Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PESUGIHAN DARAH BAYI (Part 1)


JEJAKMISTERI - Cerita ini bermula saat aku selesai melaksanakan shalat lsya. dan kebetulan saat malam itu tidak ada kegiatan apa pun yang aku kerjakan.

Aku dan kedua temanku dipanggil oleh guruku untuk bantu beres-beres di rumah beliau. Dengan sigap aku pun segera menuju ke rumah guruku.

Sudah sejak lama aku batu bersih-bersih di rumah guruku ini, dan hal itu kulakukan dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.

Kami bertiga masing-masing ada bagiannya untuk pekerjaan di rumah itu. Ada yang dibagian menyapu, ada yang dibagian mencuci perabotan rumah dll.

Jam 9 malam pekerjaan itu selesai kami kerjakan, aku dan kedua temanku seperti bisa sehabis beres-beres istirahat sejenak untuk sekedar melepas lelah sambil ditemani kopi.

Tidak lama berselang baru saja kami istirahat sedang asik ngobrol, tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu.

"Assalamualaikum ... Bah, abah?" ucapnya dari arah luar.

Segera aku beranjak dari tempat duduk, lalu melangkah menuju ke arah pintu.

"Wa'alaikumsalam, silahkan, pak, masuk," ucapku padanya.

Aku tanyakan maksud kedatangannya, ternyata orang itu adalah tukang ojek yang biasa mangkal di perempatan sana.

Tukang ojek itu berkata padaku hanya mengantarkan seseorang yang ingin bertemu guruku.

"Dimna orangnya pak?"

"Ada di luar, mas," ucap si tukang ojek.

Setelah dipanggil, seseorang itu mulai mendekat ke arah kami, ternyata tamu itu adalah seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan.

Tukang ojek langsung pamit berlalu pergi. sementara wanita yang sekarang berada di hadapanku ku persilahkan masuk.

Ku antar beliau untuk duduk di ruangan penerimaan tamu seperti biasanya.

Sesaat aku menyapanya untuk sekedar basa basi, lalu aku pamit padanya mau ke belakang membuatkan minum.

Setibanya di dapur kedua temanku masih asik merokok sambil ngopi.

"Siapa mas? Kok, kaya ada suara ibu-ibu?" tanya salah satu temanku yang bernama gufron. Aku menjelaskan pada temanku bahwa di depan ada tamu. Dan aku harus segera membuatkan minum untuk tamu tersebut.

Dua gelas teh manis selesai ku buat, lalu segera ku antar ke ruang tamu.

Ku sodorkan minuman itu padanya. Setelah itu guruku keluar dari kamarnya terlihat masih sambil memegang tasbih.

Aku langsung beranjak kembali ke dapur.

Baru ada kira-kira lima belas menit aku dan temanku ngobrol di dapur, tiba-tiba Abah memanggil kami bertiga.

Kami duduk di lantai, sesekali aku melirik kepada ke arah wanita itu. Terlihat olehku seperti habis menangis.

"Ibu ini namanya Bu Elin asal daerah P. Beliau sedang dalam masalah besar, biar sementara tinggal disini," ucap abah menjelaskan.

Kami hanya mengangguk.

"Bu, nanti kalu perlu apa-apa bisa minta tolong sama mereka, ya, Bu," ucap Abah pada Bu Elin.

"Maaf abah, saya benar-benar minta tolong sama Abah. Saya gak bisa tenang sebelum mendapat uang, anak-anak dan cucu-cucu saya terancam, rumah dan kebun saya gak cukup buat bayar hutang-hutang saya, jadi tolong saya, apapun akan saya lakukan demi mendapatkan uang," ucap Bu Elin terlihat benar-benar sedang cemas dan sedih.

"Ini adalah ujian, ibu harus sabar, kalau ibu nekat dan tetap akan melakukan seperti yang ibu inginkan itu resikonya sangat besar, Bu," ucap Abah kembali menegaskan.

Setelah itu Bu Elin disuruh istirahat, aku mengantarnya ke kamar tamu. Lalu setelah itu aku kembali ke ruang tamu.

Di ruangan tamu kami bertiga diceritakan tentang rencana Bu Elin oleh guruku.

Kata Abah, Bu Elin datang dari daerah P untuk mencari pesugigan. Bu Elin punya banyak hutang dan tidak mungkin bisa melunasinya. Banyak kebun dan aset lainnya yang di sita bank. Kini cuma rumah satu-satunya yang sebentar lagi akan di sita oleh pihak bank.

Hutang Bu Elin sampai 4,5 milyar. Walau rumah itu di jual tidak akan cukup untuk melunasi semua hutangnya. Karena rumahnya cuma di hargai 2 milyar.

Bu Elin sudah bingung harus dengan cara apa agar masalah hutangnya bisa lunas.

Saat itu Bu Elin berniat pergi ke pulau Jawa untuk mencari cara agar dirinya bisa mendapatkan uang dengan cepat.

Tapi naas dirinya kena tipu oleh orang yang akan mengantarnya pada kuncen yang bisa memberi jalan lewat pesugihan.

Uang 50 juta yang di miliki Bu Elin raib. padahal itu bekal dirinya saat berada di pulau Jawa.

Uangnya kini cuma tersisa beerapa lembar saja, dan dirinya sudah bingung harus pergi kemana lagi. Tidak ada tempat yang dituju, saudara atau kenalanpun tidak ada di pulau Jawa.

Saat malam hari jam 8 Bu Elin berniat singgah di rumah makan yang berada di pinggir jalan lintas.

Di rumah makan itu lah Bu Elin bertemu tukang ojek, lalu meminta di antaranya kepada orang pintar.

Tukang ojek pun mengantarkannya pada guruku. Mungkin tahu suka ada tamu mendatangi rumah guruku.

Di rumah Abah, Bu Elin setiap hari di ajak shalat, dzikir dan selalu di nasehati oleh Abah, tapi Bu Elin tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk mengambil jalan pintas melalu pesugihan.

Setiap hari Bu Elin cuma menagis, sampai pada hari ke Enam, di malam hari kami di panggil oleh guruku.

Abah sudah berkali-kali menasehatinya, tapi tetap tidak digubrisnya. Dan Abah sudah memtuskan menyuruh aku untuk mengantar Bu Elin besok sore ke Goa L di pantai selatan.

"Kamu besok ikut dan temani Bu Elin, dan selama di sana tiga hari tiga malam," ucap guruku.

Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.

"Ibu sudah yakin dengan pilihan yang ibu pilih, dan saya mengingatkan ibu sudah saya laksanakan, maka apapun resiko ibu nantinya bukan urusan saya lagi, dan perlu ibu ingat sekali ibu buat perjanjian dengan setan. Maka selamanya ibu tak akan bisa lepas, ibu akan menjadi pengikutnya di dunia dan di akherat," tegas guruku.

"Iya, Abah, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karna abah sudah membantu. Saya tidak akan melupakan kebaikan abah dan semua yang ada di sini," jawab Bu Elin sambil terus terhisak-hisak menahan kesedihan.

Malam itu adalah malm yang membuatku merasa takut, kenapa Abah memilihku untuk menemani Bu Elin? mendengarnya saja sudah merinding.

***

Setelah shalat Asyar aku bersiap-siap dan membawa beberapa stail pakaian ganti. karena kata Abah aku akan menemani Bu Elin selama tiga hari di pantai selatan.

Pukul 4 sore. Aku, Bu Elin dan seorang sopir berangkat dari ke pantai selatan.

Hampir dua jam kami melaju akhirnya sampai di tujuan pantai yang terkenal. Dari pantai itu kami harus menempuh perjalanan lagi setenga jaman.

Kami tiba di kampung kecil, terlihat kampung itu sangat sunyi. Saat itu sudah adzan Mahgrib lalu kami mampir di sebuah Mushala kecil.

Seusai shalat, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah rumah yang lumayan besar, bangunannya khas jawa banget.

Aku melihat banyak patung yang hampir di letakkan disetiap sudut rumah. cuma sopir yang masuk pertama kali ke rumah itu. Setelah beberapa menit sopir dan tuan rumah pun keluar.

Sopir itu mehampiri kami, lalu berkata cuma mengantar sampai disini aja, lalu si sopir itu pun pamit.

Aku dan Bu Elin diantar oleh lelaki tua yang memakai blangkon serta baju batik khas keraton dan sebuah keris terselip di pinggang. Terlihat di tanganya membawa senter dan bungkusan kain hitam yang entah apa isinya.

Sebut saja lelaki itu Mbah Harjo.

Saat itu aku masih bingung dan sedikit mulai takut. Hanya bisa berdoa andai bukan abah yang menyuruh, rasanya ingin aku ikut pulang bersama sopir yang tadi mengantarkan kami.

"Mari ikuti saya," ucap Mbah Harjo agar kami segera mengikutinya.

Aku dan Bu Elin mengikuti tanpa banyak bicara. setelah beberapa menit berjalan kami tiba di tepian laut yang curam dan terdengar gemuruh ombak.

Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya kami sampai ditempat yang datar. Aku masih bingung apa sebenarnya yang akan mereka lakukan. Di depan kami nampak sebuah bangunan dari kayu yang dibuat seperti joglo.

Aku melihat pada sudut sebelah kanan nampak seorang laki-laki tua sedang duduk bersila, rambutnya panjang dengan ikat kepala warna hitam.

Mbah Harjo melangkah menuju ke arah laki-laki itu, sedangkan aku dan Bu Elin hanya diam memandang ke arah mereka.

Setelah itu kami berdua di panggil, lalu ikut serta duduk di atas joglo.

"Ibu sudah siap dengan apa yang akan ibu lakukan? Ibu sudah siap dengan segala resikonya?" tanya lelaki tua sebut saja Mbah Gondrong.

"Sudah Mbah, jauh-jauh saya datang kesini bertekat untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Apapun resikonya dan seberat apapun syratnya akan saya penuhi," jawab Bu Elin mantap tanpa ragu-ragu lagi.

Setelah itu Bu Elin diajak ke sebuah Goa, aku pun di izinkan untuk ikut.

Goa yang terlihat kecil namun saat di dalam ternyata Goa itu sangat lebar, ada banyak seperti pintu di dalam Goa itu dan setiap pintu di atasnya ada tulisan aksara jawa.

Kami masuk disebuah pintu yang di dalamnya terdapat seperti gentong yang berisi air jernih.

Mbah gondrong itu mengambil nampan yang berisi beberapa jenis bunga, lalu bunga itu di taburkan di gentong yang berisi air.

Saat bunga di taburkan kedalam gentong, tiba-tiba saja air itu berputar.

Bu Elin di suruh melihat ke arah dalam gentong, saat mendekat untuk melihat isi gentong, tiba-tiba saja terlihat wajah Bu Elin berubah tegang. Ia cemas saat melihat isi dalam gentong itu.

Aku merasa penasaran saat melihat Bu Elin begitu kagetnya waktu matanya menatap ke arah dalam gentong. Lalu aku berniat untuk melihatnya.

"Sebenarnya apa sih yang dilihat Bu Elin sampai sebegitu tegangnya," gumamku.

Saat aku melihat, namun yang terlihat hanya gentong berisi air beserta di atasnya berisi bunga setaman yang masih terus berputar.

"Aneh kenapa Bu Elin bisa setegang itu, padahal hanya berisi air dan bunga," kembali aku bergumam.

Mbah gondrong komat kamit membaca sesuatu, lalu seketika air dalam gentong pun berhenti berputar.

Setelah itu kami di ajak untuk ke ruangan lain. Mbah Gondrong kembali duduk dan bertanya pada Bu Elin.

"Ibu sudah melihat apa yang bakal terjadi, dan sudah melihat seberapa besar resiko yang harus ibu tanggung lewat gambaran itu tadi. Jadi sebelum kita mulai ritual ini saya tanya pada ibu sekali lagi, karna jika sudah dalam tahap ini ibu tidak bisa lagi membatalkan, bagaimana ibu?" ucap Mbah Gondrong memastikan.

Bu Elin pun menyanggupinya, walau dia sudah tahu resiko apa yang akan menimpanya.

Mbah Gondrong lalu meminta bungkusan yang dibawa oleh Mbah Harjo.

Setelah dibuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah kain dan selendang.

"Sekarang ibu mandi air dalam gentong tadi, pakailah kain ini, setelah itu ibu bertapa di dalam Goa ini selama 3 hari," jelas Mbah Gondrong.

Bu Elin melakukan ritualnya sementara aku di ajak oleh Mbah Harjo keluar Goa lalu duduk di joglo.

"Mas nunggunya disini kalu mau shalat dan tidur di sebelah situ," ucap Mbah Harjo padaku.

Aku hanya mengangguk dan pasrah, tanpa tau apa yang harus dilakukan.

*******

Setelah kami mengobrol sampai beberapa saat, lalu Mbah Harjo pamit pulang ke rumahnya.

Seusai shalat Isya aku duduk sendiri di joglo. Rasa tegang di sertai takut malam itu terasa sangat lama sekali kurasakan.

Jam sudah menunjukan pukul setengah satu malam, namun aku tidak bisa tidur.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba aku mendengar suara seperti orang berbicara berbahasa jawa halus, namun saat kulihat sekeliling tak ada satupun manusia yang terlihat.

Suasana itu terus berlangsung sampai waktu menjelang subuh.

Selesai shalat subuh, perlahan rasa cemasku mereda karena tempat ini sudah mulai terang.

Jam 8 pagi Mbah Harjo datang membawakan sarapan, saat aku duduk bareng bersamanya, aku mencoba bertanya tentang tempat ini.

"Disini termasuk pintu gerbang mas, yang penting mas jangan ganggu apa-apa dan klau mau kencing jangan di situ," ujar Mbah Harjo sambil nunjuk ke arah batu besar berwarna hitam lekat.

Setelah agak siang Mbah Harjo pamit, saat itu aku merasa sangat ngantuk karna semalaman gak tidur aku pun tertidur sangat pules.

***

Saat malam kedua aku berada di tempat itu, kengerian kembali menyelimuti batinku, malam itu malam kedua Bu Elin melakukan ritualnya.

Jujur aku salut pada Bu Elin, padahal hanya wanita tua, tapi sanggup sudah dua hari di dalam Goa tidak merasa takut ditambah tidak makan dan minum.

Di malam ke dua ini aku masih menunggu di luar Goa duduk di joglo. Lalu keanehan mulai aku rasakan kembali.

Keanehan itu tiba-tiba saja aku mendengar ringikan suara kuda, tapi saat aku melihat di area sekitaran tidak ku jumpai ada kuda di tempat itu.

Tak lama berselang dari kejadian suara ringikan kuda, aku mendengar suara dari arah Goa sura para wanita sangat ramai seperti sedang berada di pasar saja, tapi pembicaraannya tidak jelas ku dengar.

Di malam ke tiganya suasananya benar-benar panas kurasakan dan sangat mencekam dari pada malam sebelumnya.

Dari dalam Goa terdengar suara gamelan, ketakutanku semakin bertambah saat melihat banyak sekali bayangan keluar masuk ke dalam Goa.

Bayang-bayang itu seperti akan menyiapkan sesuatu. Aku pun tak berani melihat.

Entah sudah berapa lama aku diam dalam ketakutan, sampai akhirnya aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah joglo.

Saat kulihat ternyata Bu Elin dan Mbah Gondrong, Bu Elin hanya tersenyum melihatku tanpa berkata sepatah kata pun, beliau telah beda sekarang dari sorot mata dan gerak geriknya.

Setelah itu Mbah Gondrong mengajak Bu Elin ketepian laut, aku merasa penasaran lalu mengikuti mereka dari belakang.

Setelah sampai ditepi laut, aku melihat Bu Elin memegang satu ayam sambil di angkat ke atas.

Tangan kirinya memegang sayap dan tangan kanannya memegangi kaki ayam itu. Lalu Mbah Gondrong mengeluarkan sebilah keris, leher ayam itu di arahkan ke bawah atau tepat di atas air laut.

Saat Mbah Gondrong menyembelih ayam itu, tiba-tiba terdengar jeritan yang sangat menyayat. Terdengar olehku seprti jeritan anak kecil.

"Aaakkkkkkk." Suaranya melengking hingga membuatku mundur satu langkah.

Kini kembali ayam kedua Bu Elin pegangi, namun kini leher ayam itu di letakkan tepat di atas sebuah mangkok warna kuning seperti emas.

Saat ayam itu di sembelih, kembali terdengar suara lengkingan seperti anak kecil.

"Aaaaaakkkkkkk."

Setelah darah berkumpul di mangkok, dua ekor ayam pun di bawa masuk ke Goa bersama darah itu.

Aku menunggu seorang diri di joglo. Tubuhku gemetar hebat masih terngiang-ngiang jeritan itu. Sampai pagi menjelang aku tak beranjak dari joglo.

***

Setelah malam yang membuat aku ketakutan, sekarang aku percaya bahwa ada manusia berhati iblis.

Pagi itu Bu Elin dan mbah Gondrong keluar dari Goa.

Tangannya memegang selendang lalu ia bungkus dengan kain pemberian Mbah Gondrong, Terlihat Bu Elin nampak wajahnya begitu cerah dan berseri-seri seperti ada kesenangan dalam hatinya.

Setelah itu. Aku, Bu Elin dan Mbah Harjo pamit pada Mbah Gondrong.

Ada rasa aneh muncul kembali kurasakan, saat aku berjalan di belakang Bu Elin seperti mencium bau amis.

Saat aku tutup hidungku karena tak tahan mencium bau amis, Bu Elin pasti nengok kebelakang dan menatapku sinis.

Setelah sampai di rumah Mbah Harjo, di situ sudah menunggu sopir yang saat waktu itu mengantar kami ke tempat ini.

***

kami tiba di rumah Abah pukul 10 pagi, terlihat ke dua temanku sudah berada di depan rumah untuk siap menyambut kedatangan kami.

Aku hanya diam saat Bu Elin mengucapkan terima kasih pada Abah.

"Ibu sudah berhasil, dan bukan saya yang menolong ibu, bukan saya bermaksud apa-apa, tapi karena ibu sudah memilih jalan itu, maka ini pertemuan kita yang terkhir, ibu jangan pernah kembali kesini setelah satu langkah keluar dari rumah saya," ucap Abah pada Bu Elin.

Setelah mendengar penuturan Abah, Bu Elin terlihat menunduk dan menangis, setelah itu ia bangkit dan pamit pada Abah dan pada kami semua.

Setelah kepergiannya Bu Elin, lalu Abah menyuruh kami untuk membuka bungkusan pemberian dari Bu Elin.

Terlihat ada amplop coklat tebal dan bungkusan dalam kantong plastik warna hitam.

Saat bungkusan plastik hitam itu ku buka. Ternyata isinya dua slop rokok surya. dan amplop coklat yang di buka gupron isinya adalah uang. Entah berapa jumlah uang itu pastinya gepokan pokonya banyak sekali.

Lalu Abah menyuruh kami membuka rokok dan membagi satu bungkus, abah menyuruh kami membukanya. Namun betapa kagetnya kami bertiga saat membuka rokok itu ternyata berdarah dan baunya sangat amis. Gepokan uang itu juga tiba-tiba mengeluarkan darah.

Abah hanya tersenyum melhat kami gemetar ketakutan.

"Itu adalah barang-barang yang didapat dari hasil memuja setan, darah itu adalah darah bayi yang ditumbalkan oleh Bu Elin, dan bayi itu adalah dua cucunya," jelas abah bercerita pada kami.

"Tempat itu adalah salah satu pintu gerbang pantai selatan, yang bisa menghubungkan antara alam manusia dan alam jin, saat air gentong itu kamu tak melihat apapun karna kamu tak punya hajat, lain dengan penglihatan Bu Elin, ia bisa melihat semua kejadian dua cucunya yang masih balita meninggal ditumbalkan. Dan jeritan itu tanda di terimanya tumbal," kembali Abah menjelaskan.

Bu Elin sudah mendapatkan apa yang ia mau, begitu nekatnya sampai dua cucunya sekaligus yang ia tumbalkan.

Setiap tahun ia harus menumbalkan dua bayi yang salah satunya harus dari keluarganya.

Selendang yang Bu Elin bawa adalah perwujudan ular yang menjadi perewanganya, dan ular itu juga yang akan mengambil Bu Elin untuk dijadikan budaknya kelak.

Saat di dalam Goa selama tiga hari Bu Elin sukmanya telah terikat dengan kerajaan ghaib yang kelak akan menjadi tempatnya menjadi budak.

Di malam ketiga setelah menyembelih ayam, sebenarnya yang di masak bukan ayam tapi raga cucu-cucunya yang ia santap dengan tuanya.

Bu Elin tak akan bisa lepas dari semua perjanjian itu sampai ia mati

"Lalu dengan menumbalkan dua cucunya sekaligus apa sepadan dengan yang ia dapat, Bah?" Aku bertanya.

"Seberapa pun yang ia dapat tak kan sebanding dengan dosa yang akan ia tanggung, mungkin ia bisa membeli satu kecamatan, tapi ia tak akan bisa mengembalaikan nyawa cucu-cucunya dan korban-korban selanjutnya," jawab Abah dengan tegas.

*******

Sekarang sebutan ( aku ) tertuju pada anak laki-laki Bu Elin. Istilahnya POV

POV Alan
Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, hanya aku anak laki-laki, kedua Kakakku semuanya perempuan.

Seebut saja namaku Alan, Kakakku yang pertama bernama Ami dan Kakak yang ke dua bernama Adin.

Dulu aku hidup dalam keluarga yang sangat berkecukupan. Keluargaku bisa dibilang orang mampu, dilihat mewahnya rumah dan banyaknya kebun-kebun milik orang tuaku.

Ayahku punya banyak toko pokonya banyak cabang usaha yang orang tua kami kembangkan. Semua kekayaan itu berawal dari warisan Kakek kami lalu ayahku memperluas cabang usahanya.

Kami bisa dibilang tak pernah merasakan yang namanya kekurangan. Namun itu semua berakhir di thun 2009 saat ayahku meninggal. Lalu ibuku dan aku yang meneruskan usaha itu, tapi itu hanya bertahan 3 tahun.

Tahun 2012 usaha orang tuaku benar-benar perlahan menuju ambang kebangkrutan. kebun dan toko tak ada yang tersisa, hanya rumah mewah satu-satunya yang tersisa.

Saat kami benar-benar sudah bangkrut, ibuku sebelumnya suka meminjam uang ke Bank untuk menutupi modal usaha kami. Tapi usaha itu terus malah tambah merosot tak terasa hutang menumpuk sampai miryaran.

Kak Ami tinggal berdekatan rumahnya dengan ibuku, ia sudah menikah dan di karuniai dua orang anak, sementara Kak Adin sama sudah menikah mempunyai 3 orang anak rumahnya agak jauh dari rumah ibuku. Sementara aku beserta istri dan Anakku tinggal bareng bersama ibuku.

Saat ini kemiskinan sudah menjadi momok menakutkan dalam pikiranku dan Kakak-kakakku, sementara ibuku pun terlihat sangat bingung dan takut menghadapi para penagih hutang.

Suatu hari ibuku kedatangan tamu teman lama ayahku, beliau dari jawa yang sering kerja sama waktu dulu dengan ayahku.

Terlihat lelaki itu sangat akrab dan serius saat ngobrol dengan ibuku.

Ketika tamu itu sudah pergi, saat malam hari ibuku memanggil kedua Kakakku untuk membicarakan sesuatu yang penting.

Kami berempat berkumpul di ruang tamu, disitu mulailah ibuku membuka obrolan.

Kata ibuku lelaki yang tadi datang kesini berniat mengajak ibuku kerja sama. Lalu aku dan kedua Kakakku disuruh ibuku untuk segera mencari uang sebesar 50 juta.

"Mudah-mudahan ini jalan kita bisa bangkit kembali," ucap ibuku penuh keoptimisan.

Kami hanya diam mendengar perkataan ibuku.

"Memangnya usaha apa yang akan ibu lakukan dengan orang itu? Apa dengan modal 50 juta bisa sukses seperti semula lagi, Bu?" tanya Kak Adin.

"Kamu tenang saja, orang itu tidak akan bohong, yang penting ibu akan berusaha supaya rumah ini tak disita. Apapun akan ibu lakukan demi menjaga kehormatan keluarga kita," ucap ibu meyakinkan kami bertiga.

Lalu kami bertiga patungan sampai terkumpul uang 50 juta.

Kuserahkan sejumlah uang 50 juta sesuai permintaan ibuku. Sebenarnya aku masih bertanya-tanya dalam hatiku.

Apa sebenarnya yang akan ibuku lakukan. keraguan yang ada dibenak pikiranku aku acuhkan, aku yakin pasti ibuku ingin yang terbaik buat anak-anaknya.

Seminggu kemudian ibuku berangkat sendiri secara diam-diam, hanya kami dan menantunya yang tahu.

Tak terasa sudah satu bulan ibuku pergi dari rumah, dan kami semua dibuat khawatir. Karena kami putus komunikasi.

Ingin rasanya aku menyusul ibuku, tapi aku harus mencari kemana. Soalnya ibuku tidak memberitahu tujuannya.

Kebingunganku semakin bertambah saat para penagih hutang terus-terusan datang silih berganti mendatangi rumahku.

Karena rasa takut didatangi para penagih hutang. Akhirnya Aku dan istriku ikut numpang di rumah Kak Adin, sedangkan Kak Ami menginap di rumah mertuanya.

Hingga suatu malam di rumah kak Adin anakku yang bungsu badanya panas sekali, aku kebingungan karena anakku terus menangis menjerit-jerit.

Kak Adin memanggil bidan untuk memeriksa anakku yang masih berusia 2,5 thun. Saat di periksa kata bidan cuma panas biasa.

Jam 6 pagi anakku tercinta meninggal dunia. Aku dan istriku sangat syok. Berat sekali rasanya disaat seperti ini kami harus kehilangan, tak lama berselang setelah anakku meninggal, aku mendapat kabar dari Kak Ami bahwa anak bungsunya juga meninggal.

Tidak ada pikiran aneh-aneh tentang meninggalnya anakku dan anak Kakakku. karena aku orang yang tidak percaya dengan hal-hal mistis atau apapun itu yang di luar logika, begitu juga dengan kedua Kakakku.

***

Setelah meninggalnya anakku, aku pergi keluar daerah untuk mencari pekerjaan.
Aku tidak boleh terus-terusan berdiam diri saja, menunggu ibu juga belum ada kepastian kapan pulangnya.

Entah sudah berapa Minggu aku bekerja, aku dapat kabar dari Kak Ami bahwa ibu sudah pulang.

Aku sangat senang mendengar kabar itu dari Kakakku, lalu segera aku begegas untuk kembali pulang.

Aku disuruh pulang langsung ke rumah kak Ami, setibanya aku di sana ternyata ibuku sudah berada di rumah Kak Ami. Tapi kini ibuku terlihat ada perubahan, mulai dari penampilan hingga wajahnya yang terlihat kaku.

Aku menyalami tangan ibuku lalu sesaat aku memeluknya sambil menahan air mata yang tiba-tiba mengalir keluar.

Ibuku pun menangis saat aku cerita bahwa anakku yang masih kecil sudah meninggal beberapa Minggu lalu sama dengan anaknya Kak Ami.

"Sudah kita tidak boleh larut dalam kesedihan, kita harus ikhlaskan, sekarang kita harus bangkit kembali, Alan rumah itu akan ibu jual, dan kita akan pindah keluar daerah," ucap ibuku.

Aku dan Kakaku masih diam belum mengerti apa yang ibuku katakan.

"Maksud ibu kita akan pindah dari sini?" Aku bertanya pada ibuku.

Dengan tersenyum ibuku mengangguk pelan. "Kamu tenang saja, ibu sudah punya tempat untuk kita pindah, Ami dan Adin biar di sini saja, nanti ibu akan modali untuk buka usaha," jelas ibu

Sesaat aku berpikir, merasa bingung kok ibu bisa secepat itu mendapat uang.

Tapi aku tidak pernah berpikir yang aneh-aneh. mungkin ibu dapat pinjaman dari teman-temannya atau dari saudara ibu. Pikirku saat itu.

***

Rumah yang biasa aku dan ibuku tempati akhirnya dijual. semua hutang-hutang kami lunas, tanpa aku tahu kapan ibuku membayarnya.

Setelah kepulangan ibuku, sekarang tak ada satupun orang yang datang menagih hutang, aku dan Kakaku pun sangat senang sekali bisa lepas dari jeratan hutang tanpa lagi dirundung kesedihan tentang meninggalnya anak-anak kami.

Aku, istri beserta anak dan ibuku sekarang menempati tempat baru kami yang sangat megah.

Rumah kami pun bisa terbilang mewah, namun rumah lantai 1 itu terkesan aneh bagiku, karana disetiap sudut ada patung-patung yang asing bagiku.

Rumah baru kami walau hanya lantai satu, namun lebih luas, ornamen rumah ini pun banyak ukir-ukirannya yang baru ku ketahui itu adalah rumah khas jawa.

Ibuku pun berubah drastis, dulu yang terlihat glamor. Kini selalu memakai pakaian batik dan kain biasa, rambutnya sering sekali di sanggul seperti wanita-wanita kerajaan yang pernah ku lihat di Film-film

Hal perubahan ibuku tak kuperdulikan, karena kini aku lebih fokus untuk usaha. Aku juga tak bertanya dari mana ibuku punya uang milyaran untuk memodali usaha baru yang mulai kami rintis kembali. bagiku kini hidupku sudah kembali baik. bahkan lebih baik.

Aku fokus memulai usaha perdagangan, sedangkan ibuku fokus membeli tanah dan sawah-sawah. Hingga dalam waktu satu tahun sawah dan tanah mencapai 100 hektar. Aku mengetahuinya saat melihat dari surat-surat tanah yang diperlihatkan oleh ibuku.

Usaha Kakakku pun maju pesat. Semua berkat ibuku, makannya sekarang kami bertiga sangat segan dan menghormati beliau.

Tahun pertama aku tak merasakan ada keanehan dalam kehidupan kami. Tapi ketika masuki akhir tahun musibah mulai datang kepada keluarga aku dan keluarga Kakakku.

Peristiwa itu bermula saat kedua Kakakku datang berkunjung bersam suami dan anak-anaknya.

Sore itu anak-anak kami sedang bermain di halaman rumah dan kami para orang tua duduk di teras membahas bisnis kami masing-masing.

"Aaaakkk." tiba-tiba terdengar suara jeritan dari halaman rumah.

Kami pun berlari ke arah suara itu untuk memastikan, setibanya kami di halaman rumah, aku melihat anak Kak Adin yang bungsu tergeletak dengan kondisi tubuh terlihat kulitnya membiru.

Ibuku yang melihat itu pun menangis dan duduk di samping cucunya, di ciuminya mayat cucunya itu. kejadian itu membuat tetangga berdatangan, mereka mengira anak kak Adin meninggal karena di gigit ular.

Malam itu juga mayat ponakanku dibawa pulang untuk di makamkan. Aku dan istri serta anak-anakku ikut ke rumah Kak Adin, namun ibuku tak mau ikut, dengan alasan kurang enak badan.

***

Hari-hari selanjutnya usahaku tambah maju, tanah-tanah ibuku pun semakin luas, kesibukanku makin banyak hingga sering pulang larut malm.

Suatu ketika saat aku pulang kerja pada malam yang sudah sangat larut. Saat aku mau membuka pintu dengan kunci serep yang kubawa, tiba-tiba aku mendengar suara desisan, aku coba untuk fokuskan pendengaranku, sepertinya desisan itu dari arah samping patung sebelah kanan halaman depan.

Perlahan aku mendekati patung itu, tapi saat aku lihat sudah berada di dekatnya tidak ada apa-apa. mungkin saja aku salah dengar. pikirku.

Saat aku hendak beranjak kembali ke arah pintu desisan itu terdengar kembali.
Aku mencoba menoleh kearah suara itu, betapa terkejutnya aku saat mendapati seekor ular hitam berjalan ke arah pintu.

Aku mencoba untuk mengejarnya, tapi saat sudah berada di depan gerbang ular itu sudah hilang, aku masih mencoba mencarinya namun tidak juga ketemu.

Akhirnya aku kembali masuk ke dalam rumah. Saat aku ke belakang melewati kamar ibuku, aku mendengar tembang yang sama sekali tidak ku mengerti bahasanya

Karena rasa penasaran aku mengintip dari lobag kunci pintu kamar ibuku. Sesaat aku terdiam disana sambil terus mendengarkan alunan nyanyian yang dilantunkan oleh ibuku.

Aku melihat ibuku sedang duduk sambil menyisir rambutnya yang panjang.

"Sungguh aneh, ibuku rambutnya dulu tak sebagus dan sepanjang itu, dan sejak kapan ibuku pandai bernyanyi seperti itu," gumamku.

Setelah itu aku kembali begegas menuju kamarku untuk tidur sambil memeluk anakku.

Keesokan harinya aku terbangun jam 7, segera ku melangkah ke teras rumah untuk sekedar merasakan kesegaran udara pagi.

Saat sudah berdandan mau berangkat kerja, aku mendengar kabar dari istriku, katanya ibuku bilang anak orang yang bekerja pada ibuku tadi jam Enam meninggal. Usianya masih satu tahunan.

Ibuku yang diberi kabar tak bisa hadir, namun ibuku memberi santunan yang lumayan besar.

Saat aku mau berangkat kerja ibuku menghampiriku.

"Alan minggu depan antar ibu ke jawa, ada urusan penting," ucap ibuku dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya.

Aku cuma mengangguk saja pada ibuku. Setelah itu aku berangkat kerja.

***

Sepulang kerja seperti biasa aku pulang larut malam, sesampainya aku di depan rumah, aku melihat seperti ada seseorang yang sedang menari-nari di samping rumah.

Perlahan aku mendekatinya dengan mata terus tertuju pada wanita yang tidak ku kenal sebelumnya.

Wanita itu masih terus menari dengan di iringi nyanyian seperti yang tiap malam dinyanyikan oleh ibuku.

Seorang wanita yang sedang menari tidak jauh dariku, terlihat ia menggunakan pakaian seperti layaknya kerajaan.

Setelah itu ia sadar akan kehadiranku, lalu ia pun berhenti menari lalu menatapku tajam.

kemudian ia pun berjalan ke belakang rumahku, Saat ku ikuti tiba-tiba saja ia menghilang.

Saat aku mulai melangkah untuk masuk kedalam rumah, tiba-tiba aku mencium bau amis, saat aku mencari sumber bau itu. Betapa kagetnya aku saat melihat di depan gerbang rumah dengan jelas aku melihat anakku dan anak Kak Adin beserta anak Kak Ami yang telah meninggal.

Mereka bertiga bergandengan tangan sambil matanya memandangku.

Terlihat hidung, mata, telinga dan pusarnya mengeluarkan darah.
Aku mencoba mendekati, namun tiba-tiba mereka menghilang.

Saat aku masih mencari dengan rasa kebingungan, dari arah belakang ibuku memanggil.

"Alan kenapa kamu seperti orang bingung?" tnya ibuku.

Lalu aku segera menghampirinya.

"Ibu, aku tadi melihat anakku, anak Kak Ami dan anak Kak Adin yang sudah meninggal," ucapku menjelaskan pada ibuku.

"Kamu ini ada-ada saja, mungkin kamu kecapean jadi pikiranmu tidak konsen begitu. Mending sekarang kamu masuk istirahat," ucap ibuku dengan nada bicara sangat datar tak menghiraukan dari perkataanku.

Saat aku sudah di dalam kamar, aku masih terus mengingat apa yang barusan ku lihat, sampai-sampai aku susah untuk tidur.

Saat aku masih terbaring diatas tempat tidur dalam rasa gundah, tiba-tiba aku mendengar suara tangisan anakku.

Aku beranjak dari tempat tidur, lalu melangkah keluar kamar menuju suara tangisan anakku.

Di ruang tengah langkahku terhenti saat mendapati anak pertamaku sedang berdiri menghadap jendela sambil terus menangis.

Segera aku menghampiri sambil memeluknya dari belakang.

"Ada apa Nak, kok, malah berdiri disini?"

"Adik yah, adik tadi di situ, dia berdarah-darah tubuhnya, yah. Aku kasihan ayah, tolongin adik, yah." Anaku berucap sambil menunjuk ke arah halaman rumah.

Setelah mendengar penuturan dari anakku, segera aku membawanya kembali ke dalam kamar. Tangisannya membuat istriku terbangun.

Malam itu aku tak bisa tidur karena rasa gelisah yang ku rasakan. hingga subuh aku baru bisa tertidur.

***

Tadinya di hari Senin aku berniat mengantar ibuku ke jawa, tapi batal karna anakku yang ke dua sakit, lalu ibuku mengajak Kak Ami untuk menemaninya.

Aku membawa anakku berobat ke dokter bersama istriku, menurut dokter anakku terkena tipes.

Saat mau pulang, di depan rumah sakit aku berpapasan dengan seorang laki-laki tua sekitar 50 an usianya.

Lelaki tua itu memandang ke arah anakku, entah kenapa beliau seperti merasa kaget saat melihat anakku.

Aku pun bertanya kenapa beliau memandangi anakku seperti itu.

"Hati-hati pak, anak bapak ada yang mengikuti," ujarnya.

*******

"Yah, siapa yang mengikuti anak kita?" tanya istriku saat kami masih dalam perjalanan pulang.

Ternyata istriku masih mengingat akan perkataan lelaki tua itu.

"Sudah, Mah, gak usah dipikirin, mungkin yang mengikuti adalah kita berdua," ucapku lalu tersenyum tanda tak percaya dengan hal mistis.

Sesampainya di rumah, ku parkirkan Mobil, lalu aku menggendong anakku melangkah bersama istriku menuju rumah.

Setibanya kami di dalam rumah, aku melihat anak pertamaku sedang berdiri di depan pintu kamar ibuku. Terlihat anakku masih menggunakan pakaian sekolah.

"Kenapa mengintip kamar nenek?" Aku bertanya pada anakku.

"Aku mendengar orang nyanyi di dalam kamar Nenek, ayah," jawab anakku.

Mendengar hal itu aku pun kaget, ternyata yang sering mendengar orang bernyanyi bukan aku saja.

Istriku juga tiba-tiba berbicara bahwa merasakan keanehan di rumah ini. Tapi aku mencoba untuk menenangkannya. Dan menampik semua dugaan istriku karena sama sekali aku tidak percaya dengan hal begituan.

Lima hari sudah berlalu ibuku dan Kak Ami belum saja pulang.

Kondisi anakku yang ke dua setelah di bawa ke rumah sakit, kondisinya saat ini bertambah semakin parah.

Pukul 3 pagi anaku tiba-tiba saja menjerit-jerit seperti sedang ketakutan, aku dan istriku merasa kebingunan sampai suara jeritan anakku membangunkan anak pertamaku.

Aku masih melihat ke arah anak ke duaku itu, kondisinya benar-benar membuatku kalut, matanya melotot sambil terus menjerit.

"Ayah tolong yah, aku takut, tolong aku ayah," ucapnya dalam kondisi tubuh terbujur kaku di atas ranjang.

Baru saja aku hendak keluar dari kamar untuk membawanya ke rumah sakit, tiba-tiba saja ia menjerit membuat aku tambah semakin panik.

"Aaaaaaakkkkk." Jeritannya terdengar melengking seperti habis di sembelih.

Itulah jeritan terakhir anaku yang nomor dua, ia meninggal seperti tercekik kesakitan, matanya melotot dengan kondisi badanya kaku.

Istriku menangis dan menjerit-jerit saking histerisnya karena sudah menyaksikan dua anaknya mati mengenaskan. Saat itu istriku pingsan, anaku yang pertama melihat ibunya pingsan ia jadi menangis histeris.

Paginya segera ku telpon ibu dan kakaku, tapi hanya kak Adin dan suaminya yang bisa datang.

Rumor pun berkembang karena banyak yang melihat kematian anaku yang tak wajar, tapi aku tidak terlalu menanggapinya.

Hari itu anak keduaku sudah selesai di makamkan. Dua hari setelah meninggalnya anakku, Ibu dan Kak Ami pulang dari Jawa.

Mereka pun ikut bersedih dan Kak Ami pun sampai menangis.

Istriku saat melihat ibuku seperti sangat benci, saat tangan ibuku akan memegang pundaknya ia tepiskan dengan kasar.

"Kau apakan anak-anakku, Bu? Tak sudi lagi aku tinggal di rumah ini," ucap istriku.

Setelah itu istriku melangkah menuju kamar dengar wajah terlihat sangat marah.

Aku tidak mengerti kenapa istriku sampai begitu marahnya pada ibuku? Lalu segera aku menyusulnya ke kamar.

Setibanya di kamar aku melihat istriku sedang berkemas memasukan semua pakaiannya kedalam koper.

"Kamu ini ada apa? Dan kamu mau kemana?" ucapku.

"Mas ibumu sudah menumbalkan anak-anak kita, ibumu pemuja setan," ucapnya terlihat berkata dengan penuh emosi.

Prakkk ... prakkk.

kutampar istriku dua kali karna omonganya sudah menuduh ibuku yang bukan-bukan.

"Jaga mulutmu kalau bicara!" Kini aku yang marah pada istriku.

"Kamu boleh tidak percaya, Mas, tapi aku yakin ibumu melakukan pesugihan, di kamar ibumu aku melihat sendiri ibumu tidur dengan seekor ular hitam, dan ular itu juga yang membunuh anak kita kemarin, buka matamu Mas, buka!"

Tiba-tiba ibuku sudah ada di depan pintu, dengan wajah merah ibuku mendekat ke arah kami.

"Menantu macam apa kamu? Kurang ajar! Keluar kamu dari rumah ini," ucap ibuku penuh amarah.

"Ya! Aku akan pergi dari rumah ini, tak sudi aku hidup mewah dengan pemuja setan, terserah kamu Mas, yang penting aku dan anaku yang tinggal satu-satunya akan pergi dari sini, kamu ikut ibu ya nak."

Aku hanya terdiam bingung tak tahu harus berbuat apa, sampai istri dan anaku keluar dari rumah pun aku tak bisa mencegahnya.

Kak Ami pun hanya diam, sedangkan ibuku seperti tak peduli, bahkan terlihat sinis.

Ibuku masuk ke kamarnya, sedang aku dan Kak Ami duduk di ruang tamu.

Istriku pergi bersama anakku menggunakan motor. Ada kira-kira setengah jaman dari kepergiannya itu. Tiba-tiba ada orang datang ke rumahku memberi tahu bahwa istriku mengalami kecelakaan.

Orang itu pun memberitahu bahwa istri dan anakku meninggal di tempat terjadinya kecelakaan.

Bagaikan di sambar petir rasanya mendengar kabar itu. Rasanya hidupku sudah hancur. Semua anak dan istriku meninggal secara mengenaskan.

***

Setelah kematian anak-anaku dan istriku hidupku terasa sangat hampa, semangat hidup yang kujalani sudah tak kumiliki lagi.

Setiap hari aku hanya menyendiri, usahaku dikelola oleh orang-orang kepercayaan ibuku.

Setelah kematian anak dan istriku, harta ibuku dan Kakakku semakin melimpah. Sebenarnya saat itu aku sudah mulai curiga, namun aku tak berani mengatakan hal itu pada ibuku.

Kini Kak Ami sering menginap dirumah ibuku. Banyak hal-hal aneh yang di lakukan ibuku dan Kak ami di rumah ini.

Sering membuat sesaji, bakar dupa, dan sekarang Kak Ami pun sering nyanyi seperti ibuku.

Kalau mereka sedang membuat sesaji pasti ibu dan Kak Ami akan menggunakan pakaian seperti kerajaan. Intinya pakaian adat gituh.

Awalnya aku membiarkan semua hal itu. tapi lama-lama nyanyian mereka terdengar menyeramkan.

***

Suatu ketika Saat aku pulang dimalam yang sudah larut sekali, seperti biasa aku mendengar suara gamelan dan nyanyian persis seperti yang ibu dan kakaku nyanyikan.

Namun kali ini suara nyanyian itu bukan dari dalam kamar ibuku. Melainkan dari arah belakang rumah yang seperti aula.

Perlahan aku melangkah ke belakang rumah.

Tiba-tiba saja penglihatanku di kejutkan dengan melihat ibu dan Kak Ami sedang menari di iringi dengan gamelan.

Mereka menari bersama wanita yang pernah ku lihat dulu waktu menari di samping rumahku.

Terlihat juga penampakan beberapa penabuh gamelan. Ada puluhan para penabuh gamelan nampak mengerikan.

Terlihat Mata, Hidung, dan telinga mereka semuanya mengeluarkan darah.

Tubuh mereka juga penuh luka seperti bekas cambukan, bau amis sangat menyengat, di belakang mereka nampak seperti para pengawal kerajaan yang berdiri tegap dengan memegang senjata.

Ibu dan Kakaku sangat pandai menari dan menyanyikan lagu-lagu tembang yang tidak kumengerti bahasanya.

Melihat hal semacam itu, tiba-tiba kepalaku pusing, lalu aku memilih masuk kedalam rumah.

Setelah beberapa saat aku berada di dalam kamar, suara itu mulai perlahan tak terdengar lagi. Mungkin ini cuma halusinasiku saja karena kecapean. Pikirku.

Barusa saja aku mau memejamkan mata, seketika aku di kejutkan mendengar suara jeritan. Aku mengenali suara itu. Ya suara itu adalah suara istri dan anakku.

Aku pun kembali ke belakang rumahku karena suara itu berasal dari arah sana.

Setibanya aku di belakang rumah, suara itu hilang, dan tarian yang tadi kulihat pun sudah tidak ada lagi.

"Kemana ibu dan kak ami?" gumamku.

"Kamu sedang apa disini?" Dari arah belakangku terdengar suara Kak Ami.

Aku menoleh lalu melihat Kak Ami tersenyum padaku.

"Aku mendengar suara istri dan anakku menjerit-jerit," ucapku.

Kak Ami cuma menenagkanku, dan berusaha menutupi seperti ada yang sedang di rahasiakan.

***

Pagi harinya kami bertiga duduk di ruang tengah, aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada ibuku.

"Ibu dan kak ami maaf, aku mau semuanya jujur, apa yang terjadi sebenarnya? apa yang selama ini ibu dan kak ami lakukan?" ucapku bertanya.

Ibuku hanya tersenyum, sedangkan Kak Ami hanya terdiam.

"Memangnya apa yang kamu tau tentang ibu dan kakakmu lan? Apa ada yang salah dengan ibu?"

Aku ceritakan kejadian demi kejadian beserta kejadian aneh semalam yang ku lihat

"Sekarang tolong jujur, apakah benar yang di katakan istriku bahwa ibu melakukan pesugihan?"

Ibuku bangkit, lalu mendekatiku.

"Alan kamu ingat, bagaimana dulu kita tiap hari di bentak-bentak oleh para penagih hutang, tidak dinggap oleh saudara saat kita bangkrut? kamu ingat bagaiman keluarga kita dianggap seperti kotoran, tidak ada saudara-saudara kita yang mau membantu kita? Tidak ada, kita di anggap sampah di kala kita jatuh, dan hanya junjungan ibu yang mau menolong dan mengembalikan kehormatan dan derajat keluarga kita," jawab ibuku.

"Tapi kenapa anak-anaku, anak Kak Ami, Kak Adin dan istriku yang menjadi korban?"

"Dua anakmu dan dua anak kakakmu itu sekarang di asuh oleh junjunganku bukan menjadi tumbal, kecuali anak pertamamu dan istrimu, karna mereka berdua telah lancang mencampuri urusanku," jelas ibuku.

"Alan apa yang di katakan ibu benar, anak-anak kita di asuh oleh junjungan ibu, kakak yang sudah melihat dan bertemu mereka kemarin saat kakak ikut ibu," ucap Kak Ami ikut menjelaskan.

Setelah mendengar semua penjelasan dari ibu dan Kak Ami, aku masih diam, ternyata selama ini ibuku mendapatkan kekayaan dari hasil bersekutu dengan setan.

Sekarang Ibu dan kak Ami semakin terbuka untuk melakukan ritualnya di rumah ini.

Sampai satu tahun kemudian mereka melakukan ritual, kali ini bukan cuma ibu dak Kak Ami yang melakukan ritual, tapi Kak Adin juga sekarang ikut serta.

Aku melihat Kak Adin dan Kak Ami membawa seekor ayam ke belakang rumah.

Saat malam sudah semakin larut aku mendengar suara gamelan dan nyanyian yang membuatku merinding.

Aku melihat dari balik pintu belakang, mereka Kak Adin, Kak Ami dan ibu sedang menari bersama seorang wanita cantik yang mengenakan mahkota.

Mereka berada di pendopo belakang rumah. kedua tanganya membawa dua buah cawan dari emas, cawan-cawan itu di letakkan di tengah-tengah mereka.

Dari belakang datang laki-laki tegap bertelanjang dada dengan membawa pedang yang mengkilat.

Seketika tempat itu sunyi saat Kak Ami memegang ayam, lalu ayam itu di letakkan lehernya di atas cawan.

Saat ayam itu di sembelih, suara yang terdengar bukan suara ayam, melainkan suara seorang anak. "Aaakkkhh."

Darah ayam itu mengalir di cawan, setelah kak ami selasai. Kini Kak Adin gantian memegangi, hal sama juga trjadi, suara ayam yang di sembelih pun terdengar jeritan anak. "Aaaakkkkhhh."

Keringatku mengucur sampai membasahi bajuku. karena merasakan ketegangan pada malam itu.

Lalu darah dari ayam di cawan di angkat oleh wanita yang bermahkota sambil membaca sesuatu yang entah aku tak mengerti ucapannya.

Setelah itu kembali cawan-cawan yang berisi darah itu di serahkan pada ke dua Kakakku.

Dengan jelas sekali aku melihat Kak Ami dan Kak Adin meminum darah ayam itu.

Aku melihat dari kedua bibir mereka darah yang menetes, setiap tegukan darah itu selalu terdengar jeritan demi jeritan pilu.

Setelah habis darah itu, lalu Kak Adin dan Kak Ami menuju wajan tempat dua ayam yang tadi telah di sembelih.

Mereka berdua saling memegangi dari salah satu ayam tersebut. Lalu mereka tarik bersamaan sampai ayam itu terbelah dua kembali jeritan melengking memilukan seperti suara dua orang anak.

Aku tidak sanggup lagi melihat kejadian selanjutnya, segera aku beranjak menuju kamarku, sambil terus memikirkan yang mereka lakukan.

Posisiku terlentang di tempat tidur, sambil terus mengingat kengerian yang barusan ku saksikan.

Disaat aku masih dalam rasa takut dan gelisah, tiba-tiba saja aku di kagetkan oleh suara dering telepon.

Saat ku raih hape lalu melihat layar, ternyata suami Kak Adin yang menelepon.

Segera aku menganggkat panginggilan telpon dari Kakak iparku itu.

"Halo ... Ada apa, Mas, tumben malam-malam telepon?" tanyaku.

"Alan apa Kakakmu Adin ada situ? Kalau ada tolong bilangin suruh cepat pulang, dan kamu sama ibu juga ikut kesini."

"Apa yang terjadi sebenarnya, Mas?"

"( .... ) Meninggal, Lan," ucapnya terbata-bata di telpon.

Aku sangat kaget mendengar anak Kak Adin meninggal dunia.

"Pasti ini ulah mereka yang telah memuja setan," batinku.

*******

Setelah menutup telepon, aku segera pergi melangkah ke belakang rumah untuk memberitahu Kak Adin.

Ketika aku keluar dari kamar, aku melihat Ibu, Kak Ami dan Kak Adin sudah berada di ruang tengah.

Aku menghampiri mereka yang sedang duduk di ruang keluarga.

"Kak Adin, barusan Mas Gito telepon, kakak harus pulang anak kakak meninggal, dan pasti ini akibat ritual kalian," ucapku.

Kak Adin sebagai seorang ibu mendengar anaknya meninggal menanggapinya dengan perasaan biasa saja, bahkan ibuku terlihat malah tersenyum.

"Tenang Alan, dia itu kini ikut junjungan, dia akan berkumpul dengan anak-anakmu, dan dengan anak-anak Ami juga, mereka di sana bahagia, karena junjungan ibu sangat suka dengan anak-anak. Kamu tidak usah panik," ucap ibuku dengan santainya.

"Gila, cucunya mati malah senang," gumamku.

Aku benar-benar bingung tak berdaya untuk melawan ibuku.

Akhirnya malam itu juga kami berempat pergi untuk menghadiri pemakaman anak Kak Adin.

Malam itu bagiku adalah malam sangat memilukan, karena baru saja kami sampai di rumah Kak Adin. Tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa anak Kak Ami juga meninggal.

Kak Ami yang mendengar kabar anaknya meninggal, sama sekali tak menunjukan kesedihan sedikitpun.

Aku merasa keluargaku sudah gila semua tidak lagi memiliki perasaan layaknya seorang manusia.

***

Aku tak banyak bicara saat pulang bersama ibuku.

Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamarku, tapi saat baru saja mau terlelap tidur. Aku di kejutkan Sura istriku.

"Mas ... Mas Alan, tolong saya mas ... tolong mas," panggilnya.

Aku mencoba mencari sumber suara itu, namun aku tidak melihat apapun, lalu ku coba mencarinya keluar rumah.

Saat mataku melihat ke arah halaman depan, aku melihat sosok istriku dan anak pertamaku sedang terbelit oleh seekor ular hitam.

Segera aku langsung berlari mendekatinya, namun belum sampai aku mendekat, sosok istri dan anakku beserta ular itu hilang secara tiba-tiba.

Saat itu aku menangis bersimpuh sambil memanggil nama istri dan anakku.

Beberapa saat aku berada disana, saat hendak kembali ke kamar, ibuku tiba-tiba sudah berada di kursi ruang tamu, sorot matanya memandang lurus kedepan.

"Kalau kamu ingin bertemu anak-anakmu dan istrimu minggu depan ikut ibu, sudah waktunya kamu juga ikut mengabdi pada junjungan, ini sudah takdir dan kamu tak bisa menolaknya," ucapan ibuku seketika membuatku gemetar.

Saat aku akan menjawab, rasaya bibirku seperti terkunci, hingga ibuku berlalu pergi aku tetap tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.

Sebenarnya di dalam hatiku menolak atas ajakan ibuku itu, tapi aku ingin tau kebenaranya tentang anak-anakku dan keponakanku yang katanya di asuh oleh junjungan ibuku.

Setiap malam jumat kliwon ibuku pasti menyediakan sesaji dan membakar dupa.

Sekarang kakak-kakkku pun selalu datang saat malam jumat kliwon, karna kini mereka adalah abdi sang junjungan ibuku.

Kalau setiap mereka melakukan ritual, sudah di pastikan anak dari pekerja ibuku ada yang meninggal.

***

Suatu hari ibuku mengajakku untuk pergi ke tempat dimana dulu ia melakukan pemujaan.

Katanya sekarang sudah saatnya aku ikut mengabdi bersama mereka, karena aku lah penerus dari pemujaan itu.

"Apa maksud ibu sebagai penerus? bukankah Kak Ami dan Kak Adin yang sudah mengikuti dari awal mengabdi pada junjungan ibu?"

"Junjungan ibu maunya kamu yang meneruskan, bukan Kakakmu, dan kamu juga harus segera menikah lagi, agar kamu bisa mempunyai keturunan, hanya keturunan ketiga yang bisa meneruskan pengabdian pada junjungan," jelas ibuku.

"Lalu Kak Adin dan Kak Ami?"

Sesaat ibuku terdiam, lalu berdiri, setelah itu melangkah menuju ke arah jendela.

"Kelak Kakakmu akan kembali pada junjungan, jika kamu menolaknya, maka semua harta kita akan di ambil kembali oleh junjungan, ibu tidak mau generasi ibu miskin, ibu gak mau usaha ibu selama ini hanya sampai disini," jelas ibuku.

Aku hanya diam bukan tanda mengiyakan, aku cuma ingin tahu dan membuktikan kebenaran cerita Kak Ami dan ibu.

Hingga tiba saatnya aku mengantar ibuku ketempat tujuannya itu.

Kak Ami dan suaminya menjaga rumah ibuku. ternyata sekarang suami Kak Ami juga ikut serta dalam pemujaan itu.

Setibanya aku dan ibuku tiba di daerah yang kami tuju, malam itu kami menginap di hotel.

Saat tengah malamnya, aku diajak oleh ibuku mengunjungi tempat yang di maksudkan oleh ibuku.

Aku mengira tempat itu indah dan ramai orang, ternyata dugaanku salah, tempat itu terlihat sangat sunyi dan gelap.

Setibanya kami di tempat tujuan, aku dan ibuku di sambut oleh laki-laki tua yang mengenakan ikat kepala berwarna hitam.

Ibuku memanggilnya dengan nama Mbah Suryo.

Aku dan ibuku di ajak masuk ke dalam Goa. Ibuku dan laki-laki gondrong itu masuk pada sebuah ruangan Goa sambil membawa bunga dan dupa.

Aku menunggu disalah satu ruangan yang seperti tempat bertapa.

Saat aku melihat-lihat area sekitaran, tiba-tiba aku melihat anak dan istriku.

Aku melihat mereka seperti sangat menderita. Keadaan mata, hidung, telinga dan wajah mereka penuh dengan darah.

"Jangan teruskan mas, jangan mas." Aku mendengar istriku jelas berkata seperti itu.

Saat aku mau mendekatinya, tapi mereka tiba-tiba saja menghilang.

Aku masih terus celingukan melihat sekitaran Goa.

"Alan kemarilah." pinta ibuku membuatku sedikit kaget.

Aku pun melangkah medekat ke arah ibuku.

"Alan saatnya kamu bertemu junjungan, ikutilah Mbah Suryo. Kamu sekarang akan di mandikan dengan bunga tuju rupa."

Aku masih teringat ucapan dari istriku tadi, maka aku pun menolak permintaan ibuku untuk melakukan ritual itu.

Terlihat buku sangat marah karena aku menolak ajakannya.

"Biarkan saja Bu Elin, anak ibu memang belum siap, di paksa pun tidak akan berhasil, karna anak ibu masih punya keraguan," jelas Mbah Suryo tiba-tiba mendekat ke arah kami.

Malam itu aku dan ibuku kembali ke penginapan.

Sesampainya di kamar hotel mataku tak mau terpejam, pikiranku kalut, hidupku kini di hadapkan pada misteri yang dari dulu tidak pernah kupercayai, namun sekarang aku percaya adanya dunia lain.

Di dalam kamar ketika aku sedang terus memikirkan kejadian demi kejadian.

Tiba-tiba aku mendengar nyanyian tembang berbahasa jawa, tembang itu tanpa iringan gamelan, suaranyapun merdu, tapi iramanya membuat aku merinding saat mendengarnya.

Aku mengira itu adalah suara ibuku, tapi setelah ku amati, sepertinya itu buka suara ibuku.

Tidak mungkin juga itu suara ibuku, soalnya kamar kami berjauhan. Sedangkan suara itu seperti berada di depan kamar yang aku tempati.

Perlahan aku melangkah menuju pintu, lalu membukanya pelan.

Ketika pintu sudah terbuka, aku dikejutkan sesosok wanita cantik mengenakan mahkota yang pernah ku lihat waktu di belakang rumahku.

Wanita yang sekarang berada di hadapanku menatap ke arahku dengan tatapan tajam.

"Kamu tidak akan bisa merubah takdirmu, kamu adalah banggel projo rogo dari ibumu," ucap wanita itu padaku dengan wajah cantik, tapi sangat mengerikan bagiku.

Tubuhku gemetar dan kaku, saat berhadapan dengannya.

Kepergian wanita itu di iringi aroma bau amis yang membuatku hampir muntah.

Aku masih penasaran atas kata-kata yang diucapkan oleh seorang wanita misterius itu terhadapku.

Saat itu ingin rasanya aku pergi menuju kamar ibuku, tapi jam sudah menunjukan pukul 3 pagi, aku takut mengganggu istirahat ibuku.

***

Paginya aku berniat mendatangi kamar ibuku, tapi saat aku baru saja tiba di depan pintu kamar hotel yang di tempati ibuku. Tiba-tiba saja ibuku menyuruhku masuk. Aneh padahal pintu belum ku ketuk.

Segera ku buka pintu dan masuk ke dalam.

Ibuku menyuruhku duduk di hadapanya, setelah duduk aku pun menceritakan kejadian yang semalam aku lihat.

"kamu adalah keturunan ketiga, jadi kamu yang akan mewarisinya, dan junjungan ibu pun menyukaimu, itu artinya kamu beruntung Alan," ucap ibuku dengan santainya.

"Beruntung kata ibu? Setelah anak dan istriku mati oleh mereka? Setelah aku ikut ibu berapa nyawa lagi yang harus jadi tumbal?" jawabku sengit pada ibuku.

"Alan, apa kamu mau melawan ibu? Apa kamu lupa bahwa kita juga hampir mati karna kita miskin? Apa kamu ingin keluarga kita berakhir sampai di sini? Tidak Alan, tidak. Kamu harus menikah kembali, kamu harus punya keturunan. Setelah kamu menjadi banggel projo rogo keturunanmu yang ketiga yang akan meneruskan pengabdian pada junjungan," jawab ibuku terlihat sangat marah padaku.

"Tapi, Bu--,"

"Sudah ibu tak mau kamu berani melawan ibu. Ibu sudah pilihkan calon istri buatmu, nanti siang kita pulang."

Ucapan ibuku membuat aku terkejut, ingin rasanya aku membantah dan menolak perjodohan ini, tapi aku tidak bisa membantah ibuku.

Aku pun pergi ke kamarku untuk menyiapkan pakaianku karena sebentar lagi kami akan kembali pulang.

*******

Singkat kata, aku dan ibuku sudah sampai di depan rumah. Saat aku hendak masuk ke dalam rumah. aku melihat perempuan baru keluar dari rumahku, saat aku masuk ke dalam. Kak Ami dan suaminya sedang duduk di ruang tamu.

Setelah mereka menyalami kami, ibu bertanya tentang perempuan yang baru keluar dari rumah.

Kata Kak Ami, perempuan itu datang ngabarin kalau anaknya meninggal karena sakit.

Ternyata perempuan itu salah satu kariawan yang bekerja pada ibuku. Saking banyaknya sampai ibuku tak mengenali kariawannya sendiri.

"Apa kamu sudah berikan santunannya?" tanya ibuku pada Kak Ami.

"Sudah Bu, tapi sekarang ada kabar baru lagi Bu," ucap Kak Ami.

"Ada kabar apa?"

"Mas ( ....) ingin menceraikan kak Adin, dan anaknya akan dibawa olehnya," ucap Kak Ami bercerita.

"Biarkan saja Adin berpisah, itu hanya masalah kecil," ucap lbuku dengan raut wajah nampak marah.

Aku, Kak Ami dan suaminya hanya diam saling pandang

Setelah itu aku pergi ke kamarku untuk istirahat. Entah sudah beberapa lama aku tertidur.

Aku terbangun, saat mencoba untuk memejamkan mata kembali, tapi tidak bisa tidur lagi.

Aku melangkah keluar kamar, di ruangan tamu aku melihat ibuku sedang bersama seseorang, satu wanita seumuran dengan ibuku satunya lagi wanita masih muda.

"Alan ini ada teman ibu sama putrinya, nanti kamu kesini ya setelah mandi," ucap ibuku yang menyadari kehadiranku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada tamu ibuku.

Seusai mandi aku pun duduk bersama mereka, kulihat wanita muda itu hanya menunduk, dan tersenyum saat di tanya. Aku pun hanya diam mendengarkan obrolan ibuku dan tamunya.

***

Menjelang malam mereka pamit pulang, saat aku mau menutup pintu. Tiba-tiba dari jalan terlihat suami Kak Adin datang dengan raut wajah terlihat sedang memendam amarah.

"Mana ibumu? kemana wanita iblis itu, dia harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi," ucapnya padaku.

Suami Kak Adin teriak-teriak memanggil nama ibuku.

Ibu yang mendengar teriakan kakak iparku pun akhirnya keluar dari kamarnya menuju teras.

Saat ibuku sudah berada di luar, ibuku terlihat sangat santai saja menghadapi menantunya itu.

"Ada apa kamu teriak-teriak? Berani sekali kamu memanggilku dengan sebutan nama?" ucap ibuku.

Kini wajah Kakak iparku yang terlihat pucat seperti ketakutan, tubuhnya gemetar, ia hanya menggigil ketakutan saat ibu matanya melotot ke arahnya.

"Pulang dan ambil tali, gantung dirimu sendiri," perintah ibuku yang membuatku terkejut.

Anehnya Kakak Iparku seperti menuruti saja ucapan dari ibuku, lalu ia pun segera beranjak pulang.

"Kenapa ibu bilang seperti itu? bagaimana kalu mas ( ....) Benar-benar gantung diri?" ucapku.

Sambil beranjak masuk kedalam rumah, ibuku hanya mengatakan. "Memang ia pantas dengan hal semacam itu," sahut ibuku.

Dan tak lama setelah bertemu ibuku, aku mendapat kabar dari Kak Adin, bahwa suaminya telah meninggal gantung diri.

Segera aku meluncur ke rumahnya Kak Adin.

Disana aku melihat suami Kak Adin matanya melotot, lidah menjulur dengan mengeluarkan darah dan celananya basah oleh air kencingnya.

Suami Kak Adin di kuburkan berada dekat di samping kuburan anaknya.

Aku yakin itu pasti perbuatan junjungan ibuku, kini aku semakin ngeri jika melihat ibuku sendiri. Ia seperti bukan ibuku yang dulu lagi.

Segala rituanya tetap masih berjalan seperti biasa, kini semua tetangga dan kerabat kami sedang membicarakan keluargaku.

Para tetangga sudah mencurigai bahwa keluargaku bersekutu dengan setan melalu pemujaan.

Tetangga kami sering menjumpai ular hitam besar di halaman rumahku. Sering mendengar bunyi suara-suara gamelan dan melihat sosok-sosok seperti pengawal kerajaan.

Pernah ada tetangga yang nekat mengintip rumahku karna mendengar suara yang katanya seperti sinden, lalu setelah itu tetanggaku bernasib naas, ia meninggal dengan tubuh hitam membiru.

***

Malam itu aku berniat pergi ingin mencari cara agar bisa lepas dari junjungan ibuku.

Aku membawa mobilku meluncur tidak ada tempat yang dituju.

Entah sudah berapa jauh jarak aku saat ini dari rumahku.

Saat masih terus melajukan mobilku, tiba-tiba saja aku mencium bau amis di dalam mobil yang ku kendarai.

Ku tepikan mobilku di pinggir jalan, saat mobil sudah berhenti, aku melihat sosok wanita dari balik kaca di dalam mobilku.

Sesosok itu adalah wanita yang sudah tak asing bagiku. Wanita yang seperti biasa selalu mengenakan mahkota di kepalanya.

Seketika aku gemetar ketakutan. keringatku mengucur deras.

"Apa kamu lupa takdirmu banggel projo rogo tak bisa di rubah? kecuali ibu dan Kakakmu serta tujuh turunanmu yang akan menanggung akibatnya," ucapnya padaku.

Mendengar yang diucapkan oleh junjungan ibuku, kepaku terasa pusing. Aku tahu itu bukanlah ancaman biasa.

Kembali aku menoleh ke arah belakang, tapi wanita itu sudah tidak ada.

Setelah rasa sakit kepalaku mulai reda, Segera aku menyalakn mobilku untuk putar balik menuju rumahku.

"Percuma aku pergi kemana saja pasti ia bisa menemukanku," gumamku.

Sesampainya aku di rumah, seperti biasa nyanyian tembang jawa selalu di nyanyikan ibuku.

Semerbak bau harum bunga bercampur harum dupa malam itu membuat pening kepalaku.

Setibanya di dalam kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.

***

Hari-hari terus berlalu sampai tibalah acara pernikahanku dengan seorang wanita pilihan ibuku.

Aku hanya bisa pasrah tentang perjodohan ini.

Resepsi pernikahanku di gelar sangat megah, banyak tamu undangan yang hadir, termasuk rekan bisnisku semua datang untuk mendoakan pernikahanku.

Saat para tamu mulai bergantian menyalamiku, aku cuma tersenyum dengan perasaan hati entah kemana.

Saat ada seseorang dari kerabat istriku yang akan menyalamiku, beliau terlihat kaget dan buru-buru menarik tangannya dari tanganku.

Aku merasa heran atas sikapnya itu terhadapku.

Terlihat laki-laki itu mundur satu langkah ke belakang sambil terus matanya menatap ke arahku.

Aku masih tak mengerti kenapa laki-laki itu menatapku seperti itu? Seperti melihat sesuatu hal janggal dalam diriku.

Setelah itu ia mendekat ke arahku.

"Kasihan sekali hudupmu nak, saat ini kamu dalam lingkaran iblis yang ganas, hanya dirimu sendirilah yang bisa menyelamatkan hidupmu," ucapnya tiba-tiba saja berkata seperti itu padaku.

Sontak aku pun merasa kaget, karena laki-laki itu bisa tau tentang keadaanku sekarang ini.

Setelah lelaki itu sudah pergi, aku bertanya pada istriku yang berada di sampingku.

Kata istriku itu adalah pamannya yang tinggal di Jawa timur.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close