TULAH
"Teror Berlumur Darah"
JEJAKMISTERI - Di desa ijoroyo, ramai berhembus isue adanya kunyang, hantu yang konon berasal dari praktek ilmu hitam, membuat para penduduk takut keluar malam, pengajian anak-anak desa, yang biasanya dilaksanakan sehabis magrib, kini diadakan pada sore hari, karena ibu-ibu takut anaknya menjadi korban.
Petang itu, amir dan pak darmo sedang menggarap kebun singkong, disamping desa ijoroyo, hamparan perkebunan yang luas dilereng bukit, ditanami aneka palawija dan pohon beranekaragam, disebelah timur hutan luas membentang.
Hingga lewat pukul enam tiga puluh sore, suasana sepi diiringi bunyi jangkrik merambat gelap, namun obrolan-obrolan disela aktivitas mereka belum juga usai.
"Pak, kapan bapak mau nikahin emak saya?." Tanya amir sambil mencabut cangkul pada tanah didepannya.
"Sabar mir, kebun ini kan belum laku". Jawab pak darmo enteng.
Amir meletakkan cangkulnya dan mengambil kendi, minum agak terburu-buru, sampai-sampai airnya tumpah membasahi badannya sendiri.
Sedikit gelagapan, amir kembali bertanya, "emak saya tak butuh uang pak, cukup surat, biar tak malu, terus menerus jadi gunjingan tetangga".
"Aku sama emakmu mau pindah dari desa ini mir, nah... kamu, nanti yang urus rumah penginggalan bapak mu". Jawab pak darmo.
Pak darmo pun melepas lelah, mengelap keringat dikeningnya, lalu duduk sembari mengipas-ngipas capingnya.
"Emakmu yang mau, kebetulan anakku dikota sudah sukses, dia bantu carikan rumah disana, makanya aku jual kebun ini mir, kalau ada sisa, buat modal berdagang". Kata pak darmo melanjutkan.
"Aku saja tak betah merantau pak, orang udah tua ngapain ke kota pak, bukannya lebih tentrem hidup didesa?". Tanya amir
"Asalnya aku ini pedagang sukses lo, jadi petani karena bangkrut, tempatku dikota mir, nih hapeku saja Nokia 3310". Jawab pak darmo, sambil memperlihatkan handphone dari saku celananya, yang digantung didahan pohon.
"Hape bapak tak pernah bunyi, mending beli kambing saja lebih berguna pak". Ketus amir.
Sadar handphonenya sudah bangkai, pak darmo tak menanggapi celoteh amir, malah segera menyalakan rokok.
"Katanya, kamu kasian emakmu jadi gunjingan, makanya pindah saja sekalian, akupun tak mau si sapto itu, terus terusan ikutan godain emakmu". Lanjut pak darmo.
"Sapto madu pak? Kemarin, dia baru kasih emak satu botol madu, baru kemaren". Ujar amir.
"Tuh kan!!" Imbuh pak darmo sambil membanting rokok ditangannya, matanya melotot, urat lehernya hampir keluar, terlihat sekali menahan kesal.
"Sudah magrib pak, aku mau pulang, kasian emak dirumah sendirian". Ucap amir, sambil membersihkan cangkul, parang dan memasukkan kendi minumnya kedalam karung.
Masih dengan mata melotot, pak darmo bersungut-sungut "awas saja si sapto nanti!". Ketusnya.
--------
"Tolooong.. tolong.. tolong...." sayup-sayup terdengar suara dari dalam hutan, tak lama suara itu berganti dengan teriakan-teriakan yang semakin keras, beberapa saat hingga hening seketika.
"Itu suara orang kan pak!! Ada apa ya!?". Penasaran, amir meletakkan karung berisi cangkul dan parang, tanpa pikir panjang, kemudian amir berlari kearah hutan.
"Tunggu mir, tunggu !". Pak darmo mengejar amir yang berlari didepannya.
Terengah-engah, mereka berdua berhenti dibibir hutan, suasana sudah mulai gelap, beruntung, bulan purnama bersinar sempurna, cukup membantu amir dan pak darmo mencari asal suara.
"Dari sini pak tadi suaranya pak, aku yakin" ujar amir sambil menyeka keringatnya.
Belum sempat pak darmo menjawab, kedua bola mata amir terbelalak, dikejutkan dengan tubuh tergolek lemas penuh luka, bersimbah darah dibawah pohon.
"Masya Allah!!.. pak sapto!!!" Teriak amir yang panik melihat pak sapto yang terkulai seperti mayat.
Tampak ember dan botol-botol madu milik pak sapto berantakan, madu yang dikumpulkan pak sapto tercecer dan berhamburan, bercampur darah yang mengucur dari tubuhnya.
Sementara itu, dari balik remang cahaya dan rimbunan pepohonan, sepasang mata menatap tajam, sorot mata yang menyala, seakan siap menerkam mangsa.
"Ini mesti binatang mir, biadab betul ini". Ujar pak darmo, yang meski panik berusaha mendekati tubuh pak sapto yang terkulai bersimbah darah.
"Mir masih napas dia, mir!" Teriak pak darmo, sembari mengangkat badan pak sapto.
"Bawa ke puskemas pak, ayo cepat, sebelum terlambat!". Ucap amir yang membantu membopong tubuh lemas pak sapto.
Mereka membopong tubuh pak sapto, meninggalkan hutan, menuruni lereng bukit yang gelap, bergegas menuju desa.
Sekelebat bayangan, seakan mengikuti mereka, mengawasi, kemanapun langkah mereka pergi.
-------
Dengan napas tersengal-sengal, amir dan pak darmo berhenti dibatas desa, disebuah pos kamling yang sudah tua dan tak terawat.
Dinding kusam dan atap genting bobrok berserakan, menandakan pos kamling tersebut tak lagi digunakan, suasana kian mencekam, saat suara burung kedasih terdengar dari kejauhan, seperti tawa kuntilanak yang samar-samar.
Hari mulai pekat dan suasana sepi desa ijoroyo menjadi hal yang lumrah menjelang matahari tenggelam, lampu-lampu penerangan jalan sangat minim, yang ada terpasang pun rusak tak lagi menyala.
"Mir berhenti dulu mir, bapak cape". Ucap pak darmo kepada amir, sembari melepaskan bopongan, pak darmo mengelap tangannya pada tembok pos kamling, lengketnya madu dan darah membuatnya risih.
"Mudah mudahan ada kendaraan yang lewat pak, aku juga sudah cape". Ujar amir.
"Sebentar lagi, tak sampai satu kilo itu puskesmas mir". Pak darmo menjawab.
"Bergegas pak, puskesmas jam segini tutup, kita ke pak mantri sugeng saja, lebih dekat dari sini, aduh ini pak sapto ga bangun-bangun". Ujar amir tak sabar.
"Itu masih napas dia, mir!" Jawab pak darmo.
"Ketulah dia mir, baru dalam hati aku ngedumel, sudah kena akibatnya kamu sapto!". Omel pak darmo, seraya kembali membopong pak sapto.
Tak berselang lama, digelap malam, udara dingin mulai merambat dengan cepat, menjalar pada bulu kuduk dan tubuh pak darmo.
"Tunggu mir tunggu, aku mau kencing dulu". Ucap pak darmo, kembali melepas bopongan dan segera berlari kebalik pohon.
Amir merebahkan tubuh pak sapto ditepi jalan, menopang kepalanya pada pahanya, agar darah yang sudah mengental dari leher dan keningnya, tak lagi banyak keluar.
"Pak darmo". Amir memanggil.
"Pak darmoooo". Panggil amir yang mulai tak sabar menunggu.
Amir meletakkan kepala pak sapto pelan-pelan, dialaskan kaos oblongnya yang dibuntel buntel sebagai bantal untuk pak sapto.
Sambil melirik ke kiri dan kanan, amir kembali memanggil pak darmo. "Pak darmo.. pak darmo lama betul".
"Pakkk darmooo!!!!!! Astagfirullahhhhhh!!!!". Teriak amir sejadi-jadinya. Mata amir terbelalak, keringat dingin mengucur deras, seketika lututnya lemas.
Dalam remang cahaya bulan, disaksikannya tubuh pak darmo terbujur kaku, bersimbah darah, lehernya hampir putus, terbaring dengan mata melotot dan lidah menjulur keluar, terkulai dibawah pohon.
Ketakutan menggerogoti amir, menjalar keseluruh tubuhnya yang mendadak lemas tak berdaya, tak ada waktu bertanya, apa atau siapa yang begitu sadis menghabisi nyawa pak darmo.
Bruk!!! Sebuah benda tumpul memukul tengkuk amir, seketika robohlah tubuh amir yang sudah lemas tersebut, mencium tanah.
Sebelum pingsan, samar-samar amir melihat sesosok makhluk berlumur darah, merah pekat dengan mata menyala, mahluk itu memandangnya, seolah mengenali amir.
Mahluk itu, kemudian tanpa ragu sedikitpun, menghujamkan parang, parang milik amir yang ditinggalkan di kebun, menghujam ke arah dada pak sapto, yang sudah sekarat.
Amir pun terkulai dipinggir jalan, ditelan kegelapan malam itu, sampai tak sadar lagi, apa yang selanjutnya terjadi.
---------
Di dalam ruangan sempit dengan jendela yang dibiarkan tertutup, pagi itu, amir terduduk dibangku plastik, menatap sosok petugas berseragam coklat didepannya.
Secara seksama amir membaca, nama yang tertera diatas saku seragam tersebut, tak terbayangkan olehnya, akan mengalami proses interogasi oleh petugas, seperti yang pernah amir saksikan didalam film-film.
"Saya AKP suryono, biasa dipanggil kapten suryo". Ucap sosok tersebut mengenalkan diri.
"Kamu amir anak pak diro?" Melanjutkan
"Betul pak". Jawab amir lirih.
"Kamu ngerti siapa yang bunuh orang tua bernama darmo dan sapto?". Dengan nada tinggi kapten suryo bertanya.
"Tak tahu pak". Jawab Amir pelan.
"Bener itu!!" Setengah membentak, kapten suryo kali ini bertanya.
"Bener pak". Jawab amir tanpa ragu.
"Parang itu punya kamu?" Tanya kapten suryo, sambil menunjuk pada parang berlumur darah yang sudah mengering, diatas lantai.
"Be be betul pak". Kali ini amir sangat ketakutan.
Kapten suryo menghela nafas, dia kemudian duduk didepan amir, dengan gaya sedikit santai, namun masih bernada tegas dia berkata. "Kamu memang punya alasan membenci orang-orang tua itu, tapi bukan berarti kamu boleh membunuh mereka!!".
"Mir sebelum bapak kamu hilang"... Lanjut kapten suryo.
"Bunuh diri pak". Potong Amir
"Bunuh diri kenapa, ngerti kamu!?". Tanya kapten suryo, seperti tak senang ucapannya dipotong Amir.
"Kata emak, semenjak saya merantau dulu, bapak sakit tak bisa kerja, dia jadi gila pak". Jawab amir yang sudah tak berani menatap kapten suryo.
"Semprull kamu!!! Hardik kapten suryo.
Suara gaduh dari ruang interogasi, terdengar sampai keluar, dan nampaknya hal itu disadari oleh kapten suryo, maka diapun sedikit menurunkan nada bicaranya.
"Setahun lalu, bapakmu ada laporan kesini, ngadu, kalau kebunnya diserobot pak darmo, dia bawa bukti ini". Terang kapten Suryo.
Kapten Suryo berdiri, memperlihatkan surat tanah yang masih berupa girik pada amir, surat tanah milik bapaknya, yang akan dijual oleh calon bapaknya.
"Sehari sebelum hilang, bapakmu kemari lagi". Lanjut kapten Suryo.
Kapten Suryo menghela nafas panjang, meletakan surat tanah milik pak diro, ayah amir, keatas meja.
"Dia melaporkan pak sapto, sama emakmu, karena dicurigai berbuat zinah". Sambung kapten Suryo.
Seketika, Kantor Polsek ijoroyo menjadi hening, amir tak mampu berkata apa-apa, wajahnya pucat pasi, pikirannya menerawang, pada makhluk merah darah di malam itu, seakan berusaha mengingat wajah bapaknya sendiri, pada emak, apakah betul bisa berbuat sebejad itu dengan pak sapto pencari madu, lalu pak darmo yang sudah seperti ayahnya sendiri, ternyata seorang pencuri, mulut amir seperti kaku, kemudian air matanya pun tumpah.
Suara obrolan dan lalu lalang petugas serta hiruk pikuk warga, diiringi suara berisik mesin tik, bersahut nada telepon berdering-dering dikantor Polsek ijoroyo, tak lagi dihirau amir, yang kini membeku pucat pasi.
-------
Bau anyir yang tidak sedap menyengat, mengisi seluruh ruangan disebuah kamar, sebuah kamar dirumah amir.
Emak menggeliat meronta-ronta, berusaha melepaskan ikatan tali ditangan, leher, mulut dan kakinya, matanya tak kuasa menahan air mata, terpancar ketakutan yang luar biasa.
Sesosok makhluk berlumur darah, berseloroh kepada emak. "Madu ini manis nyaiii.. warnanya merah.. ssssttttt".
Kringg.. kringg.. kringg..., bunyi ringtone lawas terdengar dari dalam rumah tersebut.
Klikk!.. seseorang terdengar mengangkat telepon, "kang mas, si amir sudah aku urus ya, aman semuanya"
***Maut Dibalik Jeruji Besi***
Sore itu, lembayung menaungi sebuah mobil tahanan yang melintas dari arah desa Ijoroyo menuju kota Bestari, tepat berhenti pada sebuah bangunan penjara dengan papan nama bertuliskan Lembaga Permasyarakatan 1A Kota Bestari.
Amir turun dari mobil tersebut dengan tangan yang terborgol, tampak beberapa petugas penjara menyambutnya dengan dingin.
Amir pun melangkah masuk ke dalam komplek penjara, langkahnya berhenti disebuah sel yang redup cahaya dengan tembok yang kusam.
"Kasus apa koe, sampe bisa masuk kesini?" Sapa seseorang yang berbaring santai diatas dipan.
"Bunuh wong" jawab Amir singkat.
"Piro?" Orang tersebut pun bangkit dari dipan dan mendekati Amir.
"Dua" jawab Amir yang mengambil duduk pada dipan disebelahnya.
"Hebat tenan kamu!!" Ucap orang tersebut sambil mengangkat kedua jempolnya.
"Siapa namamu? Namaku Asman" ucap Pak Asman, seraya menjulurkan tangannya hendak berkenalan.
"Aku Amir" ucap Amir yang menyambut tangan Pak Asman.
Pak Asman duduk pada dipan dan kembali berbicara pada Amir, "baru hari ini, aku satu sel dengan seorang pembunuh."
"Kamu kena kasus apa, Mas?" Tanya Amir, sambil membaringkan tubuhnya.
"Rampok, maling rumah orang kaya" jawab Pak Asman bangga.
"Rumah siapa yang kamu satroni, Mas?" Kembali Amir bertanya.
Pak Asman pun menjawab dengan lugas, "Rumah polisi!!."
"Apes tenan nasibmu Mas" ucap Amir.
Pak Asman mengangkat kakinya keatas dipan, lalu menunjukkan luka tembak yang dideritanya pada Amir.
"Aku bersyukur masih hidup, lihat kalo bolong ini ada dikepalaku" ucap Pak Asman.
"Lah kamu kenapa bunuh wong" tanya Pak Asman.
"Aku lupa Mas" Amir menjawab sekenanya.
"Kadang saat kalap kita tak bisa berpikir jernih, tapi bunuh sampe dua orang masa sampeyan lupa" ucap Pak Asman dengan heran.
"Aku tak mau ngomongin itu, Mas" Amir menjawab dengan nada serius.
"Yo wis" ucap Pak Asman mengakhiri.
Tak berselang lama, petugas sipir penjara datang membawa sebuah kantung kresek hitam, kemudian diapun berkata pada Amir, "Hei anak baru, ini ada kiriman dari keluargamu."
"Iya Pak" Amir menjawab seraya berdiri mendekat.
Dalam benak Amir berkecamuk berbagai pertanyaan, karena sejak mendekam dipolsek dan bolak balik ke pengadilan, emak tidak pernah datang menemuinya bahkan tak ada kabar berita dari emak selamanya ini.
"Malah bengong! Lekas ini ambil!" Bentak petugas itu mengagetkan Amir.
"Terimakasih Pak, apa orang yang ngirim bisa saya temui?" Amir bertanya sambil menerima kiriman berupa kresek hitam tersebut.
"Orangnya udah pergi!" Jawab petugas ketus.
"Emak saya, masa tak mau ketemu saya Pak" tanya Amir pada petugas.
"Emak ndas mu! Itu lelaki seumuran kamu yang kasih" jawab petugas sipir penjara sambil berlalu pergi.
"Nggih Pak" jawab Amir, seraya mengeluarkan sebungkus nasi dari dalam kresek hitam.
"Kamu enak, masih ada yang inget kamu dipenjara" celoteh Pak Asman yang mendekat penasaran, matanya melirik kiriman yang diterima oleh Amir.
"Waduh semur jengkol Mir, mantap tenan" kata Pak Asman yang melihat Amir membuka nasi bungkus.
"Buat Mas saja, aku sedang tak nafsu makan" ucap Amir seraya memberikan nasi bungkus tersebut kepada Pak Asman.
"Aku mana bisa nolak rejeki, tak ada rejeki saja aku rampok!" Kelakar Pak Asman sambil mulai memakan keping demi keping jengkol.
Pak Asman makan dengan lahapnya, sesekali melihat pada Amir yang tengah termenung menatap keluar kamar sel, dengan kedua tangannya menggenggam jeruji besi begitu eratnya.
*****
Cahaya mentari sudah menyentuh lantai penjara, dari kisi-kisi jendela berteralis jeruji besi.
Pagi itu, suasana mulai riuh dengan derik pintu-pintu sel yang terbuka, seluruh tawanan keluar sel masing-masing untuk mengikuti senam kesehatan jasmani.
"Pak Asman, bangun Pak" ucap Amir yang melihat Pak Asman masih tertidur dengan posisi tengkurap.
Amir meletakkan handuk pada paku yang tertancap didalam sel setelah selesai mandi, diapun menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Pak Asman yang belum juga bangun dari tidurnya.
"Pak Asmaann!?" Kali ini amir memberanikan diri menepuk-nepuk tubuh Pak Asman.
Amir membalik tubuh Pak Asman yang sudah terbujur kaku, tampak wajah yang pucat pasi dengan mulut berbusa dengan kedua bola mata yang melotot, seperti hendak meloncat keluar.
Amir tak dapat menahan rasa ngeri dan panik, saat ternyata Pak Asman sudah tidak bernyawa.
"Tolong... Tolong!!!!" Teriak Amir seketika itu juga.
Petugas sipir penjara yang tergesa-gesa datang, langsung melihat pada Pak Asman yang sudah tak bernyawa, kemudian membuka pintu penjara dan berteriak-teriak memanggil petugas lainnya.
Seketika tubuh Amir lemas, matanya menatap kosong pada pintu jeruji besi yang terbuka oleh petugas sipir. Dalam hatinya penuh rasa ketakutan pada rentetan kematian yang seperti tak berhenti mengejar dirinya.
Siang itu, diruang kantor dalam komplek penjara, petugas sipir penjara membawa seorang petugas kepolisian datang bersamanya.
Amir sudah terduduk pada kursi kayu dikantor itu, menatap tamu asing yang datang khusus untuk menemuinya.
"Amir, saya Kapten Trisno" ucap tamu tersebut memperkenalkan diri.
"Kamu kenal siapa yang kirim kamu nasi bungkus?" Kapten Trisno bertanya pada Amir.
"Tidak pak tidak" jawab Amir sambil menggelengkan kepala.
Kapten Trisno berdiri didepan amir dan kembali bertanya, "kenapa kamu memberikan makanan itu pada Asman?"
Amir pun menjawab dengan lirih "saya sedang tak nafsu makan, Pak."
Tiba-tiba, datang seorang petugas polisi lain yang masuk kedalam ruangan itu dan Kapten Trisno terlihat berbisik-bisik dengan orang tersebut, lalu diapun melangkah dengan tergesa-gesa keluar kantor tersebut.
Petugas sipir penjara yang masih berada didalam ruangan, meraih tangan Amir dan membawanya serta sambil berkata, "ayo, kamu balik ke sel."
*****
"Pak Lurah saya minta jangan mempersulit saya dan tamu saya!?" Dengan nada sedikit membentak, Kapten Suryo berbicara sambil membanting map berwarna biru muda pada meja disebuah ruang tamu.
Dalam ruang tamu didalam yang rumah besar ditengah desa Ijoroyo, tampak pak Lurah, Kapten Suryo dan seorang tamu dengan jas hitam tengah bercengkerama.
"Saya tidak mempersulit Pak, tapi surat tanah ini ahli warisnya masih hidup" jawab Pak Lurah, tangannya gemetar namun masih berusaha tenang.
"Amir sudah dihukum seumur hidup, sama saja sudah mati Pak, emaknya pun sudah tewas gantung diri" ucap Kapten Suryo sambil tangannya mengambil kopi diatas meja.
Pak Lurah mengambil map berwarna biru muda dan berkata, "tapi surat tanah ini sudah atas nama Pak Darmo, dan mendiang masih ada anak dikota, namanya Marwan."
Suasana hening sejenak, dalam hati Kapten Suryo mengumpat, "Darmo memang pantas mati! Pengkhianat!."
Tamu berjas hitam memecah keheningan dengan batuk kecilnya, lalu dia berbisik pada Kapten Suryo, "saya sudah dikejar investor Mas, mau tunggu berapa lama lagi."
"Tak lama Mas, kapan saya dan Kang Mas saya tidak komitmen sama sampeyan" ucap Kapten Suryo pelan.
Kapten Suryo dan tamunya pun keluar dari rumah Pak Lurah, terlihat Feroza merah marun dan mobil sedan Mercedes berwarna gading meninggalkan rumah tersebut.
*****
Disebuah pemukiman padat ditengah kota, terlihat Kapten Trisno tengah sibuk mengejar seseorang yang berlari kearah lorong sempit, diantara rumah-rumah papan beratap seng yang sudah berkarat.
"Mau kabur kemana kamu!!!" Kapten Trisno berteriak sambil melayangkan tendangan dengan keras, tepat menghantam dada orang tersebut.
"Ampun Pak, ampun" orang itu pun tumbang kena tendang.
Kapten Trisno berusaha membalik tubuh orang yang terkapar kena tendang dan berkata, "kamu orang yang saya cari!!."
"Jangan Pak, saya Marwan Pak, tolong Pak.. saya punya anak dan istri.. kasihan Pak," Marwan yang tersungkur mengiba pada Kapten Trisno.
"Lantas kenapa kamu tak mikir! Coba coba ngeracunin wong dalam penjara!" Bentak Kapten Trisno, sambil menindih dan memborgol tangan Marwan yang sudah tertelungkup ditanah.
"Orang itu sudah membunuh bapak saya" ucap Marwan terengah-engah tak berdaya.
"Bapak mu?!" Tak melepaskan tindihannya, Kapten Trisno bertanya pada Marwan.
"Mbah Darmo bapak saya" ucapnya pelan.
*****
Malam itu suasana sangat sepi, hanya sesekali terdengar bunyi laju kendaraan yang melintas didepan jalan, terlihat sebuah mobil Feroza merah marun terparkir didepan kantor Polres Bestari.
"Tumben Ndan kemari, ada angin apa?" Sapa petugas jaga yang melihat Kapten Suryo memasuki Polres Bestari.
"Kangen sama kantor lama, kamu jaga sendirian?" ucap Kapten Suryo sambil mendekati petugas jaga tersebut.
"Maklum Ndan." Petugas jaga pun menjawab singkat.
"Kemana komandamu Trisno?" Tanya Kapten Suryo.
"Pak Trisno habis kurungin orang, pergi cari makan katanya" jawab petugas jaga.
Kapten Suryo menyalakan rokok ditangannya dan kembali bertanya, "siapa yang dia tangkap? Loh ko belum diproses pengadilan?"
"Namanya Marwan bin Darmo, baru malam ini dia masuk Ndan" petugas jaga menjelaskan.
"Kasus apa?" Tanya Kapten Suryo.
"Mboh Ndan". Ucap petugas jaga sambil menggelengkan kepala.
"Yowis, saya balik kanan dulu, selamat bertugas." Kapten Suryo pun berlalu keluar pintu, meninggalkan petugas jaga tersebut.
"Siap Ndan" ucap petugas itu sambil menyeruput kopi.
*****
Seseorang masuk pada ruang tahanan polres Bestari mengendap-endap dan berdiri mematung didepan sel tempat Marwan tengah dikurung.
Sesosok pria dengan baju berwarna hitam dan bertopi hitam yang dipakainya, membuat wajah sosok tersebut tidak terlihat dengan jelas.
"Siapa kamu!?" Tanya Marwan, kemudian bangkit mendekati jeruji besi.
"Tak perlu tahu, kamu mau bebas bukan?" Ucap sosok tersebut seperti berbisik.
"Mau!" jawab Marwan.
"Kamu mau orang yang bunuh bapakmu mati?" Lebih jelas suara sosok tersebut bertanya.
Marwan semakin dekat dengan jeruji besi yang mengurungnya dalam tahanan, diapun kembali menjawab "Mau! Iya aku mau!."
"Tandatangani surat ini" ucap sosok tersebut sambil menyodorkan sepucuk kertas pada Marwan.
"Surat apa ini, saya tak ngerti!" ucap Marwan yang hendak mengambil kertas tersebut.
"Tandatangani saja Marwan!" Ucap sosok itu seraya menarik kepala Marwan dengan kasar.
Tangan yang kekar menarik kepala Marwan hingga menempelkan wajahnya pada jeruji besi, mulutnya disumpal dengan kain putih seperti kain kafan dan akhirnya Marwan pun dengan terpaksa menandatangani sebuah surat yang belum sempat dia baca.
Tak lama setelah kejadian itu, petugas jaga kantor polres Bestari yang sempat berbincang dengan Kapten Suryo, tengah membawa gelas kosong untuk kembali menyeduh kopi, saat dia melintas pada ruang tahanan, seketika itu dia mendapati Marwan yang sudah tewas bersimbah darah, dengan kain putih melilit kuat pada lehernya, tergeletak layu dan tergolek pada jeruji besi.
Darah Marwan yang keluar dari lehernya, membanjiri seisi ruang tahanan hingga membasahi sepasang sepatu petugas jaga yang terpaku seperti membeku bersama mayat Marwan dimalam yang dingin itu.
SEKIAN
[Tunggu kisah-kisah jejak misteri selanjutnya.]