PESUGIHAN DARAH BAYI (Part 2)
JEJAKMISTERI - Aku cukup lega setelah mendengar bahwasannya lelaki itu adalah masih saudara dari istriku yang kedua.
Aku merasa saudara istriku mengetahui tentang keadaanku yang sebenarnya, sepertinya beliau tahu semacam ilmu sepiritual, suatu saat aku akan meminta tolong barang kali ia bisa menolongku untuk bisa lepas dari belenggu iblis dari junjungan ibuku.
Di hari resepsi pernikahanku, walau ekspresi wajahku terlihat bahagia, tapi sebenarnya dalam benakku masih terus terpikirkan kengerian apa lagi yang akan terjadi selanjutnya.
Di malam harinya sekarang aku sudah tidak lagi tidur seorang diri, saat ini hadir wanita kedua yang sudah sah menjadi istriku.
Malam itu seharusnya menjadi malam bahagia buatku, tapi setiap kali aku ingin mendekati istriku sebut saja namanya Rina, pandangan mataku teralihkan pada almarhum istri pertamaku.
Saat itu aku terus dilanda bingung harus berbuat apa, mau mengatakan yang aku rasakan pada Rina, tapi rasanya tidak mungkin karena aku tidak mau dirinya menjadi takut atas perjodohan yang sebenarnya adalah untuk meneruskan banggel Projo Rogo.
Setelah Rina menikah denganku, ibunya tinggal seorang diri, karena suaminya sudah meninggal 5 tahun yang lalu.
Sampai satu Minggu telah berlalu aku masih belum menyentuh atau tepatnya melakukan hubungan badan dengan istriku yang kedua.
Setelah aku dan Rina tinggal bareng di rumahku selama satu Minggu, lalu Rina mengajakku untuk berkunjung ke rumah ibunya.
Perjalanan dari rumahku menuju ke rumah ibunya Rina cukup jauh harus menempuh perjalanan berjam-jam.
Sesampainya di rumah kediaman ibunya Rina, kami di sambut sangat ramah oleh beliau.
Hawa sejuk di rumah ini sangat ku rasakan hingga membuatku sangat nyaman, berbeda saat aku berada di rumah ibuku, hawanya sangat mencekam oleh energi mistis.
Aku di persilahkan duduk di ruang tamu, sementara Rina pergi ke dapur untuk buatkan aku minum.
Saat aku masih duduk sambil merileksasikan tubuhku, aku melihat laki-laki keluar dari kamar.
Laki-laki itu pernah ku jumpai saat di acara pernikahanku Minggu lalu.
Beliau adalah pamannya Rina yang tinggal di Jawa Timur.
Beliau melangkah ke arahku, lalu duduk bersamaku di ruang tamu.
Segera aku menyalaminya, lalu
Kami duduk berhadapan terhalang oleh meja di depanku.
"Mas Alan nginap disini ya, nanti malam," ucap pamannya Rina tiba-tiba berucap memintaku untuk menginap.
"Insyallah, Pak, kalau saya terserah Rina aja," jawabku.
Selang beberapa menit, Rina datang menghampiri ke arah kami sambil membawakan minuman teh manis.
Kami ngobrol untuk beberapa saat disana.
Aku pun akhirnya menginap karena Rina memang maunya kami malam itu menginap.
Malam harinya selepas Isya, aku di ajak oleh pamannya Rina ke halaman rumah.
Saat kami duduk berdua, terlihat pamannya Rina sebut saja namanya Om Wondo seperti ada kecemasan terpancar dari sorot matanya. Aku merasa bingung akan hal itu.
"Mas Alan apa tahu yang terjadi dirumahmu? Apa tahu siapa yang menjadi tuan di rumah Mas Alan?" tanya Om Wondo seketika membuatku kaget.
Ternyata benar om WOndo tahu apa yang sedang terjadi pada keluargaku.
"Aku tak akan rela Rina masuk dalam lingkaran perjanjian itu, coba Mas Alan jujur. Apakah sudah menyentuh Rina?"
"Rina belum ku sentuh sama sekali, Om. Memangnya ada hal apa menanyakan hal itu pada saya?" Aku kembali bertanya.
"Syukurlah kalau Mas Alan belum menyentuhnya, sebenarnya Mas Alan sendiri tahu apa yang terjadi, dan Mas Alan juga tahu rahasia dibalik pernikahan dengan Rina," ucap Om Wondo menjelaskan.
"Kalau Om sudah tahu semuanya saya berharap Om bisa menyelamatkan saya dan keluarga saya om."
Sesaat Om Wondo menghela nafas panjang, lalu memandang lurus ke arah depan.
Kata Om Wondo tak akan ada yang bisa melepaskan dari perjanjian itu, karena hakikatnya ibuku dan semua yang terlibat melaksanakan perjanjian itu sukmanya bukan lagi manusia normal, dan tidak akan bisa kembali lagi.
"Yang bisa memutus perjanjian itu hanya Mas Alan sendiri, untuk keluargamu yang lain, mereka akan kembali pada tuanya sebagai imbalan pengikat pengapdianya pada tuanya, jadi sebenarnya imbalan untuk tuanya adalah yang melakukan perjanjian itu sendiri," ucap Om Wondo menjelaskan.
Aku hanya terdiam mendengar semua penjelasan dari Om wondo.
"Suatu saat nanti bila tiba saatnya Mas Alan akan di berikan sesuatu oleh ibu Mas Alan sebagai simbol yang menjadi awal pembuka perjanjian sampai tujuh turunan." ucap Om Wondo menesuskan penjelasannya.
Banggel projo Rogo
"Apa Mas Alan sudah menerima simbol itu?" tanya Om wondo.
"Belum om, saya juga tidak tahu simbol yang dimaksud, memangnya apa arti dari banggel projo rogo? Karena hal itu saya dengar dari ibuku."
"Kelak Mas Alan akan tau sendiri, Om tidak bisa bantu, karena masalah yang sedang Mas Alan hadapi bukan tandingan om."
Aku hanya terdiam setelah mendengar penjelasan dari Om WOndo. Ku mengira pamannya Rina dapat membantuku untuk bisa terlepas dari masalah yang saat ini ku hadapi ternyata tidak.
Saat kami masih terus ngobrol tentang masalahku, tiba-tiba kami mendengar tembang yang sering ibuku nyanyikan.
Om Wondo yang ikut mendengar segera beliau menariku masuk ke dalam rumah.
Terlihat Om Wondo juga seperti ketakutan kala mendengar suara nyanyian tembang itu.
Lalau setibanya kami di dalam rumah. Tiba-tiba Om Wondo langsung masuk ke kamarnya, sedangkan aku mencoba mengintip dari balik jendela.
Dari balik jendela Kuarahkan pandanganku ke arah luar untuk memastikan.
Benar saja ia menampakan wujudnya kembali padaku. Seorang wanita yang seperti biasa memakai pakaian kerajaan dan mengenakan mahkota di kepalanya. Dia adalah jelmaan yang ibuku sebut sebagai junjungannya.
Ia nampak memandang tajam ke arahku seperti marah. Seketika aku langsung mundur satu langkah dari jendela.
"Apa karena aku dan Om Wondo membicarakanya? Tapi dari mana dia tau?" gumamku.
Lalu kembali aku mendekat ke jendela untuk mengintipnya, tapi ia sudah hilang.
Saat itu ketakutan kembali ku rasakan, aku benar-benar benci pada sikap ibuku, ingin rasanya aku kembalikan semua hartaku padanya, agar junjungan ibuku tidak menggangguku lagi. namun itu tak mungkin merubah apapun seperti kata Om wondo.
Aku melangkah ke kamar yang saat ini ku tempati bersama istriku. Ternyata Rina sudah tidur sangat pules.
Aku mencoba mendekat ke arah istriku, sungguh aneh tiba-tiba saja penampakan istriku yang sudah meninggal hadir di dekat Rina.
Rambutnya percis seperti waktu istriku masih hidup, tapi saat ini hidung, mata dan telinganya mengeluarkan darah.
Ia memandangku, tatapanya membuatku iba, sepertinya ia tak rela aku menyentuh Rina, seperti ingin memohon padaku.
"Aku tak akan menyentuhnya," ucapku padanya.
lalu seketika sosok yang menyerupai istriku pun menghilang.
Setelah itu aku kembali ke ruang tamu. Aku memilih tidur di atas kursi. Aku tertidur disana sampai pagi.
***
Keesoka harinya jam 8 aku dibangunkan Rina, lalu segera aku melangkah menuju kamar mandi. Setelah itu duduk di kursi yang semalam buat aku tidur.
Terlihat diatas meja sudah ada dua gelas kopi. Aku mencicipi kopi buatan istriku itu, walau sebenarnya aku jarang minum kopi.
Dari tadi aku tidak melihat Om Wondo, lalu aku pun bertanya pada Rina, katanya om Wando masih di kamarnya.
Sudah jam 10 Om Wondo masih saja tidak keluar dari kamar, aku merasa khawatir takut terjadi hal buruk menimpanya.
Ku suruh Rina untuk coba melihat ke kamar yang Om Wondo tempati.
Rina mengetuk pintu kamar om Wondo sambil memanggil nama pamannya, tapi beberapa kali di panggil tak ada jawaban dari dalam kamar.
Rina mengalihkan pandanganya ke arahku dengan wajah sedikit bingung. Lalu aku pun beranjak mendekat padanya.
Aku mencoba mengetuk dan memanggil Om Wondo, namun hasilnya sama tak ada jawaban.
Saat aku dan Rina kembali duduk di ruang tamu, terdengar suara Om Wondo dari dalam kamar.
Suara batuk yang kami dengar, lalu tidak lama terdengar kembali suara Om Wondo seperti sedang muntah-muntah.
Segera aku dan Rina melangkah menuju kamar Om Wondo. Kubuka saja Pintu kamar karena memang tidak terkunci.
Di dalam kamar terlihat Om Wondo sedang duduk bersila, dengan kodisi bajunya penuh dengan darah yang berasal dari hidung dan mulutnya.
Terlihat darah merah kehitaman mengalir dari mulut Om Wondo. Lalu segera aku dan Rina memapah om Wondo ke atas tempat tidur.
"Om kenapa? Apa yang terjadi?" Aku bertanya penuh kecemasan.
Rina menangis sangat histeris melihat Om-nya bersimbah darah. Lalu aku menyuruh Rina untuk segera mencari ibunya.
Setelah Rina keluar dari kamar, aku masih terus menenangkan Om Wondo yang terlihat kesakitan.
"Mas Alan, kelak jika sudah memegang simbol dari ibumu, bawa simbol itu ke pantai dan bakarlah di sana," ucap om Wondo dengan terbata-bata.
Aku masih terdiam, membiarkan ia untuk tidak berbicara terlebih dahulu.
Tak lama berselang, Rina dan ibunya datang dengan membawa air putih.
Setelah meminumkan, kembali aku membaringkan Om Wondo.
"Aku gak apa-apa mbak yuk, aku baik-baik saja, dan hari ini aku harus pulang ke jawa," ucap Om Wondo.
Sambil menangis ibunya Rina mendengarkan ucapan Om Wondo.
Tadinya kami melarang Om Wondo untuk pulang hari ini, tapi beliau kekeh mau pulang saja.
Aku tahu sebenarnya apa yang terjadi pada Om wondo, tapi aku hanya diam saja.
Aku meninggalkan kamar Om Wondo lalu duduk di ruang tamu sambil memikirkan apa yang di ucapkan tadi sama Om Wondo.
Rina masih menunggu Om Wondo di dalam kamar, sedangkan ibunya memanggil dokter.
Setelah di periksa, kata dokter Om wondo punya penyakit TBC dan jantung, tapi aku tak percaya, aku yakin ini pasti adalah ulah dari junjungan ibuku.
***
Sorenya Om Wondo pulang ke jawa timur, aku mengantarnya ke bandara.
Di perjalanan saat menuju bandara, aku dan om Wondo terus membicarakan tentang junjungan ibuku itu.
Kata Om Wondo dirinya semalam berusaha ingin membantuku, tapi junjungan ibuku bukan tandingannya.
Setibanya di bandara saat kami turun dari mobil, kembali aku di kejutkan melihat sosok junjungan ibuku.
"Kenapa dia selalu ada di mana-mana," gumamku.
Aku melihat junjungan ibuku sedang memandang tajam ke arah kami berdua.
Om Wondo yang menyadari hal itu menepuk pundakku.
"Dia mengincarku, ia marah karena aku sudah mencampuri urusanya," ucap Om Wondo.
*******
Setelah memastikan Om Wondo berangkat, kembali ku lajukan mobilku.
Di perjalanan aku kabari Rina lewat telepon agar ia tidak merasa cemas padaku. Aku berniat tidak pulang ke rumah ibunya Rina melainkan pulang kerumah ibuku.
***
Aku sampai di rumah jam 10 malam.
Saat aku masuk ke dalam rumah, aku melihat ibuku sedang duduk di ruang tengah, aku pun disuruhnya duduk oleh ibuku. Terlihat ibuku seperti sedang marah padaku.
"Alan kamu jangan pernah berpikir untuk bisa lepas dari junjungan ibu, tidak akan ada yang selamat bila ada orang yang ingin berurusan dengan junjungan," ucap ibuku benar-benar terlihat marah.
Aku hanya terdiam di saat ibuku berucap seperti itu.
Setelah merasa cukup ibuku memarahiku, lalu ia pergi ke kamarnya.
Aku pun bangkit melangkah ke kamarku tanpa mengatakan apapun pada ibuku.
Ku baringkan tubuhku di atas tempat tidur dengan pikiran dan beban yang sangat berat bagiku sekarang ini.
Lama aku terdiam di kamarku hingga tiba-tiba terdengar suara Kak Ami dan suaminya serta kak Adin seperti sedang membicarakaku.
Setelah beberapa lama mereka berbicara, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
Terdengar Kak Ami memanggilku.
Saat pintu kubuka, Kak Ami langsung menarikku ke halaman belakang.
Di halaman belakang, aku melihat ibuku, Kak Adin dan suami kak Ami sedang berdiri mengelilingi sebuah bejana atau gentong yang berisi air yang sudah ditaburi bunga.
Malam itu aku di paksa dan di mandikan air kembang.
Aku sudah berusaha memberontak, tapi tenagaku tak sebanding dengan tenaga Kak Adin dan Kak Ami.
Ibuku terus mengguyur tubuhku dengan air bunga itu, badanku terasa dingin sekali, namun hal mengerikan bagiku adalah mataku melihat banyak mahluk yang ikut mengelilingiku.
Mahluk yang dulu aku tak percaya keberadaannya, kini mereka benar-benar ada di dekatku.
Mahluk-mahkluk itu bertanduk dan bermata merah menyala.
Ada lagi makhluk-mahkluk lainnya yang berwujud berkepala binatang, ingin sekali menjerit, tapi mulutku seperti terkunci.
Tak lama berselang munculah junjungan ibuku yang di iringi puluhan pengawal.
Sungguh penampakan ini seperti di Film-film saja, ini bukan mimpi aku benar-benar sadar pada saat itu.
Semua Mahkluk yang berada di belakang rumah semuanya menyingkir saat junjungan ibuku datang.
Aku melihat ibuku mendekati junjungannya, saat itu aku hanya mendengar junjungan ibu berkata
"Purnama saloka yang ke tujuh belas dia harus menjadi banggel projo rogo."
Setelah mengatakan hal itu, ia menghilang bersama mahluk-mahkluk lainnya.
***
Setelah ritual itu selesai, segera aku masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian.
Lalu aku kembali keluar kamar untuk menemui ibu dan Kakakku di ruang keluarga.
"Apa maksud ibu dengan semua ini?" Aku langsung bertanya saat sudah duduk bersama mereka.
"Alan kamu harus tau, nyawa ibu dan Kakakmu ada di tanganmu, kalau kamu berani macam-macam. kami tak akan di terima menjadi abdi dalem junjungan," jawab Kak Ami sengit.
"Dengan mengorbankan banyak nyawa-nyawa tak bersalah? Apa itu sepadan?" Jawabku.
"Alan kelak kita akan berkumpul di keraton junjungan, beruntung keluarga kita diterima oleh junjungan, jadi ibu mohon jangan hancurkan apa yang telah ibu bangun dan perjuangkan," ucap ibuku menjelaskan padaku.
Namun hatiku berkata lain, aku tau jelas bahwa semua ini yang telah merampas kebahagiaan dan kebebasanku.
Malam itu aku tidur dengan pikiran yang sangat lelah.
***
Keesokan paginya terdengar ada yang meneleponku, setelah ku lihat layar hape, ternyata istriku Rina yang menelepon.
"Halo, ada apa, Dek?" ucapku via panggilan telepon.
"Mas Alan sekarag di mana? Kalau bisa secepatnya ke sini, ada hal penting," ucap Rina.
Segera aku bergegas mandi dan siap-siap untuk kerumah Rina.
Saat aku keluar kamar, tiba-tiba ibuku sudah ada di depan pintu.
"Apapun yang kamu lakukan junjungan pasti tau, jadi ibu harap kamu jangan gegabah," ucap ibuku.
Aku masih terdiam, sudah malas sekali rasanya berada di rumah ini.
"Dan satu lagi ibu mengingatkan junjungan menunggu kedatangan anakmu dari Rina, jadi kamu tau sendiri apa yang harus kamu lakukan," ucapan ibuku yang membuat hatiku tamba gelisah.
Setelah ibuku berlalu, aku segera bergegas meluncur pergi ke rumah Rina.
Di perjalanan aku masih cemas atas pembicaraan Rina tadi via telepon. Apa sebenarnya yang terjadi di sana.
"Ya ampun kini gara-gara harta aku jadi terancam," gumamku.
Di tengah jalan yang sedang kulalui, tiba-tiba saja aku melihat ular berwarna hitam memotong jalanku, seketika aku berhenti karena merasa kaget.
Ular hitam itu melintang dengan kepala menghadap ke arahku.
Tak lama berselang, aku kembali di dera kejut dengan munculnya junjungan yang membuatku tambah gemetar.
Aku melihat dari dalam mobil mahkluk seperti pengawal sedang menyeret seorang lelaki yang tak asing bagiku.
Sosok lelaki itu adalah Om Wondo, sekarang beliau di hadapnku sedang di seret.
Badannya tidak memakai baju dan terlihat penuh luka.
Ingin rasanya aku menolong Om Wondo, namun gerak tubuhku seperti terkunci.
Iblis yang disebut sebagai junjungan itu pun mendekat ke arahku.
"Sudah kuperingatkan jangan berani mencampuri urusanku, dan sekarag waktumu sebentar lagi, jangan sampai membuatku marah." tegasnya padaku.
Peringatan ancaman junjungan yang marah membuat seluruh persendian tulangku seperti remuk, bibir dan tubuhku tiba-tiba saja terasa kaku.
Lalau mereka semua hilang begitu saja.
"Om Wondo, apa yang terjadi padamu, maafkan aku, om," ucapku pelan.
Sesaat aku terdiam, aku sekarang benar-benar sudah lelah, sudah bingung apa yang harus aku lakukan agar bisa bebas dari belenggu makhluk jahanam sekutuan ibuku itu.
kembali aku teringat Rina, lalu segera aku pun menyalakan mesin mobilku.
***
Sesampainya aku di rumah Rina, nampak rina sedang duduk bersama ibunya yang sedang menangis.
"Ada apa, Rin, kok ibu nangis?"
"Mas bisa minta tolong antarkan kami ke jawa timur, gak? Om Wondo meninggal semalam mas," ucap Rina sambil terus menahan hisak tangisnya.
Seketika aku terdiam, masih belum percaya dengan hal itu, kemarin kami baru saja ngobrol sekarang beliau sudah meninggal.
Aku menangis mengingat sudah banyak korban dari ulah ibuku itu. Harta yang kini ku miliki ternyata malah membawa bencana dalam keluargaku.
"Gimana mas? Bisa antar kami ke Jawa?" tanya Rina memelas.
"iya, sekarang juga kita berangkat kesana," jawabku masih dengan ketegangan.
Segera aku langsung membawa tas Rina dan ibunya ke dalam mobil.
Saat masih dalam perjalanan, di dalam pesawat pikiranku sangat kacau, aku masih merasa bersalah pada Om Wondo, beliau jadi celaka karena terlibat dengan masalah yang ku hadapi.
***
Sesampainya kami di Jawa timur, segera ku percepat langkahku melewati gang sempit menuju rumah Om Wondo.
Sesampainya kami di depan rumah, tangisan keluarga almarhum seketika kembali membuat hatiku bergetar hebat.
Aku masuk ke tempat dimana jenazah Om Wondo di baringkan.
Kubuka pelan-pelan kain yang menutupi tubuhnya. terlihat dari kepala sampai perut Om Wondo nampak kebiru-biruan seperti habis terbelit sesuatu.
Keluarga dan masyarakat sekitar percaya meninggalnya om Wondo karna penyakit, tapi tidak bagiku, ini adalah luka yang sama seperti korban-korban ulah junjungan ibuku.
Aku menangis melihat Om Wondo harus berakhir seperti ini, padahal harapanku pada beliau sangat besar.
Setelah semuanya selesai dan siap jenazah untuk di makamkan, saat aku mau melangkah ikut serta bersama para rombongan ke pemakaman, kembali aku dibuat terkejut kala melihat junjungan ibuku ada di antara rombongan perempuan.
Dia melihat ke arahku dengan senyum sinisnya, bahkan saat mengantar jenazah ia pun mengikuti, namun saat sampai di pemakaman ia menghilang.
***
Malam harinya didadakan selamatan, pengajian atau apa lah namaya aku kurang tahu.
Aku memang beragama islam, tapi dari kecil aku tidak pernah tau tentang agama.
Seusai acara itu selesai, jam 11 malam aku di panggil oleh istri Almarhum Om Wondo.
Aku di ajak oleh beliau menuju kamar, di dalam kamar istri Om Wondo memberiku kotak kecil.
Setelah di buka isinya seperti ada bungkusan kain berwarna Putih, lalu benda itu di serahkan padaku.
Kata istri Om Wondo, sebelum suaminya meninggal, almarhum berpesan supaya ini di berikan padaku.
Setelah menerima benda itu, tiba-tiba terasa angin berhembus di dalam kamar, lalu segera kami keluar dari kamar itu.
Setelah aku berada di ruangan tengah. Hapeku berdering.
Dering itu nada pesan di hapeku, lalu aku pun membuka pesan tersebut.
*******
Setelah ku buka layar hape, ternyata Kak Ami yang mengirim pesan.
Pada pesan singkatnya itu, Kak Ami memperingatkanku agar aku jangan menentang junjungan.
Setelah membaca pesan, langsung saja ku masukan hapeku ke kantong jaketku tanpa membalas pesan darinya.
Kami pulang kembali ke rumah setelah tiga hari menginap di rumah Om Wondo.
Ketika aku sudah sampai di rumah ibunya Rina, aku berniat ingin pulang ke rumah ibuku. Tapi Rina mencegahku.
Kata mereka ada sesuatu hal penting yang akan di bicarakan padaku. Jadi kuputuskan hari itu tidak jadi pulang.
***
Malam harinya Rina dan ibunya mengajak aku ke ruang keluarga. kami bertiga duduk bersama disana.
Saat kami sudah duduk bareng di ruangan itu, tiba-tiba saja Rina bertanya sesuatu yang membuat aku heran dan kaget.
Rina bertanya apa tujuanku menikahinya. Saat itu aku benar-benar di paksa olehnya untuk terus terang.
Saat itu aku hanya terdiam tanpa berani menatap Rina maupun ibunya.
Baru saja aku mau menjawab, tiba-tiba ibunya Rina menjelaskan pada kami.
"Nak Alan, sebenarnya ibu tau semuanya, ibu sungguh tak enak hati dengan ibumu, karena ibumu lah kami dan khususnya Rina bisa selesai kuliah, ibumu banyak sekali menolong kami berdua, sudah tidak terhitung berapa banyak kebaikan ibumu, tapi ibu juga tak rela jika Rina harus menjadi imbalan dari semua ini," ucap ibunya Rina sambil menangis menceritakan semuanya.
Aku tak menyangka jika ibuku sudah mengatur semua ini sejak lama, sejak istriku masih hidup.
"Ibu tidak usah khawatir, saya tak akan melibatkan ibu maupun Rina, semua ini masalahku dan keluargaku, jadi ibu dan Rina tenang saja," ucapku berusaha menenangkan mereka.
Lalu ibunya Rina menunjukan selembar kertas. Setelah ku baca ternyata isi dalam lembaran kertas itu adalah perjanjian antara ibuku dan ibunya Rina.
Aku bingung harus bagaimana, jika aku ceraikan Rina justru malah nyawa mereka semakin terancam oleh junjungan ibuku.
Kepalaku benar-benar pening ku rasakan, mengingat masalah terus saja membayangiku.
"dduuuaarrr, krakkkkktatakkk."
Tiba-tiba terdengar suara seperti banyak batu kerikil berjatuhan di atas genteng.
Kami bertiga langsung terdiam saling pandang.
Aku bangkit dan mencoba keluar rumah untuk memastikan suara apa itu sebenarnya.
Saat aku hendak membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar dari samping rumah.
Ku urungkan niatku untuk membuka pintu depan, lalu kembali melangkah ke arah mereka berdua.
Tak lama berselang terdengar suara tawa yang mengerikan, lalu tiba-tiba terdengar suara gamelan dan tembang-tembang jawa yang sering ku dengar.
"Pasti junjungan ibuku tahu apa yang tengah kami bicarakan," aku bergumam.
Tiba-tiba pintu tengah rumah terbuka sangat keras. Rina dan ibunya terlihat semakin ketakutan.
Lalu muncul lah suara tawa dari sosok junjungan ibuku, terlihat di sampingnya nampak seekor ular hitam besar dengan mata merah menyala.
Aku yang sudah terbiasa melihat penampakannya masih merasa takut, apa lagi mereka yang baru melihatnya.
Mereka sangat nampak gemetar ketakutan, saat itu juga Rina pun pingsan.
"Nyawa kalian terlalu murah bagiku, sangat gampang bagiku sekarang juga membunuh kalian bertiga, ingat Alan waktumu satu purnama lagi, jadi ingat perjanjian itu harus di tepati, lihat saja olehmu apa yang terjadi kalau kamu membuatku marah," ucap iblis jahanam itu.
Setelah itu ia pun menghilang bersama ular hitam besarnya.
Rina masih dalam keadaan pingsan, segera aku membawanya ke kamar.
Baru saja kami beberapa saat di dalam kamar, tiba-tiba Kak Adin meneleponku memberitahu bahwa anaknya meninggal.
Aku dimintanya saat ini juga harus segera ke rumahnya.
Malam itu aku benar-brnar panik. Rina belum sadar, membuat aku tidak tega jika harus begitu saja meninggalkannya.
"Bu, maaf aku harus pergi dulu ke rumah Kakakku karena anaknya meninggal jatuh dari tangga, ibu tak apa-apa, kan, jika saya tinggal?"
Aku memandangnya sekilas, tak tega sebenarnya meninggalkan ibunya Rina seorang diri disaat anaknya masih dalam keadaan pingsan.
Ibu mertuaku mungkin tak ingin aku pergi, tapi ia lebih takut jika ibuku marah padaku.
Akhirnya aku pun di izinkan untuk pergi ke rumah Kakakku.
Di perjalanan pikiranku benar-benar kalut, tak kuat lagi rasanya aku untuk melanjutkan hidupku ini.
***
Setibanya aku di rumah Kak Adin, terlihat disana sudah banyak para tetangga dan kerabat yang hadir.
Baru saja aku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Kak Ami menarik lenganku menuju lantai atas.
Di lantai atas sudah ada ibuku yang sedang duduk dengan wajah menandakan amarah.
"Ini semua akibat ulahmu, kamu benar-benar telah membuat ibu kecewa, kamu benar-benar ingin menghancurkan segalanya, kamu ingin ibu dan Kakakmu sengsara dengan menerima kemarahan junjungan," ucap ibuku dengan nada suara marah sekali.
"Puas kamu Alan, bunuh saja sekalian kami bertiga, daripada kami mendapat kemarahan dari junjungan, ayo bunuh," ucap Kak Ami yang tak kalah sengitnya.
"Purnama ke tujuh belas tinggal beberapa puluh hari lagi, itulah puncak dari diangkatnya kamu menjadi banggel projo rojo oleh junjungan, apa kamu juga akan menolaknya?" Kembali ibuku berucap dengan raut wajah tegang mata melotot.
Aku masih terdiam.
"Kalau kamu menolaknya, maka semua yang berkaitan dengan perjanjian ini akan menerima murka dari junjungan, tidak ada yang selamat termasuk Rina dan ibunya," jelas ibuku.
Aku yang sedang bingung hanya mematung terdiam Sampai ibuku dan Kak Ami turun kelantai bawah.
Kini semua keponakanku telah tiada, mereka telah menjadi korban keganasan junjungan ibuku.
Waktu yang sudah di sepakati sudah semakin dekat. Aku masih terus berpikir bagaimana cara agar bisa menghentikan semua ini.
Setelah selesai menghadiri acara pemakaman anaknya Kak Adin, kembali aku meluncur ke rumah ibunya Rina.
Di sana kulihat ada beberapa orang di dalam rumah Rina. Terlihat ibunya masih menangis, lalu ia pun memeluku erat.
"Tolongin Rina Nak Alan," ucap ibunya rina padaku.
"Apaakah Rina belum sadar, Bu?"
Ibunya Rina hanya menggeleng kecil padaku.
Segera ku melangkah menuju kamar.
Di dalam kamar Rina istriku masih terbujur tak sadarkan diri.
Di samping Rina aku melihat laki-laki setengah baya duduk mengenakan baju putih dan memakai kopiah serta sorban yang digantung di lehernya.
Beliau bercucuran keringat dari wajah dan dahinya. matanya terpejam dengan posisi tangan memegang suatu benda yang baru ku tahu adalah tasbih.
Aku tidak begitu tahu apa yang sedang dilakukannya, aku juga tak berani untuk mendekatinya. Aku melihatnya hanya dari pintu kamar Rina.
Lama aku tunggu dan melihat bapak itu di dalam kamar. Hingga tiba-tiba ia terpental dan jatuh kelantai.
Brukkk.
Aku mendengar suara lirih dari mulut beliau seperti sedang menahan sakit.
Lalu kembali beliau bangkit dan duduk seperti posisi semulanya sambil kembali memejamkan matanya.
Tak lama setelah itu, beliau pun akhirnya beranjak bangun dari posisi duduknya.
Aku melihat wajahnya pucat dan penuh keringat, dari pinggir bibirnya nampak darah mengalir. lalu ia menatap ke arahku.
Aku hanya tertunduk saat bapak itu menatapku.
Beliau mendekatku. Setelah jarak kami sudah begitu dekat, beliau hanya menepuk-nepuk pundakku, lalu keluar kamar.
Setelah itu aku langsung mendekati Rina yang masih belum sadarkan diri.
"Maafin aku Rin, kini kamu pun harus ikut terseret masalah dalam keluargaku," ucapku lirih.
Lalu aku keluar untuk menemui bapak tadi untuk menanyakan keadaan Rina, kulihat beliau sedang duduk dengan ibu dan beberapa saudara Rina.
Sepertinya mereka sedang mengobrolkan sesuatu yang penting, segera aku pun ikut bergabung duduk bersama mereka.
"Nanti malam buat pengajian di rumah ini, mudah-mudahan Nak Rina bisa kembali dan selamat," ucap bapak itu yang baru kutahu rupanya adalah seorang kyai di daerah ini.
Sebut saja namanya kyai Hamdan.
Saat kyai Hamdan menatap ke arahku, sepertinya ada sesuatu yang diketahuinya di dalam diriku.
"Apa yang terjadi pada Istruku, pak?" tanyaku pada Kyai Hamdan.
"Insya allah istrimu baik-baik saja, nanti malam Mas-nya ikut sama saya, supaya Mas bisa lebih tahu yang sesungguhnya," jawab Kyai Hamdan.
***
Lalu kyai Hamdan pun pamit untuk pulang dulu, nanti malamnya beliau akan datang kembali ke rumah ibunya Rina.
Saat aku bersalaman dengannya, tiba-tiba aja beliau berkata padaku dengan nada suara pelan.
"Persiapkan dirimu untuk nanti malam, banyak-banyak lah berdo'a," ucapnya.
Aku hanya mengangguk saja, walaupun sebenarnya tidak tahu apa maksud dari perkataannya.
*******
Setelah kepulangannya kyai Hamdan, di hari itu juga di rumah ibunya Rina sangat ramai oleh orang-orang yang membatu persiapan acara pengajian nanti malam.
Tadinya aku ingin ikut membantu, tapi banyak dari kerabatnya menyuruhku agar tidak repot-repot untuk membantu.
Mungkin mereka segan padaku karena mereka tahu bahwa aku adalah orang kaya dan pengusaha sukses.
"Lah blegedes, kaya raya tapi hasil dari memuja setan," gumamku.
Walaupun ibuku Muja, tetap saja uang yang ia dapatkan tidak langsung berupa uang atau emas yang di berikan oleh iblis itu. Sama kami juga harus bekerja keras sampai sekaya ini.
Cuma jalan bisnis kami begitu sangat gampang, tidak pernah ada kerugian malah tambah pesat saja usaha yang kami kelola.
***
karena semalaman aku gak tidur dan kecapean, ku putuskan saja untuk segera istirahat di kamar tamu.
Sorenya aku dibangunkan oleh ibunya Rina untuk mandi. Aku pun segera mandi setelah itu makan bareng bersma ibu mertuaku.
Selepas shalat Maghrib, aku melihat banyak orang-orang yang hadir untuk menghadiri pengajian di rumah mertuaku.
Lalu aku pun ikut menyambut tamu dengan mengenakan baju Koko atas permintaan mertuaku.
Aku merasa canggung saat memakai baju Koko, soalnya baru pertama kali ini dalam seumur hidupku memakainya.
Setelah beberapa saat, aku melihat kyai Hamdan bersama beberapa orang di belakangnya. Kata mertuaku itu adalah santrinya.
Di dalam rumah sudah banyak orang duduk bersila sangat rapih menunggu kyai Hamdan memulai acara itu.
Kyai Hamdan pertama-tama mengucap salam, lalu kata demi kata ia ucapkan.
Setelah itu kiyai Hamdan memulai acara itu dengan bacaan yang tak ku mengerti.
Orang-orang yang hadir juga mengikuti lantunan bacaan yang di bacakan oleh kyai Hamdan.
***
Seusai acara para tamu undangan sudah kembali pulang ke rumahnya masing-masing. Cuma kyai Hamdan dan tujuh santrinya yang masih berada di rumah mertuaku saat itu.
Beberapa saat kami ngobrol sambil menikmati hidangan yang dari siang tadi di siapkan.
Lalu setelah itu kyai Hamdan menyuruhku untuk wudhu.
Aku mendengar perintah kayi Hamdan hanya terdiam. Aku bingung beliau menyuruhku untuk hal itu.
Aku beragama Islam, tapi jujur aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berwudhu, sholat dll. Aku hanya tahu saat puasa, walaupun sebenarnya aku gak pernah puasa.
Kyai Hamdan pun mengerti atas rasa kebingunganku, lalu beliau menyuruh salah satu muridnya untuk mengajariku cara berwudhu.
Berapa kali aku di ajari wudhu dengan bahasa Arab, tapi aku sulit untuk membacanya, lalu aku pun memakai bacaan bahasa Indonesia.
Malu sebenarnya aku sama murid kyai Hamdan, tapi si santri terlihat sangat ramah, sedikit pun tidak mengolokku.
Perlahan ku putar keran, air mulai mengalir jatuh ke bawah, aku pun mulai siap melakukan tahap awal untuk berwudhu.
Perlahan ku julurkan kedua telapak tanganku. Tapi sungguh aneh baru saja tersentuh air. Tiba-tiba saja aku menjerit.
"Aduuuuh, panas," ucapku kesakitan.
Aku merasakan tanganku seperti tersiram air panas saja, lalu aku mundur satu langkah karena merasa ketakutan.
Si Santri pun cuma terdiam saat melihat keanehan yang terjadi pada diriku.
Rupanya jeritanku terdengar oleh kyai Hamdan, beliau segera mendatangiku.
Muridnya bercerita tentang apa yang terjadi hingga aku sampai menjerit kesakitan.
Stelah mendengar penjelasan dari muridnya, lalu kyai Hamdan mengajakku kembali keruangan tengah.
"Heran, bagaimana mungkin air yang begitu dingin, tiba-tiba saja berubah menjadi panas saat aku menyentuhnya," gumamku saat melangkah ke ruangan tengah.
Setibanya di ruangan tengah, aku, kyai Hamdan dan ke tujuh santri masuk ke kamar dimana Rina terbaring di dalamnya.
Di dalam kamar aku melihat Rina wajahnya sangat pucat sekali, aku merasa iba melihatnya.
Kyai Hamdan menyuruh kami duduk di belakangnya dengan sama-sama posisi duduk bersila.
Lalu mulailah kyai Hamdan membaca suatu bacaan di iringi oleh ke tujuh muridnya.
Aku yang tak mengerti bacaan yang di ucapkan kyai Hamdan, hanya diam menundukkan kepala sambil masih menahan rasa panas pada kedua lenganku.
Ada sekitar setengah jaman, lalu mereka berhenti. Aku masih tertunduk, lalu Kyai Hamdan memanggilku untuk mendekat ke arahnya.
Aku beranjak mendekat, lalu duduk di samping beliau.
"Sudah siap untuk melihat dan membawa pulang sukma istri Mas Alan?" tanya kyai Hamdan.
Aku cuma mengangguk saja.
Walau masih bingung aku cuma mengangguk saja, ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan Rina.
"Coba baca bismillah, Mas, dan pegang tangan saya," ucapnya.
Aku membaca kalimat yang di suruh oleh Kyai Hamdan sambil ku pejamkan mata.
Aku dan kyai Hamdan duduk berhadapan saling memegang erat kedua telapak tangan kami.
Tiba-tiba saja terlihat suatu tempat yang asing bagiku. Tempat itu seperti hutan, banyak pohon-pohon besar dan tinggi.
Kemudian kami berjalan menyusuri sebuah jalan, hingga sampai disuatu tempat yang terlihat megah seperti sebuah pendopo dengan ukirian kayu sangat indah.
Saat kami hendak memasuki tempat itu, langkah kaki terhenti karena ada yang menghadang didekat pendopo.
Yang menghadang kami adalah sesosok Makhluk mengerikan, mata mereka merah menyala, dengan tubuh hitam legam, dan giginya bertaring.
Kyai Hamdan maju beberapa langkah lalu mengucapka salam.
Tiba-tiba saja muncul seorang wanita cantik keluar dari tempat yang sangat megah itu.
Ia mengenakan pakaian seperti ala kerajaan, dan aku sudah tidak asing dengannya. Itulah wanita yang sering kulihat di rumahku kala mendampingi junjungan ibuku.
Sepertinya sosok wanita itu tak menyukai kedatangan kami, bisa terlihat dari cara pandanganya pada kami berdua.
Kyai Hamdan seperti sedang berbicara serius pada wanita itu, aku hanya bisa melihat tanpa bisa mendengar.
Setelah beberapa saat nampak wanita itu menyuruh mahluk penjaga untuk masuk ke dalam.
Tak lama berselang, sosok itu keluar dengan seorang wanita yang tak asing bagiku. Wanita itu adalah istriku Rina.
Rina terlihat meronta, menagis histeris meminta tolong untuk bisa terlepas dari makhluk di sampingnya.
Melihat hal itu aku langsung saja segera melangkah ke arah Rina, tapi baru saja satu langkah, kyai Hamdan mencegahku.
sosok Rina pun kembali dibawa masuk ke tempat semula. Terlihat kyai Hamdan seperti sedang berbicara secara batin dengan sosok wanita itu.
Tak lama krmudian Kyai Hamdan langsung berbalik arah dan menarik lenganku pergi dari tempat itu.
Karena masih didera rasa penasaran, kembali aku mencoba melirik ke arah belakangku. Tapi tempat itu seketika berubah tidak terlihat kembali hanya gelap yang ku lihat.
Saat aku mencoba beralih pandang ke arah depan, tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamar Rina.
Aku masih keheranan, kembali ku pastikan sekeliling, ternyata benar sekarang aku sudah berada ditempat semula. Kini aku benar-nenar percaya dengan adanya alam ghaib.
Setelah itu aku diberi minum air putih oleh murid kyai Hamdan.
Anehnya walau cuma air putih, tapi saat aku meminumnya, aku merasa badanku terasa panas. Dan rasa air itu sangat pait padahal cuma air putih.
Setelah meminum air itu, tiba-tiba aku merasakan kepalaku terasa puyeng, pandanganku berkunang-kunang.
Entah sudah berapa lama tertidur atau pingsan, soalnya saat aku bangun sudah berada di atas tempat tidur memakai selimut.
kulihat jam dinding menunjukan pukul 7 pagi, mertuaku datang membawa segelas minuman teh manis.
Sekarang badanku sudah terasa enteng dan kepalaku juga sudah normal kembali tidak sakit lagi.
Ku genggam gelas yang berisi minuman teh manis yang dibuatkan oleh mertuaku.
Baru saja satu teguk aku meminumnya, terdengar ada yang mengetuk pintu rumah sangat keras.
Sebut saja nama mertuaku Midah.
"Midah ... Midah, di mana kamu? Aku menagih janjimu!"
Terdengar suara seseorang seperti sedang marah. Suara itu sangat tidak asing bagiku.
"Itu suara ibuku," gumamku.
Bu Midah mendengar teriakan dari luar rumah tampak ketakutan.
Lalu kami berdua melangkah menuju pintu depan.
Ketika pintu sudah dibuka, benar saja diluar adalah ibuku yang terlihat sanga marah. Kak Ami juga ikut menemani ibuku.
Sesaat pandangan mata kami bertemu. Detik berlalu masih saling diam. Lalu.
"Midah! Manusia macam apa kamu ini? Tidak tahu balas budi, kebaikanku kamu balas dengan penghianatan," ucap ibuku.
Ibuku benar-benar sangat marah semua omongan kasarnya ia lontarkan pada Bu Midah.
Setelah puas dengan mencaci maki Bu Midah, kini ibuku menatapku dengan penuh amarah.
"Alan, apapun yang kamu lakukan tak akan merubah apapun, jadi ibu harap di malam purnama tujuh belas kamu terima takdir mulia itu, dan kamu Midah, janjimu nyawa taruhannya,"
Setelah berucap seperti itu, ibuku langsung pergi bersama Kak Ami
Di depan rumah, Mertuaku masih terus menangis terlihat masih ketakutan, lalu aku merangkulnya kembali membawanya masuk ke dalam rumah.
*******
Setibanya di dalam rumah aku masih terus mencoba menenangkan Mertuaku yang masih terus menangis.
Jam 9 ada yang mengetuk pintu, saat aku melangkah ke depan rumah ada rasa takut kurasakan.
Aku mengira diluar sana ibuku sudah siap memarahiku lagi, setelah pintu ku buka ternyata kyai Hamdan yang datang ke rumah ini.
Setelah kyai Hamdan ku ajak masuk kedalam rumah, beliau meminta kami untuk mengobrol di dalam kamar.
Kami duduk bertiga didekat Rina yang masih dalam kondisi belum sadarkan diri.
"Mas Alan, Bu Midah, saya minta maaf karena saya tidak bisa membawa Sukma Rina dari alam sana. Ada sesuatu yang menjadi penghalang yang tidak mungkin untuk saya lakukan. karena hal itu terikat dengan sebuah perjanjian ghaib dengan iblis," ucap kyai Hamdan menjelaskan.
"Kalau pun saya ambil paksa sukma Rina. Maka resikonya terlalu besar, nantinya bakal ada banyak korban." Lanjut Kyai Hamdan menjelaskan.
Mendengar hai itu aku menjadi lemas, begitu juga Mertuaku terlihat khawatir dan menangis setelah mendengar penjelasan dari kyai Hamdan.
"Lalu bagaimana dengan nasib Rina. Pak? Kyai tolonglah istriku, pak, tolong," ucapku memohon pada kyai Hamdan.
"Rina terikat dengan perjanjian darah bayi, sebuah perjanjian yang tak akan bisa dirubah .. kecuali--," kyai Hamdan seketika langsung melihat ke arahku seperti ragu-ragu untuk meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa pak?" tanya Mertuaku berucap lirih.
Kyai Hamdan sesaat menghela nafas panjang, lalu kembali menatapku penuh rasa khwatiran.
"Mas Alan lah yang bisa membawa kembali sukma Rina pulang. Asal Mas Alan menerima projo rogo yang sudah dipegang oleh ibunya Mas Alan. Tapi itu sama juga artinya Mas Alan membuka angkara yang lebih besar lagi, sebuah petaka persekutuan turun temurun yang mana dosanya tidak akan terampunkan," ucap kyai Hamdan sangat tegas.
Penjelasannya seketika membuatku merinding, walau ini berat bagiku untuk melakukannya, tapi terpaksa aku harus melakukan cara seperti ini agar Rina tidak terancam keselamatannya.
"Teruslah bermunajat kepada Allah, semoga Allah memberi petunjuk agar sukma Rina bisa keluar dari lingkaran syetan," pungkas kyai Hamdan.
Setelah itu aku memanggil dokter khusus dan perawat untuk terus mememeriksa kondisi Rina yang dinyatakan koma.
***
Malam harinya kyai Hamdan dan satu muridnya kembali mendatangi kami.
Lalu kami bertiga masuk ke dalam kamar. Aku dan satu santri duduk di belakangnya kyai Hamdan.
Mereka berdua membaca buku kecil yang kertasnya berwarna kuning. Mungkin saja mereka sedang mendo'a-kan Rina.
Aku masih ikut duduk hanya terdiam saja sambil sesekali melirik ke arah mereka.
Kira-kira ada satu jaman mereka selesai membaca buku itu. Lalu aku mengajak kyai Hamdan dan muridnya untuk makan.
Seusai makan muridnya disuruh pulang duluan oleh kyai Hamdan. Semetara beliau masih berada bersamaku.
Kini hanya aku dan kyai Hamdan di ruang tamu, sedangkan Mertuaku berada di kamar ditemani oleh saudaranya.
Sampai pukul 12 malam kami masih ngobrol-ngobrol tentang ilmu agama. Karena saat itu aku ingin mempelajari tata cara ibadah.
Kira-kira setengah satu saat kami masih asik terus ngobrol seputar agama, tiba-tiba bau wangi bunga tercium jelas, lalu tak lama kemudian tercium bau amis darah sangat menyengat.
Kyai Hamdan juga merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan.
Sesaat kami terdiam.
Aku tambah semakin was-was karena tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah depan rumah.
Beberapa saat suara tawa itu masih terdengar. Tak lama kemudian hilang dan berganti suara tembang yang terdengar sangat mengerikan.
Kyai Hamdan yang merasakan ada keganjilan langsung bangkit melangkah keluar di ikuti aku di belakangnya.
Saat kami sudah sampai di halaman rumah, junjungan ibuku sudah nampak dengan seekor ular hitam yang mengerikan.
Meski aku sudah beberapa kali melihatnya, namun masih saja lututku gemeteran.
Junjungan ibuku menghentikan tembang dan tarianya, lalu ia menatap tajam ke arah kami.
"Jangan ikut campur, jangan melewati batasmu, biarkan mereka memanen hasil yang mereka tanam," ucapnya pada kyai Hamdan.
"Apa tidak ada cara lain untuk mengahiri perjanjian itu tanpa harus ada korban?" tanya kyai Hamdan.
Tiba-tiba junjungan ibuku tertawa sambil wajahnya mendongak ke atas.
"Janji yang sudah dibuat dengan darah akan di hapus dengan darah," ucapnya dengan raut wajah sinisnya.
Lalu dia menatap ke arahku.
"Dan kamu, semua pilihan ada di tanganmu, waktumu hanya sepenggal purnama," ucapnya padaku.
Stelah berucap seperti itu, tiba-tiba saja sosok itu menghilang.
Aku yang masih ketakutan lalu diajak oleh kyai Hamdan masuk kembali ke dalam rumah.
Di dalam rumah, kami duduk diruangan tamu. Seketika itu kyai Hamdan menepuk-nepuk bahuku.
"Pilihanmu memang berat Mas, tapi yakinlah allah pasti memberimu kekuatan dan sesuatu yang terbaik kelak untuk hidupmu," ucapnya padaku.
Sesaat kami mengobrol disana, lalu kyai Hamdan pun pamit padaku untuk pulang.
Aku melangkah menuju kamar untuk melihat keadaan Rina.
Didalam kamar kutatap wajah Rina yang pucat dengan mata terpejam, seketika hatiku menjerit memikirkan orang-orang yang dekat denganku harus mati menjadi korban.
Ibunya Rina masuk ke kamar lalu duduk di sampingku sambil terus menatap anaknya.
"Nak Alan, ibu ikhlas melepas Rina, ibu tahu cepat atau lambat ibu dan Rina pasti akan mati, ini memang salah ibu terlalu silau akan kemewahan tak memikirkan akibatnya," sambil menangis Mertuaku berkata yang belum bisa aku pahami.
"Dulu ibumu adalah teman baikku, ibumu orang baik, dia selalu membantu segala kesusahanku, hingga beberapa tahun lalu saat Rina ingin meneruskan kuliah, tapi karena ekonomi yang tak memungkinkan Rina akhirnya bekerja pada ibumu."
"Ibumu tahu keadaan kami, Rina pun ditawari untuk meneruskan kuliah, dan akan dijamin kehidupan kami, asal Rina bersedia menikah denganmu. rumah ini juga adalah pemberian ibumu."
Mertuaku mulai menceritakan masa lalunya.
"Ibu juga tidak tahu kalau semua ini ada hubungannya dengan hari kelahiran Rina, ibu ngiranya ini cuma bentuk kebaikan ibumu saja pada temannya yang sedang kesusahan. Hingga Rina saat itu tidak menolak untuk menjadi istrimu meski menjadi istri yang kedua."
"Jadi kesepakatan itu terjadi saat istriku dulu masih hidup, Bu?"
"iya benar, alasannya kalian dinikahkan karena ibumu tahu kalau Rina anak yang lahir pada selasa kliwon. Ibu tahu semua itu dari almarhum dek Wondo."
Sesaat mertuaku menghentikan ceritanya, lalu menagis.
Aku yang duduk disampingnya hanya terdiam
"Perawan unting-unting yang lahir pada selasa kliwon adalah salah satu syarat agar Nak Alan bisa menjadi pembuka dan penerus kejayaan ibumu."
Setelah mendengar semuanya, baru aku menyadari bahwa ini ternyata sudah di rencanakan oleh ibuku jauh-jah hari, aku juga beranggapan bahwa kematian istriku adalah bagian dari rencana ibuku.
Setelah menceritakan hal itu, lalu mertuaku pamit untuk istirahat.
Aku yang masih duduk di dalam kamar masih tertegun mencoba pasrah saja atas hal apapun yang akan terjadi nanti.
***
Malam berikutnya kyai Hamdan kembali berkunjung. Tapi kali ini beliau membawa seorang laki-laki yang usianya lebih tua darinya.
Kata kyai Hamdan lelaki yang saat ini bersamanya adalah temannya waktu dulu mesantren di Jawa timur.
Sebut saja nama beliau pak Ahmadi.
Setelah berbincang-bincang diruangan tamu. lalu kyai Hamdan dan pak Ahmadi masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh Rina.
Kyai Hamdan menyuruh kami untuk menunggu di luar kamar sambil membaca dzikir.
Malam itu suasananya terasa berbeda. Hawa dingin kini tiba-tiba menjadi mencekam.
Mertuaku dan kerabatnya yang ikut hadir menunggu sambil berdzikir pun memilih masuk ke kamar karena mereka merasa takut dengan suasana yang tiba-tiba saja berubah mengerikan.
Sekitar satu jam sudah berlalu suasana bertambah semakin mencekam
Di dalam kamar seperti terdengar angin bergemuruh sangat kencang. Suara kilat terdengar bersahutan menandakan akan turun hujan.
"Aaaaakkkkkhhhhh."
Terdengar jeritan dari dalam kamar.
Rasa penasaran dan khwatirku mendera membuat dudukku tak nyaman.
Setelah jeritan itu kini terdengar olehku suara tawa sangat nyaring sekali hingga membuat bulu kudukku merinding.
Setelah suara tawa hilang, lalu seketika berganti alunan gamelan yang di iringi tembang-tembang.
Kali ini bukan hanya satu suara yang ku dengar, melainkan seperti bayak yang ikut melantunkan tembang itu.
"Duuuarrr .. Duarr ... Duaarr."
Terdengar sperti benturan 3 kali dari depan rumah.
Aku semakin terkejut, keringat semakin deras mengucur, kyai Hamdan dan pak Ahmadi juga belum keluar dari dalam kamar.
Setelah suara benturan keras, lalu aku mendengar suara sangat nyaring jelas sekali di telingaku.
"Mongso ngunduh rogo bakal dadi yen banggel projo rogo ora biso tak kukuhke."
Setelah suara itu hilang, kini suasana menjadi hening. lalu kemudian.
*******
Setelah suara itu hilang, kini suasana menjadi hening. Lalu setelah itu kyai Hamdan dan pak Ahmadi keluar dari kamar.
Aku melihat mereka wajahnya sangat basah penuh keringat dan terlihat juga darah segar di bibir mereka masih bercuccuran.
Setelah mereka membersihkan darah dari bibirnya, kyai Hamdan dan pak Ahmadi duduk diruang tamu bersamaku.
"Mas Alan, kami berdua sudah berusaha, namun tetap saja kami tidak mampu mengembalikan sukma Rina. Kini cuma Mas Alan yang bisa melepasnya sebelum malam purnama 17," ucap pak Ahmadi.
"Caranya gimana pak? Agar saya bisa menolong Rina."
"Harus bisa mengambil sebuah kain atau selendang yang ibunya Mas Alan miliki, karena kain itu lah simbol pengikatnya, tapi Mas Alan harus hati-hati, soalnya Iblis itu sekarang sudah sangat marah," kembali pak Ahmadi menjelaskan.
"Tadi saya sempat mendengar suara junjungan ibuku yang sepertinya sebuah ancaman pak, lalu apa yang terjadi jika saya ambil kain itu? Dan harus saya apakan kain itu nantinya?" ucapku dengan rasa cemas.
"Itu bukan hanya sekedar ancaman, tapi akan menjadi kenyataan, jika kain itu sudah Mas Alan dapatkan, bakar dan abunya kuburkan di tempat pemujaan ibunya Mas Alan, cepat atau lambat yang terlibat dalam perjanjian darah bayi akan diambil sukmanya untuk menjadi budak guna membayar apa yang telah mereka minta."
Mendengar penjelasan dari pak Ahmadi membuatku semakin yakin untuk segera keluar dari lingkaran iblis ini.
"Mas Alan sepertinya punya sesuatu yang istimewa, bolehkah saya melihatnya?" tanya pak Ahmadi yang membuatku bingung dengan ucapannya.
"Maksudnya apa ya, pak? Maaf saya kurang paham."
"Coba mas ingat-ingat lagi."
Aku pun teringat akan titipan Om Wondo yang belum pernah aku buka.
Lalu aku beranjak masuk ke dalam kamar mengambil bungkusan itu, lalu segera ku perlihatkan pada pak Ahmadi.
"Apakah ini yang bapak maksud?" tanyaku sambil menyodorkan benda itu pada pak Ahmadi.
Pakk Ahmadi membuka bungkusan itu. Nampak lah sebuah keris kecil lengkap dengan rangkanya, pak Ahmadi langsung mencabut keris itu.
Bagiku keris itu tidak ada yang aneh, tapi saat di pegang oleh pak Ahmadi, tiba-tiba saja tangan beliau seperti bergetar.
Lalu beliau pun segera menyarungkan kembali keris itu dan menyerahkannya padaku.
"Bawalah keris ini saat Mas Alan akan mengambil kain itu, karena yang Mas lawan saat ini bukan ibu atau saudaramu, melainkan iblis yang mempunyai ribuan pengikut," jelas pak ahmadi.
***
Malam itu mataku tak bisa terpejam, meski waktu telah menunjukan pukul 3 pagi.
Esok harinya aku berniat ingin mengunjungi ibuku yang sudah beberapa hari ku tinggalkan.
Setelah pamit pada mertuaku, aku segera bergegas ke rumah ibuku, tak lupa keris titipan Om Wondo ku bawa.
Setelah keluar dari halaman rumah Mertuaku, aku merasa seperti sedang diawasi dan dibuntuti, hingga saat sampai di depan rumah ibuku, tiba-tiba ada segumpal kabut yang menutupi gerbang depan.
Saat aku sudah berada di depan gerbang, datang lelaki sudah tua menghampiriku.
"Mas Alan ya?" tanyanya dari luar kaca mobilku.
"Iya pak, bapak siapa?"
"Saya yang di tugaskan buat jaga rumah ini. Oh ya Mas Alan sudah di tunggu ibu di pendopo belakang," ucapnya setelah membuka gerbang.
"Bagaimana ibu bisa tau kalau aku akan datang, padahal aku tidak memberi kabar," gumamku.
Saat aku berjalan kebelakang, bau wangi bunga dan dupa masih sangat menyengat seperti baru di pasang.
Di pendopo belakang kulihat ibuku duduk sendiri dengan pakaian khas wanita jawa kuno, rambutnya di sannggul.
Ibuku tidak menengok kearahku, tapi beliau pasti tahu kedatanganku.
"Akhirnya kamu datang Alan, tapi sayang kamu datang bukan sebagai Alan anakku."
"Apa maksud ibu?"
"Ibu tau kamu telah menghianati ibu, projo rogo bakal di unduh, tak ada yang bisa selamat, kemurkaan junjungan tak akan bisa di halangi, kecuali kamu kembali dan terima simbol kehormatan dengan menjadi banggel projo rogo yang tinggal 7 hari lagi," ucap ibuku dengan wajah masih belum melihat kearahku.
"Jangan kamu kira dengan apa yang kamu bawa bisa menghetikan kemurkaan junjungan," kembali ibuku berucap membuatku terkejut.
Tiba-tiba ibuku melantunkan sebuah tembang yang menyayat hati dan membuatu merinding.
Aku mundur ketika tiba-tiba ibuku tertawa dengan wajah mendongak keatas.
Suara tawa ibuku benar-benar membuatku ngeri dan merinding. Aku pun segera melangkah meninggalkan pendopo belakang.
Langkahku terhenti ketika melewati kamar ibuku.
Terdengar suara rintihan seperti orang menahan kesakitan, aku berpikir siapa yang merintih di kamar ibuku.
Perlahan aku melangkah mendekat, lalu mengintip dari celah pintu kamar ibuku.
Dari celah pintu, aku dengan jelas bisa melihat ibuku sedang terbaring merintih seperti sedang kesakitan.
Aku sangat terkejut, pikiranku kacau.
"baru saja di pendopo belakang aku bertemu ibuku, tapi sekarang dengan jelas ibuku sedang terbaring merintih kesakitan. Lalu siapa yang di belakang? Mana ibuku yang asli?" gumamku.
"Itu akibat perbuatanmu dan Bu Midah." Tiba-tiba ada yang berucap seperti itu dari arah belakangku.
Saat aku berpaling, Kak Adin sudah berdiri di pintu depan.
Aku hanya terdiam saat melihat ia mendekatiku.
Wajahnya terlihat menahan amarah, di tanganya membawa bunga-bunga yang biasa dibuat sesaji.
"Puas kamu sekarang bukan,?" kembali Kak Adin berkata dengan sengit.
"Apa maksud Kak Adin? Kenapa saya dan Bu Midah yang di salahkan? Seharusnya aku yang meminta pertanggung jawaban kalian. Karena Rina yang tidak tau apa-apa menjadi korban," balasku dengan tegang.
Lalu Kak Adin menatapku dengan sinis.
"Kamu benar-benar bodoh, apa Bu Midah tidak bercerita padamu? Apa dia tidak mengatakan yang sebenarnya terjadi?"
Perkataan Kak Adin membuatku bingung.
"Apa maksud Kak Adin? Ada apa sebenarnya dengan Bu Midah?"
"Kalau kamu mau tahu yang sebenarnya tanyakan langsung sama si Midah, suruh dia jujur,"
Setelah itu Kak Adin membuka pintu kamar ibuku, aku pun ikut masuk bersamanya.
Untuk pertama kalinya aku bisa melihat ruangan di dalam kamar ibuku.
Harum bunga dan dupa sangat menyengat di hidungku, bau itu berasal dari bunga dan dupa yang diletakkan diatas lempengan yang berwarna kuning seperti emas. Tepat di depan lempengan itu terdapat sebuah patung junjungan ibuku.
Saat aku mencoba mendekati ibuku, betapa kagetnya aku melihat kondisi ibuku saat itu.
kakinya hitam legam, wajahnya pucat serta matanya melotot seperti tak bisa di kedipkan.
Mulutnya merintih seperti sedang menahan sakit yang amat sangat, aku menangis saat melihatnya.
hatiku seperti teriris-iris kala melihat kondisi ibuku sangat memperihatinkan.
Walalu ibuku sudah bertindak gegabah, dan mencelakai banyak orang, tapi aku anaknya dalam rasa manusiawi tetap tak rela jika melihat ibuku menderita.
Perlahan aku mendekat ke arah ibuku yang terbaring kaku di atas tempat tidur, ku gerakan tanganku menyentuh bahunya ia mengerang dengan pandangan mata melotot memandangiku dengan tatapan seperti penuh amarah.
Aku mundur dan melepaskan tanganku dari bahunya.
"Ini akibat Mertuamu Midah ingkar janji, dan juga kamu yang telah menghianati ibu," kembali Kak Adin dengan sengitnya berbicara padaku.
Aku masih belum mengerti, ada apa dengan Mertuaku, apa ada hubunganya dengan Rina yang sedang di tahan sukmanya?
Sungguh rumit pikiranku saat itu.
"Kak, apakah sakit ibu ini tidak bisa di obati?" tanyaku pada Kak Adin.
Kak Adin yang mendengar pertanyaanku memandangku dengan sinis.
"7 hari lagi adalah malam purnama ke tujuh belas, bertepatan dengan hari selasa keliwon, Rina dan kamu akan menjadi penerus sekaligus penebus pada junjungan, maka saat pengabdianmu di terima, semua akan kembali baik-baik saja, tapi jika kamu menolaknya, maka murka junjungan tak akan ada yang bisa menghentikanya."
Sungguh syarat yang teramat berat bagiku, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi hanya terdiam saja.
"Hebat kamu sekarang sudah ada yang mendampingi, tapi itu tak berarti apa-apa bagi junjungan, pergilah bawa temanmu itu," ucaap Kak Adin mengusirku dengan sengit.
Tak mengerti ia mengatakan aku bawa teman? Siapa temanku? Ahh aku tak mau memikirkanya, mungkin yang di maksud Kak Adin keris kecil dari Om Wondo.
"Ingat Alan, jika kamu masih ingin melihat ibu baik-baik saja, purnama ketujuh belas datanglah kemari."
Aku tidak menjawab apapun, segera melangkah keluar kamar.
Di sela-sela langkahku, aku terus di dera rasa penasaran, ada apa sebenarnya antara ibunya Rina dan ibuku? Tak mungkin kalau hanya hubungan teman atau balas budi yang pernah beliau ceritakan padaku. Pasti ada sesuatu yang Bu Midah rahasiakan dariku.
Di perjalanan ku tancap gas dalam-dalam karena ingin segera sampai di rumah mertuaku.
[BERSAMBUNG]
*****
Sebelumnya
*****
Selanjutnya