Jiwa Yang Tersesat (Part 14)
JEJAKMISTERI - Kegelapan menyambut kami, saat aku, Mbak Ratih, Bu Rokhayah, Lastri, dan juga Pak Prabowo menyusuri jalan setapak yang menuju kebawah bendungan itu. Mbak Ratih berjalan paling depan, dengan senter di tangannya yang menerangi langkah kami. Disusul oleh Bu Rokhayah yang berjalan dibelakangnya. Aku sediri lebih memilih untuk berjalan dibelakang, membantu Lastri yang nampak kesulitan mendorong kursi roda sang ayah di jalan yang sempit itu. Sementara Dayang Kesambi, melayang disebelahku.
Sampai di bantaran kali bawah bendungan, tiba tiba Bu Rokhayah menghentikan langkahnya, membuat aku dan Lastri yang berjalan dibelakangnya mau tak mau juga ikut berhenti.
"Ada apa Bu?" tanya Lastri pelan, melihat sang ibu berhenti tiba tiba.
"Tempat ini...!" Bu Rokhayah mendesis tajam. Suaranya terdengar bergetar, seolah sedang menahan emosi yang membuncah di dadanya. "Tempat ini...! Iblis iblis itu, di tempat inilah mereka merenggut sukma bapakmu Lastri! Di tempat ini mereka merenggut semua kebahagiaanku! Aku..., kita..., tak seharusnya kita kembali ke tempat terkutuk ini! Ini salah! Ini tidak benar! Aku..., luka lama di hatiku yang belum sepenuhnya kering, tak seharusnya kembali terkoyak...."
"Bu Rokhayah," Mbak Ratih yang juga menyadari guncangan jiwa yang dirasakan oleh Bu Rokhayah, berbalik dan melangkah mendekat ke arah perempuan itu, lalu menepuk bahunya lembut. "Saya tau, dan saya bisa merasakan apa yang Bu Rokhayah rasakan. Tapi saya mohon, Bu Rokhayah bisa sedikit menahan diri. Kuatkan hati ibu. Ini semua demi kesembuhan Pak Prabowo. Ibu tak ingin kan suami ibu terus terusan seperti ini? Lihat baik baik. Lihat baik baik suami ibu. Betapa menderitanya beliau. Dan sudah terlalu lama beliau menderita seperti itu. Penderitaan yang saya yakin ibu dan Lastri anak ibu juga ikut merasakannya. Cukup! Sudah cukup! Kita harus mengakhiri semua penderitaan ini. Saya akan berusaha semampu saya, dengan bantuan ibu tentunya, karena saya tak akan bisa melakukannya sendiri. Karena itu saya mohon Bu, kuatkan hati ibu, sejenak lupakan semua kenangan pahit ibu di tempat ini, agar apa yang akan kita lakukan malam ini tidak sia sia."
"Ah, saya tak yakin," Bu Rokhayah mendesah pelan. "Sudah tak terhitung lagi usaha yang telah saya lakukan selama ini. Sudah tak terhitung orang orang yang mengaku bisa dan berusaha membantu kami. Tapi, tak ada apapun hasil yang bisa kami dapatkan. Saya sudah lelah! Saya sudah...."
"Bu," Lastri menyela. Gadis itu melepaskan pegangan tangannya dari kursi roda sang ayah, lalu mendekat ke arah sang ibu. Terpaksa aku menahan sendirian kursi roda diatas jalanan yang sedikit menurun itu. "Benar apa kata Bu Ratih. Kita harus terus berusaha. Kita tak boleh putus asa. Ini semua demi Bapak Bu. Apalagi Mas Indra juga sudah menceritakan semua kejadian yang baru saja ia alami kemarin. Siapa tau, malam ini kita benar benar bisa mengembalikan kesadaran Bapak."
"Ah, entahlah Lastri. Ibu belum bisa yakin. Dan ibu juga..., ibu...,"
"Percaya sama Lastri Bu, Bu Ratih, dan juga Mas Indra, Lastri yakin mereka berbeda dengan orang orang yang selama ini berusaha membantu kita. Mereka orang yang lahir di desa ini, tentu lebih memahami apa apa yang ada di desa ini. Apalagi Bu Ratih, bukankah beliau yang dulu membantu menemukan Bapak saat Bapak hilang? Salah kita kalau selama ini kita tak ingat untuk meminta bantuan kepada beliau, dan lebih memilih untuk meminta bantuan kepada orang lain. Ketulusan Bu Ratih dan Mas Indra yang mau membantu kita bahkan tanpa kita minta, Lastri yakin itu menjadi nilai lebih mereka dibandingkan dengan orang orang yang selama ini membantu kita. Apalagi kita sudah sejauh ini Bu, kita sudah sampai di tempat ini, tak mungkin kita kembali tanpa berusaha terlebih dahulu."
"Ya. Kau benar Lastri! Maafkan ibu. Ibu hanya..., ah, sudahlah, sepertinya kita memang harus berusaha sekali lagi. Dan mudah mudahan ini usaha terakhir kita. Bapakmu bisa kembali, dan kita bisa hidup bahagia seperti dulu lagi."
"Amiiinnn...!!!" serempak aku, mbak Ratih, dan Lastri mengamini ucapan Bu Rokhayah itu.
"Syukurlah, kalau begitu, mari, kita lanjutkan rencana kita. Semakin cepat semakin baik," Mbak Ratih kembali melangkah, dengan kami yang mengekor dibelakangnya. Sampai di bawah bendungan, Bu Ratih berhenti sejenak, lalu mengarahkan senternya kesana kemari, memperhatikan situasi di tempat itu. Derasnya air yang yang mengalir dari atas bendungan membentuk air terjun kecil terdengar bergemuruh, membuat kami harus menambah volume suara saat berbicara.
"Gun, kalau tak salah, posisi batu besar dan pohon trembesi yang dulu ditebang itu disana kan ya?" tanya Mbak Ratih, sambil mengarahkan senternya ke salah satu sisi tanggul bendungan.
"Kalau nggak salah sih iya Mbak," seruku.
"Hmmm, kalau begitu..." Mbak Ratih kembali memperhatikan sekeliling, seolah sedang mengukur jarak atau mencari tempat yang tepat untuk melakukan ritual. "Sepertinya kita bisa melakukannya dari sini Gun. Diatas pelataran batu yang rata ini."
Bu Ratih menghampiri pelataran batu di salah satu bantaran kali itu, yang jaraknya tak begitu jauh dari perkiraan tempat batu besar dan pohon trembesi yang dulu ditebang dan dihancurkan oleh Pak Prabowo. Perempuan itu lalu duduk bersila disana, sambil memejamkan mata dan menarik nafas panjang beberapa kali.
"Ya. Benar. Disini," seru Mbak Ratih sambil melambai ke arah kami, menyuruh kami untuk mendekat ke arahnya.
"Bagaimana? Bu Rokhayah sudah benar benar siap?" tanya Mbak Ratih.
"Insya Allah siap Bu," jawab Bu Rokhayah.
"Kalau begitu, silahkan duduk disebalah kanan saya. Tenangkan perasaan ibu, dan kosongkan pikiran ibu, fokuskan hanya kepada suami ibu, Pak Prabowo!"
"Baik Bu," Bu Rokhayah lalu ikut duduk disebelah kanan Mbak Ratih.
"Lastri, tolong kamu tempatkan kursi roda ayahmu di sebelah kiriku," perintah Mbak Ratih lagi, yang segera dipatuhi oleh Lastri. Gadis itu mendorong kursi roda ayahnya kesamping Mbak Ratih.
"Dan kau Gun, kau tunggu disitu saja, jaga peri piaraanmu itu agar tak ikut campur dan mengganggu!"
"Cih! Kenapa dia selalu menyebutku piaraanmu sih?" Dayang Kesambi yang berdiri disebelahku mendecih.
"Sudah, nggak usah didengerin," bisikku, "toh kamu memang...."
"Apa?!" Dayang Kesambi melotot ke arahku.
"Eh, enggak kok."
"Guunnn...!!!" Mbak Ratih kembali berseru.
"Eh, iya Mbak! Kami akan menunggu disini saja. Dan janji deh, kami nggak akan mengganggu." seruku.
"Enak saja mengganggu! Ini juga menjadi urusanku! Kau lupa kalau Gusti Ratu juga menugaskan aku untuk membantumu menyelesaikan masalah ini sampai tuntas?!" sungut Dayang Kesambi.
"Iya iya, aku tau," ujarku mencoba menenangkan kegusaran Dayang Kesambi. "Kau cuma ditugaskan untuk membantu kan? Jadi, kau boleh bertindak kalau kami memang butuh bantuanmu. Kalau enggak, ya kau cukup jadi penonton saja!"
"Hmmm, lihat saja nanti! Aku tak suka diremehkan oleh manusia seperti ini!" dengus Dayang Kesambi.
"Bagaimana, Bu Rokhayah sudah benar benar siap?" suara Mbak Ratih menyela perdebatan kami.
"Insya Allah siap Bu," jawab Bu Rokhayah.
"Baiklah kalau begitu, mari kita mulai! Ingat Bu, apapun yang terjadi, jangan pernah lepaskan tangan ibu dari genggaman tangan saya, dan nanti lakukan apapun yang saya perintahkan, paham kan Bu?"
"Ya. Saya paham Bu," jawab Bu Rokhayah.
"Dan kau Lastri, jaga kursi roda ayahmu, jangan sampai bergeser sedikitpun dari sisiku, mengerti?"
"Mengerti Bu," sahut Lastri.
"Baiklah, mari kita mulai!" Mbak Ratih menarik nafas panjang beberapa kali, lalu menghembuskannya pelan pelan. Sebelah tangannya menggenggam erat telapak tangan Bu Rokhayah, sedang tangan yang satunya lagi menggenggam telapak tangan Pak Prabowo. Sejenak kulihat Mbak Ratih berkomat kamit membaca sesuatu, lalu kepalanya menunduk, diam!
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya derasnya air yang seolah tertumpah dari atas bendungan, serta bisikan Dayang Kesambi yang kudengar dengan jelas, "Sepertinya ini tak akan mudah!"
****
POV Mbak Ratih
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya