Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Gaib Dukun Beranak (Part 3)


JEJAKMISTERI - Sebab teramat kaget, Lana pun terjengkang hingga sikutnya terluka karena membentur tanah cukup keras. Babi hutan yang berada di hadapannya terlihat begitu menyeramkan bagi bocah itu. Dia beringsut mudur sambil berteriak meminta tolong.

"Awas Lana!" teriak Ayub.

Pria bertubuh jangkung itu lantas melemparkan bambu runcing tepat menembus perut babi tersebut. Seketika hewan itu pun terjungkal dengan darah bercucuran. Melihat si babi tumbang, Lana segera berlari menghampiri Ayub.

"Kamu ndak papa, kan, Le?" tanya Ayub.

"Lana takut, Maas," rengeknya.

"Ya sudah, kita pulang, yuk. Biar Mas gendong kamu."

"Tapi, Lana mau cari Ibu, Mas. Ibu ada di sini."

"Le... Ibu nggak mungkin pergi ke hutan ini. Lebih baik kita pergi ke Desa Luwung, yuk. Katanya, di sana habis ada yang melahirkan. Siapa tahu Ibu ada di sana."

Mendengar bujukan dari Ayub, Lana pun akhirnya mau ikut pulang. Awalnya Ayub hendak menggendong Lana di belakang, tetapi dilarang oleh pria sepuh yang membantu mencarinya, sebab hari sudah petang, apalagi mereka sedang berada di hutan. Konon katanya, jika menggendong anak di belakang saat waktu beranjak gelap, maka anak itu akan menjadi mangsa empuk makhluk gaib.

"Gendong depan aja, Yub. Lebih aman," ucap pria sepuh itu.

Ayub pun menggendong Lana di depan, lalu segera beranjak dari hutan itu sambil berteriak memanggil yang lainnya. Beruntung bapak-bapak yang lain masih berdekatan, sehingga mereka bisa mendengar teriakan Ayub yang memberitahu kalau Lana sudah ditemukan.

Sementara itu, Nyi Rasih berlari tergopoh-gopoh sambil berteriak ketika melihat Ayub dan Lana. Namun, sekencang apa pun dia berteriak, mereka sama sekali tidak mendengar suara Nyi Rasih.

"Ayub! Lanaa! Ibu di sini!" teriaknya sekuat tenaga.

Sia-sia saja karena bukan hanya suaranya yang tidak terdengar, wujudnya pun tidak terlihat oleh mereka. Nyi Rasih masih berlari sambil terus berteriak, hingga tanpa dia sadari di depannya ada akar pohon yang cukup besar. Kakinya lantas tersandung, dia pun jatuh terjerembab.

"Ayuub! Lanaa... huuhuuu."

Melihat mereka semakin jauh, Nyi Rasih bangkit dan kembali berjalan meski tubuhnya terasa sangat lemas dan sakit. Namun, tiba-tiba dia terpental jauh ke belakang sampai membentur pohon.

"Aaahk!" jeritnya. "Ada apa ini? Mengapa seperti ada sesuatu yang menghadang?!"

Nyi Rasih terbatuk-batuk, dia merasakan sesak di dadanya. Belum sembuh rasa sakit akibat jatuh dari jurang, kini ditambah lagi dengan sesak dan nyeri akibat benturan yang cukup keras.

"Siang tadi, bapak-bapak pencari kayu itu masih bisa mendengar suaraku, tapi kenapa Ayub dan Lana tidak bisa mendengarnya? Padahal aku sudah berteriak sangat kencang. Ya Allah..."

Di tengah kesedihannya, dia mengingat suatu hal yang membuat dadanya semakin sesak. Hal yang selalu dia abaikan, padahal dia tahu kalau hal tersebut adalah kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ya, dia kini menyesal karena belum bisa menutup aurat dengan sempurna.

"Ya Allah! Apakah ini hukuman untukku?!" teriaknya sambil menengadah. "Astaghfirullah... ampuni hambamu ini Ya Rabb. Jangan Engkau cabut nyawaku dalam keadaaan hina seperti ini."

***

Di rumah Janah, Astri sedang menangis mencemaskan keadaan Lana. Dia takut adiknya itu kenapa-kenapa. Bahkan, wanita berusia 20 tahun tersebut terus saja menyalahkan dirinya yang lalai.

"Kamu yang tenang, Tri. Ini bukan sepenuhnya salahmu, kok," ucap Janah.

"Aku takut terjadi sesuatu sama Lana, Mbak..."

Azan magrib berkumandang, Ayub dan yang lainnya baru sampai di depan rumahnya. Lana segera turun dari gendongan Ayub, lalu berhambur memeluk Astri dan Janah. Mereka menangis terisak.

"Ibu, Mbak..." lirih Lana.

"Pak RT dan bapak-bapak sekalian, terima kasih atas bantuannya, ya. Dan saya mohon bantuan sekali lagi, nanti selepas isya kita lanjut mencari ibu mertua saya," ucap Ayub.

"Iya, Yub. Sama-sama. Nanti kami pasti akan membantu," jawab Pak RT.

Setelah semua orang berlalu, Ayub pun segera mengunci pintu rumahnya. Kemudian dia bergegas mengambil wudu, disusul Janah dan Astri. Mereka salat Magrib berjamaah di rumah sederhana tersebut. Sementara Lana masih saja menangis sambil memeluk bantal guling di kamar Tedi.

"Om, main mobil-mobilan, yuk!" ajak Tedi.

"Nggak mau," jawab Lana cuek.

"Main robot-robotan, mau?"

"Om bilang nggak mau, ya nggak! Dasar nakal!" bentak Lana sambil mencubit keras pipi Tedi.

Sontak bocah berusia lima tahun tersebut pun menangis kesakitan, membuat Ayub, Janah, dan Astri terkejut. Mereka yang sedang berzikir lantas segera berlari menuju kamar Tedi.

"Ibu! Om Lana jahat. Sakit," rengek Tedi.

"Lana! Kenapa kamu jadi kasar, Le?!" bentak Janah.

Lana menunduk, lalu menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil ibunya. Melihat hal tersebut, hati Janah yang semula emosi, kini luluh dan merasa prihatin dengan kondisi adik bungsunya.

"Tri, sebaiknya kamu bawa pulang Lana. Jaga dia baik-baik," ucap Ayub kepada Astri.

"Iya, Mas. Tapi, pulangnya ke rumah aku, ya," jawab Astri.

"Iya terserah aja, asal Lana mau."

Astri pun membujuk Lana untuk pulang ke rumahnya karena khawatir sang suami meneleponnya sejak tadi. Saking terkejutnya mendengar penuturan Lana bahwa Nyi Rasih tidak ada di rumah, membuat Astri lupa untuk membawa ponsel.

Jamal, suami Astri sedang merantau ke Jakarta dan hanya pulang dua bulan sekali. Setelah dua minggu di rumah, dia pun kembali ke Ibu Kota, meninggalkan Astri sendirian di rumah. Orang tua Jamal sudah meninggal dunia sejak dia masih seusia Lana.

"Lana mau ikut Mas cari Ibu!"

"Sayang, biar Mas Ayub aja yang cari Ibu. Kamu lebih baik mengaji dan berdoa untuk keselamatan Ibu." Mendengar bujukan lembut dari sang kakak, Lana akhirnya mau ikut pulang.

Sebelum pulang, Astri mengajak Lana ke warung terlebih dahulu, untuk membeli mie instan dan telur. Dia baru ingat kalau Lana belum makan sejak tadi siang.

Begitu sampai rumah, Astri pun segera memasak mie untuk Lana.

***

Nyi Rasih duduk bersandar pada pohon jati, dia terlihat begitu kelelahan. Seharian ini tak ada sesuatu apa pun yang dapat dia makan. Tenggorokannya semakin terasa kering dan sakit, seolah sedang dicekik. Dia hampir putus asa, sebab hanya secuil tenaga yang tersisa, bahkan untuk membetulkan posisi duduk pun, dia begitu kesulitan.

"Nyai."

Nyi Rasih membuka matanya yang hampir terpejam, saat mendengar seseorang memanggil namanya.

"Minumlah," ucap Prana sambil menyodorkan batok kelapa berisi air.

"Kau!"

"Tenang, Nyai. Saya tidak akan melukaimu. Minumlah."

Meski sempat ragu, Nyi Rasih pun mengambil batok kelapa yang disodorkan Prana, lalu segera meminum airnya sampai tandas. Ajaibnya, tenaga Nyi Rasih seketika pulih, rasa sesak di dada dan sakit di sekujur tubuhnya pun mendadak berkurang.

"Apa maksudmu, Prana?! Saya telah menolong istrimu! Tapi, kenapa kamu malah mengurung saya di hutan ini?!" 

"Maafkan saya, Nyai. Waktu itu saya teramat emosi karena Nyai telah lancang menguping pembicaraan kami. Sekarang Nyai hanya bisa menunggu waktu sampai empat puluh hari," ujar Prana.

"Maksudmu?"

[BERSAMBUNG]

Apakah Nyi Rasih bisa keluar dari hutan itu?

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Note : Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2006.
close