Jiwa Yang Tersesat (Part 12)
JEJAKMISTERI - Suasana duka menyelimuti seluruh penjuru istana. Ratu Gayatri, yang entah semenjak kapan mengganti gaunnya dengan gaun warna hitam, duduk termenung diatas singgasananya. Diam seribu bahasa.
Para peri penghuni istanapun tak jauh berbeda. Semuanya mengganti gaun mereka dengan gaun warna hitam. Semua duduk terdiam, bersimpuh dihadapan sang ratu dengan wajah menunduk, seolah berusaha menyembunyikan rasa duka yang terpancar dari wajah wajah mereka.
Hanya Kyai Jambrong yang sepertinya masih sanggup mengangkat wajah. Harimau jadi jadian itu berdiri tegak disamping singgasana sang ratu. Wajahnya masih terlihat sangar, meski dari sorot matanya ada sedikit terpancar rasa duka yang mendalam.
Alunan musik bernada sedih mengaun pelan dari berbagai alat musik aneh yang dimainkan oleh beberapa peri yang juga berpakaian hitam. Alunan musik yang terdengar bagai suara tangisan perempuan yang menyayat hati itu, menambah suasana duka itu semakin terasa.
Aku, Slamet, dan Cempluk duduk tepat dihadapan sang ratu dan Kyai Jambrong. Demikian juga dengan Dayang Kesambi, meski luka yang ia dapat di pertempuran tadi belum sepenuhnya pulih, namun peri itu memaksakan diri untuk ikut hadir dalam pertemuan itu. Duduk tepat disebalahku, Dayang Kesambi beberapa kali terlihat menghela nafas, seolah berusaha mengurangi beban yang menghimpit dadanya.
Hanya sukma Pak Prabowo yang tak nampak dalam pertemuan itu. Entah kenapa, mungkin memang tak diijinkan hadir oleh Ratu Gayatri, atau ada sebab yang lain. Aku tak tau pasti.
"Mohon ampun Gusti Ratu," suara Dayang Kesambi memecah keheningan, terdengar menggema di ruangan istana itu. Alunan musik yang sedari tadi mengalun syahdu terhenti seketika, seolah memberi kesempatan kepada Dayang Kesambi untuk berbicara.
"Kami segenap rakyat kerajaan ini, turut berduka atas tewasnya Putri Seruni. Kami bisa merasakan seberapa besar rasa kehilangan yang Gusti Ratu rasakan. Tapi tak seharusnya kita terus larut dalam kesedihan seperti ini. Biar bagaimanapun Gusti Ratu adalah pemimpin kami. Kami butuh perintah dari Gusti Ratu, karena masih banyak hal yang harus segera kita selesaikan, terutama...." Dayang Kesambi melirik sekilas ke arahku, membuat perasaanku jadi tak enak. Aku merasa, secara tidak langsung akulah yang menjadi penyebab dari semua tragedi ini. Kalau saja aku tak terlalu bernafsu untuk mencari sukma Pak Prabowo, tentu semua tragedi ini tak akan pernah terjadi.
"Ya," Ratu Gayatri mendesah pelan sambil mengangkat wajahnya. "Benar apa yang kaukatakan Kesambi. Dan maaf kalau aku terlalu lama mengacuhkan kalian. Rasa kehilangan yang kurasakan akibat tewasnya adikku, tak seharusnya membuatku melalaikan kewajibanku sebagai pemimpin di negeri ini."
"Maaf Gusti Ratu. Semua ini memang salah hamba. Hamba yang kurang sigap dalam mencegah Putri Seruni bertindak nekat, yang menyebabkan terjadinya tragedi ini. Andai saja..."
"Tidak Kesambi!" Ratu Gayatri menukas ucapan Dayang Kesambi. "Kau tidak sepenuhnya bersalah. Aku tau, kau sudah berusaha semampumu untuk mencegah semua tragedi ini, bahkan kau sampai nyaris kehilangam nyawamu. Aku hargai semua usahamu itu. Dan karena semua tindakanmu itu, maka mulai saat ini, kuangkat engkau sebagai panglima perang di negeri ini, untuk menggantikan posisi Putri Seruni."
"Hamba Gusti?!" Dayang Kesambi nampak sangat terkejut mendengar titah sang Ratu.
"Ya. Kau tidak keberatan kan?"
"Ampun Gusti Ratu, titah dari Gusti Ratu merupakan perintah bagi bagi hamba. Akan hamba laksanakan kewajiban yang Gusti Ratu berikan semampu hamba!"
"Bagus! Terimakasih Kesambi! Kuhargai kesetiaanmu. Dan tugas pertamamu sebagai panglima perang di negeri ini, kuminta engkau untuk mengantar tamu tamuku ini pulang ke dunianya. Dampingi dia sampai ia benar benar bisa menyelesaikan apa yang menjadi tekatnya itu. Jangan kembali sebelum dia berhasil!"
"Hamba Gusti Ratu! Akan segera hamba laksanakan tugas dari Gusti Ratu!"
"Dan kau manusia, urusanmu disini sudah selesai! Pulanglah ke asalmu, dan segera selesaikan apa yang menjadi keinginanmu itu. Semakin cepat semakin baik, karena bila ditunda tunda, ada kemungkinan apa yang kau inginkan itu akan semakin sulit untuk kaulakukan!"
"Tapi Gayatri...!"
"Percayalah, niat yang baik, pasti akan menemukan jalan yang baik juga, asal kau laksanakan dengan cara yang baik."
"Ah, ya. Terimaksih banyak Gayatri. Tanpa bantuanmu, mungkin aku tak akan bisa melaksanakan apa yang menjadi niatku itu."
"Mendekatlah kemari!"
Sedikit ragu aku bangkit dan mendekat ke arah Ratu Gayatri. Ratu Peri itu lalu membisikkan sesuatu ke telingaku. Sesuatu yang membuatku sangat terkejut, hingga tanpa sadar aku berseru agak lantang.
"Apaaa..? Jadi...?!"
"Ya," Gayatri tersenyum simpul. "Anggap saja itu untuk menebus kesalahanku, karena dulu tak sempat menyelamatkan anak yang dikandung oleh Rokhayah. Tunggu saja, nanti kalau saatnya sudah tiba, kau akan bisa menyaksikannya sendiri."
"Hmmm, jadi seperti itu ya. Baiklah kalau begitu Gayatri. Aku mohon pamit, dan akan kuingat semua pesanmu itu. Kyai," aku menoleh ke arah Kyai Jambrong yang masih berdiri tegak disamping singgasana sang ratu. "Terimakasih karena Kyai sudah berkenan membantuku. Tanpa Kyai mungkin aku tak akan oernah sampai disini."
"Grrrrrrrr...!!!" Kyai Jambrong hanya menggeram lirih.
"Oh ya, kau tak keberatan kan kalau Kyai Jambrongmu ini kupinjam untuk beberapa waktu? Aku butuh bantuannya untuk memulihkan negeriku yang sedikit porak poranda akibat pertempuran tadi."
"Ya, kalau itu sih, itu terserah dia Gayatri, kalau dia mau, aku juga tak keberatan. Toh selama ini memang dia tak pernah ada ikatan denganku. Dia itu, hanya mau melakukan apa yang ia ingin lakukan, tak bisa diperintah atau dimintai bantuan," ujarku sedikit berbisik kepada Ratu Gayatri. Namun Kyai Jambrong sepertinya mendengar bisikanku itu. Terbukti ia kembali menggeram dan melengos ke arahku.
"Hmmm, kalian ini, ternyata pasangan yang unik ya. Ya sudah kalau begitu, kau boleh pergi sekarang. Tak baik jiwa manusia sepertimu berlama lama di alam ini. Kesambi, segera lakasanakan tugas yang kuberikan padamu tadi!"
"Hamba Gusti Ratu," Dayang Kesambi bangkit dan memberi hormat dwngan sedikit membungkukkan badannya ke arah Ratu Gayatri, lalu menoleh ke arahku. "Ayo, kita pulang sekarang."
"Pulang?!" tanyaku heran, sambil mengukuti langkah dayang itu keluar dari ruang pertemuan. Tak lupa kuajak Slamet dan Cempluk untuk mengikutiku.
"Eh, maksudku, biar kuantar kalian pulang," ralat Dayang Kesambi. Nada bicara dayang itu kurasakan sedikit berubah. Tak sekaku biasanya.
"Bagaimana caranya kita pulang?" tanyaku lagi.
"Itu soal gampang," ujar Dayang Kesambi. "Sini, mendekat padaku, dan pegang erat erat tanganku. Jangan dilepaskan sebelum kusuruh untuk melepaskan. Dan pegang juga tangan teman temanmu itu, agar mereka tak tertinggal disini."
Akupun segera melaksanakan perintah dayang itu. Kudekati dia, dan kupegang tangannya. Namun aku sedikit terkejut, karena saat kupegang tangan yang berkulit sangat lembut itu, aku merasakan tangan itu sedikit hangat. Padahal sebelumnya, saat aku menyentuh kulit para peri itu yang kurasakan adalah rasa dingin, seperti menyentuh batu es. Dan karena terkejut, tanpa sengaja aku melepaskan kembali peganganku pada pergelangan tangannya itu.
"Kenapa?!" Dayang Kesambi menatapku heran.
"Kenapa tanganmu sekarang hangat? Padahal tadi saat kau memelukku di medan pertempuran, sekujur tubuhmu kayaknya terasa sangat dingin?"
"Oh, itu karena...., ah, itu bukan soal yang penting, tak perlu dibahas," ujar Dayang Kesambi sambil sedikit memalingkan wajahnya, seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang sedikit merona merah itu dari pandanganku.
"Jadi....,"
"Sudah! Jangan banyak nanya! Ayo kita berangkat! Aku sudah tak sabar ingin melihat seperti apa kehidupan bangsa manusia itu!" sungut Dayang Kesambi.
"Eh, kenapa kamu tiba tiba berubah jadi galak begini?"
"Cerewet! Mau kuantar pulang nggak?!" Dayang Kesambi mendelik ke arahku.
"Iya iya, nggak usah pakai bentak bentak gitu juga kali."
"Cerewet! Cepat pegang tangan teman temanmu itu, dan pejamkan mata kalian, jangan dibuka sebwlum kusuruh!" dengan cepat Dayang Kesambi menyambar dan menggenggam erat telapak tanganku. Akupun segera meraih tangan Slamet dengan sebelah tanganku yang lain. Sementara Slamet juga segera menggenggam tangan Cempluk.
"Sudah siap?" tanya Dayang Kesambi.
"Siap!" aku, Slamet, dan Cempluk hampir serempak menjawab sambil memejamkan mata rapat rapat.
"Baiklah! Ayo kita berangkat!"
"Whuuuuussss....!!!"
"Kyaaaaaa...!!!"
Serempak kami menjerit saat tiba tiba kami merasakan tubuh kami seolah disentakkan kedepan dengan sangat cepat.
"Sudah! Sekarang buka matamu!" kudengar bisikan Dayang Kesambi di telingaku. Pelan pelan akupun membuka mataku, dan....
"Alhamdulillahhhhhh....!!! Bu Ratih! Mereka bertiga sudah sadar!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya