Nyi Ratu BLORONG (Part 4)

JEJAKMISTERI - Belakang rumah, tepat di bawah pohon keres. Udin dipagi hari yang cerah sudah duduk-duduk santai karena tidak ada kerjaan, sementara temannya sarji datang menghampirinya.
“Din ayok melu aku” (din ayo ikut aku). Ajak Sarji
“Nang ndi ji, isuk-isuk ngene” (kemana Ji, pagi-pagi begini). Jawab udin
“Wes talah, pokok’e melu aku” (sudahlah, pokonya ikut aku). Paksa Sarji
“Males ji nek gak jelas” (males Ji, kalau tidak jelas). Jawab udin lagi
“Iki din ayo ngedol emas” (ini din, ayo jual emas) Kata sarji dengan menunjukkan isi tasnya
“Luh temenan iki ji” (Luh, beneran ini Ji). Jawab udin dengan mata terbelalak karena kaget
“Mangkane ayo cepetan..” (makanya ayo cepetan). Kata Sarji
“yo ayo.. tapi jok lali ji bagianku” (Ya.. ayo tapi jangan lupa Ji bagianku).
“iyooo..yo din tenang ae.” (iyaaa..ya din tenang saja). Kata Sarji
Pagi itu mereka bergegas berangkat kejuragan toko emas yang berada dikota, mereka membawa sepeda onthel penuh karat. Karena Sepeda itu kendaraan satu-satunya yang dimiliki udin, dan Sarji dibonceng dibelakangnya. Jarak ditempuh memang jauh, sampai nafas udin tersengal-sengal meski jalan sebagian sudah beraspal. Sampai ditempat sang juragan, pembeli emas itu tidak mempertanyakan dan curiga dari mana asal emas tersebut. Juragan emas denga cepat juga langsung menghitung dan membayar kepada sarji dengan uang cash.
Sarji yang senang bukan kepalang langsung memasukkan uangnya di tas ranselnya. Dirasa transaksi sudah selesai ia mengajak udin cepat kembali pulang, ditengah perjalanan ia melihat ShowRoom sepeda motor. Merasa sudah punya uang akhirnya ia mampir dan membelikan motor dari hasil penjualan emasnya.
Sarji pulang dengan membawa motor perdananya, sedang udin tetap mengayuh sepedanya sampai rumah. Udin yang merasa dapat bagian, setelah menaruh sepedanya dirumah ia langsung kerumah sarji. Udin dengan cepat langsung duduk diruang tamu Sarji, sambil menunggu temannya keluar dari kamar. Waktu pintu kamar terbuka terlihat wajah sarji dan senyumnya bahagia mengembang…
“Ji bagianku endi” (Ji bagianku mana). Tanya udin yang sudah tidak sabar.
“oohhh…Yo sek din, entenono diluk” (oooh yo sebentar din, tunggu dulu). Jawab Sarji
Sarji kembali masuk kedalam kamar mengambil uang dan keluar memberikan uang kepada udin. Tapi bagiannya setelah dipotong hutang kemarin. Dengan wajah sumringah udin berjalan cepat kembali pulang. Ditengah perjalanan ia melihat ayah Sarji, sebut saja pakde Karto. Ia sedang meringis kesakitan memegangi kakinya dibawah pohon keres. Udin pun menghampirinya…
“Kengeng nopo dhe” (kena apa dhe) tanya udin
“Sikilku dicokot ulo din” (kakiku digigit ular din). Jawab pak de karto yang menahan sakit
“Loh kok iso dhe, dicokot ten pundi” (loh kok bisa dhe, digigit dimana). Tanya udin sambil melihat kaki pak dhe karto
“Pas mlaku liwat ngguri omahku mau din, ndek suket-suket sebelah kui” (waktu jalan lewat belakang rumahku tadi din, di rumput-rumput sebelah itu) jawab pak dhe Karto dengan menunjukkan tempat dimana ia digigit ular pertama kali
“Oohh pundi dhe seng dicokot” (ooohhh mana dhe yang digigit) tanya udin sambil melihat kaki pakdhe karto udin mengamati pelan-pelan dan seksama. Tapi tidak ada bekas apapun dikaki kananya.
“Kok mboten wonten bekase cokotane ulo dhe” (kok tidak ada bekase gigitannya ular dhe). Jawab udin yang masih memegangi kaki kanannya pak dhe karto
“Yo embuh din, aku mau langsung jingkat kaget pas dicokot. Terus aku sekilas delok ulone langsung mlayu cepet ngidul, tapi durung sempet nguber ulone uwes ngilang.” (ya tidak tahu din, aku tadi langsung berjingkat kaget waktu digigit. Terus aku sekilas melihat ularnya lari cepat keselatan, tapi belum sempat mengejar ularnya sudah hilang). Jawab pak dhe Karto
Menantu pakdhe karto dari belakang rumah sarji muncul, matanya memandang mertuanya kesakitan dengan cepat dia mendatangi udin dan pakdhe karto. Saat istri sarji sampai ditempat pakde karto kesakitan, udin langsung menceritakan kejadinnya. Sore itu istri sarji langsung menuntun mertuanya masuk ke dalam rumah, dan selang beberapa saat sarji yang mengetahui hal ini, ia langsung mengantarkan ayahnya berobat kedokter.
Udinpun langsung pulang kerumah dengan membawa uang banyak, ia langsung memberikan uang itu kepada istrinya. Hari bahagia buat udin malam itu, sedikit hutang bisa tertutup. Dan ketiga anaknya bisa makan enak pagi harinya.
Pagi kenyataan yang tidak sesuai harapan udin, teriakan dan tangis histeris terdengar kencang dari belakang rumahnya tepatnya dari rumah Sarji. Udin yang sudah bangun langsung berlari bersama istri dan anak-anaknya menuju rumah sarji. Kenyataan pahit yang ia lihat, pak dhe karto sudah terbaring membujur kaku dikamarnya. Ibu dan istri sarji menangis disampingnya, sedang sarji hanya tertunduk lesu dipintu kamar.
“Kaet kapan gak enek’e bapakmu ji” (mulai kapan tidak adanya bapak kamu ji) tanya udin
“Gak ngerti aku din, mau bengi wonge langsung turu sak wise ngombe obat soko dokter. Tapi ibuk bar subuh langsung mbengok lan nangis nyeluk-nyelok bapak soko kamar” (tidak tahu aku din, tadi malam orangnya langsung tidur sehabis minum obat dari dokter. Tapi ibu habis subuh sudah langsung berteriak serta menangis memanggil-manggil bapak dari dalam kamar). Jelas Sarji dengan mata berkaca-kaca
“Seng sabar ji” (yang sabar Ji). Kata udin dengan menepuk-nepuk pundak sarji
“Iyo din” Jawab sarji
“Din tolong celokno masmu moden, cek ndang cepet diramut bapakku iki” (din tolong panggilkan kakakmu yang pemuka agama, biar cepat dirawat bapakku ini). Pinta Sarji
Udin hanya menggangguk pelan, ia langsung bergegas menuju pemuka agama dikampungnya (moden) yang berada diujung pertigaan desa. Setelah sampai dan memberitahukan kepada moden, udin mengumumkan berita duka kematian ayahnya Sarji dimasjid.
Jam delapan pagi semua warga dan sanak saudara pak dhe karto berdatangan kerumah sarji, warga mulai memenuhi sekitar rumah sarji karena ayahnya yang meninggal tiba-tiba. Tapi kematian pakdhe karto waktu itu masih dirasa wajar oleh masyarakat, hal itu masih umum disekitar lingkungan kampung Sarji. Jam sembilan pagi jenazah pak dhe Karto dimandikan, selanjutnya dirawat dan siap untuk disholati. Saat jenazah masihdirumah sarji banyak warga ikut mensholatinya, sebab Pakdhe karto sendiri didesa terkenal orangnya baik dan rajin beribadah, jadi wajar banyak yang ikut mensholatinya.
Setengah jam kemudian para pria dan sebagian keluarga sarji mengantarkan jenazah pakdhe karto ke pemakaman untuk menguburkannya. Beberapa saat acara pemakaman selesai, udin dan kakaknya moden berjalan keluar pemakan..
“Cak, aku tak melu meguru neng nggone sarji yo” (kak, aku tak ikut berguru di tempatnya sarji ya?) pinta udin
“Neng ndi iku din” (dimana din). Tanya Moden
“Neng gunung kidul” (di gunung selatan). Jawab udin
“Ora usah aneh-aneh din, awakmu adekku siji-sijine. Kon lak yo wes melu meguru nang kiai sofyan se, opo durung cukup” (tidak usah aneh-aneh din, kamu adekku satu-satunya. Kamu kan ya sudah ikut berguru di kiai sofyan, apa belum cukup). Jelas moden
“piye cak yo, aku yo pengen sugeh terus nutup cepet utang-utangku” (gimana ka ya, aku ya ingin kaya terus menutup cepat hutag-hutangku). Jelas udin memelas
“Sabar din, kalem-kalem ae. Kerjo seng temen, awas ! ora usah aneh-aneh awakmu” (sabar din, pelan-pelan saja. Kerja yan bener, Awas!!! Jangan macam-macam kamu). Ancam moden
“Yo wes lah cak nek ngunu, tapi seumpomo aku melu kerjo neng nggone sarji gak popo to cak” (ya sudahlah ka kalau begitu, tapi seumapama aku ikut kerja di tempat sarji tidak apa-apa kan kak). Tawar Udin
“Yo rapopo din, penting kerjo tenanan tur halal” (ya gak papa din, yang penting kerja beneran dan halal). Kata moden
“Ya wes, nak ngunu. Suwun cak.” (ya sudah kak, kalau begitu terima kasih). Jawab udin pasrah karena harus patuh kepada sang kakaknya.
Hari itu ditutup dengan kesedihan mendalam bagi keluarga sarji, udin dan moden pulang kerumah masing-masing. Seperti pada umumnya setelah ada orang meninggal, dikampung sehabis magrib acara keagamaan diadakan dirumah duka.
Malam itu udin membantu keluarga Sarji dengan mulai menyiapkan perlengkapan acara sampai beres-beres selepas acara keagamaan. Serta duduk sejenak ikut menemani dan menemui tamu-tamu sarji yang datang dimalam hari. Sekitar jam dua belas malam ia pulang untuk tidur, dikarenakan ketiga anaknya tidur satu ranjang bersama istrinya udin memutuskan untuk tidur sendirian. Udin merebahkan tubuhnya dikursi bambu panjang yang berada diruang tamu.
Malam itu, udin yang baru beberapa jam memejamkan mata bermimpi bertemu pak dhe karto. Udin melihat pak dhe karto sendirian ditanah lapang yang luas dan sepi, ia yang masih terbungkus kain kafan sedang dililit ular hitam dan besar, suara rintihan dan jerit kesakitan seakan memenuhi padang yang luas itu…
“Diiinnn tolongen pak dhe le… Aduuuhhh… krekkkkk,,, huhu,, huuu” (Diiinnn tolongin pakdhe le) Pinta dan tangis pak dhe karto yang menyedihkan, dan suara tulang-tulangnya seperti remuk dililit dengan kencang oleh ular hitam besar itu…
Udin hanya terdiam, dia tak bisa melakukan apapun. Seluruh tubuhnya terasa tak bisa bergerak sedikitpun. Jantungnya mulai berdegup kencang serta bibirnya bergetar… pakdheeee….. pak dheeee… pakdheeee… tangannya mencoba bergerak dan kakinya juga ikut mulai berjalan, perlahan tangan udin mau meraih tubuh pak dhe karto yang terlilit ular besar…
“Mas.. mas.. mas.. tangi… tangi… tangi?” (mas.. mas.. mas.. bangun… bangun.. bangun) suara istri udin yang membangunkannya. Udin langsung membuka mata dan duduk, keringat dingin mulai mengucur dari sela-sela kulitnya. Nafasnya masih ngos-ngosan perlahan ditenangkan istrinya. Udin hanya duduk termenung dengan tatapan kosong kebawah, ia merasa pak dhe karto sangat nyata dilihatnya barusan. Istrinya udin berjalan kedapur mengambil segelas iar dan memberikan kepada udin. Tangan istrinya mulai meminumkan dengan pelan air putih itu sampai habis.
“Sak jane ngipi opo pak, kok mbengok-mbengok nyeluk pakdhe.. pakdhe… sampe kaget aku pak” ( sebenarnya mimpi apa pak, kok sampai berteriak-teriak panggil Pakdhe… Pakdhe, sampai kaget aku pak). Tanya istri udin
“Aku ngipi pakdhe karto digubet ulo guede buk” (aku mimpi pak dhe karto dililit ular besar bu). Kata udin dengan raut muka sedih dan takut
“Seng temen pak” (yang bener pak). Sahut istri udin
“Iyo buk,” [iya buk] (setelah ketegangan dan kesadaran udin pulih ia menceritakan mimpinya secara detail kepada istrinya, tapi istrinya menanggapi dengan tenang).
“Kembange turu iku pak, seng akeh istighfar sampean pak, nyebut pak” (bunganya tidur itu pak, yang banyak istighfar pak, nyebut pak). Pinta istri udin
Malam itu udin istrinya duduk berdua diruang tamunya, beberapa saat kemudian udin disuruh istrinya untuk sholat malam. Udin pun mengikuti perintah istrinya, waktu sholat udin masih teringat jelas dalam pikirannya tentang permintaan pakdhe karto.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya