Nyi Ratu BLORONG (Part 6)

JEJAKMISTERI - Sebut saja Retno untuk panggilan istri Sarji, ia masih sedih dimalam kematian ibu mertuanya. Dari hubungan kekeluargaan, beberapa kerabat ikut menginap dirumahnya, saudara yang menginap dirumah Sarji ikut menenangkan kondisi Retno. Saat itu kondisi Retno sangat terpukul karena kehilangan ibu mertua secara tiba-tiba, rumah mereka yang mewah kini diisi dengan kesedihannya. Dari sorot mata yang sayu dia kelihatan memikirkan kedepan tentang rumahnya akan menjadi sepi tanpa mertua dan anak.
Pagi menjelang, tamu dari jauh yang baru tahu mulai berdatangan. Sedang keluarga yang menginap ikut membantu untuk acara keagamaan dimalam hari. Hari terus berjalan sesuai arahnya, Dihari ketiga kematian ibu mertuanya Retno, ia tidur ditemani mbak Sri. Karena Retno keluarga yang menginap sudah pulang semua. Kebetulan mbak Sri ini juga adalah tetangga belakang rumah, istrinya Udin. Mereka selain tetangga dekat, juga sudah kenal lama sebelum berumah tangga.
Malam hari, Setelah acara selesai mereka membereskan rumah dan tidur diwaktu tidak terlalu malam sekitar jam sepuluh. Retno dan Sri serta ketiga anaknya tidur berjajar diruang tengah beralaskan kasur yang tipis. Sedangkan Udin dan Sarji sendiri setelah acara keagamaan langsung keluar berdua kegudang, karena ada banyak barang yang datang dan harus masuk stok malam itu juga.
Sekitar jam satu dini hari, Retno terbangun dari tidurnya. Ia mendengar ada yang memanggil-manggil namanya dari belakang rumah. "Ndukkk...nduk...nduk Retno... iki ibuk karo bapak" (nak..nak...nak Retno..ini ibu sama bapak). Panggilan ini berulang kali sehingga Retno yang mulai jengah dengan suara-suara panggilan ini, dengan kepala yang masih kantuk ia memberanikan diri berjalan keruang dapur dan mencari asal suara tersebut.
Ia memandangai semua sudut ruang dapur terlebih dahulu dengan bantuan cahaya kuning dari belakang ruang dapur, sampai akhirnya Retno menyibak pelan tirai dapur yang menutupi jendela bersekat kaca bening. Saat ia melihat keluar tak ada apapun dibelakang rumahnya hanya sorot lampu kuning dari atas plafond. Dengan perasaan jengkel Ia memutuskan kembali untuk tidur, tapi saat Retno baru berjalan ditengah dapur suara panggilan itu muncul lagi. Kali ini Retno sudah hilang rasa takutnya, ia memutar arah dan berjalan kembali mendekat ke jendela. Tangan Retno dengan cepat menyibak tirai ini kedua kali, saat terbuka tirai itu ia mendapati kedua mertuanya sudah berdiri tepat didepannya menjadi pocong dengan kainnya yang lusuh dan compang camping semua. Mereka berdua membawa bau busuk yang menembus kaca dengan mukanya penuh luka sayatan.
"Ya...Allah... astagfirullah... bapak... ibuk...!!! ucap spontan Retno serta tangan kananya mengelus dada. Saat Retno masih beradu pandang mematung bersamaan dengan itu, bibir kedua mertuanya berucap bersamaan "elengno bojomu nduk, mentolone gawe bapak ibuk koyo ngene" (ingatkan suamimu nak, teganya membuat bapak ibu menjadi seperti ini). Selesai mereka bicara tubuhnya Retno masih tidak bisa digerakkan lagi karena tertegun, dengan cepat rasa takutnya menjalar keseluruh tubuh membuat ia bisa menggerakkan tubuhnya.
Saat badannya merasa bisa digerakkan sedikit, Retno langsung berteriak histeris dan menggeleng-gelengkan kepala "bapak... ibuk.... Tolongg... tolong... tolong... enek bapak ibuk neng ngguri..." (Tolong.. tolong.. tolong.. enek bapak ibuk dibelakang). Sri tadinya tidur terlelap dengan ketiga buah hatinya, langsung terbangun kaget dan berjingkat cepat tubuhnya. Ia berlari menuju dapur dan langsung meraih tubuh Retno yang mengejang dan menyeretnya untuk duduk serta memeluknya dengan erat dilantai "Tenang Mbak".. (huu...huuu...huuu, bapak...ibuk!!! tangis Histeris Retno mulai pecah dipelukan Sri). Ketiga anak Sri juga ikut terbangun, mereka berjalan kedapur dan beridiri dipintu memandangi Retno yang masih menangis histeris ketakutan.
Malam itu Retno dibawa keruang tengah tapi dalam kondisi masih menangis sesenggukan sampai menjelang subuh, istri dan anak-anak Udin tak ada yang kembali tidur. Dalam tangis sesenggukan Retno, ia menceritakan pesan mertuanya kepada Sri dan secara tak langsung anak-anak Udin juga ikut mendengarkan. Beberapa jam kemudian Udin dan Sarji tiba, mereka langsung memarkirkan motornya di halaman rumah Sarji. Mendengar tangisan dari dalam rumah, mereka berdua bergegas untuk masuk kedalam rumah. Sarji berjalan masuk duluan dengan membuka pintu yang terkunci dan menyalakan lampu diruang tamu, sedang Udin ikut berjalan dibelakang Sarji.
Saat Sarji mendapati istrinya menangis ia mendekat dan mengambil alih pelukan dari tangan Sri. "sak jane enek opo bu ? wes to buk, ojok nangis terus, Jam sak mene kok podo gak turu.". (Sebenarnya ada apa bu? sudahlah bu, jangan nangis terus. Jam segini kok pada belum tidur?). Retno masih terus menangis sesenggukan tak menjawab apapun pertanyaan dari Sarji, hanya gelengan kepala serta lirikan mata Sri yang bergerak diruang tengah ditujukan kepada Udin. Sri menandakan ajakan untuk Udin segera pulang kerumah.
Udin yang melihat kode dari istrinya langsung mengajak semua anggotanya pulang kerumah, Sri berharap Sarji bisa menenangkan istrinya sendiri dan mendapatkan informasi darinya, tentang apa yang terjadi jika Retno sudah baikkan.
Dirumah Sarji dan Retno kini mereka hanya tinggal berdua, saat pagi sinar terik matahari mulai masuk kedalam ruang tamunya. Mereka berdua duduk lama dalam keheningan dan pelukan, sinar pagi menembus celah dan kaca dirumah Sarji yang menghangatkan tubuh membuat perasaan Retno ingin memulai bicara serius kepada suaminya tentang kejadian semalam..
"Pak sampean sak iki jujur karo aku, sak jene opo seng sampean delekne soko aku?" (pak anda sekarang jujur sama saya, sebenarnya apa yang anda sembunyikan dari saya). Tanya Retno sambil menghapus air matanya
"Gak enek seng tak delekno bu," (tidak ada yang saya sembunyikan bu). Jawab Sarji menatap istrinya serius
"Jujuro pak!!! (jujurlah pak) Bentak Retno yang semakin menipis kepercayaannya kepada Sarji.
"Temenan buk!!! karepmu piye, nek gak percoyo yo wes!!!" (beneran buk!!! Maumu bagaimana, kalau tidak percaya ya sudah!!!) Bentak Sarji dengan kasar
Merasa pertanyaan Retno buntu, dia memutuskan untuk diam hanya memikirkan hal yang paling mengganjal didalam hatinya. Sementara itu, Retno membiarkan saja keras kepala suaminya dari pada ribut-ribut dipagi hari. Karena ia sendiri sadar suaminya sebenarnya wataknya pemarah, dan ia tahu juga bahwa Sarji baru pulang belum sempat istirahat sama sekali. Setelah emosi keduanya mereda, Sarji langsung pergi kekamar untuk istirahat. Retno sendiri langsung menyibukkan diri dengan Sri mengurusi kelengkapan untuk acara rutin nanti malam.
Setelah siang hari, Sarji pergi entah kemana tanpa pamit kepada istrinya. Retno sendiri yang belum memperoleh jawaban dari Sarji dan melihat kondisi rumah sudah sepi ia langsung menuju kamar khusus suaminya. Tapi kamar itu selalu terkunci dari luar dan kuncinya selalu dibawa kemanapun sama Sarji. Sedikit memutar otak, istri Sarji meminta istri Udin untuk membantunya. Mereka membawa tangga bambu lewat samping rumah, Sedang Sri disuruh untuk berjaga didepan rumahnya, takut kalau Sarji tiba-tiba datang.
Dengan rasa penasaran yang tak terbendung, Retno secara perlahan naik anak tangga. Saat kepalanya sampai didepan jendela kecil satu-satunya, ia bisa langsung melihat isi kamar itu. Meskipun hanya sedikit sumber cahaya dari jendela itu yang masuk melewati kaca bening berselip atas dan bawah. Perlahan mata Retno mulai mengamati seluruh isi dan sudut kamar khusus suaminya, saat matanya melihat kebawah ranjang yang memakai selambu transparan betapa terkejutnya Retno.
Ia melihat ular hitam sebesar paha orang dewasa sedang melingkar menggunung di atas ranjang, "Masya allah"... (gumam Retno). Tiba-tiba ular didalam kamar itu seperti mendengar ada yang mengawasinya. Saat Retno menoleh kearah Sri sebentar untuk melihat kondisi didepan, dengan cepat kepala ular hitam langsung mengarahkan pandangannya kemuka istri Sarji.
Kepala ular bergerak keatas dengan menjulurkan lidahnya dan desisan kecilnya dari mulutnya, saat Retno mengembalikan pandangannya untuk melihat isi dalam kamar. Ia dikagetkan kepala ular yang sudah berada didepan wajahnya, dengan lidah yang keluar masuk dari mulut ular besar itu. Seakan mulut ular besar mau memakan Retno hidup-hidup. Waktu mulutnya sudah terbuka lebar didepannya, dengan cepat ia turun sampai akhirnya Retno terpeleset dan jatuh dari tengah anak tangga, "buuugggg"... "aduhhh... yuuu" kata Retno dengan memegangi pinggangnya. Sri yang berdiri didepan rumah Sarji mendengar dan melihat Retno terjatuh, ia langsung berlari menuju Retno, dengan cepat Sri membantunya untuk duduk.
"Enek opo to mbak, kok iso tibo ngene. Seng ati-ati mbak" (ada apa to mbak, kok bisa jatuh begini. Yang hati-hati mbak) Tanya Sri sambil membersihkan baju Retno dan merapikannya.
"Wes ayo cepet neng omahmu ae mbak" (sudah ayo cepat kerumah kamu saja mbak) Jawab Retno yang masih meringis kesakitan
Tangan Sri memegangi lingkar pinggang Retno dan membantu Retno berdiri pelan. Meksi langkah Retno tertatih saat dipapah Sri, ia tetap berjalan dengan sisa kekuatanya. Sekian menit mereka berdua sudah sampai dirumah Sri, pertama Sri mendudukan Retno diruang tamunya dan memberi minum.
Sri sendiri kembali ke rumah Retno untuk mengambil tangga sendirian. Waktu Sampai dirumahnya sendiri ia melihat nafas dan ketakutan Retno sudah mereda, ia mulai menceritakan apa yang ia lihat dikamar khusus suaminya barusan. Tapi Sri hanya mendengarkan dan tak begitu percaya dengan hal-hal semacam itu.
"Bojoku wes gak jujur mbak nang aku, wes aku bar ngene tak muleh neng omae wong tuoku dewe. Babahno mbak masio ibukku wong ra due, tapi ayem rasane neng omae ibukku." (suamiku sudah tidak jujur kepadaku, sudah aku habis ini pulang kerumah orang tuaku sendiri. Biarkan mbak meskipun ibukku orang tidak punya, tapi tentram rasanya dirumah ibukku). Terang Retno
"Opo gak ngenteni bojomu sek mbak?" (apa tidak nunggu suamimu dulu mbak). Pinta Sri
"Wes gak usah aku tak budal sak iki ae mba, engko nek mas Sarji takon sampean jawab ae gak ngerti" (sudah tidak perlu, saya berangkat sekarang saja mbak. Nanti kalau mas Sarji tanya anda jawab saja tidak tahu). Jelas Retno
"Tapi mbak!!! Kata Sri
"Wes mbak tulungono aku, dunyone bojoku iku gak bener ketok'ane" (sudahlah mbak tolongin saya, harta suamiku itu tidak benar kelihatannya). Tegas Retno
Sri hanya tertunduk diam, dan menyetujui permintaan Retno. Dengan kondisi masih sakit, ia pinjam sepeda kecilnya Udin yang berkarat untuk pergi kerumah orang tuanya Retno didesa sebelah. Saat mau berangkat perutnya terasa sangat sakit seperti mau datang bulan,,,"aduhh mbak" kata Retno yang baru memegangi sepeda Udin, serta tangan kirinya memegangi erat perutnya!!! Seketika itu juga Ia mulai gemetar dan lemas. Dengan cepat Sri memarkirkan sepedanya dan membantu Retno untuk duduk kembali dirumah Sri. Keinginan pulangnya yang sudah bulat akhirnya tertunda, sampai akhirnya Retno berbaring dikamar Udin.
Sambil menunggu dan merawat Retno, Sri memberikan nasehat agar tetap membicarakan baik-baik masalahnya dengan Sarji dahulu dan jangan asal menuduh suaminya yang bukan-bukan. Sri berpikir tidak baik jika Retno membawa masalah rumah tangganya kerumah orang tuanya, pastinya akan menambah beban kepada orang tuanya sebab ibu Retno sendiri sudah tua.
Sore hari Udin dan Sarji pulang, mereka berdua langsung masuk rumah dan menanyakan keberadaan Retno. Sri yang keluar dari dapur belum sampai menjawab, Sarji yang mendengar rintihan kesakitan wanita dari dalam kamar Udin langsung masuk. Saat itu juga Sarji mencoba menenangkan istrinya sebentar, dan meminta Udin untuk membawa kendaraan untuk mengantar istrinya periksa ke dokter.
Sehabis surya tenggelam diufuk barat Sarji sendiri mengantar istrinya kedokter, sementara Udin dirumah diberitahu oleh istrinya kejadian tadi pagi. Tapi Udin berpesan kepada istrinya untuk tidak ikut campur rumah tangga orang lain, dan menyuruh istrinya tidak langsung mempercayai cerita dari Retno sebelum tahu dengan mata kepalanya sendiri.
Sedangkan kegiatan keagamaan dirumah Sarji, Udin dan istrinya yang mengambil alih beserta dua kerabat Sarji. Setelah acara keagamaan selesai sekitar tiga puluh menit Sarji dengan Retno pulang dari berobat, mereka berdua langsung menuju kamar. Udin yang masih duduk-duduk dirumah Sarji langsung ikut menemui Retno bersama istrinya didalam kamar. Sementara itu saat Sarji kebelakang Udin juga memberikan do'a kepada Retno agar terhindar dari penampakan mertuanya lagi, dan memintanya untuk lebih tenang.
Hari demi hari, Retno masih sakit dirumahnya dan tak pernah lagi menceritakan kejadian melihat ular itu lagi kepada siapapun. Berulang kali ia sudah dibawa kedokter karena perutnya semakin mengeras dan membesar. Hanya rasa sakit yang ia rasa, karena diagnosa selama itu hasilnya juga nihil. Sewaktu ditinggal Sarji keluar, Retno akan pergi kerumah Sri meski sakit. Retno hanya untuk menumpang istirahat dan mencari teman, karena waktu itu ia benar-benar kesepian dirumah yang besar tapi menakutkan baginya.
Hari ke 35 sejak kematian ibu Sarji, dipagi hari yang menjadi kegiatan baru bagi istri Udin untuk merawat dan menemani Retno dirumahnya. Sedang Sarji pagi-pagi sudah berangkat ke tokonya, Udin sendiri ke sawah dan kebun Sarji terlebih dahulu untuk mengontrol para pekerjanya sebelum ke Toko.
Dari pagi Sarji datang ketoko langsung duduk sendirian ruang administrasi dibelakang, ia duduk termenung sambil menunggu temannya datang. Toko bangunan Sarji terbilang cukup luas. Letak toko Sarji menyatu dengan gudang dibelakangnya, disisi belakang toko ada ruangan untuk administrasi. Jarak ruang ini dan depan toko sekitar tiga puluh meteran, jadi pembicaraan diruang ini tak akan terdengar dari pegawai yang berada didepan. Biasanya ruangan ini ditempati Udin untuk merekap keuangan dari semua laba usaha Sarji, tapi siang itu tidak demikian.
Saat Sarji didalam ruang yang sudah menunggu, satu jam kemudian Ronald datang keruangannya sendirian. Seperti biasa Ronald datang menagih uangnya kepada Sarji untuk barang yang sudah terjual. Hari itu memang toko Sarji tidak seberapa ramai, hanya tiga sampai orang empat pengunjung. Dari kesemua pengunjung sudah dilayani oleh pegawai Sarji yang berada didepan.
Udin baru datang ketoko bangunan, toko Sarji juga yang sampai saat itu digunakan untuk pusat mengontrol semua usaha. Setelah ia memarkirkan motor didepan, ia melihat semua pegawai duduk-duduk dan melayani pembeli didepan semua. Udin berfirasat dibelakang sudah ada Sarji dan Ronald, karena rasa sungkan hal itu menjadi lumrah dilakukan para pegawainya.
Udin langsung berjalan menuju ruang admin dibelakang, Dalam perjalan kebelakang sapa dan senyum dari semua pegawai Sarji sebagian terlontar kepadanya. Disaat langkah kakinya sudah dekat dengan ruang admin, Udin terhenti seketika karena mendengar suara agak meninggi dan marah dari dalam ruangan.
"Brakkk" suara pukulan yang mengenai meja didalam ruang admin
"Jancoookk... kon asu nald, mentolo kon numbalno Erna!!!" (jancook.. kon asu nald, tega kamu menunmbalkan erna). Bentak kasar Sarji
"Sepurane ji, aku kepeksan" (maaf Ji, aku terpaksa). Jawa Ronald.
"Awakmu ancen asu nald, mbiyen koen janji nang aku Erna bakal kok senengno tapi nyatane malah kon tumbalno... cookkk" (kamu memang anjing nald, dulu kamu janji ke aku erna bakal kok senengno tapi kenyataanya malah kamu tumbalkan.. cokkk". Kata Sarji yang mengeras dan memegangi kerah baju Ronald.
"Piye maneh ji, soale Nyi ratu jaluk'e Erna!!! Aku dewe yo gak due pilihan liyo waktu iku? terus sak marine Erna mati, aku gak oleh karo nyi ratu rabi maneh. Aku dikongkon nggur ngelayani wonge tok" (gimana lagi ji, masalahnya Nyi ratu mintanya Erna. Aku sendiri ya tidak punya pilihan lain waktu itu! Terus setelah erna mati, aku tidak boleh sama Nyi ratu nikah lagi. Aku disuruh cuma melayani orangnya saja). Jawab Ronald yang bingung
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya