Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jiwa Yang Tersesat (Part 5)


JEJAKMISTERI - Bagai sehelai kertas, Aku, Slamet, dan gadis ABG bernama Cempluk itu terombang ambing di udara, melayang kian kemari dipermainkan angin kencang yang tiba tiba bertiup itu, sampai akhirnya, kami bertigapun terhempas dan jatuh di sebuah tempat yang menyerupai lapangan berpasir. Kubilang seperti lapangan, karena sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan pasir yang luas, tanpa ada pepohonan ataupun rerumputan yang tumbuh sama sekali.

Suasana remang remang saat itu, seperti suasana dikala senja hari. Rona jingga membentang diatas sana, tanpa kulihat adanya bintang ataupun rembulan sama sekali, membuatku kesulitan untuk menentukan arah mata angin.mana arah utara mana arah selatan, aku sama sekali tak tahu. Suasana begitu hening. Tak ada suara. Tak ada tanda tanda keberadaan makhluk hidup. Bahkan desir anginpun tak kurasakan sama sekali. Hanya hawa sejuk yang kurasakan menerpa tubuhku.

"Dimana ini?" gumamku sambil mencoba untuk bangkit.

"Ini..., seperti di padang pasir Mas," Slamet yang juga sedang berusaha untuk bangkit menyahut. "Lihat ke sekeliling, hanya hamparan pasir yang terlihat."

"Mustahil Met. Mana ada padang pasir di desa kita," sanggahku sambil mengedarkan pandanganku ke segala penjuru. Kulihat gadis bernama Cempluk itu masih tergeletak diatas hamparan pasir dengan posisi tubuh tertelungkup. Aku segera menghampirinya, mencoba melihat kondisi gadis itu, apakah masih dalam kondisi kesurupan atau tidak.

"Ndhuk, tangi Ndhuk! Sadar!" ujarku pelan sambil membalikkan tubuh gadis itu dan menepuk nepuk pipinya.

"Eummm...!" gadis itu menggumam lirih sambil menggeliat. Matanya pelan pelan terbuka, menatapku sejenak, lalu melihat ke sekeliling dengan pandangan nanar.

"Aku...., aku dimana? Dan..., sampeyan siapa Pak?" gadis itu kembali menatapku.

"Aku juga nggak tau kita sekarang dimana. Tadi kamu...."

"Cempluk! Syukurlah kamu sudah sadar. Aku sempat panik tadi saat kamu tiba tiba kesurupan. Syukurlah, kamu sudah..."

"Mas Slamet? Jadi...? Aku..., kesurupan?! Bukankah kita tadi..."

Ucapan gadis itu terhenti, saat tiba tiba dari kejauhan sayup sayup terdengar suara alunan seruling yang begitu merdu, menyenandungkan sebuah syair lagu sendu yang mendayu dayu. Serempak aku, Slamet, dan juga Cempluk menoleh ke arah asal suara itu.

Kami tercekat, saat di kejauhan, dibawah sebuah pohon besar nan rindang, seorang perempuan berpakaian serba putih tengah duduk bersandar pada pokok pohon itu sambil meniup sebatang seruling bambu. Aneh! Darimana perempuan itu datang? Kenapa tiba tiba berada di tempat ini? Dan seingatku tadi tak ada sebatang pohonpun yang kulihat tumbuh di padang yang luas ini. Jangankan pohon, sebatang rumputpun tak ada kulihat tumbuh di tempat ini.

"Wah, itu ada orang Mas! Kebetulan! Kita tanya saja sama orang itu, tempat apa ini. Siapa tau dia bisa menunjukkan arah jalan kembali ke desa," Slamet bermaksud untuk mendekat ke arah sosok perempuan itu. Namun dengan sigap aku segera menahan lengannya.

"Jangan gegabah Met. Kita tidak tau kita berada di mana. Dan perempuan itu, kamu yakin kalau itu manusia?" ujarku.

"Lha, kalau bukan manusia lalu apa Mas? Wong jelas jelas bentuknya...."

"Met, kamu nggak merasa aneh kalau tiba tiba perempuan itu berada disana? Kamu nggak ingat, beberapa menit yang lalu kita tak melihat apa apa disini selain hamparan pasir? Kenapa sekarang tiba tiba ada pohon? Besar dan rindang pula pohonnya. Dan perempuan itu..."

"Ah, iya juga ya Mas. Tapi ndak ada salahnya kan kalau...."

"GAYATRIIIIIIII....!!! Bedebah kau! Lagi lagi kau ikut campur! Lagi lagi kau menjegal mangsaku! Awas saja Kau! Akan kulenyapkan kau kalau nanti aku berhasil menemukanmu!" entah darimana asalnya, tiba tiba suara yang kukenali sebagai suara siluman nenek nenek yang tadi merasuki tubuh Cempluk terdengar menggema ke segala penjuru. Si perempuan peniup seruling menghentikan tiupan serulingnya, lalu bangkit berdiri dan melangkah pelan mendekat ke arah kami.

"Cih! Dasar nenek nenek peot nggak ingat umur! Sudah tua bangka masih saja suka mengganggu dan menyesatkan manusia!" kudengar perempuan itu menggumam sambil terus mendekat ke arah kami.

Kini aku bisa semakin jelas melihat sosok itu. Seorang perempuan muda dengan tubuh tinggi semampai. Mengenakan gaun putih panjang yang sedikit ketat pada bahian atasnya, hingga menampakkan lekuk pinggangnya yang ramping, sedang gaun bagian bawahnya mengembang panjang sampai ke mata kaki. Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan dibiarkan tergerai sampai ke pinggang, dengan sebuah mahkota kecil yang terbuat dari untaian bunga bunga beraneka warna yang bertengger diatas kepalanya. Wajahnya, ah, aku sampai terpana sesaat. Belum pernah aku melihat perempuan secantik itu. Wajah oval sempurna dengan dagu lancip, bibir tipis yang merah merona, hidung kecil mancung, serta mata biru yang dihiasi oleh bulu bulu mata yang lentik, benar benar sebuah kecantikan yang sangat sempurna. Hanya telinganya yang sedikit aneh. Telinga yang memanjang dan lancip ke atas mirip seperti telinga kelelawar. Jelas, sosok ini bukanlah sosok manusia.

"Dan kalian manusia, bodohnya kalian sampai bisa diperdaya oleh nenek peot itu," suara merdu perempuan itu menelusup ke indera pendengaranku, seiring bau harum semerbak yang semakin tercium tajam seiring dengan sosok yang semakin mendekat ke arahku itu.

"Peri Gayatri...!" tanpa sadar aku mendesis.

"Hmmm, kau sudah mengenaliku ternyata!" peri cantik itu menatapku dengan mata birunya yang tajam namun terkesan teduh itu. "Beruntung aku sempat membegal nenek peot itu saat berusaha membawa kalian ke alam ini. Kalau tidak, entah akan seperti apa nasib kalian di tangan siluman jahat itu."

"Jadi ini di alam gaib? Dan kau yang menyelamatkan kami dari siluman jahat itu?" ujarku setelah berhasil menguasai perasaanku.

"Ya!" jawab Gayatri tegas. "Dan sekarang, lebih baik kalian kembali ke alam kalian, sebelum semuanya terlambat. Semakin lama kalian berada di sini, maka kemungkinan kembali ke alam kalian akan semakin kecil. Nenek itu, tentu tak akan tinggal diam setelah mangsanya kurebut. Lagipula, tempat ini bukan tempat yang layak untuk kalian. Jadi..."
"Tunggu," aku menyela ucapannya. "Kalau kau benar Peri Gayatri, ini sebuah keberuntungan bagiku. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu, itu juga kalau kamu tak keberatan!"

"Soal laki laki bernama Prabowo itu?"

"Eh, darimana kamu tau?"

"Sudah beberapa hari belakangan ini aku memperhatikanmu selalu datang ke bawah bendungan. Dan aku tau niatmu adalah untuk mencari jiwa Prabowo yang tersesat di alam ini. Benar begitu bukan?"

"Ya. Benar sekali. Dan selagi kita bertemu disini, aku ingin bertanya, apa yang sebenarnya dulu terjadi antara kalian, maksudku kau, Pak Prabowo, dan juga si nenek siluman itu."

"Prabowo bodoh itu, ia tak sadar bahwa ia telah diperdaya oleh nenek peot itu. Aku hanya berusaha untuk menyelamatkannya. Tapi laki laki itu sepertinya salah paham. Ia mengira kalau aku juga akan mengambil jiwanya karena dia telah menghancurkan rumahku. Dan selagi aku tengah sibuk bertarung dengan nenek peot itu, ia justru kabur melarikan diri. Sayangnya, dia lari ke arah yang salah, dan tersesat di alam gaib yang luas ini."

Aku terdiam sejenak. Apa yang dikatakan oleh Peri cantik itu, sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ratih tempo hari. Dan jika apa yang dikatakannya ini benar adanya, ada kemungkinan kalau peri cantik ini tidaklah sejahat yang aku kira.

"Jangan terlalu mengagumi kecantikanku! Dan jangan pernah samakan aku dengan nenek tua itu! Aku memang sebangsa makhluk halus! Tapi tak semua makhluk halus itu jahat!" sungut Gayatri ketus, seolah bisa mendengar apa yang telah kupikirkan barusan.

"Ah, maaf! Aku..."

"Aku memang marah saat dulu Prabowo itu menghancurkan rumahku. Tapi aku sadar, itu tak bisa kujadiakan alasan untuk mencelakainya. Lagipula, itu bukan pertamakalinya aku diusir dari tempat tinggalku. Sudah berulangkali, para manusia menghancurkan tempat yang kutinggali dan mengusirku dari sana. Sudah berulangkali juga aku berpindah pindah tempat tinggal, hanya karena manusia merebut dan menguasai tempat yang aku tinggali. Jadi, waktu itu aku hanya memberi peringatan kecil kepada Prabowo. Tapi sepertinya dia tak mengindahkan peringatanku. Dia tetap menghancurkan tempat tinggalku, hingga aku terpaksa pindah ke tempat ini."

"Tunggu!" kembali aku memotong ucapan Gayatri. Dia sebangsa lelembut, aku tak begitu saja bisa mempercayai segala ucapannya. "Kau bilang tak berniat untuk membalas perlakuan Pak Prabowo yang telah menghancurkan rumahmu. Lalu bagaimana soal mimpi yang dialami Pak Prabowo itu?"

"Ah, kuakui, kalau yang itu memang salahku," Gayatri mendesah pelan. "Kami bangsa peri, memang diciptakan dengan paras yang rupawan, dengan tujuan untuk menggoda iman manusia dengan kerupawanan kami. Sekali kami menampakkan wajah rupawan kami di depan manusia yang lemah imannya, maka bisa dipastikan manusia itu akan mabuk kepayang dan tak akan pernah bisa melupakan kerupawanan kami. Tapi saat itu aku tak punya pilihan. Tempat tinggalku yang dihancurkan oleh Prabowo itu, adalah rumah ternyaman yang pernah kumiliki, diantara rumah rumah yang pernah kutempati sebelumnya. Sejuk nyaman, dan tenang. Bisa dibilang, aku sudah jatuh hati pada tempat itu. Jadi waktu itu aku merasa sangat keberatan saat Prabowo berencana untuk menghancurkannya. Dan tanpa berpikir bahwa kemunculanku akan membawa dampak yang tak baik untuk Prabowo, akupun menampakkan diri dan menemuinya. Selanjutnya kau tau sendiri, bahkan aku sampai terbawa kedalam mimpinya karena ia sudah terpikat denganku, saat pertama kali melihatku."

"Hmmm, jadi seperti itu ya? Lalu..."

"Dia semakin mendekat," Gayatri mendesis tajam memotong ucapanku yang belum kuselesaikan.

"Eh, siapa?" panik melihat wajah Gayatri yang berubah menjadi tegang, aku melihat ke sekliling.

"Nenek peot itu!" Gayatri menatap ke kejauhan. "Lebih baik kalian segera pergi dan kembali ke alam kalian, sebelum..."

"Tidak! Aku tak akan kembali sebelum menemukan dan membawa kembali jiwa Pak Prabowo!"

"Jangan keras kepala! Aku sendiri sampai saat ini tak berhasil menemukan jiwa manusia itu, apalagi kalian...."

"Aku tak peduli! Karena aku sudah berjanji! Jadi, kau selesaikan saja urusanmu dengan nenek siluman itu. Aku dan kedua temanku ini..."

"Ah, dasar manusia! Kalau begitu ikut aku, sebelum nenek peot itu mengendus keberadaan kalian."

"Eh, ikut kamu..."

Gayatri tak memperdulikan ucapanku. Peri cantik itu lalu kembali meniup serulingnya sambil melayang mengitari aku serta Slamet dan Cempluk yang sejak tadi meringkuk berpelukan karena ketakutan di belakangku.

Samar samar, kulihat kabut tipis mulai muncul menyelubungi kami, semakin lama semakin tebal, hingga aku tak bisa melihat apa apa lagi. Sekejap kemudian, kurasakan tubuhku mulai melayang, lalu kabut yang semakin menebal itu seolah membawa ragaku menjauh dari tempat itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close