Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEROR DUKUN SANTET

Kejadian ini terjadi Sekitar tahun 1967 an.
Sebut saja Pulau Boyan. Boyan adalah pulau kecil yang terletak di Laut Jawa, sekitar lebih dari 100km sebelah utara Pulau Jawa. Secara administratif pulau ini termasuk ke dalam wilayah sebuah Kabupaten di Jawa Timur.
Pulau Boyan hanya memiliki 2 kecamatan. Penduduk aslinya adalah pendatang, dimana sebelumnya pulau ini memang tak berpenghuni. Mata pencahariaan utama para penduduk kebanyakan adalah nelayan dan petani.

Di sebuah desa kecil yang terletak di kecamatan timur Boyan. Matahari mulai terbenam di ufuk senja, berganti langit berwarna temaram yang menyelimutinya. Menandakan waktu petang mulai datang.

Para petani di desa ‘Tandur Timur’ berbondong-bondong meninggalkan hamparan sawah yang terbentang luas disana.

Di sebuah jalan setapak di tengah sawah, tampak seorang lelaki bertubuh sedang, memakai topi capil dan sarung yang disampirkan masih berdiri. Pak Jarwo mematung, memandangi petak sawah miliknya.

Lalu sebuah tangan menepuk bahu kirinya.

“Kenapa Wo? Kok malah melamun. Kamu nggak pulang?” Tanya Somad salah satu tetangga yang juga seorang petani.

Lelaki berusia 50 tahun itu menghela napas. “Lihat Mad. Sawahku mulai mengalami kekeringan, karena pasokan air yang kurang.”

“Mau bagaimana lagi. Musim kemarau memang sudah tiba. Tak hanya kamu Wo, pengairan air di sawahku juga tidak begitu bagus. Hasil panen juga tidak banyak.”

Jarwo terlihat berpikir sejenak “Tapi apa kau tahu. Lahan sawah di ujung timur sana selalu subur. Pasokan airnya juga terlihat banyak. Bagaimana kalau kita mengambil air disana?”

Somad tersentak mendengar ucapan Jarwo “Gila kamu! Kamu tau siapa pemilik ujung sana? Bisa-bisa celaka kita.”

“Mbah Darso bukan?” sahut Jarwo enteng “Gak bakal ketahuan, kalau kita mengambilnya diam-diam. Lagipula jarang orang yang mau pergi ke sawah tengah malam. Apalagi mbah Jarwo sudah tua renta.”

“Aku nggak mau ikutan Wo. Saranku urungkan niatmu itu. Belum lagi, para montianak banyak berkeliaran di malam hari.” Ucap Somad begidik ngeri.

[Red: Di daerah ini disebut "Montianak". Dalam bahasa Indonesia dibaca "MatiAnak" atau lebih dikenal dengan "Kuntilanak"]

Jarwo mengibaskan tangannya “Aku lebih takut keluargaku mati kelaparan daripada bertemu montianak.”

Tepat tengah malam lelaki berumur setengah abad itu berjalan melewati jalan setapak, sambil membawa dua ember kosong yang dipanggul dengan sebilah kayu dibahunya. Sedang tangan kanannya memegang lampu minyak sebagai penerangan.

Bahkan angin dingin yang berhembus menusuk sela-sela sendi tetap tak menyurutkan tekad Jarwo.

Beberapa kali matanya awas ketika melewati rimbunan pepohonan tinggi. Berharap tak bertemu montianak malam itu.

Hanya saja hal itu mustahil, mengingat aktifitas montianak justru berlangsung ganas di malam hari.

Sekelebat kain-kain putih lusuh tampak terbang berseliweran di antara pepohonan disertai suara melengking yang cukup memekakkan telinga.

‘Khaaakkk khaaaakkkakakak kakk khaaakkk’. Begitulah suara montianak terdengar.

Jarwo tetap berjalan maju menembus gelapnya malam.

Setelah berjalan kurang lebih satu kilometer, sampailah ia di sebuah lahan sawah. Di dekatnya tampak sebuah kolam sumber mata air yang cukup luas.

Ya sawah beserta kolam itu milik mbah Darso. Jarak mata air mbah Darso dan sawah milik Jarwo tidak begitu jauh, hanya 200 meter saja.

Ia pun mulai mengisi wadah-wadah air dan membawanya menuju lahan miliknya.

Setelah beberapa kali bolak-balik dan dirasa penyiraman tanaman miliknya sudah cukup, Jarwo memutuskan untuk beristirahat sebentar di "dhurung" milik mbah darso sebelum pulang ke rumah.

Tanpa disadari, sepasang mata merah menyala tampak mengawasinya dibalik pepohonan pisang sedari tadi.

[Dhurung: Lumbung khas pulau Boyan yang berfungsi untuk simpan padi. Bangunan dengan atap limasan khas Jawa. Terdapat amben yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Biasanya atap bangunannya di desain dua kali lipat lebih luas daripada balai-balai dibawahnya agar bisa menampung padi sebanyak mungkin]

Di keheningan malam, di bawah sinar rembulan yang berwarna sedikit kekuningan. Tampak sesosok lelaki tua duduk diatas kursi kayu depan rumahnya. Rumah kayu itu tidak begitu besar dan terletak cukup jauh dari pemukiman warga.

Di sisi baratnya terdapat ladang yang ditanami macam-macam, seperti pohon pisang, singkong, ubin jalar, dll. Sedangkan sisi timur dan selatan hanya lahan kosong yang ditumbuhi rumput ilalang yang cukup tinggi.

Rambut gondrongnya yang memutih sedikit berkibas diterpa angin malam.

Lelaki tua itu beberapa kali menghisap pelan rokok lintingan di antara bibir keringnya. Mata keriputnya menerawang jauh, menatap rumput-rumput ilalang yang bergoyang karena tertiup angin.

Tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinganya. Mbah Darso pun berdecih.

“Dasar manusia rendah tak punya tata karma.” Desisnya lirih.

Ia pun bangkit, membuang sisa rokok lintingan dan menginjaknya. Lalu tubuhnya yang sedikit membungkuk berjalan kembali memasuki rumah.

Sore keesokan harinya…

“Bu… Tolong bikinin kopi.” Pinta Jarwo pada istrinya.

“Iya pak.” Jawab Sri kemudian sambil melangkahkan kakinya ke dapur.

Jarwo yang baru saja pulang dari sawah kemudian duduk bersandar di amben ruang tengah dalam rumah, sambil mengibas-kibaskan toping capingnya karena kegerahan.

'BRUUUUUKKKK!'

Tiba-tiba terdengar sesuatu yang keras menghantam atap rumahnya.

Jarwo yang terkejut, langsung melonjak keluar dari rumah. Ia pun mengecek sambil mengintip atas genteng jerami, namun tak menemukan apapun. Perasaannya mendadak berubah tidak enak.

“Buu…. Kira-kira suara apa ya diatap tadi?” Tanya Jarwo khawatir ketika istrinya mengantar kopi.

Dahi Sri berkerut heran. “Suara apa pak?”

“Loh. Masa gak denger? Suaranya cukup keras loh. Diatas genteng tadi. Tapi bapak liat gak ada apa-apa.”

“Udahlah pak. Mungkin itu halusinasi bapak karena kecapekan.” Ucap istrinya menenangkan.

Malam harinya Jarwo berkeringat dan resah dalam tidurnya. Ia bermimpi berada disebuah lahan kuburan yang cukup luas. Tak ada siapapun disana. Hening dan mencekam.

Tampak sebuah pohon beringin besar berdiri tegak di tengah-tengahnya.

Tiba-tiba Jarwo melihat sosok hitam berdiri di depan pohon beringin tersebut.

Awalnya sosok itu hanya setinggi Jarwo, namun ketika ia mulai berjalan kearah Jarwo. Sosok itu berubah menjadi besar dan semakin besar. Hingga cahaya rembulan mulai meneranginya.

Kini makhluk hitam itu berubah hingga setinggi 5 meter. Badannya ditumbuhi rambut hitam dan kasar. Matanya yang sebesar lepek berwarna merah menyala.

Tangannya panjang hampir menyentuh tanah dengan kuku-kuku yang tajam. Sedang ke empat gigi taring panjangnya mencuat keluar berlawanan arah.

Jarwo tak kuasa menahan rasa takut ketika manatap makhluk tersebut, mulai berjalan mundur dengan tubuh bergetar. Makhluk itu menatap Jarwo tajam.

Terdengar suara menggeram dari dalam seolah-olah murka padanya. Jarwo segera berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi makhluk tersebut.

Hanya saja sejauh apapun Jarwo berlari, ia selalu kembali kearah pohon beringin. Makhluk itu masih berdiri disana dengan seringai mengerikan seolah-olah mengejek tingkah Jarwo.

Hingga akhirnya Jarwo sudah tak mampu berlari. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Lelahnya benar-benar nyata.

Tanpa disadari ternyata makhluk itu sudah berdiri tepat dihadapannya. Dengan mudah makhluk itu mengangkat Jarwo dengan menarik kedua tangannya.

Ternyata tangan Jarwo dimasukkan ke mulutnya. Makhluk itu melahap dan mengunyah kedua tangan Jarwo perlahan, seolah mengunyah tulang muda ayam.

KRATAKKK. KRATAKKKK. KRAKK.

Jarwo histeris. Ntah sudah berapa banyak darah mengucur dari kedua tangannya yang mulai hancur.

“Ampuuuun… ampuuuun… sakitttt..”

Beberapa daging dan kulit tangan Jarwo berjatuhan di atas tanah. Makhluk itu tetap mengunyah seolah-olah Jarwo memang santapannya. Jarwo meringis, ia sudah tak dapat menahan rasa sakitnya lagi.

Hingga akhirnya ia mendengar suara familiar ditelinganya.

“Pakkk… banguuun pakkk… banguuun.”

Sri mengguncang-guncang tubuh suaminya yang sedang mengigau. Tak beberapa lama Jarwo terbangun dengan peluh disekujur tubuhnya.

“Bapak nggak apa-apa?” Tanya Sri khawatir.

Jarwo menatap Sri dengan napas ngos-ngosan. “Sa… yaaa… saya mimpi bu..ruukk buu.”

“Istighfar pak.. istighfar..”

“Astaghfirullah... Astaghfirullah. Astaghfirullahal’adziim…”

“Saya ambilin minum ya pak. Biar tenang.” Tawar istrinya. Jarwo mengangguk pelan.

Tak lama setelah Sri meninggalkannya ke dapur, Jarwo merasakan rasa tak nyaman di sekujur tubuhnya.

Tubuhnya terasa panas, seolah-olah sedang direbus di atas perapian. Saking panasnya Jarwo sampai melepas kaos putih lusuhnya dan melemparkannya ke tanah.

Disusul dengan tangannya yang tiba-tiba terasa gatal. Awalnya hanya telapak tangan, lalu rasa gatal itu menjalar hingga ujung lengannya.

Jarwo pun mulai menggaruk-garuk kedua tangannya secara bergantian.

“Buuuu…. Buuuu..” Teriak Jarwo kemudian.

Namun tak ada jawaban, seolah Sri tidak mendengar suara Jarwo.

“Buuuuu… Buuuu.”

“Ini kenapa tangan jadi gatal begini ya?” keluhnya.

Rasa gatal yang teramat itu hanya terasa ditangannya. Sedang tubuhnya tidak merasakan apapun kecuali panas.

Saking gatalnya, tanpa sadar Jarwo menggaruki tangannya hingga berdarah.

Meski darah mulai mengucur, hal itu tidak meredakan rasa gatalnya sama sekali. Jarwo pun semakin kalap menggaruk.

Tak terasa kulit dan daging terkelupas sedikit demi sedikit menempel di kuku-kukunya.

Jarwo bertingkah seperti orang gila, matanya menyalang melihat kuku-kukunya sendiri sambil terus menggaruk.

“Astaghfirullah bapak.” Sri berteriak histeris

“Gataaal buuu. Gataaal.”

Sri mencegah tangan Jarwo yang terus menggaruk, namun gagal. Sampai-sampai ia mendorong istrinya sendiri hingga terjatuh ke tanah.

“Jangan digaruk lagi pakk. Jangan!” Pinta Sri setengah memohon. Namun tak digubris.

Tiba-tiba Jarwo merasa mual. Seolah-olah sesuatu meronta keluar dari perutnya.

"HOEEEEEKK" Jarwo muntah darah. Darah berwarna hitam kecoklatan.

Sri yang kaget makin histeris. Tiba-tiba Jarwo terjatuh dan mengalami kejang-kejang. Matanya terbelalak hingga kornea mata hampir menghilang dan berubah warna menjadi putih seluruhnya. Sri pun segera bangun dan keluar meminta pertolongan.

Ketika Sri kembali bersama warga, semua sudah terlambat. Jarwo ditemukan tewas dalam keadaan mata terbelalak dan mulut menganga. Tangan Jarwo yang tadinya berdarah-darah, berubah menjadi luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tak sedap.

Kedua tangannya hampir hancur karena luka-luka garukan yang sudah menganga. Sri yang histeris tak kuasa menahan diri hingga jatuh pingsan.
~~~SELESAI~~~


close