Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 7) - Pulau Mayat

“Pusat gempa terdeteksi berasal dari laut selatan pulau Jawa, warga diminta untuk berjaga-jaga akan datangnya gempa susulan yang berpotensi tsunami…” Terdengar suara radio mengalun dari salah satu kapal pencari ikan yang melawan guncangan ombak di perairan laut selatan. Beberapa gempa telah mengguncang, menyebabkan getaran yang terasa hingga ke pemukiman penduduk di sekitarnya. Meskipun warga pesisir merasa cemas akan dampaknya, kekhawatiran itu sedikit mereda saat mereka mengetahui pusat gempa berada jauh di selatan pulau Jawa. Namun tak demikian bagi sebagian orang yang peka terhadap petunjuk dari kejadian di laut selatan itu. “Kita kembali ke darat! Pelayaran kita tunda sampai laut benar-benar aman!” Perintah seorang nahkoda kapal Nelayan yang menyadari bahayanya tengah laut pada saat itu. “Tapi kita baru nebar Jala satu kali, Pak.” “Jangan pernah meremehkan laut. Lebih baik rugi solar dan waktu dibanding harus mati,” Ucap Nahkoda itu sambil menatap sesuatu yang berada jauh di depan matanya. Sebuah pulau… Sepertinya hanya ia seorang diri yang menyadari bahwa pulau itu tidak seharusnya berada di sana, ia sadar sesuatu yang buruk akan datang dari pulau itu. “Jangan ada yang membantah! Kita kembali!” Kalimat itu sudah cukup jelas dan mereka pun membatalkan pelayaran mereka dan kembali ke daratan. Saat pulau sudah terlihat, seorang anak buah kapal tertegun menatap sebuah batu karang. Ia menatap puncak batu itu dan menyaksikan ada sosok seorang pria berumur yang mengenakan baju hitam dan seorang pria yang mengenakan baju adat bali yang menatap ke arah pulau jauh di tengah laut itu. “Kenapa, Mas? Kok bengong” Tegur awak kapal lainnya. “I—itu, ada orang di atas karang..” “Ngawur kamu, nggak ada perahu di sana! Lagian mana ada orang yang bisa naik ke karang tengah laut yang seruncing itu!” “Lha! Itu liat sendi….” Saat menoleh kembali, sosok kedua pria itu sudah menghilang dari puncak batu karang itu. Awak kapal itu pun bingung. Saat itu ia hanya melihat sisa percikan api di sana. “Ta—tadi ada di sana! Benar!” Awak kapal itu mencoba meyakinkan. Temannya itu hanya menggeleng dan meninggalkan awak kapal itu. Ia kecewa, namun ia tidak ingin memikirkan apa yang ia lihat itu lebih lanjut, walau sebenarnya tidak ada yang salah dengan penglihatannya. …

Mereka adalah Bli Waja dan Mbah Jiwo. Gempa yang terjadi adalah sinyal untuk mereka bahwa Trah Pakujagar sudah berhasil membangkitkan sang Ratu dan bersiap menyatukan kekuatan mereka. “Jadi pulau itu bagian dari padang Kurusetra?” Tanya Mbah Jiwo. “Bagian paling terkutuk, tempat dimana jasad dari berbagai makhluk bergelimpangan, kolam darah memerahkan tanahnya, dan nyawa-nyawa dikutuk di dasarnya,” Balas Bli Waja. Mbah Jiwo menelan ludah membayangkan apa yang akan ia hadapi, tapi tidak ada pilihan untuk menyerah baginya. Dengan bantuan wujud Rangda dari Bli Waja, Mereka pun melayang mencapai pantai pulau terkutuk itu.


“Mereka datang,” Terdengar suara seorang pemuda yang segera menyadari kedatangan mereka. Terlihat sudah ada api unggun kecil yang menyala dan beberapa orang disana. “Guntur? Darimana kalian tahu kami akan mendarat di sisi pantai ini?” Tanya Bli Waja yang segera kembali ke wujud manusianya. Saat itu menolehkan wajahnya ke arah seorang nenek yang masih asik dengan tempayannya. “Mbok Sar?” Mbah Jiwo yang menyadari keberadaan Mbok Sar dan Nyai Jambrong yang berada di tempat itu pun segera menghampiri mereka. “Tunggu sebentar lagi yo, Le. Masih ada yang akan datang,” Ucap Mbok Sar. Mbah Jiwo dan Bli Waja pun mengerti. Mereka menyadari tabir ghaib yang dipasang oleh Mbok Sar di sekitar mereka. “Tak kusangka, Nyai akan membawa sekutu sesakti ini,” Bli Waja menegur Nyai Jambrong yang masih dalam posisi tapanya. “Arep piye meneh? Satu-satunya ahli cenayang sakti yang kukenal cuma nenek-nenek peyot itu,” Balas Nyai Jambrong. “Nek aku peyot, kowe opo Nyai?” (Kalau aku peyot, kamu apa, Nyai?) “Ayu to yo? Opo meneh? Khekehke..” (Cantik donk? Apa lagi? Khekheke..) Tawa Nyai Jambrong. “Wis tuwo isih centil..” (Sudah tua masih centil..) Celetuk Mbok Sar. “Opo??”

Mendengar perbincangan itu, Guntur segera menarik Bli Waja untuk menjauh dari Nyai Jambrong dan Mbok Sar. “Sudah Bli, jangan deket-deket. Kalau mereka ngoceh bahayanya bisa kayak ribut sama wewe gombel,” Ucap Guntur. Bli Waja mengerti maksud Guntur saat mendengar perbincangan kedua nenek itu tidak kunjung selesai. Sementara itu Mbah Jiwo menyaksikan Dirga yang sedang melakukan Tapa. Ia menyadari bahwa Dirga sedang menyatukan sukmanya dengan pecahan Keris Dasasukma miliknya. “Kau tahu bahaya dari apa yang kau lakukan? Pecahan keris itu akan menjadi satu dengan sukmamu,” Mbah Jiwo mencoba memastikan bahwa Dirga paham dengan resikonya. “Artinya jika Prabu Junoyo membunuhku, maka pecahan ini akan musnah bersama sukmaku, Ia tidak akan pernah memiliki Keris Dasasukma sepenuhnya” Jawab Dirga tanpa membuka matanya. Penyatuan sukma dan pusaka itu sangat sakral, jiwa sang pemilik bisa terancam bila pusaka itu memberontak. Namun Mbah Jiwo pun menyadari keteguhan hati Dirga dan tak mungkin menghalanginya. Perlahan terlihat kabut putih di sekitar mereka, mereka pun menyadari bahwa hanya ada seseorang yang bisa datang dengan cara seperti itu. “Mas Jagad,” Sambut Guntur. Mereka menyambut Jagad dan menyadari keberadaan sosok lain di belakang Jagad. Nyi Sendang Rangu.. Salam singkat terjadi diantara mereka. “Hanya kita?” Tanya Mbah Jiwo. “Aku sudah mendatangi padepokan Mbah Widjan, mereka diserang lebih dulu oleh pasukan Trah Pakujagar. Mereka akan menyusul kita jika sudah mengurus setan-setan itu. Aku juga sudah memasang aksara lintas Jagad di beberapa tempat. Saat mereka siap, mereka akan menyusul kita,” Jelas Mas Jagad. “Berarti setan-setan dari pulau ini juga sudah memasuki tanah Jawa?” Tanya Dirga yang memilih untuk menyudahi semedinya. “Benar, tapi tidak ada gunanya jika kita mengurus mereka. Sumber kekuatan mereka ada di pulau ini. Untuk sekarang, kita hanya bisa mempercayakan setan-setan itu pada para ulama dan para pendekar memiliki karomah seperti kita,” Jawab Mas Jagad. Mereka pun setuju. Setidaknya tugas utama mereka saat ini adalah menutup gerbang yang bisa menghubungkan kebangkitan setan-setan zaman perang di tanah Kurusetra itu. Malam sudah semakin larut, purnama semakin terang menyinari laut sekitar pulau tandus itu. Mbok Sar meninggalkan tempatnya dan memastikan kesiapan mereka. “Setelah tabir ini kubuka, kalian tidak akan bisa menebak setan-setan apa yang akan mengincar kalian,” Jelas Mbok Sar. “Kami mengerti, Mbok,” Jawab Mbah Jiwo sambil menggenggam beberapa butir pusaka bola batu miliknya.

Guntur dan Dirga menggenggam tasbih di tangan yang berbeda sementara tangan Bli Waja sudah membara dengan api yang berkobar. “Pergilah! Kalian yang akan menentukan zaman ini!” Ucap Mbok Sar. Begitu tabir terbuka, tekanan energi besar menyerang ke arah mereka. Seketika makhluk-makhluk di pulau itu menyadari keberadaan yang bukan bagian dari mereka. Di Pulau tandus dengan reruntuhan candi itu seketika mereka merasakan ancaman yang membuat mereka gentar. Grrraaaaarrr!!!! Suara itu terdengar hingga seluruh penjuru pulau. Manusia biasa takkan bisa melihat wujud dari pemilik suara itu. Namun bagi Dirga, dan yang lain sosok itu adalah mimpi buruk yang membuat mereka tak mampu memalingkan wajahnya. “Se—sebesar itu? Gimana cara kita ngelawan makhluk sebesar bukit itu??” Wajah Guntur pucat. Kesiapannya yang sudah ia pupuk baik-baik luntur seketika. Setiap langkah dari makhluk itu menggetarkan tanah dan lautan. Sebagai manusia biasa, Guntur benar-benar merasa tak berdaya. Di tengah keraguan mereka, sebuah bola api besar terlempar ke arah wajah raksasa itu. Blarrr!! Wajah raksasa itu terpental, namun itu masih jauh dari cukup untuk menumbangkannya.

“Besar bukan berarti tak dapat dikalahkan, sepertinya seluruh kesaktian yang kupelajari memang ditakdirkan untuk melawan makhluk dari zaman kuno ini,” Ucap Bli Waja. Sontak mereka menoleh ke arah Bli Waja yang mengambil posisi di paling depan. “Jangan nekad, Bli! Wujud Rangdamu saja masih jauh dibanding makhluk itu!” Tahan Mbah Jiwo. Bli Waja menepuk pundak Mbah Jiwo yang mengkhawatirkannya. “Kalian percayalah bahwa setiap dari kalian memiliki peran tersendiri di pulau ini. Kekuatanku lah yang paling besar diantara kalian, maka sudah sepantasnya aku yang menghadapinya,” Balas Bli Waja. “Tapi tetap saja, ini tidak masuk akal!” Tahan Dirga. Bli Waja hanya tersenyum. “Ingatlah, temukan peran kalian dalam pertarungan di pulau ini. Itulah kunci kemenangan kita,” Itulah kalimat terakhir Bli Waja sebelum berlari menuju sosok raksasa kuno yang bangkit di tanah terkutuk itu. “OM BHUR BHUVA SVAHA TAT SAVITUR VARENYAM BHARGO DEVASYA DHIIMAHI DHI YO YONAH PRACHODAYAT” ( Ya Tuhan Pencipta tiga loka ini. Engkau adalah sumber segala cahaya, sumber kehidupan. Pancarkanlah pada budhi nurani ini, Sinar-Mu yang maha suci. ) Suara mantra doa itu terdengar menggema dari arah Bli Waja. Mungkin bukan sebuah mantra atas ilmu yang sakti mandraguna, namun suara doa itu seolah memberi ketenangan, dan ketegaran atas apa yang ia hadapi di hadapannya itu. Raksasa kuno itu menghujamkan pukulannya ke arah Bli Waja. Ia menghindar dengan wujud rangdanya dan segera kembali ke wujud manusianya. Ada alasan mengapa ia memaksa untuk terus bertarung dalam wujud manusia. Ilmu terkuat yang ia miliki harus ia rapalkan dalam wujud manusia. Sebuah kesaktian yang ia dapatkan setelah melalui berbagai kehidupan. Kembali sebuah pukulan dari raksasa kuno itu mencoba menghantam Bli Waja. Namun belum sempat itu terjadi, sebuah lengan putih besar beradu dengan sosok raksasa itu dan membuat mereka berdua terpental. Dhhuummmmm!! Kedua raksasa itu terjatuh. Namun dari jauh mata Dirga, Guntur, Mbah Jiwo dan yang lain terpana dengan apa yang mereka lihat.


Sosok raksasa putih itu muncul dan bangkit dari tubuh Bli Waja. Terlihat Bli Waja begitu tersiksa menahan penggunaan ilmu itu, namun dengan semua yang iya korbankan, harapan akan kemenangan mereka mulai muncul. “Jangan sia-siakan perjuangan Bli Waja! Kita selesaikan tugas kita!” Teriak Mbah Jiwo. Di tengah pertarungan kedua raksasa itu, Dirga dan yang lain menerobos berbagai roh yang mulai bangkit untuk mengincar mereka. “Mereka sudah pergi, kenapa kau masih disini, Nyai?” Tanya Mbok Sar. Sebuah bola api melayang mengincar tempayan Mbok Sar, namun sebuah tendangan lincah seorang nenek tua menghalau bola api itu hingga terpental dan meledak. “Mana bisa aku membiarkanmu menjadi makanan setan-setan kurus itu,” Balas Nyai Jambrong sambil menghadang berbagai setan yang mengincar mereka. “Khekhekekhe… Apa aku boleh senang diperhatikan oleh nenek peyot? Khekheke” Tawa Mbok Sar, yang dibalas tatapan kesal Nyai Jambrong. “Tapi muridmu akan menghadapi bahaya yang besar, sebaiknya kau menyusul mereka. Jangan khawatirkan aku,” Nyai Jambrong menoleh ke arah Guntur dan Dirga yang sudah menjauh. “Dasar nenek peyot, sebaiknya kau jangan meremehkan murid-muridku!” Tolak Nyai Jambrong. Sayangnya perbincangan mereka harus terhenti sesaat. Sekumpulan mayat hidup yang tidak sempurna berpakaian prajurit kerajaan mulai bangkit dan menyerang mereka. “Jangan incar tubuhnya, incar kutukan di tubuh mereka,” Mbok Sar memberi petunjuk. Saat itu Nyai Jambrong yang bersiap menyerang mayat-mayat hidup itu menarik kembali dirinya. Ia mundur, menutup matanya dan membacakan doa yang cukup panjang ke tasbihnya berulang-ulang kali. Sebuah pedang berkarat mencoba menebas Nyai Jambrong disusul dengan tusukan tombak dari mayat-mayat prajurit itu. Namun tanpa membuka matanya, Nyai Jambrong dapat menghindari serangan itu semua.

Nyai Jambrong tidak menyerang balik, namun secara perlahan tasbih di genggamannya menyala putih bercahaya. Blarrrr!!!! Tasbih itu meledak dan berpencar menghantam mayat prajurit itu. Dari setiap butiran-butiran tasbih itu menggema doa-doa Nyai Jambrong yang kembali terdengar merasuk ke mayat-mayat yang tidak sempurna itu. Setelahnya butiran tasbih itu kembali ke tangan Nyai Jambrong dan kembali meledak menghantam mayat-mayat hidup lainnya. Setan-setan itu mencoba menghalau ledakan butiran tasbih itu dengan senjata mereka yang berkarat, namun setiap butiran tasbih itu selalu menemukan jalan untuk menggapai tubuh terkutuk itu. “Semoga Sang Pencipta bersedia menenangkan jiwamu, seperti harapku agar Ia mengizinkan aku mati dengan layak,” Ucap Nyai Jambrong. Mayat-mayat hidup itu berhenti bergerak setelah butir-butir tasbih itu menyentuh mereka. Asap hitam keluar dari jasad mereka bersama roh-roh yang begitu tersiksa yang perlahan mulai tenang. Nyai Jambrong mengumpulkan butiran tasbihnya kembali dan kembali membacakan doa. Di sisi lain, Mbok Sar menatap Nyai Jambrong sambil sedikit tersenyum. “Opo mesem-mesem?”(Apa senyum-senyum?) Tanya Nyai Jambrong galak. “Ndak, Nyai. Kau bertarung menggunakan doa. Sesuatu yang tidak pernah kau lafalkan satu kata pun saat dulu,” Ucap Mbok Sar. “Tujuanku sudah berubah, Sar. Dulu aku ingin menjadi yang terkuat dan mendapatkan hidup abadi. Sedangkan sekarang aku hanya ingin melihat cucu dan muridku tumbuh, dan aku bisa mati dalam pengampunan…” Mata Mbok Sar berkaca-kaca mendengar kata-kata itu. Ia tahu dengan jelas sebesar apa dosa Nyai Jambrong di masa lalunya. Seluruh dosanya mungkin tidak bisa diampuni dengan semua perbuatan baik di sisa umurnya ini. Namun Mbok Sar sadar bahwa bukan dirinya lah yang pantas menentukan hal itu. Nyai Jambrong pun menyelesaikan doanya dan seluruh tasbihnya berpencar dan melayang mengelilingi mereka berdua. Butiran-butiran itu dengan siaga melindungi kedua nenek itu dari serangan berikutnya. Mbok Sar kembali ke tempayan airnya dan melihat kedua pemuda menerobos reruntuhan candi dan bebatuan. “Guntur, Dirga! Sebuah reruntuhan candi menyimpan patung sesembahan Trah Pakujagar! Hancurkan sampai tak bersisa!” Perintah Mbok Sar melalui tempayannya itu. Guntur dan Dirga terhenti mendengar arahan dari Mbok Sar. “Itu suara, Mbok Sar?” tanya Dirga. “Benar, itu suara beliau. Kalian carilah benda yang maksud itu!” Nyi Sendang Rangu melayang mendekati Guntur dan Dirga. “Kalian nggak ikut dengan kami?” Tanya Guntur. Gantian Mas Jagad yang kini mendekati Dirga. “Kemampuan kalian saat ini lebih berguna untuk mencari dan menghancurkan benda itu. Saat ini tugas kami adalah membersihkan jalan kalian,” Ucap Mas Jagad. “Kita lawan bersama-sama saja Mas Ja…” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sosok makhluk berwujud wanita berambut panjang, setinggi pohon, berkebaya lusuh, dengan kuku-kuku yang tajam muncul dari balik asap hitam di dekat mereka. “I—iya!! Kami saja yang nyari patung itu!” Teriak Guntur tiba-tiba setelah melihat sosok hantu mengerikan itu. “Woo, dasar bocah!” Teriak Mas Jagad. Dirga hanya tertawa dan bersiap menyusul Guntur. “Sepertinya kau mendapatkan rekan yang cocok denganmu ya?” Ucap Mas Jagad. “Haha! Tetep Mas Jagad kok rekanku yang paling ganteng!” Balas Dirga yang bergegas mengejar Guntur. Jagad hanya menggeleng mendengar jawaban itu dan mempersiapkan dirinya menghadapi sosok-sosok yang mulai muncul.


“Lawanmu bukan setan wanita itu, Jiwo! Tinggalkan Jagad dan hadapi makhluk-makhluk masa lalu yang mulai bangkit!” Suara Mbok Sar kembali memberikan petunjuk atas apa yang harus mereka lakukan. Mbah Jiwo mengerti, namun ia merasa khawatir dengan Jagad. Terlebih roh wanita itu tidak sendiri. Ia membangkitkan setan-setan berpakaian sinden dari tanah itu. “Pergi, Mbah Jiwo! Percayakan mereka padaku. Takkan kubiarkan mereka menyentuh Dirga dan Guntur,” Ucap Mas Jagad dengan yakin. Mbah Jiwo mengerti situasi yang terjadi. Ia pun berpaling dan pergi ke sudut terdalam pulau dan menyaksikan sebuah punden yang menjadi tempat kebangkitan makhluk-makhluk mengerikan. Tepat saat Mbah Jiwo Sampai ke tempat itu, seekor burung garuda raksasa berbulu hitam baru saja bangkit dari altar. Sebagian tubuhnya masih berupa tulang, namun mata merahnya menandakan kesaktiannya mulai pulih. Di sisinya terlihat anggota-anggota tubuh mayat-mayat hidup melayang berkumpul membentuk sebuah gumpalan yang melayang. “Mbah Jiwo, lihat itu!” ucap Nyi Sendang Rangu menyadarkan Mbah Jiwo apa yang sebenarnya terjadi. Di hutan belakang punden berundak itu tergeletak tumpukan tulang-belulang dan bagian tubuh yang mulai pulih. Itu adalah tubuh-tubuh busuk raksasa berpakaian kerajaan. “Mereka akan membangkitkan itu semua?” Mbah Jiwo masih tidak habis pikir dengan apa yang ia hadapi. “Perang di padang Kurusetra melibatkan banyak ras. Manusia, raksasa, dedemit, Wanara, hingga ras yang tidak dikenali.” Jelas Nyi Sendang Rangu. “Dan tugasku adalah mencegah mereka agar tidak bangkit dan meninggalkan pulau ini?” Mbah Jiwo memastikan. Nyi Sendang Rangu mengangguk mengiyakan. “Aku membutuhkan kekuatanmu lagi, Ki Maesa Ombo..”

Sebuah butiran batu hitam dikeluarkan oleh Mbah Jiwo. Sebuah mantra dibacakan dan sekali lagi sosok yang selalu ada melindungi Mbah Jiwo kembali muncul. Dialah Ki Maesa Ombo sang penjaga lembah keramat. Tapi kali ini ada yang berbeda dari makhluk itu. Tubuhnya dua kali lebih besar, tanduknya semakin memanjang, dan kalimat rajah semakin memenuhi tubuhnya. “Groaaaaarrrrr!!!” “Kali ini kita akan bertarung bersama…” Mbah Jiwo pun mengeluarkan Keris Sukmageni yang dititipkan oleh paklek dan membacakan mantra pada bilah hitamnya. Mereka berdua pun melesat membabi buta menghadapi setan-setan yang mengejar mereka dan menghancurkan punden berundak dan berbagai reruntuhan di sana. Mbah Jiwo bukan petarung yang handal, namun kali ini bilah hitam Keris Sukmageni melukiskan api hitam di udara dan membuat setan-setan yang mendekat terbakar dengan api yang tak bisa dipadamkan itu. Siluman garuda hitam itu pun ikut mengamuk dan menghembuskan angin yang membuat Mbah Jiwo kehilangan keseimbangan. Ia pun memancarkan kekuatan hitam dan ingin segera menghabisi mereka berdua. Namun Ki Maesa Ombo sudah siaga melindungi Mbah Jiwo. Dhuaaaggg!!! “GGrrrrrrrr!”Kedua makhluk itu berbenturan. Sosok besar Ki Maesa Ombo beradu serangan dengan sosok garuda raksasa yang tak henti-hentinya mencoba mencabik-cabik Ki Maesa Ombo. Kobaran api hitam menari-nari di sekitar pertarungan Mbah Jiwo. Sementara benturan besar terus terjadi antara pertarungan Ki Maesa Ombo dengan Siluman Garuda itu. Nyi Sendang Rangu pun melayang memastikan semua keadaan yang terjadi. “Apa mereka sudah menempati bagiannya masing-masing?” Suara Mbok Sar terdengar oleh Nyi Sendang Rangu. “Iya, Mbok Sar. tapi perbandingan kekuatan mereka terlalu jauh,” Jawab Nyi Sendang Rangu, Tidak ada yang salah dengan ucapan Nyi Sendang Rangu. Walau Bli Waja sudah memanggil raksasa putih buah kesaktiannya itu masih tak mampu menumbangkan raksasa kuno itu. Entah sampai kapan ia bisa bertahan dengan ilmunya itu. Sementara Mas Jagad, hanya mampu mengalihkan setan wanita itu ke berbagai alam. Untuk menghabisi mereka bukanlah perkara mudah. Ajian watu geninya pun masih belum cukup untuk menghadapi mereka. Sementara Guntur dan Dirga masih bergelut dengan mayat hidup dan tipu muslihat yang menjebak mereka. “Di sini peranmu, Nyi Sendang Rangu! Hanya kau yang bisa membuat keajaiban di pulau ini,” Nyi Sendang Rangu mengerti. Namun ia menyadari kemampuannya sendiri. Hujannya selama ini memang bisa menghubungkan alam gaib dengan alam manusia, namun hal itu tidak akan begitu berpengaruh saat ini. Yang bisa ia lakukan hanya menghubungkan energi gaibnya melalui setiap rintikan hujan di pulau itu. setiap tetesnya akan membantu rekan-rekannya untuk kembali pulih sekaligus menenangkan setan-setan yang belum dikendalikan.


“Guntur! Belakangmu!” Teriak Dirga. Gundur yang berusaha berlari secepat mungkin dikejutkan sesosok kepala yang melayang mengincar lehernya. “Hwaaa!!! Hanja Sirah sial!!!” Ucap Guntur yang kaget dan berbalik menendang sosok hantu berwujud kepala penghisap darah itu. “Heh! Jangan tendang kesini!” Dirga yang kaget saat kepala itu melayang ke arahnya pun menendang balik hingga kepala itu terpental begitu jauh. “Gak sopan! Kepala orang tua kamu tendang-tendang!” Protes Guntur. “Kan kamu duluan!” “Kan Kepepet!!” Sayangnya hantu Hanja sirah itu hanya salam pembuka dari setan-setan di pulau itu. Tubuh-tubuh yang melayang mulai bermunculan mengerubungi Dirga dan Guntur. “Sial! Sampai Wedon saja ada?!” Protes Guntur. Walau mengeluh, Guntur masih tidak berhenti bertarung. Ia pun sudah mengikatkan tasbih di lengan kirinya dan menyeimbangkan kekuatan Wanasura di lengan kirinya. Dhuaaagggg!!! Hempasan energi dari pukulan yang ia arahkan ke tanah membuat ruang dan mementalkan setan-setan di sekitarnya. “Tidak akan sempat bila kita melawan mereka semua, biar aku yang menghalau mereka! Kau fokus ke mencari candi itu!” Teriak Guntur. Dirga pun mengerti, ia mencari reruntuhan tertinggi dan berdiri di atasnya. Guntur dengan lincah menghalau setan-setan yang mencoba mendekat ke arah mereka. Banyak.. terlalu banyak reruntuhan candi di pulau itu. hampir semua memiliki bentuk yang sama, namun Dirga sadar bahwa ia harus menemukan apa yang ia cari itu dengan instingnya. Ia pun mengambil posisi semedi dan memanggil Keris Dasasukma muncul dari sukmanya. “Itu, seperti Mas Danan? Kau menyimpan kerismu di dalam sukma?” Tanya Guntur yang kagum dengan hal itu. “kurang lebih seperti itu. Hanya saja, sukmaku bersatu dengan Keris Dasasukma,” Jawab Dirga. Mendengar penjelasan itu Guntur menggaruk kepala tak mengerti dengan penjelasan Dirga. Namun ia tidak peduli, ia percaya Dirga yang lebih berkepala dingin itu pasti mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang. “Guntur, aku titip tubuhku!” ucap Dirga.

Guntur menoleh sebentar dan mengangguk. Saat itu Keris Dasasukma melesat dengan cepat menuju candi-candi di sekitarnya. Kesadaran Guntur menyatu dengan Keris Dasasukma hingga ia bisa mengetahui apa yang ada di sekitar kerisnya itu. Keris itu pun melesat menembus berbagai candi yang masih berdiri, namun tak ada satupun sosok patung yang dimaksud oleh Mbok Sar. Dirga pun meluaskan jangkauannya dan mencari ke seluruh pulau. Satu persatu semua candi yang ia lewati ia masuki dengan wujud Keris Dasasukma, namun tetap saja nihil. Sebaliknya, ia melihat keadaan Mas Jagad yang mulai kewalahan. Tubuhnya dikelilingi oleh kobaran api dari ajian watu geni miliknya, namun roh setan wanita yang mengincarnya tidak mati hanya dengan kobaran api itu. Bli Waja terduduk memuntahkan darah, pertarungan antara raksasa yang tidak masuk di nalar itu berdampak pada dirinya. Rupanya sosok raksasa putih itu adalah perwujudan dari jiwanya. Setiap serangan yang diterima oleh raksasa putih itu akan melukai dirinya. “Dirga! Cepat! Mereka semakin banyak!!!” Suara Guntur terdengar dari tubuh Dirga. Sialnya, apa yang Dirga lakukan benar-benar menghabiskan tenaganya. Ia susah payah mempertahankan kesadarannya. Keris Dasasukma pun terjatuh di antara mayat-mayat hidup yang mulai bangkit. Ilmu itu benar-benar menguras tenaga dan kesadarannya. Sesosok panglima mayat hidup menyadari keberadaan Keris Dasasukma yang tergeletak itu dan menghampirinya. “Ini milik tuanku…” Sosok berwajah busuk itu tersenyum dan bersiap mencabut keris yang masih berisi kesadaran Dirga itu. Tepat saat keris Dirga digenggam oleh sosok itu, kekuatan hitam mengalir dan merasuk ke dalam Keris Dasasukma. Tubuh Dirga semakin pucat, beberapa bagian tubuhnya menghitam. “Dirga! Apa yang terjadi?!” Guntur panik, namun tidak ada jawaban apapun dari Dirga. “Mbok Sar! Kalau kau dengar, tolong Dirga!!” Teriaknya lagi.

Mbok Sar menyadari bahaya itu, tapi di sisi lain, Mbok Sar menyadari akan sesuatu. Ada sosok yang mendekat dari arah Pulau Jawa. Sepertinya keberadaan mereka disadari oleh Trah Pakujagar. “Nyi Sendang Rangu! Tidak ada waktu lagi!” Teriak Mbok Sar. Saat itu Nyi Sendang Rangu memutuskan untuk melemparkan selendangnya. Selendang itu melayang memutari pulau itu dan membawa angin yang begitu besar. Ia menurunkan hujan deras sehingga badai besar menguasai pulau itu. “Badai Sendang Panyondro.. Badai ini hanya bertahan sesaat! Selesaikan semuanya!” Teriak Nyi Sendang Rangu. Suara itu terdengar ke seluruh pulau dengan bantuan Mbok Sar. Secara tiba-tiba Bli Waja merasakan kekuatannya mulai pulih, dan energi besar mengalir ke dirinya. “I—ini?” Bli Waja menyadari bahwa seorang Nyi Sendang Rangu pun berkorban di pertarungan ini. Whoossshh!!! Seketika api hitam menyambar lengan panglima mayat hidup yang menggenggam Keris Ragasukma Dirga. Tangan itu terbakar dan keris Dirga terjatuh. “Kau tidak pantas menyentuh pusaka itu!” teriak Mbah Jiwo. “Manusia brengsek!” Panglima itu kesal, namun Mbah Jiwo menantangnya satu lawan satu. Trangg!! Keris Sukmageni di tangan Mbah Jiwo beradu dengan kuku-kuku tajam dari makhluk itu. Pertarungan sengit terjadi, Namun Mbah Jiwo menyempatkan diri mengambil keris Dirga. “Belum saatnya untuk tumbang, Dirga!” Ucap Mbah Jiwo. Ia menyalurkan badai energi dari Nyi Sendang Rangu ke keris Dirga sambil bertarung dengan panglima mayat hidup itu. Goresan-goresan luka mulai menghiasi tubuh Mbah Jiwo, namun ia mengesampingkan hal itu. Dengan kemampuannya sebagai Mpu pusaka, ia membentuk ulang keris Dirga dan memurnikannya. Saat itu kesadaran Dirga kembali. Keris itu pun kembali menyala putih. Mbah Jiwo lega melihat jiwa Dirga kembali terjadar. Ia pun melepaskan keris Dirga dan membiarkannya melayang. “Selesaikan kekacauan ini!” Teriak Mbah Jiwo. Dirga mengerti, ia kembali melesat. Namun saat ia pergi, ia menyadari Mbah Jiwo menerima sebuah cakaran yang menembus tubuhnya. “Pergi!!” Teriak Mbah Jiwo menahan sakit. Dirga cemas, namun ia tak ingin menyia-nyiakan pengorbanan Mbah Jiwo.

Mengetahui Keris Dasasukma terbang menjauh, Panglima Mayat hidup itu berpaling dan mengejar keris Dirga. Namun sebelum semakin jauh, Mbah Jiwo membaca sebuah mantra dengan Keris Sukmageni di hadapan wajahnya. “Hanguslah hingga tak bersisa…” Seketika api hitam membakar tubuh panglima mayat hidup itu. “Arrrghhh!!Api apa ini? Dari mana datangnya api ini? Panasss!!!” Makhluk itu terbakar api hitam yang tak kunjung padam. “Padamkan!! Padamkan!!” Tubuhnya hangus dan terus terbakar hingga ia tak mampu lagi bergerak dan menjadi abu. Mbah Jiwo yang tak mampu lagi berdiri melihat keris Dirga melayang menjauh, ia pun mulai tenang. Sementara itu sosok Ki Maesa Ombo mendekat ke arahnya dengan kepala sosok garuda yang tergigit di mulutnya. Ia pun berdiri melindungi Mbah Jiwo yang hampir tak berdaya itu. “Kau berhasil, Ki Maesa Ombo... Tapi tugas kita masih jauh dari kata selesai…” … Di sisi lain pulau, Jagad yang hampir putus asa mulai merasakan tenaga yang melimpah mengalir dari badai yang membasahi tubuhnya. “Khikhikhi… Kami sudah membunuh ribuan pria sepertimu,” Sosok setan wanita setinggi pohon itu tak henti-hentinya mencoba melahap jiwa Jagad. Blarrrr!!! “Aku juga sudah berkali-kali memberi pelajaran pada wanita setan sepertimu!” Balas Mas Jagad yang kembali mengerahkan ajian watu geni nya. Sialnya, Kobaran api dari ajian itu tidak berpengaruh pada makhluk itu. Ia malah keluar dari kobaran api dengan wujud wanita cantik yang begitu menggoda.

“Aku bisa menjadi milikmu jika kau mau patuh kepadaku,” Ucap sosok itu. Jagad terdiam, ada pesona aneh yang merasuk ke dalam dirinya. Ia sadar bahwa ia tahu dengan jelas wujud asli wanita itu, namun entah mengapa jantungnya terus berdebar melihat kecantikan itu. Sosok wanita jelmaan itu melangkah dengan anggun ke arah Jagad. Tak ada perlawanan dari Jagad, ia benar-benar terpaku dengan kecantikan sosok yang ada di hadapannya itu. “Hirup wangi aroma tubuhku… Sentuh halusnya kulitku… Nikmati tubuhku…” Sosok itu mulai menyentuh tubuh Jagad, ia memainkan tangannya di pipi Jagad dan merayunya dengan penuh pesona. “Pria sesakti dirimu akan sangat berguna untuk kami..” Ucap wanita jelmaan itu. Jagad yang mulai tergoda pun mendekatkan bibirnya pada bibir merah wanita itu. Senyum kecil terpancar dari wanita jelmaan itu, namun sesuatu di hati kecil Jagad menahannya dan membuatnya membisikan sebuah mantra. Seketika sekumpulan kabut menyelimuti mereka berdua. Langit pun semakin menghitam, tak ada cahaya menerangi sekitar mereka, suara teriakan terdengar dari berbagai sisi. “A—apa ini? Apa yang kau lakukan?” Wanita itu bingung dengan keadaan di sekitarnya. Jagad masih tertegun, namun dengan gelapnya tempat itu ia tak bisa melihat wanita jelmaan itu dengan jelas. Jagad pun perlahan mulai tersadar dari pengaruh wanita itu. “Sial, hampir saja aku terjebak!” Jagad pun pergi menjauh, namun wanita jelmaan itu masih mengejarnya. Sementara itu terdengar suara raungan berbagai makhluk dari segala sisi di tempat itu. Hutan tandus, genangan air yang menghitam, kabut hitam, tempat itu benar-benar dikutuk. “Alam leluhur Sambara, alam terkutuk ini cocok untukmu!” Ucap Jagad. Jagad pun menghilang di kegelapan alam itu, saat setan wanita itu ingin menyusulnya tiba-tiba seekor ular besar bertanduk muncul dan melahap sebagian tubuh setan itu. “Arrrggg!!Tidak!! Bawa aku pergi dari sini!!” Sosok wanita jelmaan itu kembali menjadi wujud aslinya, namun setengah tubuhnya sudah menjadi santapan makhluk di alam penghakiman leluhur sambara itu. Jagad menggeleng melihat kejadian itu dan segera meninggalkan alam terkutuk itu. Sraatttt!!! Jagad jatuh terduduk. Jika tanpa kekuatan badai Nyi Sendang Rangu saat ini ia pasti sudah tak mampu berdiri setelah menggunakan ilmu menuju alam itu. Ia mengatur nafasnya dan menatap mayat-mayat sinden yang masih berdiri dihadapannya. “Cepatlah, Guntur dan Dirga!!” … Keris Dirga melesat semakin cepat, menghancurkan setiap candi yang masih berdiri namun walau semua candi itu sudah dihancurkan ia tidak menemukan keberadaan patung yang dimaksud. Hanya ada satu kemungkinan menurutnya.

Ia melihat sebuah batu hitam di tengah pulau yang tak bisa ia hancurkan. Hanya itu yang tersisa. Srattt!!! Keris Dasasukma kembali ke tubuh Dirga bersama kesadarannya. “Guntur! Semua candi sudah kutembus! Tidak ada patung itu. Tapi ada sebuah batu hitam besar di pusat pulau ini, aku butuh kekuatan yang lebih besar!” Teriak Dirga. “Tenang, aku sudah mempersiapkan ini semua!” Guntur melepas tasbih di tangannya dan mengalungkannya. Suara degupan jantung besar terdengar dari tubuh Guntur. “Wanasura! Kami membutuhkanmu!” Teriak Guntur. Graaaaaaaooorr!!! Suara teriakan Wanasura yang mengamuk terdengar ke seluruh pulau menunjukan kemunculan sosok sang panglima kera alas Wanamarta. Seekor kera putih dan hitam melesat dari reruntuhan candi dan menaiki bahu Guntur dan Dirga. “Kita hancurkan batu hitam di tengah pulau!” Ucap Dirga pada sosok kera putih di bahunya. Sosok itu pun mendekat ke Wanasura dan menyampaikan hal itu. Walau mengenali Guntur dan Dirga, wujud Wanasura dan Wanasudra bukanlah makhluk yang bisa dikendalikan sembarang orang. Keberadaan monyet putih dan wujud kliwon lah yang menjadi ikatan mereka. “Nyi Sendang Rangu! Pertahankan badai ini sebentar lagi!” Teriak Dirga. Wujud roh Wanasura hanya bisa bertahan di alam gaib atau dengan bantuan hujan dari Nyi Sendang Rangu. Mereka memanfaatkan waktu yang hanya sesaat itu dengan menaiki tubuh Wanasura dan menerobos setan-setan di sekitar mereka menuju batu hitam itu. Dummm!! Dhummm!! Amukan wanasura melibas setan-setan yang menghalangi jalan mereka. Sementara itu Keris Dasasukma Dirga terus melayang menembus tubuh setan-setan di sekitarnya. Groaaaaaar!!! Bruakkk!!! Dengan sekali hantaman batu hitam itu pun hancur dan meruntuhkan tanah di sekitarnya. Benar tebakan Dirga. Candi itu tersembunyi di bawah tanah di bawah batu itu. “Hancurkan Wanasura! Hancurkan patung di dalam candi itu!” Teriak Guntur. Wanasura pun menghantamkan tubuhnya hingga candi itu hancur. Terlihat sosok patung besar yang mengerikan di dalam Candi di bawah tanah itu.

Namun bukan itu yang membuat Guntur dan Dirga tak mampu menahan amarah mereka. Di hadapan patung itu, menumpuk jasad-jasad manusia yang menjadi tumbal atas rencana Trah Pakujagar ini. Wanasura pun tidak menahan diri, ia mengamuk sejadi-jadinya dan meratakan patung yang menjadi berhala sesembahan Trah Pakujagar itu. Bbruaaaaaakkkkk!!! Setelah melampiaskan kekesalannya Wanasura meninggalkan lubang runtuhan itu dan membawa Guntur dan Dirga kembali ke atas. Guntur menyadari Badai Nyi Sendang Rangu sudah mulai mereda. Ia pun meminta wanasura untuk kembali dan mengikatkan kembali tasbihnya di tangannya. “Terima kasih, Wanasura…” Ucap Guntur. Tepat setelah kehancuran patung itu raksasa yang dihadapi Bli Waja tak lagi mampu mempertahankan wujudnya, tak ada lagi mayat-mayat hidup yang bangkit di pulau itu. “Apa kita berhasil?” Tanya Dirga. Guntur Ragu, ia menatap ke arah langit dan menyaksikan Nyi Sendang Rangu sedang menatap dengan wajah waspada ke salah satu sisi. Ada seseorang tak jauh di hadapannya. “Kau terlambat, gerbangmu sudah kami musnahkan,” Ucap Nyi Sendang Rangu. Tak Jauh di hadapannya melayang sosok wanita berkebaya hitam dengan wajah yang semakin muda dari kemunculannya sebelumnya. Dia adalah Nyai Ratu Tanusedo, sang Ratu Trah Pakujagar.


“Kalian melakukan hal yang sia-sia. Kebangkitanku sudah lebih dari cukup untuk menguasai alam ini,” ucapnya. Nyai Ratu Tanusedo tidak hanya menggertak, dengan sebuah gerakan tangan sosok raksasa yang bertarung dengan Bli Waja berubah mengecil mengambil wujud manusia berkulit hitam berpakaian kerajaan. Ia melayang mengambil posisi di belakang Ratu trah Pakujagar itu. Tak hanya raksasa itu, gumpalan tubuh mayat yang berhadapan dengan Ki Maesa Ombo, dan puluhan makhluk dengan kekuatan mengerikan melayang membentuk pasukan di belakang Ratu Trah Pakujagar itu. Nyi Sendang Rangu tak Gentar, ia dengan tegar menghadapi sosok pasukan mengerikan di hadapannya itu. Namun ia tidak sendiri, di belakang Nyi Sendang Rangu berdiri Bli Waja, Dirga, Guntur, Jagad, Nyai Jambrong, Mbok Sar, Mbah Jiwo dan Ki Maesa Ombo. “Kita selesaikan semua disini,” Gertak Nyi Sendang Rangu. Nyai Tanusedo menatap Mereka semua dan menyaksikan kehancuran di pulau itu. Saat itu ia merasa ragu untuk menghadapi mereka semua. Ia tidak mau rencana yang ia susun ratusan tahun gagal hanya dengan sebuah pertaruhan. “Tidak sekarang, akan kuhancurkan tanah tempat kalian tinggal dan seisinya. Jasad mereka akan cukup untuk memperpanjang umur kami ribuan tahun lagi..” Nyai Tanusedo dan pasukan-pasukan yang tersisa dari pulau itu pun mundur menjauh. Nyi Sendang Rangu menatap mereka dengan waspada, dan saat mereka menghilang dari penglihatan, Nyi Sendang Rangu pun terkulai dan jatuh. Nyai Jambrong yang menyadari hal itu melompat dari ujung-ujung reruntuhan dan menangkap Nyi Sendang Ragu. “Gertakanmu berhasil, Nyi..” Puji Nyai Jambrong. “Syukurlah… Sekarang mereka tidak bisa menambah kekuatan lagi, pertarungan akhir akan terjadi…” Ucap Nyi Sendang Rangu yang berusaha kembali berdiri. Mereka pun berkumpul di satu tempat dan memulihkan tenaga mereka masing-masing. Luka mereka cukup parah, namun petarungan besar tak bisa dihindari. Tapi di saat genting itu tiba-tiba Mbok Sar tersenyum. “Tak perlu khawatir, Mereka berhasil kembali!” ucap Mbok Sar. Mendengar ucapan itu semua orang di tempat itu segera menyadari siapa yang dimaksud Mbok Sar. Nyi Sendang Rangu pun tersenyum dan kembali berusaha untuk melayang. “Aku akan menemui mereka lebih dulu,” Ucapnya. Mendengar hal itu Mbah Jiwo dan Jagad mendekat dan menyerahkan pusaka yang selama ini dititipkan kepada mereka. Keris Ragasukma dan Keris Sukmageni. “Mereka akan membutuhkan ini..” Nyi Sendang Rangu mengangguk, sesaat setelahnya seekor kera putih dan seekor kera hitam ikut berlari dan berdiri di pundak Nyi Sendang Rangu. Ia pun segera melesat menuju arah ketiga pendekar yang akan menentukan akhir perang gaib ini. ***

(Di sebuah gua lereng gunung…) Seorang pemuda duduk seorang diri di goa yang dingin menanti kedatangan seseorang. Dia Cahyo, yang beberapa saat lalu berhasil kembali ke tubuhnya setelah perjalanan tak masuk akal yang mereka alami.. Dugaannya tepat, sehari setelah ia mendapatkan kesadarannya sosok pria bertopeng itu datang ke tempat persembunyiannya. “Jadi kalian berhasil kembali? Dan teman-temanmu meninggalkanmu?” tanya Pria bertopeng itu. “Tentu saja, aku yang memutuskan untuk tetap disini untuk menemuimu. Mereka menitipkan ucapan terima kasih,” Balas Cahyo. “Jangan besar kepala, semua ini demi tujuanku,” Mengetahui Danan, Cahyo, dan Paklek sudah sadar, tidak ada alasan lagi untuk Pria bertopeng itu berada di goa itu. Ia pun berpaling untuk pergi. “Tunggu dulu, ada urusan yang harus kita selesaikan,” Ucap Cahyo. Pria Bertopeng itu pun berhenti dan menggenggam wayang wanara di punggungnya. “Kau ingin bertarung disini?” Balasnya. “Bukan.. aku baru sadar akan sesuatu.” Mengetahui Cahyo tak ada niat bertarung, Pria bertopeng itu pun melepaskan kembali Wayangnya dan berbalik. “Aku yakin tidak ada satu pun warga desaku yang selamat. Paklek sudah memeriksa berkali-kali, dan aku percaya dengan ucapannya. Setelah melalui perjalanan beberapa waktu lalu aku sadar bahwa berbagai hal tak masuk akal terjadi di alam ini. Salah satunya adalah keberadaanmu. Kau tidak seharusnya ada di semesta ini…” Ucap Cahyo. “Jadi kau sudah tahu siapa aku?” Tanya pria bertopeng itu. “Tak kusangka cukup sulit untuk mengenali diri sendiri. Iya kan? Cahyo?” Pria bertopeng itu pun membuka topengnya. Wajahnya penuh dengan luka, namun dibalik topeng itu ada wajah yang sangat dikenali. Itu wajah Cahyo dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan dibanding Cahyo di hadapannya.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part 7 hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung dan atas keterlambatan updatenya.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close