Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nyi Ratu BLORONG (Part 3)


JEJAKMISTERI - Hari masih siang, tapi hawa dingin digunung masih tetap sejuk menusuk tulang. Sarji dan kedua temannya langsung berkemas untuk segera pulang, setelah bersalaman dan memberi amplop kepada mbah Dirjo mereka langsung turun kebawah menuju mobil. Sampai diparkiran bawah, mobil Ronald tetap diisi tiga orang, Perjalanan dimulai dari jalan berbatu yang menggoyangkan isi didalamnya, sampai goyangan mereda dijalan beraspal. Ketiga orang yang berada dalam mobil masih terdiam, belum ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka. Sarji duduk terdiam di jok depan, tatapannya kosong kedepan. Dalam lamunannya harapan kaya raya dan bahagia sarji mulai tertanam diotaknya. Tapi kenyataannya waktu itu, sarji masih miskin. Lambat laun dari tempat duduknya yang berada di samping kemudi ia mulai tersadar akan kondisinya yang terkini, tatapan matanya mulai berisi…

(Tinnnn…tinnnn...tinnn,,, Ciiiittttt) suara klakson dan rem mobil Ronald mendadak membuyarkan lamunan sarji dan udin, mobil seketika dihentikan dengan spontan. Bersamaan dengan itu semua badan dan kepala yang berada didalam mobil terayun kedepan.

“Enek opo nald (ada apa nald)” Tanya sarji dengan tatapan kaget terhenyak kepada Ronald, sedangkan udin hanya setengah berdiri berjongkok kedepan ikut melihat tanpa berkata apapun.

“Onok…, iku mau koyok ulo gede liwat (ada… itu tadi kayak ular bersar lewat)” Jawab Ronald tetap memandangi jalan beraspal yang sepi, tanpa ada mahluk apapun

“Lha endi sak iki ulone (Lha mana sekarang ularnya)” Tanya Sarji mulai memperhatikan jalan didepannya

“Embuh, mau liwat neng ngarep kunu. Mlakune cepet, tapi kok wis gak enek ya (Gak tahu, tadi lewat didepan itu. Jalannya cepat, tapi kok sudah tidak ada ya)” Jawab Ronald yang mematung dan tertegun

Selesai kejadian secara tiba-tiba itu, Ronald mulai melajukan kembali mobilnya dengan pelan-pelan dijalan beraspal, sedangkan sarji dan udin kembali duduk dengan tenang. Mereka berdua memikirkan untuk cara membawa uang saat sampai dirumah. Sebab waktu itu mereka berdua benar-benar tak ada uang sama sekali dikantongnya.

“Nald, aku oleh nyileh duit” (Nald, saya boleh pinjam uang). Tanya Sarji

“Gae opo Ji” (buat apa ji). Jawab Ronald

“Gae mangan Nald, Minggu wingi pas ape budal aku pamit neng bojoku, arep kerjo neng nggonmu” (buat makan nald, minggu kemaren tepatnya mau berangkat saya pamit keistriku mau kerja ditempatmu). Jelas Sarji dengan memelas

“Terus” Ucap Ronald yang masih tegang karena habis melihat sosok ular yang tiba-tiba menghilang

“Yo mosok aku pamite kerjo neng nggonmu, suwine seminggu muleh ora gowo duit Nald” (ya masak aku pamitnya kerja ditempatmu, selama satu minggu pulang tidak bawa uang nald). Jelas Sarji

Ronald masih diam dan tetap mengemudikan mobilnya, ia tidak langsung memutuskan untuk memberi pinjaman. Dalam diamnya masih berpikir antara memberi pinjaman atau tidak, setelah beberapa menit ia menoleh ke arah sarji disampingnya sambil mengemudi.

“Butuh piro awakmu ji” (butuh berapa kamu Ji). Tanya Ronald

“Yo nak iso seng akeh Nald, soale ape gae mangan, nyaur utang terus paling penting nyiapno kamar lan ubo rampene gae kanjeng ratu?” (ya kalau bisa yang banyak Nald, masalahnya mau buat makan, bayar hutang terus yang paling penting untuk mempersiapkan kamar sama perlengkapannya kanjeng ratu). Tegas Sarji lirih

Udin dibelakang hanya tiduran tak menanggapi serius pembicaraan mereka berdua. Hanya deru mobil yang terdengar jelas ditelinganya, sedang matanya hanya memandangi dedaunan pohon-pohon menghijau dari dalam mobil.

“Rong puluh juta cukup ji” (dua puluh juta cukup Ji). Ucap Ronald tanpa banyak curiga kepada Sarji

“Cukup Nald” Jawab Sarji dengan senyum melebar

“Aku yo gelem rek nak disilihi duwit, aku wingi pamite nang mbok’e arek-arek kerjo nang nggonmu yoan nald” (aku ya mau rek, kalau dipinjami uang. Aku kemarin pamitnya ke ibunya anak-anak kerja di tempatmu juga nald). Sahut Udin dari kursi belakang Ronald.

“Awakmu iki Din melu ae, opo maneh nek bahasan utang-utangan bakale cair langsung cepet nyaut, nek diajak meguru emoh!!!” (kamu ini din ikut saja, apalagi kalau pembahasan hutang piutang mau langsung cair langsung ikut, kalau diajak berguru gak mau). Jawab Ronald dengan ketus.

“Yo ora oleh din, iki sarji jelas bayare utang, lha nek awakmu piye? soale awakmu ora melu meguru neng mbah Dirjo” (ya tidak boleh din, ini sarji sudah jelas pembayarane. Lha kalau kamu gimana? masalahnya kamu tidak ikut berguru kepada Mbah Dirjo). Terang Ronald dengan jelas

“Yo jelas Nald, bakale tak saur nald sok mben nek wes due duit” (ya jelas nald, Pasti aku bayar nald besok lusa kalau sudah punya uang”. Jawab Udin dengan keyakinannya

“Ra iso din, soale sarji iki nyileh duit mergo wes sak peguron karo aku. Salae dewe awakmu gak melu meguru” (tidak bisa din, masalahnya sarji ini pinjam uang karena sudah satu perguruan sama saya. Salah kamu sendiri tidak ikut berguru). Tegas Ronald lagi dari kursi depannya

“Asu tenan awakmu Nald, asli medit koen Nald. lha terus nasibku piye iki?” (Anjing beneran kamu Nald, asli pelit kamu Nald. Lha terus nasibku gimana ini?) keluh udin yang sudah jengkel

“yo embuh din!!! ( ya gak tahu din) Jawab Ronald cuek

“Wes ngene ae Nald, tambahono utangku. aku sing nyileh, seng nyaur mengko aku ae. Udin engko urusanku” (sudah gini saja nald, tambahi saja pinjamannya. aku yang pinjam, yang bayar nanti aku saja. Udin nanti urusanku). Jawab Sarji untuk menengahi perdebatan diantara mereka berdua

“Ngunu ta?” (begitu ta). Sahut Ronald

“Yo, yo wes. Engko nak wis teko omahmu ae duite tak wenehno awakmu. Aku percoyo karo awakmu Ji... hehehe” (Ya... ya sudah. Nanti kalau sudah sampai rumahmu saja uangnya tak kasihkan kamu. Aku percaya sama kamu ji...hehehe). Jawab Ronald

Sekian jam perjalanan dan sekian kali berhenti untuk melepas lelah, beberapa jam kemudian mereka sampai dirumah Sarji pada malam hari. Ronald turun dari mobilnya dan berjalan kebelakang mobil, tangannya dengan cepat langsung mengambil tas ransel yang berisi penuh gepokan uang tunai. Setelah mengambil beberapa gepok ia berjalan menemui sarji yang masih disamping mobil dan memberikan uangnya kepada Sarji. Selesai itu ronald langsung pamit ke kota, rencananya ia menginap dihotel karena pagi hari Ronald harus belanja dalam jumlah besar untuk menyuplai toko bangunannya, dan beberapa toko bangunan didaerahnya.

Sarji dan udin masih berdiri dihalaman rumahnya, sarji sendiri yang habis mendapat pinjaman dari Ronald menepati janjinya kepada Udin. Saat mereka berjalan menuju rumah masing-masing, sarji langsung memberikan uang pinjaman kepada Udin. Tapi dengan perjanjian udin yang berhutang kepada sarji, Setelah itu mereka pulang kerumah masing-masing.

Pagi yang cerah mewarnai rumah Sarji, karena ia telah mendapatkan uang banyak meski pinjaman. Sarji memberikan sebagian uang kepada istrinya dan meminta persetujuan gudangnya dijadikan kamar khusus untuk ritualnya, dengan berbagai alasan serta bujuk rayunya akhirnya ia mendapat persetujuan sang istri juga.

Selanjutnya ia beralih menemui kedua orang tuanya yang sedang duduk-duduk dibelakang rumah, dengan basa-basi sebentar sambil sarji memberikan uang kepada ayah dan ibunya. Berbagai alasan ia utarakan, sarji meminta gudangnya digunakan untuk ibadah khususnya karena diperintah sang guru, sejenak dalam diam kedua orang tua Sarji berpikir. Tapi akhirnya dengan berat hati orang tuanya menuruti keinginan anak semata wayangnya. Setelah mendapat persetujuan dari semua penghuni rumah ia pergi kerumah udin lewat pintu dapurnya.

Tok..tokk..tok..din…???
“Eh mas sarji monggo melbet” (Eh Mas sarji mari masuk). Tawar istri udin

“Mas udin ten pundi mbak, kulo wonten perlu sekedap” (mas udin dimana mbak, saya ada perlu sebentar). Tanya Sarji

“Mas udin tasek tilem ten ngajeng” ( ini mas udin masih tidur didepan) Jawab istri Udin sambil membersihkan kedua tangannya.

“Sekedap mas kulo tangek’aken riyen” (sebentar mas, saya bangunkan dulu). Jawabnya istri udin dengan berjalan kedepan

“Nggih kulo tenggo ten wengkeng mawon mbak” (ya, saya tunggu di belakang saja mbak) Sahut Sarji

Beberapa menit kemudian udin bangun, ia berjalan kebelakang rumah dengan bekas air yang masih menempel diwajahnya dan menemui sarji dibawah pohon keres.

“Enek opo ji, isuk-isuk wes golek’i aku” (ada apa Ji, pagi-pagi sudah cari aku). Tanya udin yang mulai duduk disamping Sarji

“Din, awakmu kan iso nukang! Sak iki garapen gudangku seng ndek ngguri iku dadi kamar.” Pinta Sarji

“Lha arep gae opo ji” (lha mau buat apa Ji). Tanya udin yang tak tahu tujuan Sarji

“Gae nggon khusus ngaji gawe aku din, aku dikongkon mbah Dirjo pas neng nggunung wingi.” (buat tempat khusus ngaji buat aku din, aku disuruh mbah Dirjo waktu di gunung kemarin). Terang sarji

“Ooohhh ngono ji ceritane. Ya wes, itung-itung wingi mari kok utangi. Ayok digarap sak iki ae, mumpung jek isuk.” (oooh begitu ceritanya. Ya sudah, hitung-hitung kemarin habis kamu beri pinjaman ayo dikerjakan sekarang, mumpung masih pagi). Jawab udin dengan bersemangat

Saat itu juga mereka berjalan menuju gudang yang mau dijadikan kamar khusus. Dengan cekatan udin langsung membersihkan dahulu gudang berukuran 4x4, dengan satu jendela kecil sebagai sumber penerangan disiang hari dan sebagai sirkulasi udara. Saat udin masih bersih-bersih, sarji pergi ketoko bangunan untuk belanja semua kebutuhan. Sesaat kemudian sarji datang dengan membawa bahan bangunan, ia juga ikut membantu udin mulai membenahi plafond, pintu dan mengecat ulang tembok yang lusuh. Hari demi hari udin mengerjakan kamar itu tapi udin tetap tidak tahu maksud dan tujuan sarji sebenarnya, sampai akhirnya tempat benar-benar terlihat bersih dan terlihat seperti kamar yang cukup mewah.

Minggu berganti minggu, sarji tetap masih jadi pengangguran sedang udin kerja serabutan. Terkadang udin sehari kerja, tiga hari ia menganggur, hal ini yang sering dijalani Udin. Siang itu sarji duduk diteras rumahnya sambil menghitung hari, pada hitungannya hari itu nanti malam terjadi bulan purnama, karena petunjuk ini adalah wawasan dan pengalaman dari Ronald. Diwaktu sore hari ia kebelakang rumah berusaha menemui Udin yang tengah duduk sendirian dibawah pohon keres, sambil mengawasi kedua anaknya yang masih kecil-kecil bermain.

“Din engko bar magrib terno aku golek jamu” (din nanti habis magrib antarkan aku cari jamu). Pinta Sarji

“Halah golek dewe kono ji, aku kesel lagek leren iki Ji” (halah cari sendiri sana Ji, aku capek barusan istirahat ini Ji). Tutur Udin

“Wes talah engko tak tukokno jamu sisan” (sudahlah nanti aku belikan jamu sekalian). Rayu sarji

“Temen ta iki, tumben awakmu ji” (bener ta ini, tumben kamu ji). Jawab Udin

“Iyo wingi Ronald mampir, terus arek’e gemei aku duit maneh din” (Iya, kemarin ronald mampir terus dia kasih aku uang lagi din). Jelas Sarji

“Oooh dadi mari oleh rejeki awakmu ji” (Ooohhh jadi habis dapat rezeki lagi kamu Ji). Kata Udin

“Hehehe iyo din” (hehehe iya din). Jawab senyum Sarji

Sehabis magrib sesuai janji sarji, Mereka berdua langsung pergi ke toko jamu tradisional yang berada didesa sebelah. Waktu di toko jamu, Sarji langsung pesan dengan lima telur ayam kampung untuk dicampur kedalam minumannya dengan maksud menyambut tamu dimalam hari. Udin sedikit penasaran karena baru kali ini temannya begitu banyak minum jamu pakai telur ayam kampung.

“Ape pelampiasan terus imbuh ta ji engko bengi” (mau pelampiasan terus nambah ta ji nanti malam). Tanya udin sedikit menggoda

“Jelas din” Jawab Sarji dengan memulai minum jamunya

“Ojok nemen-nemen karo bojomu dewe Ji, sakno” (jangan terlalu sama istrimu sendiri Ji, kasihan). Celetuk udin

Hanya senyum sarji yang terlempar pada wajah udin sebagai jawaban, Setelah itu mereka langsung pulang. Sarji sendiri sekitar jam delapan malam langsung berdiam diri di atas ranjang kamar khususnya. Tak lupa ia mengunci rapat-rapat pintu dari dalam kamar, sebelumnya Ia sendiri berpesan kepada seluruh anggota keluarganya, kalau dia didalam kamar tidak boleh diganggu apapun yang terjadi. Didalam kamar, penerangannya memakai lampu neon kuning remang-remang, dipan kayu yang mewah dengan kasur empuk telah ditaburi bunga-bunga diatasnya sudah disiapkan. Tak lupa kelambu putih bergelayut menghiasi kamarnya. Kondisi kamar sarji mirip seperti kamar pengantin baru. Sedang tiga sudut kamar masing-masing diberi sesajen lengkap satu nampan, sampai diseluruh penjuru ruangan kamar Sarji dipenuhi bau harum bunga dan dupa khusus. Sarji memulai ritual seperti yang ia lakukan ditempat mbah Dirjo sampai sekitar Jam dua belas malam, tiba-tiba ada suara dari atap kamarnya…

“ketoplak… ketoplak… Krimpying… Krimpying… Krimpying…” (suara kaki kuda serta lonceng kereta kencana yang berjalan dan berhenti tepat diatap kamar sarji)

Sarji yang mendengar suara itu hanya diam dan terus konsentrasi membaca mantranya. Perasaan sarji pertama kali ialah sangat takut bercampur bahagia mendengar pertanda itu, dengan sedikit keringat yang mulai muncul dikulitnya karena gugup. Sedangkan jantungnya mulai berdebar-debar terpacu dengan dengan cepat, sesekali matanya terbuka untuk melihat isi ranjangnya yang masih kosong. Saat matanya sedang tertutup Tiba-tiba bau harum bercampur amis mengusik semedinya, timbul rasa penasaran pada dirinya. Akhirnya ia membuka mata lagi dan tiba-tiba Sarji melihat sosok sang Nyi Ratu yang cantik jelita sudah berada didepannya dengan duduk bersimpuh. Nyi Ratu kali ini hanya memakai kemben hijau, tanpa perhiasan sama sekali saat dikamar Sarji, tapi kecantikannya sungguh sangat luar biasa menggodanya.

Dalam kondisi tercengang mata sarji tak berkedip sama sekali, ia hanya mematung menatap Nyi Ratu yang mempesona. Beberapa saat kemudian semedi sarji dihentikan oleh Nyi ratu, tanpa ada kata terucap sama sekali Nyi Ratu langsung memulai dan mengajak hubungan suami istri dengan sarji. Beberapa kali dalam kondisi yang penuh nafsu, antara sadar dan tidak sadar tangan sarji merasa beberapa bagian tubuh Nyi ratu licin dan membulat kecil seperti sisik ular. Tapi dalam otaknya sarji sudah kepalang tanggung, ia terus bergulat hebat malam itu sampai ia benar-benar terkulai lemas. Entah berapa lama ia melakukan dengan Nyi ratu, sampai akhirnya ia tak sadar dan langsung tertidur dikamar khususnya.

Beberapa jam kemudian saat kesadarannya kembali ia merasa hanya sendirian dikamar. Sarji sendiri tak tahu kapan persisnya Nyi Ratu pergi meninggalkannya. Menjelang pagi ia sudah mulai benar-benar pulih dan sadar, sarji mulai bangun dari posisinya yang masih terlentang. Sarji mulai bangun dan duduk, matanya langsung melihat uang dan lempengan emas seperti ujung sendok (oval) berserakan diatas spreinya bercampur keringat dan bunga. Setelah melihat dengan seksama kenyataan didalam kamar, sarji mulai senyum-senyum sendiri…
“Aku berhasil… sugehhhhh… sugehhhhh…. hahahaha” (Au berhasil… kayaaa… kayaa.. kayaa) teriaknya dengan menaburkan keatas beberapa kepingan emas dan uang dari ranjangnya.

Usai uforia didalam kamar sendirian, Dengan cepat sarji mengumpulkan uang dan emas dikantong kain yang sudah disiapkan sebelumnya dan memasukkan kedalam tas ransel. Kemudian ia keluar kamar dengan wajah bahagia tapi badan masih lemas. Sarji langsung menemui istrinya didapur dan menciumnya, ia merasa bahagia pagi itu dengan cepat ia memberi sejumlah uang kepada istri tercintanya. Setelah itu ia mandi dan berganti baju, ia bersiap untuk menjual emas-emas yang ia dapat dengan cepat. Karena khawatir emas-emas itu akan hilang dengan sendirinya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close