun petir hitam menyambar dengan kecepatan mengerikan. Kami terlambat menghindar, dan luka bakar menempel di lengan dan bahu kami. “Sialll!” umpat Cahyo. Aku memandang Paklek, yang tidak dapat membantu kami karena kekuatannya terfokus untuk mempertahankan Raja Indrajaya. Situasinya semakin tegang, dan pertarungan melawan makhluk ini menjadi semakin tidak terduga. Ini gawat… Aku dan Cahyo kembali memasang kuda-kuda bersiap dengan serangan berikutnya. Namun bila itu serangan yang sama, jelas itu adalah sebuah masalah. “Kali ini kalian tidak akan bisa lari!” Sekali lagi pangeran trah pakujagar itu menyentuh keris yang menancap di dadanya. Suara gemuruh dari langit terdengar seolah bersiap menjatuhkan petir yang lebih mengerikan. Aku menelan ludah bersiap menghadapi apa yang akan datang. Rasa hangat pun menyelimuti tubuh kami, ini adalah perbuatan paklek untuk melindungi kami dengan geni baralokanya. Sayangnya, kami sama-sama tahu serangan serupa saja akan tetap menghanguskan kami walau dengan perlindungan ini. Saat kami tengah mencari cara untuk selamat dari serangan ini, tiba-tiba aku merasakan kehadiran suatu sosok di dekat kami. Langkah seseorang mendekat dari ujung jalan desa. Dengan tangan yang diangkat, ia mengarahkan energinya ke arah Pangeran Pakujagar, dan seketika, kilauan keris itu redup, langit yang sebelumnya gelap kembali tenang. “Apa? Apa yang terjadi?” desis Pangeran Pakujagar, kebingungan melihat perubahan tiba-tiba.Namun, kekuatan sosok yang mendekat itu tidak kalah menakutkan. “Kau yang mencoba menyakiti istriku?” suara itu bergemuruh, dan sosok itu semakin mendekat. Aku mengenalnya... sungguh, aku benar-benar mengenalnya.

“Da—danan! Itu?” aku hanya bisa mengangguk, menahan air mata. Meski wujudnya tidak semenyeramkan dan tidak setua yang kukenal, tapi aku tahu dengan pasti bahwa itu adalah dia. Eyang Widarpa! “Siapa kau?!” Pangeran Pakujagar terlihat cemas. Sebaliknya, kekuatan yang mengerikan terpancar dari Eyang Widarpa yang mulai menggantung tangannya sambil membungkuk dengan nafas yang terus menderu. Kami berdua berlari menjauh, menarik Panglima Brasma menyusul. “Pergi!!” perintahku tegas, dan Panglima Brasma yang juga mengenali Eyang Widarpa segera mengikuti kami menjauh dari tempat itu. “Perasaan ini… Ajian Segoro Demit,” gumam Raja Indrajaya ketika kami sampai di dekatnya. Ia yang sudah mendapatkan kesadarannya, menatap kejadian yang misterius ini dengan penuh ketertarikan. “Dayu...” Eyang Suratmi menitikkan air mata, terharu dan bersyukur melihat sosok yang selama ini jauh darinya. Sekali lagi, aku menyaksikan kegilaan itu. Eyang Widarpa Dayu Sambara, seperti kesetanan yang marah, mengamuk melesat dari satu sisi ke sisi lain desa dengan begitu cepat. Darah bermuncratan dari tubuh Patih Singo Ireng dan Pangeran Pakujagar. Mereka mencoba melawan, tetapi Eyang Widarpa dengan Ajian Segoro Demit terlalu sulit untuk diimbangi. Kekuatan gaib itu memporak-porandakan segala sesuatu di sekitarnya, dan kami hanya bisa menyaksikan dengan penuh ketakutan sementara desa itu menjadi saksi pertarungan antara kekuatan yang tak terbayangkan dan manusia yang terombang-ambing di antara mereka. . Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Eyang Widarpa muncul di belakang Patih Singo Ireng dan meremukkan kepala pengkhianat itu dengan kedua tangannya. Berkali-kali Pangeran Pakujagar mencoba menggunakan keris di dadanya, namun upayanya sia-sia. Sepertinya Eyang Widarpa tahu cara menyegel kekuatan senjata itu. Pemandangan mengerikan terbentang di hadapan kami. Tubuh sang pangeran dari Kerajaan PakuJagar tercerai berai, tidak mampu menahan kemarahan seorang Eyang Widarpa yang tidak bisa mentolerir orang yang menyakiti istrinya. Sekarang, dia berdiri sendiri di tengah-tengah jasad-jasad makhluk yang tadi kami lawan dengan susah payah. Namun, aku lupa satu hal... Eyang Widarpa menoleh ke arah kami. Dalam pengaruh kegilaannya, seolah bersiap untuk memangsa kami. Paklek tidak tinggal diam. Ia menyerang Eyang Widarpa dengan Api Sukmageni, berusaha menyadarkannya, tapi upayanya gagal. Dengan cepat, Eyang Widarpa tiba di dekat kami. Aku bersiap mengadu Keris Ragasukma dengan cakarannya, menghadangnya. “Sudah, Dayu… Sudah…." Tiba-tiba, Eyang Suratmi mengambil posisi di depanku, bersiap menerima serangan dari suaminya. “Jangan, Eyang!!" Aku melindungi Eyang Suratmi dengan tubuhku saat cakaran Eyang Widarpa hampir menyentuh kami berdua. Darah menetes dari punggungku, itu menyakitkan... tapi Eyang Widarpa berhasil menghentikan dirinya tepat sebelum cakarannya mengoyak tubuhku. Panglima Brasma dan Cahyo segera menahan Eyang Widarpa dan membawanya menjauh. “Ka—kau tidak apa-apa, Suratmi?” rasa cemas terpampang jelas di wajah Eyang Widarpa. Aku pun melepas pelukanku dari Eyang Suratmi dan menghantarkannya pada Eyang Widarpa. “Iya, Mas..” balasnya dengan air mata haru. Eyang Suratmi mendekati Eyang widarpa, namun eyang widarpa malah mundur dan menjauh. Rasa kesal mulai muncul dari eyang suratmi. “Ngapain kamu ke sini lagi?!” Bentak Nyai Suratmi.

“Aku pergi,” balas Eyang Widarpa yang segera berpaling. “Setiap hari aku masak sayur lodeh, ikan asih, sayur labu, dan semua kesukaanmu sampai anakmu protes, tapi kamu tidak pernah lagi datang..!” Eyang widarpa terhenti, ia seolah tidak mengerti harus berkata apa. “Setidaknya jika kau tidak sudi menemuiku, teruslah bimbing Daryana. Jangan pernah tinggalkan dia,” Saat itu semua terdiam. Tak ada satupun dari kami yang ingin menyela, karena jelas tak ada satupun dari kami yang bisa menyelesaikan masalah ini, bahkan seorang raja sekalipun. Eyang Widarpa tidak menoleh namun dengan suara yang lemah ia mengguman. “Da—daryana selalu membawakan masakanmu, te—terima kasih,” ucapnya dengan malu-malu namun aku menduga bahwa Eyang Suratmi tidak mendengarnya. “Eyang! Kata Eyang Widarpa, Daryana selalu bawain masakan eyang Suratmi buat Eyang Widarpa! Katanya terima kasih!!” Teriakku memperjelas ucapan Eyang Widarpa. Dhuaaag! “Berisik! Bocah Asu!!” Rupanya eyang widarpa kesal dengan perbuatanku dan menendangku hingga terpental. Panglima Brasma khawatir dengan keadaanku, namun saat itu aku dan cahyo malah tertawa dan sedikit bernostalgia dengan hal itu. Eyang Widarpa berjalan meninggalkan kami menuju tubuh Pangeran pakujagar itu. Ia mencabut keris hijau itu dari dada jasad itu dan membawanya kepada kami. “Bawa ini, dan alasan kalian di zaman ini sudah selesai! Kembalikan pada Ia yang mengirim kalian ke zaman ini,” Ucap Eyang Widarpa yang kembali berpaling. “E—Eyang tahu tentang kami?” Tanyaku. “Bukan kalian saja yang melakukan perjalanan gila seperti ini,” Balasnya. Ia pun menoleh sekilas ke arah Eyang Suratmi dan berlari meninggalkan kami semua. Aku menduga eyang suratmi akan sedih melihat kepergian suaminya itu, namun ternyata ia justru tersenyum dengan kejadian singkat itu. “Sampai ratusan tahun pun aku tetap tidak mengerti perasaan kalian,” Keluh Paklek yang sudah mengalami konflik hubungan kedua leluhur kami sebelum kami mengenalnya. “Cinta itu nggak perlu dimengerti, Le. Selama masing-masing bisa dengan bebas mencintai dengan caranya sendiri-sendiri, itu sudah cukup.” Balas Eyang Suratmi. Kami pun menarik nafas lega menyambut matahari pagi yang mulai terbit. Saat itu roh-roh yang bergentayangan mengelilingi desa pergi dengan sendirinya. Mereka tidak akan kembali selama tidak ada kekuatan hitam yang memancing mereka. “Bagaimana keadaan Raja?” Tanya Cahyo. Ia mencoba berdiri, namun lukanya masih cukup parah. Setidaknya ia telah melewati masa kritisnya. “Tenang saja, kami juga memiliki tabib kerajaan yang sakti. Dalam waktu singkat aku akan pulih,” Balas Sang Raja. Saat itu aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada tubuhku. Kesadaranku mulai memudar bersama suara gemuruh dari gunung yang terdengar dari desa ini. “Danan? Ini?” Cahyo pun menyadari hal yang sama. “Eyang, kami kembalikan pusaka ini.” Ucapku sembari mengembalikan pusaka itu pada Eyang Suratmi. Paklek juga melepas ikatannya pada keris sukmageni yang sudah menyelamatkan nyawa kami berkali kali bahkan di zaman ini dan mengembalikannya pada Eyang Suratmi. “Apa sudah waktunya?” Tanya Raja Indrajaya. Kami bertiga mengangguk, menjaga jarak dari sekelompok orang di hadapan kami. Paklek dengan cermat menyalakan pijaran kecil Geni Baraloka dan meletakkannya di dalam kotak pusaka bersama keris Ragasukma dan sukmageni.

“Saya titip raga ketiga pemuda yang menjadi wadah kami ini, dan Api Geni Baraloka akan membesar secara perlahan. Seharusnya api ini bisa membantu pemulihan Yang Mulia,” ucap Paklek dengan penuh pertanggungjawaban. “Kami bahkan belum sempat berterima kasih,” sambut salah seorang dari mereka. “Tidak, Yang Mulia. Kelahiran kami di masa depan adalah bukti perjuangan Yang Mulia melindungi leluhur kami,” balasku dengan penuh hormat. “Sayangnya aku belum sempat bertemu dengan yang Raja sebut dengan nama Baswara, mungkin dia bakal cocok juga dengan Kliwon,” ujar Cahyo, membuka pintu percakapan baru. “Kliwon?” Raja Indrajaya terlihat bingung. Namun, belum sempat kami memberikan penjelasan, tiba-tiba letusan gunung semakin besar dan roh kami melesat kembali ke tempat yang paling kami hindari: Jagad Segoro Demit. Kami berada di tempat yang sama saat kami berpindah ke zaman itu. dekat dengan letusan gunung yang mungkin ada hubungannya dengan perpindahan zaman kami. Tapi kali ini kami tidak kehilangan arah. Sebuah kereta kencana berhiaskan kain berwarna hijau melayang mendekat ke arah kami, seolah menyambut kedatangan kami dengan penuh keanggunan. ***

(Di Pulau Dewata…) Bli Waja membuka matanya dari meditasinya yang telah berlangsung berbulan-bulan. Suara lembut seorang Balian membangunkannya dari dunianya yang dalam. “Sudah waktunya, Bli,” ucap sang Balian, tampaknya dititipkan untuk mengingatkannya pada saat ini. Balian itu menggeleng melihat sekitar tempat itu yang dipenuhi bangkai ular, anjing, dan kelelawar. Namun, bukan itu yang membuat sang Balian merasa cemas. Di sisi lain alam itu, Balian itu menyadari sudah berapa banyak makhluk yang berusaha menyingkirkan Bli Waja, namun justru malah menjadi mangsa wujud Rangda dari roh Bli Waja. “Saya titip pulau ini,” ucap Bli Waja dengan tegas. “Pergilah, teman-temanmu benar-benar membutuhkanmu. Pulau ini juga akan hancur bila kalian gagal,” balas sang Balian dengan nada prihatin. Bli Waja pun pamit dan menerima restu dari Balian tersebut. Ia mengambil wujud Rangdanya dan melayang melintasi Pulau Bali menuju sebuah tempat di pesisir selatan Pulau Jawa. Dalam satu malam, ia tiba di lereng Gunung Merapi. Di sana, sosok yang dikenalnya berdiri dengan penuh luka di antara batu-batu besar. Ia mengatur nafasnya, dihadapkan pada pemandangan berbagai dedemit yang sudah tumbang di hadapannya. Sosok Ki Maesa Ombo dan dua raksasa yang baru dilihat wujudnya berdiri di sisinya. “Kau melakukan ini semua sendiri?” tanya Bli Waja yang kembali ke wujud manusianya, menghampiri Mbah Jiwo. Namun, Mbah Jiwo menggeleng. "Sosok besar dari tanah ini membantuku, dan tanpa mereka bertiga, mungkin aku tak akan bisa selamat." “Sudah waktunya, ya?” ucap Mbah Jiwo. Bli Waja mengangguk, membawa beban takdir besar yang segera harus dihadapi oleh mereka.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close