Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Gaib Dukun Beranak (Part 4)


JEJAKMISTERI - "Sekali lagi maaf. Saya sudah telanjur memasang lingkup halimun sehingga Nyai tidak dapat keluar dari hutan ini sebelum empat puluh hari. Ajian lingkup halimun juga membuat Nyai tidak dapat dilihat oleh binatang buas maupun orang lain."

"Kurang ajar!"

"Nyai yang kurang ajar! Andai malam itu tidak menguping pembicaraan kami, tentu nasibmu tidak akan seperti ini! Saya bisa saja melenyapkan Nyai, tapi saya tidak sekejam itu, apalagi Nyai telah menolong Dinda Mandali."

"Lantas, apa maksudmu menampakkan wujud asli sampai membuat jantung saya nyaris copot?" Prana menggeleng saat mendengar pertanyaan Nyi Rasih barusan.

"Haha. Jadi Nyai mengira bahwa saya siluman ular? Tidak, Nyai. justru sayalah yang telah menolongmu dari serangan siluman ular itu. Jika bukan karena saya, mungkin Nyai sudah binasa," jelas Prana.

"Makhluk apa kamu sebenarnya, Prana? Mengapa kalian memangsa manusia?" Rasa penasaran Nyi Rasih semakin bertambah.

"Nyai ingat para serigala yang terus melolong saat istriku melahirkan? Itulah bangsa kami. Dan kami tidak selalu memangsa manusia, hanya saja istri saya kehabisan banyak tenaga setelah melahirkan. Maka dari itu, dia membutuhkan darah dan daging manusia untuk memulihkannya."

"Siluman Serigala?" Prana menanggapi pertanyaan Nyi Rasih dengan mengangguk sambil tersenyum.

Kemudian, Prana juga memberitahukan bahwa dialah yang membuat Nyi Rasih tidak bisa mendengar apa-apa siang tadi, sebab di sekelilingnya ada banyak babi hutan berkeliaran. Prana juga membuat babi itu tidak terlihat oleh Nyi Rasih agar dia tidak ketakutan dan bertambah panik.

Prana juga mengaku bahwa telah membuat tubuh Nyi Rasih sedikit kebal sehingga tidak terluka parah saat membentur pohon. Ya, tentu saja Nyi Rasih bisa terluka parah karena benturan keras tadi, atau bahkan mungkin sampai meninggal jika Prana tidak melakukan hal itu.

"Kenapa kamu tidak mematahkan ajian itu, Prana? Tolong... saya rindu anak-anak," pinta Nyi Rasih.

"Kalau saja bisa, tentu saya akan melakukannya sejak tadi, Nyai. Ajian lingkup halimun hanya akan hilang setelah empat puluh hari. Nyai tenang saja, saya akan melindungimu selama berada di sini."

Setelah mengatakan hal demikian, Prana pun menghilang dari hadapan Nyi Rasih.

"Prana, tunggu! Saya belum selesai bicara! Pranaaa!" teriak Nyi Rasih.

Wanita itu duduk bersimpuh sambil menangis sesenggukan. Dia khawatir jika Prana akan mencari mangsa di desanya. Dia takut anak-anaknya menjadi korban. Saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdoa dan menangis.

"Nyai...." Tiba-tiba terdengar bisikan lembut yang membuat Nyi Rasih sedikit terkejut.

Dan keterkejutannya bertambah saat dia menoleh ke samping, sebab di sampingnya ada sosok kuntilanak dengan wajah menyeramkan dan mengeluarkan bau busuk serta anyir. Sontak dia pun berlari sambil menjerit sekuat tenaga.

Dirasa cukup aman, Nyi Rasih pun berhenti berlari dan bersembunyi di balik pohon besar. Napasnya terengah-engah karena capek dan ketakutan. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan.

"Gusti... seharusnya aku tidak takut," gumamnya.

Dia duduk bersandar pada pohon itu, meluruskan kaki yang terasa pegal. Kemudian kembali mengatur napas sambil terus beristighfar.  Meski tenaganya sudah pulih dan ada Prana yang akan melindunginya, tetapi dia tetap saja mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Apalagi setelah bertemu dengan sosok astral barusan.

Baru saja dia sedikit merasa tenang, tiba-tiba sosok kuntilanak itu muncul lagi tepat di hadapannya. Dia bergelayutan di dahan pohon dengan posisi kepala di bawah. Nyi Rasih spontan mengumpat sambil melempar sosok itu dengan apa-apa saja yang dia temukan di sekitarnya.

"Dasar kunti gendeng! Pergi kau, sontoloyo!" umpatnya.

Namun, sosok kuntilanak itu enggan pergi, dia malah semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Nyi Rasih. Nyi Rasih yang ketakutan lantas menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Nyai..." lirih sosok itu. Nyi Rasih masih menutup wajahnya sambil merapalkan doa sebelum makan.

"Nyai mau makan saya? Sungguh ter-la-lu." Kuntilanak itu pun terbang melesat, meninggalkan wanita malang tersebut.

Sedetik, dua detik, hening. Nyi Rasih mengintip dari sela-sela jarinya. Kuntilanak itu benar-benar pergi dari hadapannya. Dia pun merasa lega. "Ampuh juga saran dari Lana. Haha. Kalau ketemu setan, mending baca doa makan aja," ucapnya seraya terkekeh.

***

Ayub, Pak RT, dan warga lainnya masih melakukan pencarian terhadap Nyi Rasih. Mereka mendatangi warga Desa Luwung yang biasa meminta bantuan Nyi Rasih. Namun, semua yang ditanyai menjawab 'tidak tahu'. Ayub meneteskan air mata, dia lelah, tapi juga mencemaskan reaksi istri dan kedua adik iparnya, jika mengetahui kalau dirinya gagal menemukan Nyi Rasih.

"Bagaimana, Yub? Masih mau melanjutkan pencarian?" tanya Pak RT.

Ayub hanya bergeming.

"Maaf kalau boleh usul, sebaiknya kamu temui Mbok Nilam, siapa tahu dia bisa memberimu petunjuk tentang keberadaan mertuamu," ujar pria berkaus cokelat, Bodin namanya.

"Mbok Nilam?" tanya Ayub.

"Iya, dia tinggal di Dusun 13 desa ini. Katanya, dia cenayang. Sudah banyak juga kasus orang hilang yang dia temukan," jawab Bodin.

Ayub mengangguk-angguk, lalu berkata, "Jenengan bisa antar saya ke sana?" Bodin pun bersedia untuk mengantarnya.

Ayub dan Bodin segera bergegas menuju Dusun 13, sementara Pak RT dan yang lainnya memilih untuk pulang. Mereka berjalan kaki dengan jarak belasan kilometer.

Sesampainya di depan rumah Mbok Nilam, mereka segera mengetuk pintu sambil mengucap salam. Seorang wanita tua berkerudung abu-abu membukakan pintunya, lalu menyuruh mereka untuk masuk.

Setelah duduk, Ayub langsung menjelaskan apa maksud kedatangannya. Mbok Nilam mengangguk, kemudian bertanya, "Siapa nama ibu mertuamu?"

"Rasih, Mbok."

Wanita bergamis motif bunga itu memejamkan mata sambil menangkupkan kedua tangannya. Mulutnya komat-kamit dan sesekali menyebut nama Nyi Rasih. Kemudian, wanita itu terdiam sejenak, lalu membuka matanya sambil menggeleng.

"Mertuamu ada di Hutan Keroya," ucap Mbok Nilam dengan ekspresi datar.

"Apa?"

Ayub dan Bodin tampak terkejut. Mereka mengingat lagi kejadian tadi sore, saat Lana bersikeras kalau ibunya berada di hutan tersebut. Mereka tidak menyangka jika ternyata firasat Lana memang benar.

"Baik, terimakasih, Mbok. Saya akan segera ke sana," ucap Ayub.

"Tunggu! Sampeyan tidak akan bisa menemukan Rasih." Mbok Nilam mencegah Ayub yang hendak bergegas.

"Kenapa?" tanya Ayub.

"Saya melihat lingkup halimun di hutan itu. Kemungkinan, Rasih menjadi tawanan siluman penghuni Hutan Keroya," ujar Mbok Nilam.

"Apa itu lingkup halimun? Lalu, apa yang harus kami lakukan, Mbok?!" tanya Ayub, panik.

"Lingkup halimun adalah ajian para siluman untuk mengurung manusia di alamnya. Ajian itu tidak bisa dipatahkan, tapi akan hilang setelah empat puluh hari." Penuturan Mbok Nilam semakin membuat Ayub terkejut.

"Empat puluh hari? Duh Gusti... bagaimana nasib Ibu sekarang?!"

"Sampeyan datang saja ke hutan itu. Panggil ibumu, dia akan mendengar. Kalian masih bisa berkomunikasi, meski wujud Rasih tidak dapat terlihat oleh siapa pun."

Ayub bergeming, pikirannya berkecamuk. Dia bingung harus menjawab apa jika Janah bertanya. Cukup lama Ayub termenung, sampai membuat Bodin kesal karena pertanyaannya diabaikan.

"Yub! Ayo, pulang!" Seruan Bodin membuat Ayub terperanjat.

***

Benar saja apa yang dipikirkan Ayub, Janah bertanya sambil menangis karena teramat khawatir. Awalnya pria itu gugup, entah harus memulai dari mana, tapi kemudian dia mulai bercerita pelan-pelan. Janah pun histeris mendengarnya.

"Besok kita harus pergi ke hutan," ucap Ayub.

***

Nyi Rasih yang sedang tertidur di bawah pohon, tidak menyadari kalau ada sosok yang mengintainya. Sosok itu bergerak semakin mendekatinya, lalu bersiap-siap untuk menyerang. Mendengar ada sesuatu yang berisik, Nyi Rasih pun terbangun.

"Aaaa!" jeritnya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Note : Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2006.
close