Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nyi Ratu BLORONG (Part 8)


JEJAKMISTERI - Cahaya pagi mulai bersinar tanpa mataharinya dari halaman rumah pemilik warung, sinar putih lembut itu membuat ruang tamu yang dipakai Udin dan Sarji istirahat mulai terang. Udin dan Sarji dengan wajah kusut mulai bangkit untuk duduk, ditempat duduknya mata merah mereka yang saling berhadapan dan saling bertatap penuh ketakutan. Tatapan mereka itu dibatasi sebuah meja kayu. Dari semalam mereka sudah tiada lagi pembicaraan, tapi dipagi ini Udin yang tak sabar akan sikap Sarji dengan terpaksa membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Piye iki Ji, kiro-kiro bener ta mau bengi iku Ronald seng diseret karo kereto?" (Gimana ini Ji, kira-kira beneran tadi malam itu Ronald yang ditarik kereta). Tanya Udin dengan wajah penasaran dan raut ketakutan

"Gak roh din, mending maringene takon wong-wong kampung ae, mesisan nyetakno neng omae Ronald"(tidak tahu Din, mending habis ini tanya orang-orang kampung saja. Sekalian memperjelas dirumah Ronald). Terang Sarji dengan gelisah

Suara pembicaraan diruang telah terdengar ibu pemilik warung, membuat ia datang mengahampiri mereka untuk menanyakan apa maksud dan tujuan mereka datang kekampung ini. Ibu itu sendiri dari tadi malam juga belum sempat tanya karena panik dan takut. Sarji dengan tenang tapi tetap menutupi rasa gelisah dan tukutnya, ia menjawab semua pertanyaan ibu itu satu persatu dengan logis, intinya alasan yang dipakai adalah urusan bisnis dengan Ronald.

Dengan cepat ibu pemilik warung segera memahami alasan yg disampaikan Sarji, kini mereka bertiga yang penasaran dengan kejadian semalam memutuskan untuk keluar rumah dan menanyakan kebenaran fakta tadi malam. Mereka berniat langsung berjalan menuju rumah Ronald tapi langkah mereka terhenti dipos ronda karena warga sudah ramai berkumpul. Begitupun jalan menuju arah rumah ronald beberapa warga sudah dijalanan bergerombol dan saling berbisik satu sama lain.

Konon waktu kejadian malam itu hampir seluruh warga kampung Ronald mendengar teriakan permintaan tolongnya, padahal warga juga yang rumahnya dilalui Nyi Ratu Blorong saat menyeret Ronald ikut mengintip dan melihat dengan jelas dari celah jendela mereka. Tapi semua warga yang mendengar dan melihat tak ada yang berani, sampai dari sekian warga yang tahu tak ada satupun orang keluar untuk menolongnya.

Sarji dan Udin berjalan perlahan melewati kerumunan-kerumanan kecil yang sudah tersebar dijalan menuju rumah Ronald. Ditengah perjalanan Sarji berucap kepada Udin "Mosok temenan Ronald wes mati Din" (Masak beneran Ronald sudah meninggal Din)", "Ketok'ane temenan iki Ji",(kelihatannya beneran ini Ji) jawab Udin sambil berjalan disamping Sarji. Sampai akhirnya mereka berhenti tepat didepan rumahnya Ronald, mereka melihat kerabat Ronald didalam rumah sudah ramai akan isak tangis dan raut muka penuh kesedihan.

Udin dan Sarji langsung masuk rumah ronald meski melewati kerumunan kerabat almarhum diteras, diruang tamu mereka langsung ikut duduk mendengarkan penuturan salah satu keluarga Ronald. "Temenan tibak ne Din" (Beneran ternyata Din)bisik Sarji kepada Udin, "Iyo Ji, menengo rungokno supire cerito" (Iya Ji, diamlah dengarkan supirnya bercerita) sahut Udin pelan. Supir pribadi ronald yang berada duduk ditengah lingkaran keluarga ronald bercerita, "Waktu selesai shalat subuh seperti biasa dia datang kerumah Ronald untuk mencuci mobil, malam itu rumah ronald tidak ada yang terkunci. Dengan rasa curiga ia langsung masuk rumah, waktu memasuki ruang tengah dan berhenti dipintu yang tak terkunci sang sopir memanggil-manggil ronald untuk ijin terlebih dahulu tapi tak ada jawaban.

Sopirnya pun akhirnya memberanikan diri masuk kerumah mewah ini dan hanya berniat megambil kunci diruang tengah, meski jika ketahuan Ronald sikap ini akan dianggap kurang ajar. Tapi langnya berhenti seketika melihat Ronald sudah tidur terlentang kaku dilantai hanya memakai sarung dan kaos diruang tengah. Beberapa kali ia memanggil Ronald untuk ijin mengambil kunci, tapi waktu ia dekati Ronald sudah menjadi mayat. Kondisi tubuhnya sudah membiru dan kaku, dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Sedangkan untuk kedua tangannya menengadah keatas, seperti orang ingin memohon ampun dan melepaskan diri. Setelah itu sopir ini berlari keluar rumah untuk mencari bantuan kepada para tetangga dikanan dan kiri rumah Ronald. Cerita sopir itupun selesai ketika pemuka agama setempat datang dan ikut duduk bersama orang-orang yang berada diruang tamu.

Tak berselang lama, diwaktu yang masih pagi pihak keluarga dibantu oleh pemuka agama setempat menyucikan Ronald dan menguburkannya dipemakaman kampung tempat tinggalnya. Tapi saat dikebumikan keadaan Ronald tetap seperti ia ditemukan pertama kali, hanya tangannya yang dipaksa sampai terdengar patah dipergelangan sikunya agar bisa bersendekap untuk terikat sebagaimana layaknya mayat dikafani.

Sarji dan Udin mengikuti prosesi acara Ronald sampai selesai, sewaktu masih dirumah duka Sarji juga menyerahkan uang Ronald sebagaimana layaknya hutang piutang. Uang itu diserahkan kepada ahli waris yang masih berada dirumahnya. Saat Siang sudah mau berganti sore mereka berdua ijin kepada semua kerabat Ronald untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang Sarji ketakutannya semakin menjadi-jadi, ia meminta dengan sungguh-sungguh kepada Udin untuk mencarikan solusi untuk memutuskan perjanjian dengan Nyi Ratu Blorong. Udin sebagai sahabat sejati dengan senang hati menyetujui permintaan Sarji. Dia juga berharap kawannya segera bisa tobat, dan tidak menyerahkan nyawa sesorang lagi sebagai imbalan kekayaannya.

Dengan semangat membara dan niat yang kuat Sarji pulang tidak langsung kerumah melainkan langsung mengajak Udin menuju kerumah moden, kakaknya Udin. Saat mereka sampai rumah moden mereka berkumpul dan duduk diteras, Sarji mulai bercerita panjang lebar tentang temannya Ronald sampai larut malam disertai rasa ketakutan Sarji yang mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Malam itu juga Sarji berharap bisa mendapatkan bantuan dari moden akan niatnya. Sementara itu moden tau yang dihadapi bukan sosok sembarangan, Tapi moden yang diam mencerna penjelasan Sarji terlebih dahulu, ia juga tetap berusaha serta memikirkan solusi dan moden akhirnya berkata...

"Aku salut ji nek awakmu wani terus terang, terus ape tobat... tapi aku nek ngewangi awakmu, aku dewe iso-iso bongko" (aku salut ji, kalau kamu berani terus terang, terus mau tobat...tapi aku kalau bantu kamu, aku sendiri bisa-bisa mati)" Tegas Moden

"Terus piye den" (terus bagaimana den). Tanya Sarji yang mulai bingung

"Wes mene ae coba neng kiai Sofyan" (Sudah besok saja coba ke kiai Sofyan). Perintah moden

"Tapi cak kiai Sofyan kan wes tuo, terus ngajine neng wonge yo sewulan pisan. opo sanggup kiro-kiro ngewangi Sarji" (tapi kak, kiai sofyan sudah tua, terus mengajinya pada orangnya juga satu bulan sekali. Apa sanggup kira-kira bantu Sarji). Sahut Udin yang meragukan kealiman kiai Sofyan.

"Ya embuh Din. Ojok ngeremehno uwong, dicobak disek ae" (Ya tidak tahu Din. Jangan meremehkan orang, dicoba dulu saja). Jawab Moden

"Ya wes lah nak ngunu, mene bengi awakmu wong loro tak enteni neng omah jam woluan. (ya sudahlah kalau begitu, besok malam kamu dua orang saya tunggu dirumah jam delapanan). Pinta moden serius

"Iyo cak suwun" (Iya kak terima kasih). Jawab Sarji yang gelisah

Udin dan Sarji akhirnya bisa pulang kerumah masing-masing dengan perasaan sedikit lega meski belum ada kepastian yang jelas siapa yg bisa membantunya utnuk memutuskan perjanjian dengan Nyi Blorong.

Keesokan harinya Udin didatangi Sarji dari pintu belakang, tanpa banyak bicara Sarji langsung mengajak Udin keluar agar istri Udin juga tidak curiga. Sarji dengan cepat membonceng Udin dengan motornya, dan menuju kewarung langganan mereka. Kondisi warung saat itu masih sepi, Sarji mengajak Udin untuk duduk berdua dipojok agar suaranya tidak terdengar.

Dalam sepinya warung Sarji berpesan kepada Udin nanti malam untuk menunggunya dirumah Jam 8 malam, rencananya mereka akan berangkat berdua kerumah kiai sofyan bersama moden. Kegelisahan Sarji pun menjadi-jadi karena istrinya semakin hari sakitnya semakin parah. Perutnya semakin lama juga semakin membesar, tapi sekian kali dirontgen hasilnya semuanya normal. Dirasa sudah cukup Sarji menyampaikan keluhan sebenarnya kepada Udin, hari semakin sore. Sarji mengajak pulang Udin, karena ia mau mengantar istrinya chek up rutin ke dokter.

Malam semakin beranjak hingga Jam 20.00 wib, Udin yg berbaring dikursi panjang teras rumahnya mulai gelisah, berulang kali dia bangkit dari tidurnya. Langkah kakinya mondar mandir dari depan kebelakang rumah berulang kali. Sampai istrinya yang mengamati suaminya lama-lama pusing dibuatnya,

"Sak jane enek opo pak ?" (sebenarnya ada apa pak). Tanya Sri yang duduk bersama anak-anaknya di ruang tamu.

Udin masih tetap jalan keluar masuk, belum mendengarkan dengan serius pertanyaan istrinya.

"Ditakoni mbok dijawab? Kok koyok pitek kudu rabi, munyer ae kaet mau?" (ditanyai ya harus dijawab? Seperti ayam ingin kimpoi, berputar-putar saja dari tadi). Kata Sri semakin keras.

"Iki lo bu aku mau isuk janjian karo Sarji, sampek sak iki wes jam wolu gurung teko?" (ini lo bu aku tadi pagi janjian sama Sarji, sampai sekarang sudah jam delapan belum datang). Terang Udin gelisah tak tenang

"Ape neng ndi maneh to pak?" (mau kemana lagi pak). Tanya Sri penasaran

"Neng nggone cacak, buk?" (ketempatnya kakak, buk). Jawab Udin

"Yo sabar to pak, paling yo sek neng dalan." (ya sabar to pak, paling ya masih dijalan). Terang Sri untuk menenangkan suaminya

"Iyo yo..." (iya..ya) Jawab Udin

Setelah mendapat suara peredam dari istrinya Udin tetap seperti semula, kakinya masih mondar mandir dengan resah. Udin sendiri tahu kebiasaan Sarji, meski dia pemalas tapi kalau ada janji biasanya tepat waktu. Jarum jam terus berjalan sampai menunjukkan angka sembilan lebih sedikit. Detik demi detik Udin lalui, menunggu adalah hal yang membosankan dan paling ia benci sebab waktu terasa sangat lama.

Dari ujung gang rumah Udin ada seseorang yang berjalan cepat dibawah lampu putih dengan tergopoh-gopoh. Udin yang melihat kejanggalan itu berhenti dan berdiri didepan teras rumahnya, memandangi dan mengamati dari kejauhan hingga sosok pria muda itu mendekat. Semakin jelas Udin melihat ternyata ia salah satu anak buahnya yg biasa bekerja ditoko bangunan sebagai kurir.

"Pak..pak...?"

"Ooohh awakmu to jum? tak kiroe sopo? kok mlakune koyok wong kesetanan. enek opo?" (ooohh kamu to Jum? Tak kira siapa? Jalannya kayak orang kesetanan. Ada apa?) Tanya Udin memberondong

"Iki pak, (ini pak)... ehh... pak... ehh.. pak.. (ia tak bisa berbicara lancar, karena masih shock dan bingung mau menyampaikan kabar)

"Sak jane enek opo jum, ngomong seng jelas.. a...u..a..u.. tak kampleng ndasmu!!!" (sebenarnya ada apa Jum, bicara yang jelas... a...u...a...u... tak pukul kepalamu!!!). Ancam Udin yang gelisah

"Enek wong ra iso ngomong kok malah diseneni ae to pak, dijak lungguh disek kene lo, ancen ra ngerti blas sampean iki pak!!!" (ada orang tidak bisa bicara kok malah dimarahi saja pak, diajak duduk dulu sini lo, memang tidak mengerti sama sekali kamu ini pak). Sahut Sri yang sudah berdiri diterasnya

Istri Udin yang mendengar keributan, masuk kerumah lagi dengan pengertian membawakan segelas air putih. Ia langsung menyeret tangan Juma'in untuk duduk dahulu diteras rumahnya.

"Wes jum, ngomongo kalem-kalem. Ra usah wedi, sak jane enek opo koe mrene gupuh-gupuh ngene. Dungaren?" (sudah Jum, bicaralah pelan-pelan. Tidak usah takut, sebenarnya ada pa kamu kesini tergopoh-gopoh begini. Tumben?). Kata Sri yang duduk disampingnya

"Ngenten buk, pak! Pak Sarji kalian bu Retno kecelakaan ten radosan ageng. Sak niki dibeto ten rumah sakit." (begini bu, pak!!! Pak Sarji sama bu Retno kecelakaan dijalan raya. Sekarang dibawa ke rumah sakit). Jelas Jum'ain dengan masih tergagap dan gemetar

"Opo (apa)???? kecelakaan????" bentak Udin yang spontan dan kaget

"Rumah sakit endi Jum"?? (rumah sakit mana Jum). Tanya Udin yang kencang

"Sabar sek to pak!!! cek mari oleh ngomong Juma'in iki loh..." (sabar dulu pak!! Biar selesai dulu bicaranya Juma'in iki loh). Tegas Sri yang berusha menenangkan keadaan

"Ten rumah sakit umum pak, tapi terose tiang-tiang wau sedanten pun pejah" (Dirumah sakit umum pak, tapi katanya orang-orang tadi semuanya sudah meninggal). Jelas Juma'in takut dengan menundukkan kepalanya

"Piye maksdumu Jum?" (gimana maksudmu Jum). Tanya Udin yang semakin tak percaya

"Mekaten pak, kulo wau lintang radosan ageng, terus mirsani pak Sarji kalian bu Retno sampun ditutupi kloso ten mobil pick up. Mobile pak Sarji pun ajur, tiang-tiang ingkang mantun mirsani pak ronald kalian bu Retno sanjange pun pejah sedanten." (begini pak, saya tadi lewat jalan raya/besar, terus melihat pak Sarji sama bu Retno sudah ditutupi tikar di mobil pick up. Mobie pak Sarji sudah hancur, orang-orang yang selesai melihat pak Sarji sama bu Retno katanya sudah meninggal semua). Jelas jumain yang panjang dengan suara dan wajah sedih

"Innailahi wa ina ilaihirajiun"... (gumam Sri dan Udin)

"Ayok cepet... cepet... Jum... ayok terno sak iki aku neng rumah sakit." Pinta Udin yang panik dan tergopoh-gopoh

"Buk, sak iki sampean kabari keluargane Sarji karo tonggo-tonggo. Aku tak neng rumah sakit disek" (buk, sekarang anda kabari keluarganya Sarji sama para tetangga. Aku ke rumah sakit dulu). Kata Udin cepat, dan naik motor dijok belakang

"Iyo pak ati-ati, ra usah ngebut Jum." (iya pak hati-hati, tidak usah ngebut Jum) Jawab Sri yang ikut bergegas berangkat ketetangga untuk memberi kabar kematian Sarji dan Retno.

"Injih bu" (iya bu) Jawab Juma'in yang sudah menghidupkan motor Udin dan siap berangkat.

Saat itu juga Udin berangkat bersama jumain, mereka melajukan kendaran dengan sangat kencang dan tak memperdulikan pesan istri Udin lagi. Setibanya ia di IGD rumah sakit, Udin langsung bertanya kepada petugas jaga. Dengan cekatan petugas jaga pun mengantar mereka, Udin yang tak percaya akan kabar kematian sohibnya, tapi Udin berjalan setengah berlari dengan perasaan cemas serta jantung yang semakin berpacu dengan cepat. Dalam bayangannya ia hanya ingin memastikan kebenarannya dan semoga bukan Sarji temannya yang meninggal. tak begitu lama mereka berdua seketika sampai diruang jenazah. Tulisan "ruang jenazah" sudah didepan menyambut Udin dan juma'in. wajah layu dan pucat mulai membebani Udin, Perlahan petugas jaga membuka pintu dan langsung membukakan kain putih yang menutupi dua jenazah suami istri tersebut.

"Gak mungkin, gak mungkin... iki" (tidak mungkin.. tidak mungkin.. ini) Kata Udin lirih dengan memegang kepalanya dan kesadaranya saat itu juga mulai sedikit menurun.

"Huuu...huuu...huuu...huuu..."

Udin langsung menangis histeris dan lemas sehabis melihat temannya sudah menjadi mayat. apalagi bagian tubuh keduanya dibawah kepala sudah hancur dan hampir putus. Udin yang tertinduk lesu, hanya sedikit meneteskan air mata dan tubuhnya hampir pingsan, sampai akhirnya dipapah pelan-pelan oleh Jumain untuk keluar dari ruang jenazah. "sabar pak" bisik Juma'in sambil memegangi tubuh Udin. Juma'in mendudukan sementara Udin dilorong rumah sakit untuk menenangkan sementara.

Sesaat kemUdin para petugas kamar jenazah mengampiri mereka yang masih duduk mohon ijin kepada Udin untuk memperbaiki kondisi jenazah kedua temannya. Udin yang masih duduk hanya menganggukan kepalanya, selanjutnya ia segera dibawa juma'in dengan dipapah keluar untuk langsung pulang saat itu juga. Jumain sendiri takut kalau Udin semakin shock melihat temannya yang sudah meninggal. Malam itu kondisi Udin hanya diam, dengan tatapan kosong serta badannya sudah tak bertenaga lagi.

Sampai dirumahnya Udin, ia langsung dibaringkan Juma'in dibantu istrinya. selanjutnya Juma'in yang masih dirumah Udin menceritakan kejadian dirumah sakit tadi, selepas itu Juma'in pamit undur diri untuk pulang.

Pagi hari rumah almarhum Sarji sudah semakin ramai orang mengaji dan silih berganti, sambil menunggu kedatangan kedua jenazah suami istri. Tak berapa lama mentari yang begitu terik mobil jenazah datang dan segera menurunkan kedua jenazah tersebut, suami istri ini langsung di letakkan diruang tamunya. Kedua jenazah yang berada diruang tamu sudah disucikan dirumah sakit, Para kerabat dan warga sekitar langsung mencari air untuk bersuci. Udin yang masih berada diteras rumah Sarji, dihampiri moden. Tiba tiba moden mengusap muka Udin dengan tangan kananya yang masih basah.

"Delok'en sejatine kancamu iku sak iki." (lihat sejatinya temanmu itu sekarang) Kata moden berbisik kepada Udin

"Maksute piye cak" (maksdunya gimana kak) Jawab Udin lirih

"Wes sak iki pokok'e awakmu delok'en Sarji karo bojone disek" (sudah sekarang awakmu harus melihat Sarji sama istrinya dulu). Tegas moden lirih
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close