Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jiwa Yang Tersesat (Part 13)


JEJAKMISTERI - "Sudah sampai! Buka matamu!" kudengar bisikan lembut dari Dayang Kesambi, yang segera disusul oleh seruan seorang laki laki.

"Bu Ratih! Alhamdulillah, mereka bertiga sudah sadar!"

Mbak Ratih?! Pelan pelan kubuka mataku. Hal yang pertama kulihat adalah, gelap! Ya. Kegelapan menyelimuti suasana di sekitarku. Lalu beberapa sosok yang tak begitu jelas mengelilingiku. Salah satu sosok itu lalu mendekat ke arahku, dan berjongkok di hadapanku.

"Sudah sadar kau Gun?" ujar sosok itu, suara seorang perempuan yang sangat kukenal.

"Apa yang terjadi Mbak?" aku balik bertanya, sambil berusaha bangkit dan mengenali suasana di sekitarku. Ternyata saat itu aku terbaring diatas batu yang berada di bantaran kali dibawah bendungan. Ah, aku ingat sekarang, ini pasti....

"Justru aku yang harusnya nanya gitu Gun. Apa yang kamu lakukan, sampai kamu dan teman temanmu itu bisa pingsan di tempat ini? Pakai bawa bawa cewek segala! Kalau Indri tau bisa mampus kamu!" sungut Mbak Ratih.

"Oh, jadi aku pingsan ya Mbak?" tanyaku lagi.

"Ya! Kamu pasti sudah melakukan hal yang aneh aneh disini! Kudengar dari orang orang yang menjemputku tadi, cewek yang kaubawa itu kesurupan. Lalu...," Mbak Ratih melirik ke arah tanggul bendungan. "Siapa dia?"

"Dia?" aku mengikuti lirikan mata Mbak Ratih. "Edan, dia kan..." aku tak melanjutkan ucapanku, karena yang dimaksud 'dia' oleh Mbak Ratih adalah Dayang Kesambi. Peri cantik itu nampak duduk ongkang ongkang diatas tanggul bendungan sambil melambaikan tangan dan memamerkan senyum manisnya ke arahku.

Kukerjapkan mataku berkali kali, untuk memastikan bahwa yang aku lihat itu tak salah. Dayang Kesambi, yang waktu di istana peri tadi selalu bersikap kaku, tegas, dan berwibawa, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Lihat saja gaya duduknya yang sama sekali tak mencerminkan gaya duduk seorang punggawa kerajaan.

"Sejak kapan kamu bergaul dengan makhluk makhluk semacam itu Gun? Kamu nggak sadar apa, kalau makhluk dari jenis seperti mereka itu hobynya menjerat kaum lelaki?!" tanya Mbak Ratih lagi.

"Panjang ceritanya Mbak. Lebih baik kita pulang saja dulu ke rumah Mbak. Nanti akan aku ceritakan, sekalian aku mau minta bantuan Mbak Ratih. Soal dia, Mbak Ratih ndak usah khawatir, meski dia seorang peri, tapi aku jamin deh kalau dia peri baik!"

"Ada ada saja kamu Gun! Ya udah, ayo! Lama lama disini bisa jadi tontonan orang kamu!"

"Sebentar Mbak," aku lalu memanggil Slamet yang masih nampak kebingungan itu. "Met, lebih baik sekarang kau antar Cempluk pulang!"

"Tapi Mas..."

"Sudah! Ndak usah ngeyel! Kamu yang melibatkannya dalam masalah ini, jadi kau juga yang harus bertanggung jawab. Aku masih ada urusan dengan Mbak Ratih!"

"Iya deh, tapi kalau ada apa apa kabari aku ya Mas!" Slamet lalu mengajak Cempluk pergi dari tempat itu.

"Yuk Mbak, kita ke rumahmu! Dan nggak papa kan kalau aku ajak dia?" ujarku kepada Mbak Ratih, sambil kembali melirik ke arah Dayang Kesambi yang kini tengah melayang mendekat ke arahku.

"Terserah kamulah! Tapi kalau dia berani macam macam, jangan salahkan aku kalau dia-mu itu kulenyapkan!"

"Cih!" Dayang Kesambi memberengut mendengar ucapan Mbak Ratih itu.

"Sudah, nggak usah didengerin!" ujarku Pada Dayang Kesambi, sambil melangkah mengikuti Mbak Ratih menaiki tanggul bendungan itu. Dayang Kesambi yang masin nampak cemberut mengikutiku dari belakang.

****

"Nekat kamu ya Gun! Bisa bisanya kamu sampai masuk ke alam mereka! Beruntung kau bisa kembali! Kalau enggak, bisa bisa nasibmu bisa kayak Pak Prabowo itu!" kata Mbak Ratih begitu mendengar ceritaku soal petualangan aneh yang baru saja kualami.

"Aku juga nggak ngerti Mbak, tau tau aku sudah ada disana. Beruntung aku ketemu sama Ratu Gayatri. Dan Kyai Jambrong ternyata juga ada disana!" ujarku menjelaskan.

"Ratu Gayatri?" Mbak Ratih mengerutkan keningnya.

"Iya Mbak. Ratu peri itu namanya Gayatri. Dan dia ini adalah salah satu dayangnya, yang diutus untuk mengatarku kembali ke alam manusia."

Mbak Ratih kembali melirik ke arah Dayang Kesambi yang sejak tadi melayang kian kemari di ruang tamu rumah itu. Tingkahnya sangat aneh. Sepertinya setiap benda yang ia lihat di dalam ruangan ini sangat menarik perhatiannya. Bahkan saat melihat jam dinding antik yang menempel di tembok, kepala peri itu sampai bergoyang kekanan dan kekiri, mengikuti ayunan bandul yang ada di jam itu.

"Hey! Jangan sembarangan menyentuh barang milik orang!" aku tersenyum geli melihat Dayang Kesambi yang sedang berusaha memasukkan tangannya kedalam akuarium berisi ikan hias itu terlonjak kaget mendengar hardikan Mbak Ratih.

"Suruh piaraanmu itu duduk Gun! Bertamu ke rumah orang kok celamitan gitu!" sungut Mbak Ratih. Aku hanya tertawa, lalu memberi isyarat agar Dayang Kesambi duduk di sebelahku. Meski terlihat kesal, Dayang Kesambipun akhirnya duduk di sebelahku. Wajahnya ditekuk dengan bibir mengerucut. Namun matanya masih jelalatan memandangi seluruh sudut ruangan. Bahkan tangannyapun tak mau diam. Vas bunga, asbak, sampai toples tempat cemilan yang berada diatas meja satu persatu ia angkat dan ia amati dengan sangat serius.

"Makhluk aneh!" dengus Mbak Ratih. Dayang Kesambi tak memperdulikannya. Ia masih asyik mengamat amati keripik singkong yang berada di dalam toples kaca itu.

"Jadi gimana Mbak, sampeyan bisa bantu kan?" ujarku mencoba mencairkan suasana.

"Ya, mau gimana lagi Gun! Nanti akan kucoba. Sekarang coba kamu hubungi keluarga Pak Prabowo dulu! Sepertinya bukan hal yang mudah untuk membujuk Bu Rokhayah membawa Pak Prabowo kembali kesini, mengingat desa ini penuh dengan kenangan buruk yang dulu pernah menimpanya."

"Soal itu, serahkan saja padaku Mbak. Mungkin Dayang Kesambi bisa sedikit membantu. Biar kuajak dia kesana."

"Dayang Kesambi?"

"Iya. Dia ini, namanya Dayang Kesambi!" jawabku sambil melirik Dayang Kesambi yang duduk di sebelahku.

"Nama yang aneh!" gumam Mbak Ratih.

****

Jadilah, setelah selesai dengan urusan di rumah Mbak Ratih, aku segera meluncur ke kota kabupaten, bermaksud untuk menjemput Pak Prabowo dan Bu Rokhayah. Dengan motor yang kupinjam dari Mbak Ratih, karena motorku dibawa Slamet, kususuri jalanan yang tak begitu ramai itu, sambil sesekali ngobrol dengan Dayang Kesambi yang awalnya terbang disebelah motor yang kukendarai, namun tak lama justru nemplok di boncengan motor sambil berpegangan pada pinggangku.

"Aku pengen ngerasain naik tunggangan aneh ini! Tunggangan apa ini namanya?" begitu katanya, saat kutanya kenapa nggak terbang aja dan malah ikut ngebonceng di motor yang kukendarai.

"Ini bukan tunggangan, tapi kendaraan, namanya sepeda motor," jelasku. "Dan kamu pegangannya jangan dipinggang dong, di pundak aja."

"Kenapa memangnya?"

"Aku risih tau! Lagian nggak enak kalau dilihat orang!"

"Ah, biarin aja. Orang juga nggak bakalan bisa ngelihat aku!" alih alih menuruti kata kataku, Dayang Kesambi justru melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, membuatku semakin risih.

"Lha, kok malah meluk pinggang lho, wong disuruh pegangan pundak juga."

"Aku kan hanya meniru orang orang itu. Cara mereka naik tunggangan kan seperti ini."

"Iya, tapi kan...., ah, sudahlah!" aku menyerah. Susah memang ngomong sama makhluk yang baru pertama kali datang ke dunia manusia. Kubiarkan Dayang Kesambi memeluk pinggangku. Paling tidak, semenjak keluar dari istana tubuh Dayang Kesambi sudah menghangat, tidak dingin seperti saat memelukku dalam pertempuran kemarin.

Untuk menghilangkan rasa tak enakku, aku terus mengajaknya ngobrol. Dari obrolan itulah akhirnya aku tau kalau Dayang Kesambi sangat senang bisa berkunjung ke alam manusia. Ini untuk pertama kalinya ia masuk ke alam manusia. Banyak hal hal aneh yang ia temui, yang sangat menarik rasa keingintahuannya.

Aku hanya tersenyum geli mendengar pengakuannya itu. Tapi aku ikut senang. Apalagi perubahan sikap Dayang Kesambi itu secara tidak langsung membuat kami bisa lebih akrab lagi. Di istana peri tadi, Dayang Kesambi tak berani dekat dekat denganku, karena katanya aku masih menjadi tamu kehormatan sang Ratu. Padahal dia sangat ingin mengenal seperti apa makhluk yang bernama manusia itu.

Tugas yang diberikan oleh Ratu Gayatri untuk mengantarku kembali ke alam manusia, tentu saja membuat Dayang Kesambi sangat senang. Keinginannya untuk lebih banyak mengetahui soal kehidupan manusia kini bisa ia dapatkan. Tak heran kalau begitu sampai di alam manusia ia sedikit celamitan mengamati apapun yang ia temui, yang menurutnya menarik dan aneh itu.

Tanpa sadar, karena keasyikan mengobrol, kami sudah sampai di rumah Pak Prabowo. Awalnya kedatanganku disambut dengan sangat baik. Namun saat aku mengutarakan maksudku untuk membawa Bu Rokhayah dan Pak Prabowo kembali ke waduk Kedhung Jati, apa yang diucapkan oleh Mbak Ratih tadi menjadi kenyataan. Bu Rokhayah meradang! Bahkan nyaris mengusirku kalau saja Lastri yang juga masih berada di rumah tak mencegahnya.

Akhirnya, dengan bantuan Lastri, akupun berhasil membujuk Bu Rokhayah. Setelah melakukan persiapan ala kadarnya, dengan mobil yang dikemudikan oleh Lastri sendiri, kamipun berangkat ke Kedhung Jati. Aku mengikuti mobil itu dengan motorku dari belakang, dengan Dayang Kesambi yang masih nemplok di boncengan.

Sorepun menjelang, saar kami sampai dirumah Mbak Ratih. Mbak Ratih sendiri sepertinya sudah mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk ritual malam nanti. Setelah berbasa basi sejenak, kamipun berangkat ke waduk.

Suasana begitu terasa kaku saat kami sampai di bawah bendungan. Bu Rokhayah yang kembali terkenang dengan kisah kelam masa lalu di tempat ini, terlihat sangat terguncang. Lastri dengan penuh perhatian mencoba menenangkan sang ibu. Sementara Pak Prabowo yang duduk di kursi roda, nampak terdiam tanpa ekspresi.

Mbak Ratih segera bersiap untuk memulai ritualnya. Suasana menjadi sedikit tegang. Aku berdiri agak jauh dari tempat Mbak Ratih. Dayang Kesambi yang berdiri disebelahku, tiba tiba berbisik.

"Sepertinya ini tak akan mudah!"
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close