Nyi Ratu BLORONG (Part 5)

JEJAKMISTERI - Hingga pagi menjelang udin masih duduk terjaga diatas sajadah dan tetap terdiam dalam kamarnya, padahal istri udin sendiri sudah sibuk didapur sehabis subuh untuk menyiapkan sarapan dan bersih-bersih rumah. Ketiga anak udin juga sudah selesai mandi dan sudah siap pergi bersekolah. Rumah udin semakin sepi ketika anak-anaknya pergi bersekolah, Kelambu kamar udin tersibak dan terbuka oleh tangannya. Langkah kaki Udin keluar menuju belakang rumah, dalam perjalanannya melewati dapur ia tidak memperhatikan apapun yang berada dirumah. Udin langsung duduk dikursi kayu dibawah pohon keres dengan tatapan kosong dan perasaan gelisah, tak berapa lama sarji dari belakang rumahnya datang menghampirinya seperti biasa.
“Enek opo Din” (ada apa Din). Tanya Sarji yang mengagetkan Udin ditengah lamunannya
“Gak enek opo-opo Ji” (tidak ada apa-apa Ji). Jawab Udin yang mulai reda rasa gelisahnya
“Gak biasane awakmu koyok ngene”(tidak biasanya kamu seperti ini). Sergah Sarji yang tak percaya atas gerak-gerik dan ekspersi wajah Udin.
Lama terdiam, Perlahan bibir Udin mulai menceritakan mimpinya semalam kepada Sarji, sedangkan Sarji yang duduk disampingnya mengamati dan memperhatikan penjelasan Udin dengan serius. Diakhir cerita Udin menoleh kepada Sarji yang masih disampingnya, “piye ji menurutmu?” (gimana Ji menurut kamu). Tanya Udin serius. “Yo anggepen ae kembange turu Din, toh bapakku ya wes gak enek, ojok diangen-angen terus.” (ya anggap saja bunganya tidur Din, toh bapakku sudah tidak ada, jangan diingat-ingat terus” Udin kembali diam karena jawaban yang didapat sama dengan jawaban istrinya.
Merasa belum puas dan kecewa atas jawaban yang didapat pagi hari, Udin tanpa pamit kepada Sarji serta istrinya ia langsung pergi ketemannya yang lain untuk menanyakan pekerjaan baru. Ia bermaksud mencari pekerjaan dengan tujuan utamanya adalah untuk menutup hutang yang sudah membelit pedih dan menghilangkan kenangan mimpi bersama Pakdhe Karto.
Tiga hari selanjutnya, akhirnya Udin dipanggil temannya untuk bekerja meski sebagai kuli pasar. Meski penghasilannya masih dibilang kurang dari cukup dalam sehari, tetapi ia jalani dari pada tidak ada pemasukan sama sekali.
Kegiatan keagamaan dirumah sarji terus berlanjut sampai tujuh hari. Hari ketujuh Seperti biasa disore hari selepas dari pasar, sekitar jam lima Udin membantu mempersiapkan perlengkapan dan ikut acara keagamaan selepas maghrib. Malam hari ketujuh udin pulang larut lagi, ia langsung tidur di kamarnya bersama istrinya.
Sekitar jam tiga dini hari, ia terbangun karena ia sudah tak tahan ingin buang air kecil. Kaki udin berjalan dengan cepat menuju kamar mandi yang berada dibelakang rumah, letaknya kamar mandinya kebetulan terpisah dari rumah utama. Udin berjalan melewati dapur dan membuka daun pintu dengan cepat, ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar sama sekali karena sudah tak tahan lagi menahan untuk buang air kecil. Selesai dari kamar mandi dengan kesadarannya sudah pulih seratus persen, ia berjalan masuk kerumah dengan pelan, tak sengaja kepalanya menoleh kearah pohon keres yang menjadi tempat faforitnya selama ini. Dari sorot sinar kuning belakang rumah udin dan sarji saling bertemu, nampak sosok pakdhe Karto duduk sendirian dengan wajah menghitam hidung masih tersumpal kapas, bibir pucat dan kain kafannya sangat lusuh kecoklatan.
Keadaan pakdhe Karto yang mulai berdiri menatap Udin sudah menjadi pocong dan kondisinya diseluruh tubuhnya terlihat seperti habis tercabik-cabik sesuatu yang tajam. Seluruh kain kafannya terkoyak dengan kain yang lusuh serta mengeluarkan darah, bau amis dan busuk. Melihat kondisi Pakdhe Karto yang menyeramkan, Udin langsung berlari cepat kembali kerumahnya. “Braakkk” (suara pintu dapur yang dibanting udin tanpa menguncinya kembali) ia berlari secepat kuda serta membaca do’a sebisa-bisanya. Sampai dikamar, sempat mengunci daun pintu kamarnya yang terbuat dari triplek. Sampai dikamar Udin langsung membantingkan tubuhnya diranjang. Tubuh udin tidur tertelungkup, ikut berdesakan dengan istri dan anaknya tanpa ada kata yang terucap.
Istri dan anak-anak udin pun tak ada yang bangun atas desakan tubuh udin, hanya gerakan tak sadar anaknya yang memeluknya dari samping. Samar-samar dari belakang rumah Udin ada yang memanggil “Diiiinnnn…. Udiiiiinnnnnnn….. Udinnnnnn…” iki pakDhe Le…., tulungono pakdhe leee” Udinpun tak menghiraukan panggilan itu. Karena ia sadar pakdhe Karto sudah meninggal, dalam ketakutan sendirian ia langsung menuntup telinganya dengan bantal rapat-rapat. Meski rasa sesak didada dan bernafas sulit ia tetap membaca do’a atau kalimat apapun sebisanya karena takut, “Braakkkk…Nggikkk…ngikkk” (Suara pintu dapur udin yang terbanting dan melambai karena belum terkunci). Hembusan angin yang kencang dari dapurnya tiba-tiba ikut masuk kedalam kamar udin melewati sela-sela pintu kamarnya. Udin yang merasakan angin itu merasa makin ketakutan, dan ia tetap berusaha tidur serta membaca do’a sebisanya sampai akhirnya ia tertidur dalam ketakutan sejadi-jadinya.
Pagi harinya Udin bangun paling akhir sampai subuhpun terlewat, Udin bangun langsung berjalan kesetiap sudut rumah mencari dan memeriksa keberadaan istrinya. Sampai akhirnya Udin menemukan istrinya berjalan masuk dari depan rumah, istrinya udin habis mengantar anaknya sekolah dan belanja diwarung. Saat istrinya baru berjalan melewati ruang tamu udin langsung menghampiri istrinya dan menceritakan yang dia alami tadi malam, belum selesai udin bercerita. “Alah pak isuk-isuk cerito demit pakdhe karto maneh, wes to ndang mangkat makaryo sek kono. Wes awan iki” (alah pak, pagi-pagi cerita hantu pakdhe karto lagi, sudah cepet berangkat kerja dulu sana pak. Sudah siang ini) Jawab istri udin yang kesal dan mengomel tak jelas. Pada dasarnya istri udin tidak mempercayai hal-hal semacam itu dalam hidupnya. Dengan sedikit amarah istrinya udin memintanya untuk banyak-banyak berdo’a.
Tanpa banyak kata Udin langsung mandi dan berkemas, tanpa sarapan pagi ia langsung menuju pasar. Kuli panggul waktu itu memang banyak saingan jadi untuk hari itu udin tidak mendapat jatah untuk membawa barang, karena udin juga berangkatnya sudah siang. Dengan langkah sedih Udin bukannya pulang malah pergi kewarung langganan, ia kembali mencatat hutangnya dan tak perduli berapa banyak lagi hutangnya sudah menumpuk. Sedang para pengunjung yang lain tahu akan keadaan udin memandangnya dengan tatapan sinis. Tapi udin tak memperdulikan bisikan dan pandangan miring terhadapanya, karena disisi lain pikiran udin sudah berat dan kalut ia hanya ingin sejenak melepas kepenatan dalam hidupnya diwarung kesayangan.
Sesaat baru duduk didalam warung kakaknya yang sebagai moden datang yang lewat depan warung langsung menghampirinya, karena tahu ada adiknya yang duduk menyendiri didalam. Setelah bersalaman dan menanyakan kabar tanpa basa basi Udin langsung menceritakan kejadian yang dialami semalam. Udin siang itu yang masih sedikit takut langsung diberi do’a sama moden agar tidak diganggu lagi sama hantu pak dhe Karto. Dengan kesibukan moden saat itu, ia tidak bisa lama-lama menemani adiknya diwarung. Siang itu juga moden yang sudah ada janji dengan warga memutuskan beranjak pergi meninggalkan Udin duduk sendirian.
Sekian lama dia duduk selonjoran sendirian dan bermain angan-angannya bersama rokoknya sisa semalam tinggal separuh. Waktu siang beranjak ke sore hari, teman karibnya datang menyusulnya kewarung, udin masih terdiam sendiri dalam lamunannya. Tiba-tiba Udin dikagetkan tepukan tangan dipundaknya “lapo awakmu din ngelamun ae” (kenapa kamu din melamun saja). Tanya Sarji yang ikut duduk disampingnya… “eh awakmu Ji, ngagetno ae!!!” (eh kamu Ji, mengagetkan saja). Jawab Udin yang mulai membenarkan posisi duduknya dari selonjoran. “teko endi awakmu” (dari mana kamu) tanya Udin. “teko golek’i awakmu din” (dari nyariin kamu din). Jawab sarji. “ancen awakmu nek gak ketemu aku sedino ae kangen yo” (memang kamu kalau tidak ketemu saya sehari saja kangen ya). Goda Udin dengan kesal. “hahaha iso ae koen iki din” (hahaha bisa saja kamu ini Din). Jawab sarji yang sudah bahagia.
Obrolan mereka pun berlanjut, Sarji tahu apa yang dipikirkan Udin. “wes tenang ae nak butuh duit ngomong, ojok koyok ngene Din” (sudah tenang saja, kalau butuh uang bicara saja. Jangan seperti ini). Pinta Sarji. “Yo Ji”, (ya Ji). Jawab Udin. Sarji sore itu menghibur udin, candaan sarji yang jenaka membuat Udin sendiri cukup terhibur dan melupakan beban hidupnya. Tapi disaat kebersamaan yang akrab itu, Udin enggan untuk menceritakan kejadian semalam kepada Sarji. Khawatir Sarji akan berburuk sangka kepadanya, selanjutnya Udin dan Sarji melanjutkan canda tawa sampai sore hari. Menjelang magrib mereka pulang bersama kerumah, tak lupa Sarji yang sudah punya uang langsung membayar makan dan minumnya Udin. Saat sampai dirumah tak lupa Sarji membantu Udin lagi dengan memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan keluarga Udin.
Hari berganti minggu, Udin sudah tidak mendapat gangguan lagi dari hantu pakdhe Karto. Bulan purnama kedua datang menyambut. Sarji melakukan hal seperti malam purnama pertama dengan Nyi Ratu Blorong. Paginya juga ia pergi menjual hasil jerih payahnya tetap bersama Udin, setelah mendapatkan uang Sarji juga memberikan bagian kepada Udin meski tambah sedikit bagiannya.
Hari terus berjalan, disaat mejelang empat puluh harinya pakdhe Karto, pagi yang masih buta Ronald datang kerumah Sarji. Seperti biasa ia bertamu kepada kawan seperguruan dan menagih uang kepada sarji, si tuan rumah sendiripun sudah menyiapkan sejumlah uang untuk melunasi hutangnya kepada Ronald. Bahkan dalam dua bulan Sarji sudah mampu melunasi hutang-hutangnya ditempat lain. Pagi itu Transaksi berjalan lancar, pembayaran hutang diterima Ronald dengan senang hati. Ronald sendiri mengajak bercengkrama Sarji diruang tamunya setelah melihat temannya sudah berhasil, kedekatan mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.
Matahari mulai meninggi, sinarnya ikut masuk menerangi ruang tamu sarji. Ronald melihat kedatangan satu persatu tamu mulai masuk kerumah sarji, semakin siang semakin banyak yang datang, dengan rasa semakin penasaran ia bertanya kepada sarji.
“Enek opo Ji, kok wong-wong podo moro.” (ada apa Ji, kok orang-orang pada berdatangan). Tanya Ronald
“Oooh, wong-wong iku ape rewang gae acara patang puluh dinoe bapak” (ooohh, orang-orang itu mau membantu buat acara empat puluh harinya bapak). Jawab sarji dengan tenang
“Loh bapakmu kenek opo ji” (loh bapak kamu kena apa Ji). Tanya Ronald penasaran
“Bapakku mati Nald” (bapakku meninggal Nald). Jawab sarji mulai sedih
“Kok gak kondo kaet mau awakmu,” (kok tidak bialang dari tadi kamu). Tegas ronald
“Halah gae opo nald, penting awakmu sak iki wes ngerti dewe lak uwes?” (halah buat apa nald, penting kamu sekarang sudah tahu sendiri kan sudah beres). Jawab Sarji cuek
“Podo Ji bojoku mari mati, wingi lagek pitung dinane” (sama Ji, istriku habis meninggal. Kemarin habis tujuh harinya”. Kata Ronald serta menekuk wajah sedihnya kebawah
“Mosok nald?” (masak Nald). Tanya sarji kaget
“Erna bojomu iku mati,,??? kenek opo Nald? (Erna istrimu itu meninggal??? Kena apa nald?) cerocos sarji serius
“Kecelakaan Ji, !!! jawab Ronald singkat
Selanjutnya Ronald menjelaskan Panjang lebar dan detail, perihal kronologi istrinya Ronald meninggal. Sedangkan sarji menyambung cerita Ronald dengan cerita bapaknya sendiri yang meninggal. Mereka berdua merasa sedih karena ada kesamaan dalam nasib yang hampir bersamaan. Tapi ada sesuatu hal dari Sarji dan Ronald yang masing-masing disembunyikan, merekapun tak mau terbuka seutuhnya tentang masalah kematian anggota keluarganya. Diakhir pertemuan, Ronald menawarkkan kerjasama kepada sarji untuk usaha. Perlahan Ronald membujuk Sarji melakukan hal itu agar kekayaan sarji yang didapat secara singkat dari Nyi Ratu tidak menimbulkan kecurigaan dimata masyarakat.
Sarji yang habis mendengar tawaran Ronald tanpa pikir panjang mengiyakan dan menyetujui kerjasama tersebut, ia berpikir ada benarnya juga pendapat dan tawaran Ronald ini. Mereka berdua sepakat kerjasama akan dimulai minggu depan, karena sarji sendiri sudah punya gambaran toko dan gudang yang siap disewa.
Besok paginya Sarji mengajak Udin pergi untuk menemui serta bernegosiasi dengan pemilik toko dan gudang, setelah bertemu dirumah pemiliknya perdebatan panjang tawar menawar sewa antara Sarji dan pemilik sangat lama. Sampai akhirnya sore hari kesepaktan tercapai, Udin yang masih kerja kuli panggul dipasar ditunjuk oleh sarji untuk mengelola usaha tersebut.
Dengan senang hati Udin menerimanya dan pensiun jadi kuli panggul hari itu juga, keesokan hari Udin mulai membersihkan toko dan gudang dibantu para pekerja lain. Sarji sendiri pergi bersama Ronald untuk belanja mengisi toko dan gudangnya. Sebagian isi toko Sarji barangnya dipasok oleh Ronald, mulai besi, semen, cat dan barang yang bersifat fabrikasi. Tak begitu lama toko Sarji seminggu kemudian dibuka. Diawal pembukaan langsung ramai pengunjung karena toko Sarji terbilang besar dan lengkap. Karena juga didaerah Sarji masih jarang toko bangunan yang serba lengkap serta tempanya yang terbilang strategis. Usaha yang pada awalnya hanya sebagai topeng dengan berjalannya waktu kini benar-benar berjalan diluar dugaannya.
Bulan demi bulan, purnama demi purnama telah dilewati Sarji. Pundi-pundi Kekayaannya semakin meningkat pesat, kebahagiaan ditahun pertama keluarga sarji semakin terlihat. Mulai dari merenovasi rumahnya dan membuat garasi kendaraan pribadinya yang besar serta mewah. Sarji juga membeli kendaraan roda dua, roda empat dan roda enam, begitu juga tanah-tanahnya semakin bertambah. Sarji juga membeli beberapa sawah didaerahnya, dengan bertambahnya semua itu Udin selaku orang kepercayaannya tetap mengelola semua harta sarji. Menumpuknya beban udin, gaji yang ia dapat juga semakin besar sampai akhirnya ia bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Dengan kesuksesan Sarji sikap Udin selama itu juga tidak menaruh kecurigaan apapun kepadanya, karena setahu Udin selama ini Sarji masih bertingkah normal. Udin beranggapan bahwa sarji selama itu hanya melakukan amalan yang dikasih Mbah dirjo.
Sedangkan Kematian bapaknya Sarji sudah terlupakan oleh harta yang datang tiba-tiba serta melimpah. Tapi ibunya masih belum bisa melupakan pak dhe Karto, dan istri sarji juga sampai saat itu juga masih belum dikaruniai anak.
Selepas bulan purnama ketiga belas, ibu sarji atau bu dhe karto tidak seperti biasanya. Pagi hari selepas sholat subuh ia memasak didapur sendirian. Budhe karto masak dengan semangat, entah apa yang menjadikannya demikian pagi itu. Pertama budhe menanak nasi terlebih dahulu, sambil menunggu nasi matang, budhe karto mulai memasak sayur. Budhe karto mengambil sayur sop yang sudah tersedia di almari dapur atas ke lantai dekat pintu, perlahan dia duduk dibawah bersiap mengupas kulit kentang. Ia dengan perlahan dan hati-hati mengupas, memotong wortel dan kentang kecil-kecil di atas talenan kayu, ditengah kegiatannya memotong semua sayuran yang hampir selesai ada ular kecil hitam mendatanginya dari bawah sela-sela pintu disampingnya.
Spontan bu dhe karto yang kebetulan melihatnya, dengan cepat mendatangi ular kecil itu. budhe karto yang sudah membawa pisau melekat digenggamannya, tanpa berpikir panjang dia langsung mencincangnya jadi kecil-kecil seperti potongan sayuran. Melihat ular kecil sudah mati budhe karto mengumpulkan potongan tubuh ular itu dengan sapu lidi, dengan segera ia memasukkan ke kantong plastik hitam dan membuang dibelakang rumah. Tepatnya sampah ular itu masuk direrimbunan semak-semak rumput yang agak tinggi. Tapi tak berapa lama potongan-potongan ular memanjang membentuk kepala dan ekor kembali, dari sekian banyak bagian potongan akhirnya menjadi ular kecil yang utuh seperti sedia kala. Ular yang kembali hidup mendatangi budhe karto dengan cepat didapur.
Disaat budhe karto yang berdiri didapur mencuci sayuran, tak sadar dibawah kaki bedhe karto telah berkumpul banyak ular, diwaktu kepalanya menunduk budhe karto kaget bukan kepalang. Karena hal yang aneh terjadi didepan matanya begitu banyak ular dilantai, ia tertegun sejenak melihat kejadian ini. Masih dalam diamnya budeh karto, ular-ular kecil yang sudah dibawahnya dengan cepat kepalanya naik sedikit untuk menggigit kakinya. Sadar ular itu akan mengingit, budhe karto berlari kedepan dan berteriak ”Tolong.. tolong… Ji… enek ulo akeh… (tolong..tolong Ji ada banyak ular) tapi apa daya dalam pelariannya kedepan tak sadar kaki budhe karto sudah terpatuk beberapa ular.
Sarji yang kaget, langsung keluar kamar dan menghampiri ibunya. “enek opo buk” (ada apa bu). tanya Sarji dengan memegangi kedua bahu ibunya. “Iku le, enek ulo uakeh nguber aku” (itu nak banyak ular mengejar aku). Jawab ibunya menatap sarji serta berjingkrak-jingkrak karena panik dan takut.
Sarji melihat dibelakang ibunya tidak ada apapun, dan ia kembali menatap ibunya. “endi buk, gak enek opo-opo ngunu” ( mana buk, tidak ada apa-apa gitu). Jawabnya dengan meyakinkan dan menenangkan ibunya. Budhe karto ikut melihat dibelakangnya ternyata ular-ular kecil tadi sudah tidak ada, saat ia perasaan budhe karto mulai tenang. Tapi ia merasakan sakit dikedua kakinya seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Tapi sikilku kok loro ngene le” (tapi kakiku kok sakit begini le). Kata ibunya yang memegangi kaki kanannya. “sek buk sampean lungguh sek neng kursi, tak delok’ane disek” (sebentar bu, anda duduk dulu dikursi. Saya lihat dulu). Perintah Sarji
Sarji kemudian berjongkok untuk melihat kedua kaki ibunya yang dirasa sakit, dia melihat dengan cermat dan perlahan. Sekian kali diamati dengan mata sarji sangat dekat, Kedua Kaki ibunya tidak ada bekas apapun, semua kulit kakinya terlihat normal. Dalam lubuk hatinya teringat kejadian akan hal dialami oleh bapaknya satu tahun yang lalu, dalam kebimbangannya ia langsung memutuskan untuk mengajak ibunya dokter terbaik dikotanya. Karena semakin lama ibunya merasa semakin merasakan sakit di kakinya, sampai rasa sakit itu menjalar keseluruh tubuhnya.
Dalam kondisi kesakitan, ibunya dibawa dengan cepat oleh Sarji dan istrinya kedokter. Waktu ditempat dokter ibunya diperiksa dan langsung disuntik, perlahan sakit ibunya sarji mereda untuk sementara. Dalam kondisi ibu sarji yang sudah tenang dan merasa baikkan mereka kembali membawa ibunya pulang kerumah. Sampai dirumah Ibunya dibaringkan ditempat tidur kamarnya, dan dijaga oleh istri sarji. Sementara sarji pergi ke toko dan sawah untuk sekedar mengawasi serta melihat hasil kerja Udin dilapangan.
Hari menjelang malam, Udin dan Sarji pulang bersama. Kedatangan mereka berdua dikagetkan dengan banyak orang yang sudah memenuhi rumah sarji, dan tangis pilu dari beberapa tetangga serta kerabat sarji yang sudah berada dirumahnya. Sarji masuk perlahan kerumahnya ditengah kerumunan warga, beberapa warga yang dan kerabat yang sudah berjajar dialam rumahnya ia lewati serta beberapa kerabatnya menepuk pundak sarji dengan mengatakan “seng sabar Ji” (yang sabar Ji). Setelah tiba dikamar ibunya ia melihat ibunya sudah tiada lagi, sedangkan istrinya tetap setia menangis disamping mayat ibu sarji. Singkat kata, malam itu sekitar jam sebelas malam ibu sarji langsung dikebumikan.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya