PESUGIHAN DARAH BAYI (Part 3 END)
JEJAKMISTERI - Setelah aku sampai di depan rumah Mertuaku, keadaannya terlihat sangat sepi.
Lalu segera ku ketuk pintu, tapi sampai beberapa kali tetap tidak ada sahutan dari dalam rumah.
Sesaat aku menunggu duduk di kursi yang berada diteras.
Beberapa menit berlalu aku menunggu, terdengar suara pintu terbuka. Setelah ku lihat, ternyata Mertuaku yang membuka pintu.
Terlihat beliau seperti habis bangun tidur, aku menyalaminya lalu masuk kedalam rumah.
Aku duduk bersama Mertuaku di ruang tengah, tadinya ia mau membuatkan minum, tapi ku cegah karena saat ini aku ingin tahu ada apa sebenarnya antara ibuku dengan Mertuaku ini.
"Kok sebentar jeguk ibunya?" tanya ibu Mertuaku setelah kembali duduk didekatku.
"Iya, Bu" sahutku datar.
Sesaat aku menghela nafas. Lalu aku memandang ke arahnya.
"Bu, saya mau tanya, tolong ibu jujur tentang semuanya pada saya."
"Nak Alan mau tanya apa?"
"Ada yang belum ibu ceritakan, ada yang ibu rahasiaka pada saya," ucapku sambil terus menatap ke arahnya.
"Ibu sudah jujur semua, semuanya sudah ibu katakan. kenapa Nak Alan masih curiga sama ibu? Emang ada apa sebenarnya," ucap ibu Mertuaku menegaskan, tapi dari sorot matanya terlihat seperti ada yang sedang ia pendam.
"Ibuku saya saat ini sekarang sedang sakit dan keadaannya amat menderita, ibu pasti tau penyebabnya, saya mohon sama ibu sebenarnya ada apa antara ibu dan ibuku?"
Mertuaku langsung menunduk, lalu setelah itu berpaling pandang ke arah lain.
Terlihat wajahnya seperti ada rasa ragu semakin membuatku yakin pasti beliau tahu sesuatu.
Mertuaku masih terdiam, lalu aku melihat ia seperti sedang merasakan kecemasan dalam batinnya.
Setelah menghela nafas dalam-dalam, lalu Mertuaku memandang ke arahku.
"Baiklah, ibu akan katakan semuanya, memang sudah waktunya, dan semoga ini menjadi penebus kesalahan ibu."
Hening sesaat. Beberapa detik berlalu. Setelah itu kembali Mertuaku bercerita.
"Rina bukanlah anak kandung ibu, waktu dulu sebelum ayahmu meninggal, ibu pernah bekerja pada ibumu, lalu setelah ayahmu meninggal dan ibumu bangkrut, ibu berhenti kerja dan pindah kesini. Setelah beberapa tahun ibumu datang meminta untuk dicarikan rumah disekitar sini, ibu juga diminta untuk kembali bekerja pada ibumu, awalnya ibu curiga kenapa bisa secepat itu ibumu bisa sukses, bahkan ibumu bisa lebih kaya dari sebelumnya.
"Hingga suatu hari ibumu tau bahwa ibu sedang membutuhkan uang banyak untuk mengobati suami ibu yang sudah sakit Sangat lama. ibumu waktu itu bercerita dari mana awalnya bisa mendapatkan kekayaan. Dan ibumu sempat mengajak ibu untuk mengikuti ritualnya menjadi abdi junjunganya, tapi ibu menolaknya.
"karena tau ibu sedang butuh uang. Maka ibumu menawarkan satu tawaran yang akhirnya ibu terima karena sudah bingung mau cari uang kemana lagi buat pengobatan suami. Tawaran syarat dari ibumu adalah, ibu harus menyediakan darah bayi untuk ritual ibumu, karena ibumu harus meminum darah bayi setiap tahunnya.
Tiba-tiba nafasku terasa sesak saat mendengar ucapan dari Mertuaku. Tidak ku sangka ternyata ibuku setiap tahunnya harus menumbalkan dua orang, satu dari keluarga sendiri dan satunya dari orang lain.
"Dan untuk tahun ini ibu tak bisa menyediakanya persembahan tumbal darah bayi, karena ibu ingin lepas dari perjanjian dengan ibumu, ibu sadar setelah adik ibu yang bernama Wondo mengetahuinya, hingga ia malah menjadi korban. Sakit ibumu saat ini karena tahun ini ia tak meminum darah bayi.
Aku benar-benar tercengang mendengar semua penjelasan dari ibu Mertuaku itu. kuhempaskan saja punggungku di kursi karena sudah bingung harus berbuat bagaimana lagi.
Pikiranku sangat kacau, antara benci, takut, dan ngeri semua jadi satu. Tak pernah ku bayangkan jika ibuku bisa senekat itu, tidak ada cara lain bagiku kecuali aku harus segera mengakhiri ini semua.
Setelah mendengar semua cerita dari ibu Mertuaku, hari itu juga aku berniat mendatangi rumah kyai Hamdan.
Sesampainya di sana terlihat suasana yang ku rasakan sangat sejuk membuat hatiku menjadi lebih tenang.
Disana banyak anak-ana remaja sedang menuntut ilmu agama yang baru ku ketahui itu adalah tempat pondok pesantren.
Aku disambut oleh seorang santri, lalu di persilahkan duduk untuk menunggu di teras rumah.
Tak lama kemudian, kyai Hamdan dan pak Ahmadi keluar dari rumah. Segera aku menyalami mereka berdua.
Di dalam rumah, semua aku ceritakan pada mereka. berikut tentang Bu Midah yang ternyata ikut serta dalam perjanjian ibuku.
"Lebih baik segera Mas Alan ambil kain simbol itu untuk mengahiri semua ini. Soalnya ibu Mas Alan juga tidak akan bisa di sembuhkan atau diobati dengan apapun, karna sejatinya ruhnya telah hilang, kini raga itu telah di isi ruh iblis laknattullah, cepat atau lambat semua yang ikut dalam ritual darah bayi pasti akan diambil. Sedangkan iblis itu tidak akan binasa sebelum kiamat, karena itu janji allah yang mengijinkan iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia," ucap kyai Hamdan.
"Tapi apa saya mampu untuk melakukannya, pak kyai?"
"Insya allah kami berdua akan bantu Mas Alan semampu kami, kita serahkan sama allah untuk hasinya," jawab kyai Hamdan menguatkan hatiku.
Tak terasa kami ngobrol sampai sore hari, aku yang sedang kacau tak ingin pulang dulu kerumahku atau pun pulang ke rumah ibu Mertuaku.
Sore itu pun aku di ajak shalat oleh mereka. Baru kali ini aku melaksanakan shalat pada saat itu.
***
Sampai jam 9 malam aku masih di rumah kyai Hamdan. Rencananya aku berniat mau nginap, tapi saat itu tiba-tiba saja hapeku berdering.
Ternyata panggilan telepon itu dari Bu Midah. Lalu segera ku angkat panggilan teleponnya.
"Halo, Bu?"
"Halo pak Alan, tolong bapak pulan, karena Bu Midah dari tadi entah kenapa tiba-tiba muntah darah terus," terdenar yang bicara ditelepon bukan ibu Mertuaku melainkan seperti saudaranya.
Panggilan langsung ku tutup lalu segera aku pamit pada tuan rumah. Mereka berdua segera memintaku untuk pulang lebih dulu dan nanti mereka akan menyusul.
Setelah sampai di rumah ibu mertuaku, keadaan rumah sangat ramai sekali oleh tetangga yang ikut menjenguk.
Aku masuk ke dalam rumah lalu segera melihat Mertuaku di dalam kamar.
Aku melihat Mertuaku kejang-kejang.
terbaring di atas tempat tidur.
Tangannya memegangi lehernya, seperti ada yang mencekiknya, darah keluar dari mulut dan hidungnya. Matanya melotot hingga urat di dahi dan wajahnya nampak jelas terlihat.
Nafasnya tersengal-senggal, nampak mertuaku sedang merasakan sakit yang amat sangat.
Aku mendekatinya dengan rasa bingung mau berbuat apa, dan saat aku berada di dekatnya, tanganya sudah lemas, namun matanya masih melotot, darah masih mengalir dari hidung dan mulutnya.
Dari sampingku tiba-tiba kyai Hamdan meraih tangan ibu Mertuaku. Beliau memeriksa nadinya.
"Innalillahi wainna ilaihi razi'un," ucap kyai Hamdan sambil mensedakepkan kedua tangan mertuaku.
Saat pak Ahmadi ingin memejamkan mata Mertuaku yang masih melotot, beliau nampak kesulitan hingga di bantu oleh kyai Hamdan.
Setelah semua prosesi pengurusan jenazah selasai, lalu jenazah langsung di bawa ke pemakamaman. Malam itu juga Mertuaku di makamkan.
Saat jenazah sudah selesai di kuburkan, malam itu langsung di adakan do'a yang di pimpin langsung oleh kyai Hamdan.
Banyak spekulasi dari para tetangga dan kerabat mertuaku, katanya Mertuaku terkena santet. Aku hanya diam dan berpikir kalu ini pasti ulah junjungan ibuku.
Pukul 3 pagi saat semua orang sudah pulang. Sekarag tinggal aku dan beberapa kerabat yang tidur di rumah Mertuaku.
Aku istirahat di kamar dimana Rina sedang terbaring lemas tak berdaya.
Malam itu sangat susah untuk aku bisa tertidur. Karena pikiranku masih teringat tentang kematian Mertuaku, sangat ngeri dan tragis di lehernya terdapat guratan hitam seperti terlilit sesuatu.
Saat masih terus memikirkan tentang keanehan yang terjadi dikehidupanku, tiba-tiba bau amis menyeruak di sekitaran dalam kamar. Lalu setelah itu terdengar lantunan tembang yang tak asing lagi ku dengar.
Lantunan itu terdengar mengerikan, tak lama berselang sosok junjungan ibuku sudah berada di depan cermin yang berada di dalam kamar.
Jaraknya sangat dekat denganku. Dia duduk di meja rias yang biasa di pakai Rina untuk bedandan.
Tanganya mengambil sisir, lalu ia mulai menyisiri rambutnya yang panjang dan hitam. Ia menyisir rambutnya sambil menyanyikan tembang yang tidak kumengerti artinya.
Aku langsung berdiri sambil gemetaran, ia melirik ke arahku sambil tersenyum padaku.
Walau terlihat cantik, tetap saja sorot matanya sangat mengerikan bagiku.
"Ngunduh rogo sudah kumulai, dalan murko telah dibuka."
Setelah mengatakan sesuatu yang tak ku mengerti, sosok yang di sebut junjungan oleh ibuku pun mendekati Rina.
Dibelainya rambut Rina sambil ia kembali bersenandung tembang.
Aku yang melihatnya hanya terdiam mematung sampai terasa ngilu lututku saking takutnya.
"Aku akan mengambil apa yang menjadi hakku, aku menunggumu dipurnama ke tujuh belas bersamanya, itu sudah menjadi ketentuanku," ucapnya masih sambil mengusap-usap tubuh Rina.
Lalu ia tertawa sambil mendongkakkan wajahnya ke atas, suara tawanya sangat mengerikan.
Dia mentapku sanagt tajam yang sudah berkeringat dan menggigil ketakutan. Aku langsung terduduk dengan tubuh lunglai.
Mau keluar kamar tidak bisa, rasanya kaki sulit sekali untuk digerakan. aku terdiam sambil menunduk karena tidak tahan melihatnya.
Setelah aku mencoba melihat ke arahnya lagi, tapi dia sudah tidak ada didalam kamar.
Aku pun langsung pergi keluar dan membangunkan kerabat Rina. Tapi aneh pas aku tanya tidak ada yang mendengar suara tawa atau orang lagi berbicara di dalam kamar Rina. Berarti cuma aku saat itu yang mendengarnya.
***
Pagi harinya setelah berpamitan pada kerabat Rina, aku bergegas kerumah ibuku untuk mencari kain atau selendang yang dimaksud sebagai simbol dari junjungan.
Aku ingin segera menyelesaikan masalah ini, aku ingin segara mengakhirinya, aku tidak mau hidupku terus menerus dihantui oleh junjungan ibuku.
Sesampainya aku di rumah ibuku, tak kulihat lagi laki-laki tua yang menjaga rumah ibuku.
Aku segera masuk ke dalam rumah, kakiku terus melangkah menuju kamar ibuku.
Sebelum aku masuk, kusandarkan kepalaku pada pintu kamar ibuku.
Setelah memastikan tidak ada orang di dalam kamar, langsung aku bergegas masuk.
Di dalam kamar benar tidak ada ibuku dan tidak tercium baru dupa. Patung dan sesaji juga sudah tidak ada. Yang ada cuma kain batik yang berjejer rapih.
Tak mau berlama-lama lagi segera aku mencari barang yang aku maksud.
Aku melihat ikatan pakaian yang terikat di kain berwarna hitam. Banyak pakaian terikat di kain hitam tersebut salah satunya baju anak dan istriku berikut baju anak Kakakku.
Saat tanganku akan membuka ikatan pada tali pakaian itu, tiba-tiba terdengar suara deru mobil.
Aku langsung mengurungkan niatku dan menutup kembali lemari kecil ibuku. Dan segera bergegas keluar dari kamar.
Saat sedang berjalan keluar dari pintu depan, nampak Kak Ami dan Kak Adin yang keluar dari mobil.
Menyadari aku ada di rumah ini mereka terlihat terkejut. Lalu buru-buru menghampiriku.
"Mau apa kamu kesini, Alan?" tanya Kak Ami yang terlihat sengit padaku.
"Aku mau melihat keadaan ibu, dimana ibu, Kak?" ucapku beralasan.
"Apa perdulimu pada ibu? Apa kamu masih menganggap dia ibumu?" kali ini Kak Adin yang bicara.
"Bagaimanapun aku masih anaknya, dia tetap ibuku."
"Kalau memang kamu masih menganggap beliau ibumu, apa kamu akan melakukan perintahnya?" tanya Kak Ami.
Sesaat aku terdiam.
"Ya, aku akan melakukanya," ucapku menegaskan, padahal sebenarnya dalam hatiku tidak mau melakukannya. Itu cuma alasanku aja biar aku di izinkan untuk bertemu ibuku.
Mendengar jawabanku, Kak Ami dan Kak Adin saling pandang. mereka berdua kemudian mendekat ke arahku.
"Sekarang ibu berada di rumahku, keadaanya sedang sekarat. Dan rumah ini akan Kakak jual," ucap Kak Ami.
"Kenapa harus dijual?"
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang ikut Kakak kalau kamu mau bertemu ibu."
Aku yang masih bingung hanya mengangguk.
Setelah mengunci semua pintu, aku ikut mereka ke rumah kak Ami untuk melihat keadaan ibuku.
*******
Sesampainya aku di rumah Kak Ami, segera aku menemui ibuku di dalam kamar.
Di sana aku melihat ibuku masih terbaring lemah, dengan tetap pandangan mata melotot ke atas.
Kini bukan hanya kakinya saja yang terlihat menghitam, tapi tangannya juga ikut menghitam. bibirnya hanya mampu merintih lirih, nafasnya naik turun tak teratur.
Setelah melihat keadaan ibuku, Kak Ami dan Kak Adin mengajakku untuk duduk di belakang rumah.
Di belakang rumah suasananya sangat sepi. Seperti yang sudah aku duga, pasti mereka akan membahas tentang ritualku. Kakakku benar-benar percaya bahwa aku mau menjadi banggel projo rogo.
Aku cuma mendengarkan saja mereka menjelaskan tentang ritual itu. Padahal aslinya aku tidak akan melakukannya.
Kata Kakakku ibuku akan tetap seperti itu sebelum aku melakukan ritual yang sebentar lagi akan dilakukan. Yaitu pada purnama 17 di tempat waktu pertama kali ibuku melakukan perjanjian dengan junjungannya.
Setelah lama kami berbincang, aku pun pamit pulang kerumah Mertuaku.
"Rina akan kembali pulih setelah ritualmu dilakukan, kelak kamu dan Rina mewarisi semua kehormatan keluarga kita, aku senang karena Bu Midah telah menerima balasan dari penghianatannya," ucap Kak Adin yang disertai senyum sinisnya.
Aku hanya diam tak menjawab apa-apa.
Sebelum pulang terlebih dahulu aku melihat keadaan ibuku, setelah itu aku meminta kunci rumahku dengan alasan mau mengambil Baju-bajuku.
Mereka pun percaya tak menaruh curiga padaku. Dan akhirnya memberikan kunci itu padaku.
Setelah Kak Ami menyerahkan kunci, segera aku pergi dari rumah Kakakku.
Aku tidak langsung ke rumahku, melainkan pergi ke rumahnya kyai Hamdan.
***
Sesampainya aku di rumah kyai Hamdan, aku langsung menemui mereka. Kami duduk di ruang tamu.
"Bagamama Mas? apa Mas Alan sudah benar-bemar siap?" tanya kyai hamdan padaku.
Aku pun bercerita kalau hari ini belem mendapatkan simbol yang di maksudkan oleh kyai Hamdan.
"Nanti malam Mas Alan ambil pakaian yang di ikat dengan tali kain hitam, nanti saya dan pak Ahmadi menunggu di rumah Rina," ucap kyai Hamdan.
"Iya pak kyai, nanti malam saya akan ambil simbol itu di rumah ibu saya," jawabku.
Cukup lama kami bertiga ngobrol membahas tentang masalahku. Lalu setelah waktu sore telah tiba, aku pamit untuk pulang ke rumah Mertuaku.
***
Malam acara pengajian sudah dimulai, kiyai Hamdan yang memimpinnya.
Saat itu juga aku pergi ke rumah ibuku sendirian.
Malam itu cuaca mendung, dan saat aku masih di perjalanan hujan pun turun sangat deras.
Aku berusaha mempercepat laju mobilku. Syukur saat di perjalanan sampai aku tiba junjungan ibuku tak menampakan wujudnya.
Saat aku sudah berada di depan gerbang rumah ibuku. Terlihat lamu-lampu di sekitaran rumah semuanya hidup.
"Siapa yang ada di rumah? Ibuku bukannya di rumah Kak Ami?" ucapku bergumam.
Ku bunyikan klakson sampai 3 kali, lalu pintu gerbang terbuka dan munculah laki-laki yang kutemui waktu itu.
"Oh, pak Alan, silahkan pak," ucapnya lalu membukakan gerbang.
Katanya beliau diperintah Kakakku cuma untuk menjaga malam hari saja.
Setelah aku sudah berada di dalam rumah, segera ku hidupkan lampu-lampu.
Lalu aku masuk ke dalam kamar ibuku untuk kembali mencari kain hitam itu.
Ku buka lemari, tapi saat baru saja aku hendak mengambil pakaian-pakaian yang terikat pada kain hitam. Tiba-tiba saja terdengar suara tangisan.
Tangisan itu sangat menyayat hati, seolah-olah sedang disiksa.
Suara tangisan itu bermacam-macam, ada suara anak kecil dan Suara orang tua.
Walau aku merasa ketakutan, tapi aku berusaha untuk tenang. Ku percepat pergerakanku agar aku bisa cepat keluar dari rumah ini.
Baju yang terikat sangat banyak sekali, lalu dengan cepat semuanya aku masukan ke dalam koper.
Saat baju terakhir yang terikat, terlihat bawahnya napak sebuah kotak berwarna hitam.
Segera ku ambil kotak itu, tapi saat aku membuka kotak. Tiba-tiba sangat jelas terdengar suara wanita tertawa. Hampir kotak itu terjatuh saat tawa itu membuatku kaget.
Aku berusaha cuek dengan Suara itu. Lalu kembali ku buka kotak itu. Terlihat di dalamnya berisi bungkusan kain hitam, dan di dalam bungkusan kain hitam itu terlipat rapi sebuah selendang dan seikat rambut yang entah punya siapa.
"Pasti inilah yang dikatakan sebagai simbol itu," gumamku.
Kembali ku letakan bungkusan itu kedalam kotak. Lalu segera aku masukan kedalam koper.
***
Setelah semuanya selesai, langsung aku keluar dari kamar ibuku. Tapi baru satu langkah. Tiba-tiba muncul sosok seperti mau menghadangku.
Sosok itu sangat mengerikan, wujudnya hitam legam dengan mata merah dan gigi bertaring serta kukunya yang panjang.
Sesaat aku terdiam, bingung sekali aku mau keluar karena dia berdiri di pintu depan.
Tak lama berselang, tiba-tiba mahkluk itu menyerangku, namun saat sedikit lagi tangannya mencengkramku. Tiba-tiba sosok itu terpental.
Terdengar dia menggeram-geram, lalu seketika saja menghilang.
Di luar hujan masih sedikit deras, angin kencang serta di iringi kilat bersahutan.
"Duar!" Suara petir.
Seketika lampu di dalam rumah mati.
Aku kebingungan karena suasana benar-benar sangat gelap. Segera Ku ambil hapeku biar sedikit bisa menerangi sekitaran di dalam rumah.
Nafasku terasa sesak saat itu, keringat sudah benar-benar bercucuran membasahi bajuku.
Terdengar suara memanggil-manggil namaku, namaun semua itu ku abaikan.
Dengan susah payah. Akhirnya aku bisa keluar dari dalam rumah.
Ku masukan koperku kedalam mobil, lalu aku masuk dan segera ku nyalakan mobilku.
Setelah menghidupkan mesin mobil. Lampu mobilku menyorot sesuatu sosok yang tak asing bagiku.
Saat itu mobilku masih menghadap ke arah teras rumah. Disitulah sosok ibuku nampak.
Itu benar-benar sosok ibuku, tapi aneh bukannya ibuku ada di rumahnya Kak Ami?
Tak mau berpikir terlalu lama lagi cepat-cepat aku melajukan mobilku keluar dari halaman rumah tanpa menemui penjaga rumahku. Aku hanya membunyikan klakson tanda aku sudah pergi.
***
Mobil kulajukan kencang agar segera sampai di rumah Rina.
*******
Aku sampai di rumah Rina jam 11 malam, dan keadaan rumah sudah nampak sepi dari para tamu undangan. Di rumah cuma ada kerabat Rina dan kyai Hamdan serta pak Ahmadi.
Setelah kedatanganku lalu para kerabat Rina pun pamit untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Kyai Hamdan bertanya padaku tentang simbol itu apakah sudah aku dapatkan, lalu segera ku ambil di dalam mobil untuk aku serahkan pada beliau.
Saat koper aku buka, kyai Hamdan dan pak Ahmadi sangat terkejut melihat banyak pakaian yang terikat.
"Astaghfirullah ... Benar-benar iblis laknatullah," seru pak Ahmadi.
Lalu pak Ahmadi memegang salah satu kain itu sambil ia angkat.
"Ini adalah para korban iblis itu, dan sukma mereka di tahan untuk di jadikan budak," ucap pak Ahmadi kembali memberi penjelasan.
"Berarti yang dikatakan ibuku dan Kakakku selama ini bohong," gumamku.
Betapa teriris dan sakitnya hatiku saat membayangkan anak-anak dan istriku beserta keponakanku menderita oleh iblis junjungan ibuku.
Kyai Hamdan lalu mengambil kain selendang dan seikat rambut yang entah punya siapa.
"Mas Alan memang sudah di siapkan untuk menjadi penerus perjanjian. Benar-benar luar biasa ibunya Mas Alan, ibumu sanggup melakukan dua ritual sekaligus," ucap kyai Hamdan yang membuatku bingung.
"Apa maksudnya dua ritual sekaligus itu, pak kyai?"
"Ibunya Mas Alan sudah melakukan ritual meminta kekayaan dan mempelajari ilmu hitam," jelas kyai Hamdan.
"Lalu bagaiman dengan pakaian-pakaian ini, Kang?" tanya pak Ahmadi pada kyai Hamdan.
Saaat pak Ahmadi mau melepas satu baju yang terikat pada tali kain hitam. Kiyai Hamdan mencegahnya.
"Tidak bisa hanya dilepaskan begitu saja, ini adalah tali sukmo, jangan sampai malah kita melakukan kesalahan dan membuat sukma mereka tak bisa bebas," ucap kyai Hamdan.
Pak Ahmadi pun segera menaruh kembali pakaian yang terikat itu kedalam koper.
Lalu kyai Hamdan melirik ke arahku dengan pandangan penuh wibawanya.
"Apa Mas Alan sudah benar-benar ikhlas?" tanya kyai Hamdan padaku.
Aku tidak mengerti atas ucapan kyai Hamdan barusan. Tapi aku langsung mengangguk saja biar beliau segera bertindak.
Lalu setelah mendengar aku mengiyakan, kyai Hamdan mengajakku untuk ke rumahnya.
Sebelum pergi aku pamit dulu pada salah satu kerabat Rina. Dan berpesan kalau ada apa-apa segera menghubungiku.
***
Lima belas menitan kami sampai di rumah kyai Hamdan. Lalu aku di ajak ke belakang rumahnya.
Disana terlihat pendopo kecil, dan banyak pohon mangga di sekelilingnya.
Kami bertiga masuk keruangan itu. Bau harum parfum yang baru kali ini aku menciumnya menyerebak di ruangan itu.
Mereka berdua mengoleskanya minyak pada sebuah tasbih yang di peganginya.
Setelah itu mereka mengambil sikap duduk bersila, lalu membaca dzikir.
Aku hanya diam sambil cilingukan memandangi area sekitaran.
Sudah ada kira-kira satu jam lebih mereka berdzikir. Lalu tiba-tiba suara angin bergemuruh tapi cuma terdengar di atas pendopo saja.
"Hhaha!".
Tiba-tiba terdengar suara tawa sangat menggelegar membuat detak jantungku berdetak cepat.
Karena saking kagetnya aku terperanjat. Lalu segera mendekat ke arah kyai Hamdan.
Masih terus ku dengar suara tawa itu.
Suaranya terdengar sangat mengerikan, tapi suara itu tak mempengaruhi Kyai Hamdan dan pak Ahmadi yang masih terus berdzikir.
Aku yang tak tau apa-apa hanya mampu berdoa sebisa mungkin yang baru aku ketahui dari kyai Hamdan.
"Duar!, Trtaktakk! ... Trakk!"
Terdengar seperti ada benda membentur atap pendopo disertai suara kerikil berjatuhan.
Dalam kecemasan aku masih terus melihat keadaan sekitar pendopo.
Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar suara jeritan beberapa kali saling bersahutan.
Setelah itu Susana tiba-tiba menjadi hening.
Saat masih terus didera rasa was-was, kyai Hamdan dan pak Ahmadi menyudahi dzikirnya.
"Alhamdulillah," ucap kyai Hamdan
Mereka berdua duduk menghadap ke arahku. Lalu meletakkan semua pakaian yang terikat itu di depanku.
"Mas Alan malam ini juga kubur semua pakaian ini, tapi sebelum menguburnya buka ikatan tali itu sampai terlepas dari semua pakaian," ucap kyai Hamdan
"Besok kami berdua akan berpuasa dulu satu hari untuk mensucikan hati dan pikiran kami. malamnya kita tuntaskan. Semoga Allah melindungi kita semua," ucap kyai Hamdan.
Malam ini juga aku di suruh untuk menguburkan semua pakaian itu. Menguburkannya bebas mau di mana saja asal itu tanah milik ibuku.
Segera aku saat itu juga langsung menuju tanah milik ibuku yang letaknya tak begitu jauh dari rumah Rina.
***
Sesampainya di tanah kosong milik ibuku. Aku mulai menggali tanah yang basah karena habis terkena hujan.
Saat terus menggali, aku merasa sedang diawasi puluhan pasang mata, tapi saat aku melihat area sekelilingku. Aku tidak melihat sesiapa.
Setelah lubang yang pertama selesai, lalu aku mulai menggali lubang yang ke dua.
Aku menggali lubang cuma sedalam satu meteran saja.
Semakin aku mempercepat menggali, semakin banyak pasang mata yang mengawasi, dan puluhan pasang mata itu seperti mendekat ke arahku.
Setelah merasa cukup dalam, segera aku membuka koper. Lalu mulai memasukan pakaian para korban yang di timbulkan oleh ibuku.
Setiap aku membuka satu ikatan, maka terdengar suara jeritan memilukan.
Jantungku sudah seperti ingin meledak, ketika kepalaku mendongak saat kulihat berbagai jenis mahluk halus sedang mengawasiku.
Mata mereka tertuju ke arahku yang sedang membuka ikatan-ikatan tali itu.
Yang terakhir pakaian akan ku buka ikatanya adalah pakaian istriku.
Perlahan kubuka satu persatu ikatannya dan hatiku teramat pedih mendengar lolongan suaranya yang menyayat, air mataku terus mengalir saat pikiranku mengulas balik masa laluku dengan istri dan anakku.
Pertama-tama aku masukan pakaian istri dan anak-anakku, begitu juga dengan pakaian semua keponakanku. Aku menguburnya dalam satu lubang. Sisanya aku kuburkan di lubang satunya lagi.
Setelah semua selesai aku kuburkan, Mataku tak berkedip saat melihat sosok berpakaian putih berdiri di depanku
Mata mereka hitam, wajah pucat dan nampak sorot mata mereka sayu melihat ke arahku.
Seketika aku menangis saat melihat diantara sosok itu adalah sosok istriku, anakku dan keponakanku beserta suami Kak Adin yang meninggal gantung diri.
Aku melihat semua penampakan itu seketika menjadi lemas tak mampu rasanya untuk bangkit.
Tak lama kemudian semua sosok penampakan itu perlahan menghilang.
Aku menangis tak bersuara mungkin saking perihnya kesedihan yang kurasakan.
Beberapa saat aku masih terus menangis disana.
***
Ketika tenaga ku mulai kembali normal, ku coba untuk bangkit.
Lalu aku mengumpulkan semua tali kain yang berwarna hitam itu. Aku bungkus tali-tali itu, lalu segera melangkah ke arah mobilku. Namun, langkahku terhenti saat melihat sosok yang tak asing bagiku.
Sosok itu adalah ibuku.
Penampakan sosok ibuku terlihat sangat marah, sorot matanya tajam menghujam seperti ingin membunuhku.
"Tega kamu Alan .. jangan ... Jangan lakukan!" ucapnya padaku.
Sosok itu seperti ibuku, tapi suaranya bukan suara ibuku.
Setelah aku yakin bahwa dia bukan ibuku, segera aku berlari menuju mobil.
Rasa takut dan cemas terus memburu ketika aku melajukan mobilku.
Walau aku sudah meninggalkan tempat penguburan tadi, tapi suara itu seperti terus terdengar mengikuti laju mobilku.
Aku berusaha tenang, karena saat ini sedang menyetir, takut hilang konsentrasi malah jadi celaka nantinya.
Aku terus memacu mobilku, sampai akhirnya tiba di depan rumah kyai Hamdan.
Perlahan ku parkiran mobilku, lalu setelah itu segera melangkah menuju pendopo belakang rumah.
Setelah tiba di pendopo, aku duduk lalu segera ku ceritakan semua yang terjadi saat tadi aku menguburkan pakain.
Aku bercerita sambil nafasku ngos-ngosan disertai keringat becucuran.
"Alhamdulillah, Mas Alan sudah berhasil melepaskan pengikat sukma para korban," ucap syukur kyai Hamdan.
Ku serahkan tali kain hitam pengikat pakaian itu pada pak Ahmadi.
Setelah itu kami beranjak dari pendopo menuju ke arah dekat pohon mangga.
Setibanya di sana, lalu pak Ahmadi membakar tali-tali itu.
"Aakkk ... Aaakkk."
Terengar suara jerita bersahutan disaat api membakar tali-tali itu.
Suaranya seperti merasakan suatu kepedihan sakit yang amat sangat.
Suara itu pun menghilang ketika tali sudah habis terbakar.
Saat kami hendak kembali ke pendopo, tiba-tiba saja muncul sosok dari dibekas pembakaran.
Terlihat tubuhnya gosong seperti terbakar. Sosok itu menangis tersedu-sedu merintih seperti kesakitan.
Dari suaranya sepertinya sangat aku kenal, bahkan kyai hamdan yang berdiri di sampingku langsung beristighfar dan mengenali sosok itu.
"Astaghfirullah ... Bu Midah, pergilah. Alammu sudah beda, jangan mencampuri urusan dunia lagi," ucap kyai Hamdan.
Lalu kyai Hamdan membacakan sesuatu, tak lama kemudia sosok itu menghilang.
Kemudian kami kembali ke pendopo, waktu sudah menunjukan jam 4 pagi.
Malam ini sungguh sangat mengerikan bagiku, malam yang sangat mencekam, malam yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
***
Paginya aku di suruh untuk berpuasa oleh kyai Hamdan. Entah aku bisa atau tidak. Karena dari kecil aku belum pernah berpuasa.
Aku harus kuat karena malam nanti adalah malam puncaknya untuk aku mengakhiri semua ini.
Hari itu aku istirahat di rumah kyai hamdan, sampai waktu nanti berbuka puasa.
Siang harinya hapeku beberapa kali berdering. Saat kulihat, ternyata Kak Ami dan Kak Adin yang menelpon.
Terus saja mereka meneleponku beberapa kali, tapi tidak ku angkat.
Ada beberapa chat juga dari mereka, ku coba untuk membacanya. setelah semua chat itu ku baca, lalu aku menghapusnya dan langsung hape ku matikan.
Rupanya mereka sudah tahu bahwa aku mengambil kotak dan pakaian-pakaian yang di ikat itu.
Pada pesan chat yang mereka kirimkan. Mereka memaki dan mengancamku.
***
Saat waktu maghrib tiba, aku segera berbuka, namun kyai Hamdan dan pak Ahmadi cuma meneguk air putih satu sendok saja. Katanya mau lanjut puasa.
Setelah selesai shalat isya, kami kembali ke pendopo.
Kyai Hamdan dan pak Ahmadi seperti biasa duduk bersila, tapi kali ini beliau berdua posisinya berhadapan.
Kotak hitam itu di letakkan di tengah-tengah dengan posisi terbuka, aku hanya di suruhnya berzdikir dan berdoa.
Beberapa saat mereka masih terus meditasi sambil membaca dzikir.
Lalu setelah itu Kyai Hamdan dan pak ahmadi keluar dari pendopo, dan aku disuruhnya untuk mengikuti mereka.
Kami masih berada di belakang rumah, Saat itu hanya beralaskan tikar dan karpet.
kami bertiga duduk memutar dan ditengah-tengah kami kotak itu di letakkan.
Kain selendang dan seikat rambut di keluarkan dari kotak dan di letakkan di atas kain putih yang disiapkan pak oleh pak Ahmadi.
Sebelum mereka memulainya, pak Ahmadi menatap ke arahku.
"Apa Mas Alan benar-benar sudah ikhlas dan siap?" tanya pak Ahmadi padaku dengan wajah tegang.
"Iya, pak," ucapku.
"Nanti apapun yang Mas Alan lihat dan Mas Alan rasakan, jangan sekali-kali beranjak dari tempat ini. Kuatkan hati Mas Alan. Mohon pada Allah agar kita bisa selamat dan berhasil," ucap pak Ahmadi.
Kali ini jantungku sudah seperti mau lepas rasanya, keringat sudah mulai keluar dari tubuhku.
Kecemasan semakin terus ku rasakan karena sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang sangat mengerikan.
*******
Kyai Hamdan dan pak Ahmadi mulai membaca dzikir. Sementara aku hanya berdoa dalam hati terus menerus semampuku yang ku bisa.
Tak lama berselang. Tiba-tiba saja terdengar suara lolongan anjing membuatku mulai tak tenang.
Angin pun mulai berhembus yang tadinya tenang mendadak menjadi tiupan angin sangat kencang.
Yang tadinya terang oleh cahaya bulan, kini mulai redup tertutup oleh cuaca yang mendung.
Tiba-tiba terdengar suara ombak laut menggulung-gulung.
Sangat aneh sekali, padahal tempat ini jauh dari lautan, pikirku.
Alunan suara gamelan terdengar merdu, tembang-tembang yang tiba-tiba saja terdengar.
Kurasakan tempat di belakang rumah kyai Hamdan mendadak seperti banyak orang bersuara, tapi saat aku melihat sekeliling tak ada siapa-siapa selain kami bertiga.
Rasa takutku kini mulai menjalar. Walau tubuhku terasa dingin, tapi keringat terus saja bercucuran di seluruh tubuhku.
Suara ombak laut masih terdengar jelas, dan bergantian dengan suara gamelan.
Lalu.
"Bruaakkk!"
Suara seperti benda jatuh dari atas berkali-kali terdengar.
Benda berjatuhan seperti bola api disertai suara lolongan orang sedang kesakitan.
"Tolooong ... tolong Alan, aku Kakakmu .. Aaaaaakkk."
Suara jeritan dan minta tolong dari kobaran api itu memang jelas seperti suara Kakakku.
Mataku terus mencari sumber suara itu, tapi aku tak melihat apapun.
Kembali suasana menjadi hening.
Tak lama berselang, kemudian muncul sosok wanita bermahkota sedang menari sambil melantunkan sebuah tembang.
Tubuhnya berubah menjadi ular hitam pekat. Aku hampir saja melompat saat sosok itu berjalan mendekat ke arahku.
Ia terus merayap mengelilingi kami bertiga, hingga tubuh ularnya mampu mengurung tempat kami.
Saat kepala wanita ular itu tepat di depan wajahku, tercium bau amis darah yang menyengat sampai membuatku pingsan seketika.
***
Entah sudah berapa lama aku pingsan, karena saat membuka mata aku sudah berada di dalam pendopo kecil bersama kyai Hamdan dan pak ahmadi.
Aku bangun lalu diberikan segelas air putih oleh Kyai Hamdan.
"Insya allah Mas Alan akan baik-baik saja," ucap pak Ahmadi.
"Apa wanita ular itu sudah mati pak? Apa saya sudah bebas darinya?" Aku bertanya masih merasakan sedikit pusing.
"Iblis itu tak akan bisa binasa sampai hari akhir nanti. dan yang bisa membebaskan Mas Alan adalah keimanan yang kuat kepada allah, sepenuhnya yang salah bukan iblis itu juga, tapi manusianya yang sudah membuat perjanjian," jelas kyai Hamdan.
Aku masih terdiam memahami penjelasan dari kyai Hamdan.
"Sekarang tiba saatnya untuk memutusnya, Mas Alan, cepat bakarlah selendang bersama kotaknya," ucap pak Ahmadi.
"Lalu rambut ini pak?" tanyaku sambil memegang rambut yang di ikat tali warna hitam.
"Apa Mas Alan tidak tahu itu adalah rambut siapa?"
Aku hanya menggeleng kecil.
"Itu rambut Mas Alan sendiri," jawab pak ahmadi seketika membuatku terkejut.
"Kapan ibuku mengambil rambutku? Dan untuk apa?" aku bergumam.
"Nanti rambut ini Mas Alan satukan dengan rambut Rina. Lalu kuburkan di tempat ibumu melakukan perjanjian dengan iblis itu," ucap pak Ahmadi.
***
Setelah itu aku menggali lubang di pekarangan belakang rumah kyai Hamdan.
Lubang sekitar setengah meter sudah ku gali, lalu ku letakan selendang bersama kotak hitam di dalam lubang itu.
Kami berdiri di dekat lubang, aku pun sudah siap membakar selendang itu. Tapi kembali aku mendengar orang melarang aku untuk membakarnya.
"Tolonggg Alan, jangan lakukan, apa kamu mau membunuh ibumu dan kedua Kakakmu? Hentikan Alan. Hentikan!"
Tiba-tiba aku menangis, aku sudah merasakan sebentar lagi pasti akan kehilangan semua keluargaku.
"Jangan Alan, ambilah selendang itu untukmu, jangan kamu bakar."
Suara tak berwujud itu kembali terdengar sangat dekat.
"Jangan dengarkan apapun, Mas. Lakukanlah, akhiri semua kemunkaran ini, bacalah bismillah, yakinlah akan kuasa allah," ucap kyai Hamdan.
Aku membaca bismillah sambil
Dibimbing pak Ahmadi. Lalu ku nyalakan korek dan segera ku bakar selendang itu.
Saat api sudah mulai melahap setengah bagian selendang, tiba-tiba kembali terdengar jeritan sangat pilu kudengar.
"Aaaakkkkk!"
Suara jeritan itu amat ku kenal suaranya. Itu adalah suara ibuku.
Suara jeritannya sangat menyayat hatiku, suara itu pun hilang bersama padamnya api yang telah membakar selendang.
Saat itu suasana berubah menjadi hening. Tak lama kemudian datang angin sangat besar. Lalu tiba-tiba terdengar suara mebuat badanku gemetaran.
"Ngunduh rogo bakal tak tutugno."
Terdengar suara tanpa wujud yang lagi-lagi tak ku mengerti apa artinya.
Seketika badanku terasa lemas, aku tersungkur ketanah. Disitu air mataku mengalir deras.
*******
Beberapa saat kemudian, aku di papah oleh kyai Hamdan menuju pendopo.
Di sana aku duduk bersama mereka, aku masih merasakan tubuhku belum benar-benar kembali normal.
"Alhamdulillah, insya allah Mas Alan terbebas dari banggel projo rogo," ucap pak ahmadi.
"Apakah ibuku dan Kakakku tak bisa di selamatkan pak? dan juga Rina apakah bisa siuman lagi?" ucapku lirih.
"Maaf Mas Alan, ibu dan Kakakmu telah menjadi hak dari iblis itu, sedangkan Rina saya belum tau," ucap pak Ahmadi.
Mendengar ucapan dari pak Ahmadi, aku cuma bisa pasrah saja.
Karena kondisiku begitu sangat lelah, aku pun tertidur di pendopo.
***
Paginya aku di suguhi sarapan oleh kyai Hamdan. Lalu setelah itu jam 8 kami bertiga pergi untuk melihat keadaan Rina.
Di perjalanan aku berharap Rina semoga saja secepatnya kembali sadar.
Perlahan mobil menepi, lalu berhenti di depan rumah, kami bertiga pun turun untuk segera melangkah masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, aku melihat Rina masih terbaring dengan kondisi tangan masih di infus.
Setelah memastikan Rina baik-baik saja masih dalam kondisi semula, lalu setelah itu aku keluar kamar untuk menemui kyai Hamdan dan pak Ahmadi di ruang tamu.
Setalah duduk bareng bersama mereka, aku pun kembali bertanya perihal Rina istriku.
"Apakah Rina bisa diselamatkan, pak Kyai?"
"Untuk masalah yang menyangkut Rina kita pasrahkan pada allah," ucap kyai Hamdan.
Aku hanya diam saat mendengar penjelasan dari kyai Hamdan.
Aku sudah berusaha semampuku dan hanya bisa berdo'a untuk kesembuhan Rina istri keduaku.
***
Siang harinya, kyai Hamdan dan pak Ahmadi pamit pulang. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Rina.
Hari itu aku benar-benar cape sekali, rasanya energiku terasa terkuras saat semalem menghadapi manusia ular itu.
Baru saja membaringkan badan, tiba-tiba saja terdengar ada orang memanggi-manggil namaku dari luar rumah.
Segera aku bergegas keluar dari kamar melangkah menuju pintu depan untuk memastikan.
Di depan rumah, aku mendapati seorang laki-laki tua seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Apa Mas ini yang bernama Alan?" ucapnya padaku.
"Iya pak, betul. Ada perlu apa ya?"
"Begini Mas, saya datang kesini mau memberitahu bahwa Kakak Mas Alan mengalami kecelakaan," ucapnya terbata-bata.
Seketika aku pun merasa kaget atas kabar itu.
"Lalu sekarang Kakakku ada dimana, dan sekarang bagaimana keadaannya, pak?"
"Saya kurang tahu, Mas. Tapi kalau Mas Alan mau tau secara pasti datang saja ke rumah sakit, mereka di rawat di rumah sakit M," jelasnya padaku.
Setelah lelaki itu pamit, aku pun bergegas meluncur menuju rumah sakit.
Singkat kata, setebinya di rumah sakit, aku mendapati keterangan dari orang yang berjaga di lobi, katanya menurut penuturan polisi, kedua Kakaku dan suami Kak Ami mengalami kecelakaan tunggal.
Kedua Kakaku Ami dan Adin beserta suami Kak Ami saat itu sudah meninggal.
Aku melihat tubuh mereka wajahnya hancur, kulit kepala sampai mengelupas dan matanya melotot, ketiganya meninggal dengan luka yang sama. Sungguh tragis dan mengenaskan cara meninggal mereka bertiga itu.
Jenazah mereka bertiga hari itu juga di makamkan di pemakaman yang sama.
Malam harinya diadakan do'a bersama di rumah Kak Ami.
Selepas acara selesai, tetangga dan kerabatku yang lain sudah pada pamit kembali pulang ke rumahnya.
Malam itu aku tidur di rumah Kak Ami, di rumah itu hanya ada aku, pembantu dan ibuku yang masih terbaring di tempat tidur.
Jam 10 malam pak Ahmadi datang menemuiku, karena tadi sore memang sudah aku kabari meminta mereka untuk datang, tapi kyai Hamdan tidak bisa datang karena ada acara lain.
Aku mengajak pak Ahmadi menuju kamar ibuku untuk melihat keadaannya.
Di dalam kamar, aku melihat ibuku masih terus seperti itu keadaannya.
Mata melotot ke atas, kaki dan tangan menghitam serta badan kurus, hingga terlihat matanya seperti mau masuk ke dalam karena saking kurusnya.
Pak Ahmadi yang melihat keadaan ibuku dari pintu langsung beristighfar.
"Mas, sekarang bersihkan semua kamar ini, bakar semua barang-barag ritual ibunya Mas Alan," ucap pak Ahmadi.
Dengan sigap aku pun langsung membereskan barang-barang yang sering dipakai ritual oleh ibuku.
Setelah semua beres ku kumpulkan, langsung saja ku bakar beserta patung junjungan ibuku.
Saat aku sedang membakar barang-barang itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan suara ibuku.
***
Pukul 11 malamnya pak Ahmadi pamit pulang kembali ke rumah kyai Hamdan.
Setelah kepulangan pak Ahmadi, kini aku hanya duduk seorang diri di ruang tengah.
Tak lama berselang, tiba-tiba dari dalam kamar yang di tempati ibuku terdengar suara tembang yang sering aku dengar.
Seketika aku terkejut, karena merasa heran bukankah urusanku dengan sosok yang di sebut junjungan ibuku sudah selesai?
Walalu masih di dera rasa takut, aku pun akhirnya memberanikan diri untuk melihatnya ke dalam kamar.
Aku sungguh kaget saat melihat ibuku sedang duduk menghadap cermin sambil melantunkan tembang.
Benar-bear aneh, bukankah tadi ibuku masih terbujur kaku di atas tempat tidur?
Aku masih terus memandanginya, sampai akhirnya ia pun menoleh ke arahku.
Terlihat mata ibuku cekung karena kondisi sudah kurus. Tatapan matanya sangat tajam terarah padaku.
"iling-ilingo yen saiki koe ora biso dadi banggel projo rogo, mbisuk yen ono keturunanmu bakal nompo balak projo rogo angkoro."
Setelah mengucapkan hal semacam itu, lalu ibuku tertawa sangat keras.
Karena sudah tidak tahan menahan rasa takut, aku pun langsung bergegas menutup pintu kamar.
Aku melangkah menuju kamar tamu untuk sekedar menenangkan rasa takutku.
Dari dalam kamar tamu, Suara tawa ibuku masih terdengar sangat jelas sekali. Aku pun menutup kedua telingaku di balik bantal.
***
Malam kedua, aku kembali melihat ke adaan ibuku, sungguh aneh ibuku masih terbaring lemas di atas tempat tidur.
"Lalu yang kemarin malam duduk di depan cermin siapa?" gumamku penuh rasa heran.
Setelah itu aku pun kembali menuju kamar tamu, tapi tak lama berselang tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari balik jendela kamar.
Perlahan aku beranjak menuju jendela, lalu ku buka horden jendela kamar.
Kulihat tiga sosok sedang berdiri dengan keadaan mengenaskan. Muka gosong, kulit kepala mengelupas, badan penuh luka dan darah, ditangan dan kakinya terdapat rantai mengikat mereka bertiga, dari mata mereka mengalir darah.
Mereka adalah sosok penampakan Kak Ami, Kak Adin dan suami Kak Ami.
Aku sudah tidak kuat melihatnya, segera ku tutup kembali gorden jendela. Lalu beranjak naik ke atas tempat tidur sambil menutup kedua telingaku.
"Alan ... Tolong Kakak, tolong alan."
Suara itu masih terus terdengar memanggil-manggil namaku.
Lalu aku membaca do'a yang pernah diajarkan oleh pak Ahmadi. Setelah itu perlahan suran itu pun hilang.
***
Di hari ke tiganya aku di rumah Kak Ami. Ibuku tiba-tiba saja kejang-kejang tak lama kemudian beliau pun meninggal dunia.
Jenazah ibuku Seluruh tubuhnya hitam seperti gosong, kulitnya kasar, tubuhnya bau amis darah yang mengengat.
Para pelayat yang datang mengira ibuku meninggal akibat ada yang nyantet.
Setelah tiga hari meninggalnya ibuku, aku mendapatkan kabar bahwa Rina istriku yang kedua sadar dari komanya.
Tapi naas sesampainya aku disana, ia pun sudah meninggal.
Kata kerabatnya setelah Rina siuman, tak lama kemudian ia muntah darah sangat banyak.
Sebelum jenazah Rina akan di mandikan, aku memotong beberapa helai rambutnya.
***
40 hari kemudian, aku dan pak Ahmadi berangkat ke Jawa untuk menguburkan beberapa helai potongan rambutku dan rambutnya Rina di tempat ibuku melakukan perjanjian di Goa L, didekat pantai selatan.
Setelah menguburkan rambut itu, aku pergi ke Magelang untuk bertemu seseorang yang pernah ibuku temui waktu dulu.
Jauh-jauh hari ibuku pernah mengatakan tempat itu dan memberikan alamatnya.
***
Kembali ke POV mas Faqih
Saat itu aku sedang santai sambil tiduran di kamar, tiba-tiba Abah memanggilku.
Dengan sigap aku pun langsung menuju rumah guruku.
Setibanya di rumah Abah, aku diperkenalkan pada seorang lelaki yang bernama Alan.
Malam harinya Mas Alan pun bercerita padaku tentang nasib keluarganya.
Seluruh harta peninggalan dari ibunya semuanya ia serahkan pada kerabatnya.
Ibunya dan kedua Kakak-nya Mas Alan meninggal tahun 2019.
Perjalanan kisah ini dari tahun 2012 sampai tahun 2019.
Mas Alan tidak mengambil sedikitpun dari harta itu. Kini beliau menjalani kehidupan barunya sambil belajar ilmu agama sangat tekun.
Dan mas Alan pun berjanji tidak akan menikah lagi sampai akhir hayatnya. Karena teringat ucapan iblis itu kalau keturunannya lah nanti yang akan meneruskan banggel Projo Rogo.
"TAMAT"
"Saya mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. dicerita ini yang sudah ditulis tidak bermaksud untuk menyudutkan tempat, suku, dan ras."
Dan saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam pengetikan dan cara penyampaian.
Saya ucapkan terimakasih pada kalian yang sudah mensuport dengan menglike dan berkomentar di postingan cerita kisah ini.
Semoga banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita ini.
*****
Sebelumnya