Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jiwa Yang Tersesat (Part 6)


JEJAKMISTERI - "Mas, ini kita mau dibawa kemana toh?" ujar Slamet sedikit cemas, saat gumpalan kabut tebal itu membawa kami melayang menjauh dari tempat itu. Anak itu sepertinya masih sedikit takut dengan keberadaan Gayatri. Demikian juga dengan Cempluk yang terus saja menggelendot di lengan Slamet.

"Entahlah Met, aku juga ndak tau," jawabku pelan, sambil menatap ke arah Gayatri yang yang juga melayang agak jauh didepanku sambil terus meniup serulingnya.

"Kok sampeyan tenang tenang saja sih Mas? Sampeyan ndak takut apa? Dia itu dhemit lho Mas, kalau kita nanti diapa apain gimana coba?"

"Halah! Paling juga nanti kamu yang diapa apain Met. Kan kamu tadi yang bikin ulah, sampai kita terdampar di tempat ini."

"Yach, tega sampeyan Mas! Aku melakukan semua ini kan demi membantu sampeyan juga! Masa begitu udah ketemu ama dhemitnya malah aku yang mau dijadikan tumbal sih?"

"Hahaha, tenang saja Met. Aku yakin kok, peri itu sepertinya baik, jadi kamu ndak usah khawatir. Lagian kok tumben to kamu takut sama yang cantik cantik gitu. Biasanya kamu kalau lihat yang cantik cantik langsung ijo matanya."

"Biar cantik kalau dhemit ya tetep aja serem Mas! Mending juga si Cempluk ini, biar ndak cantik tapi manusia tulen."

"Mas Slameeetttt...!!!" Cempluk yang sejak tadi diam memberengut sambil mencubit pinggang Slamet, membuat Slamet meringis seketika. "Tega kamu ya Mas, bisa bisanya mbanding mbandingin aku sama dhemit! Pakai ngatain aku nggak cantik lagi!"

"Hehehe, maaf sayang, aku cuma bercanda kok! Jangan cemberut gitu dong! Nanti cantiknya ilang lho!" Damn! Mulas seketika perutku mendengar gombalan Slamet yang absurd itu.

"Kita sudah sampai," Gayatri menghentikan tiupan serulingnya. Tubuhnya pelan pelan melayang turun, diikuti dengan kabut yang menyelubungi kami yang juga melayang turun hingga ke tanah. Kabut itu mulai memudar dan menipis saat kami telah menjejakkan kaki di tanah, hingga akhirnya gumpalan kabut itu menghilang tanpa bekas. "Selamat datang di istanaku!"

Aku, Slamet, dan juga Cempluk terpana sesaat, saat mendapati di hadapan kami kini telah berdiri sebuah bagunan istana yang sangat megah. Dan kami lebih terpana lagi saat beberapa perempuan cantik yang berpenampilan mirip seperti Gayatri menyambut kedatangan kami.

"Selamat datang kembali di istana, Gusti Ratu Gayatri!" hampir serempak perempuan perempuan itu berseru sambil membungkuk memberi hormat kepada Gayatri.

"Terimakasih dayang dayangku! Aku kembali dengan membawa tamu tamuku ini. Jadi tolong siapkan segala sesuatunya untuk menyambut mereka!" ujar Gayatri dengan penuh wibawa. Aku hanya bisa melongo, menyadari bahwa Gayatri ternyata adalah seorang ratu yang memiliki istana semegah ini.

"Sendika dhawuh Gusti Ratu! Apakah kami harus menyiapkan hidangan untuk mereka, atau terlebih dahulu menyiapkan tempat peristirahatan?" tanya salah seorang dayang itu.

"Itu nanti saja! Aku hendak mengajak tamu tamuku ini untuk singgah di taman keputren terlebih dahulu. Jadi tolong kalian siapkan taman itu. Bersihkan dan atur sedemikian rupa agar tak sampai mengecewakan mereka."

"Baik Gusti Ratu! Titah Gusti Ratu akan segera kami laksanakan!"

"Dan satu lagi! Sepertinya tadi musuh lama kita, si Nyai Weling itu mengikutiku sampai kemari, dan berusaha untuk mengganggu tamu tamuku ini. Jadi, siapkan diri kalian untuk menyambut nenek nenek tak tau malu itu. Ajak dia bermain main sebentar! Aku tak ingin waktuku bersama tamu tamuku ini sampai terganggu oleh kedatangan siluman itu!"

"Baik Gusti Ratu! Apakah kami perlu mengabarkan kedatangan Gusti Ratu kepada Gusti Pangeran?"

"Tak perlu! Biar nanti aku saja yang menemui pangeran! Sekarang, cepat laksanakan semua yang sudah kuperintahkan tadi!"

"Sendika dhawuh Gusti Ratu!" para dayang itu menjawab serempak sambil membungkuk memberi hormat, sebelum akhirnya beranjak dari hadapan kami. Gayatri lalu berbalik menghadap ke arah kami.

"Mari, silahkan masuk ke istanaku. Kalian pasti..."

"Tunggu Mbak Peri," Slamet yang berdiri di belakangku tiba tiba menyela. Aku nyaris menepuk jidat mendengar kalimat Slamet yang berkesan kurang sopan itu. Seorang ratu, bisa bisanya dia panggil Mbak. Tapi sepertinya Gayatri sama sekali tak merasa tersinggung. Peri cantik itu justru tersenyum dan menoleh ke arah Slamet.

"Ya? Ada apa?" tanya Gayatri lembut.

"Ngggg..., nganu Mbak Peri, sampeyan ndak sedang berusaha menjebak kami kan?" tanya Slamet lagi.

"Menjebak? Menjebak yang seperti apa maksudmu?"

"Ya menjebak! Sampeyan berpura pura baik kepada kami, padahal sebenarnya sedang berencana untuk ngapa ngapain kami!"

"Ngapa ngapain gimana maksudnya?"

"Ya sampeyan itu kan dhemit, siapa tau punya niat buat jadiin kita tumbal atau semacamnya gitu."

"Oh, kalau itu sih tergantung." Gayatri kembali tersenyum.

"Tergantung gimana maksudnya Mbak Peri?"

"Tergantung dengan sikapmu di istanaku ini! Kalau kamu berani berbuat tak senonoh seperti di tempat Nyi Weling tadi di istanaku, bisa saja aku menggigit dan mengunyah barang pusakamu itu sampai lumat!"

"Hah...?!" Sontak Slamet menepis kedua tangan Cempluk yang masih saja menggelendot di lengannya itu. Sementara gadis ABG itu juga buru buru melepaskan pegangan tangannya dan sedikit menjauh dari Slamet. Aku nyaris tergelak saat melihat wajah keduanya yang tiba tiba berubah menjadi pucat itu.

"Hihihihi...!!!" Gayatri tertawa lirih. "Tidak! Aku hanya bercanda kok! Jadi tenang saja, kalian adalah tamuku disini, jadi aku akan memperlakukan kalian selayaknya seorang tamu. Ayo, masuk ke istanaku, sebelum si nenek peot itu datang dan melihat keberadaan kalian."

Aku, Slamet, dan Cemplukpun akhirnya mengikuti langkah Gayatri memasuki gerbang istana. Beberapa dayang kembali menyambut kami, lalu mengarahkan kami menuju ke sebuah taman yang sangat luas dan indah. Beraneka tanaman hias dan bunga bungaan beraneka macam tumbuh subur dan tertata rapi. Ada kolam besar yang dilengkapi dengan pancuran dan air terjun mini di tengah tengah taman itu. Ikan ikan beraneka jenis dan warna nampak berenang berseliweran disana. Di samping kolam itu tersedia beberapa tempat duduk yang terbuat dari batu pualam yang mengkilap, yang bagian atasnya dilapisi kain permadani berwarna cerah keemasan. Gayatri menuntun langkah kami menuju ke tempat itu.

"Silahkan duduk, dan semoga kalian berkenan menikmati keindahan taman ini!" ujar Gayatri.

"Ah, terimakasih Ratu! Ini benar benar sebuah sambutan yang..., sangat berlebihan menurutku. Dan maaf kalau sikap kami tadi terhadap Ratu kurang berkenan di hati Ratu. Kami benar benar tak menyangka kalau...."

"Tak perlu sungkan! Dan jangan panggil aku Ratu, karena aku bukan Ratu kalian! Panggil saja aku Gayatri."

"Tapi Ratu..."

"Kau tak keberatan kan memanggilku Gayatri saja? Dan hilangkan sikap hormatmu yang berlebihan itu. Aku bukan ratu kalian."

"Ah, iya, maaf Gayatri. Tapi..."
"Iya, kenapa?" Gayatri menatapku. Senyumnya mengembang tipis, membuat detak jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Pesona Peri ini benar benar sangat luar biasa. Tak heran kalau tadi ia bilang bahwa setiap manusia yang melihatnya pasti akan terpesona dan lupa akan segalanya.

"Aku benar benar sangat terkejut tadi, saat mengetahui bahwa dirimu ternyata adalah seorang ratu. Penampilanmu, dan juga..."

"Kau heran kan, kenapa seorang ratu peri sepertiku justru berkelana dan tinggal di batu dan pohon besar yang berada di pinggir kali?"

"Ya, itu maksudku. Seorang ratu sepertimu..."

"Ratu atau bukan, aku tetaplah seorang peri, sama seperti para dayang dayangku yang tadi. Hanya karena aku harus mengemban tanggung jawab untuk meneruskan kewajiban leluhurku untuk memimpin negeri ini, maka peri peri yang lain lalu memandang derajatku lebih tinggi dari mereka. Dan kau tau, kewajiban yang sangat besar itu merupakan sebuah beban yang berat bagiku. Karena itulah aku lebih suka berkelana dan tinggal di tempat tempat yang memiliki suasana berbeda dengan suasana di istana ini. Sekedar untuk mengurangi rasa jenuh sebenarnya, karena secara berkala aku masih tetap harus pulang ke istana ini dan menjalankan kewajibanku sebagai seorang pemimpin." ujar Gayatri menjelaskan.

"Luar biasa," gumamku tanpa sadar. "Selain cantik ternyata kamu juga cukup bijaksana dan berwibawa."

"Jangan terlalu mengagumiku, kalau tak mau nanti kamu terjebak oleh pesonaku! Ingat, aku sebangsa peri, yang dengan mudah bisa meruntuhkan iman manusia sepertimu."

"Eh, iya. Maaf Gayatri! Lalu, soal Nyi Weling tadi, bagaimana sampai bisa kamu berseteru dengannya?"

"Ah, siluman ular itu, sebenarnya ia hanya iri saja denganku. Semenjak aku tinggal di batu dan pohon besar di pinggir kali itu, ia selalu saja berusaha untuk mengusirku, karena takut tersaingi dengan kehadiranku. Dia itu, sudah terlebih dahulu tinggal di tempat itu daripada aku. Aku tak suka padanya, karena sifatnya sedikit usil dan jahat. Suka mengganggu manusia yang datang ke tempatnya, bahkan tak jarang sampai mencelakai mereka dengan membuat mereka kalap di kali itu, untuk selanjutnya jiwa dari orang orang yang telah ia celakai itu ia jadikan budak di istananya. Karena itulah aku juga sering iseng menggagalkan aksi jahatnya, yang membuat siluman ular itu semakin membenciku."

"Seperti itu ya," aku sedikit banyak mulai paham akan riwayat dari kedua lelembut penghuni kali tempuran itu. "Lalu, bagaimana soal Pak Prabowo itu?"

"Laki laki malang itu, tanpa sengaja dia telah membunuh salah satu anak dari siluman ular itu, yang membuat siluman itu marah besar dan berniat untuk membalaskan kematian anaknya dengan mengincar anak yang sedang dikandung oleh istri Prabowo. Sialnya, Prabowo justru melakukan kesalahan besar dengan mengikat janji dengan siluman licik itu. Ia bersumpah, bahwa ia bersedia menjadi budak siluman itu untuk selamanya, asalkan siluman itu membatalkan niatnya untuk mengambil anaknya. Siluman licik itu tentu saja dengan senang hati memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia menerima sumpah Prabowo, bersamaan dengan calon anak Prabowo yang juga telah berhasil ia ambil. Sekali tepuk dua mangsa ia dapatkan. Begitu yang direncanakan oleh siluman itu."

"Dan akhirnya rencana siluman itu gagal karena engkau datang dan ikut campur dengan urusan mereka, benar begitu kan?" tebakku.

"Ya! Jujur, aku tertarik dengan keteguhan hati laki laki itu. Meski sebelumnya ia telah banyak melakukan kesalahan, namun akhirnya ia mau menyadari kesalahannya. Bahkan rela mengorbankan jiwanya demi menebus kesalahan yang telah ia lakukan terhadap istrinya. Karena itu aku tak rela kalau sampai siluman ular itu memperbudak jiwa Prabowo. Sudah cukup ia mendapatkan calon anak Prabowo sebagai ganti dari anaknya yang telah dibunuh oleh Prabowo itu. Maka, saat siluman itu mulai berusaha mengambil jiwa Prabowo, aku sengaja mengacaukan rencana jahatnya itu."

"Kenapa kau hanya mencoba menyelamatkan jiwa Pak Prabowo saja? Kenapa tidak dengan calon anaknya?" tanyaku.

"Soal anak dalam kandungan Rokhayah itu, aku memang tak bisa berbuat banyak. Sudah sepantasnya kan kalau satu nyawa anak dibayar dengan satu nyawa anak yang lain? Prabowo membunuh anak Nyi Weling, dan Nyi Weling mengambil anak Prabowo. Impas! Mungkin terdengar kejam kalau aku beranggapan seperti itu. Tapi memang seperti itulah kehidupan kami para bangsa lelembut."

"Seperti itu ya," Kembali aku mengangguk angguk meski tak begitu paham dengan apa yang dijabarkan oleh ratu peri itu. "Lalu, setelah kejadian itu, apakah benar jiwa Pak Prabowo kabur dan tersesat di alam ini?"

Gayatri tersenyum sambil menatapku sesaat. "Kenapa kau begitu penasaran dengan keberadaan jiwa laki laki yang telah lama menghilang itu?"

"Aku sudah berjanji kepada keluarga Pak Prabowo, akan menyelamatkan dan membawa kembali jiwa Pak Prabowo kedalam raganya."

"Janji? Seberapa penting arti sebuah janji bagi kalian bangsa manusia?"

"Sangat penting, karena janji adalah sebuah ucapan yang harus ditepati."

"Kalau sampai janji itu tak ditepati?"

"Itu sama saja menjatuhkan harga diri si pembuat janji itu sendiri. Seorang manusia yang telah berjanji namun tak bisa menepatinya, apalagi sengaja untuk tidak menepatinya, maka manusia yang seperti itu sudah tak ada harganya lagi. Segala ucapannya tak akan dipercaya lagi oleh orang lain."

"Sangat menarik," kini Gayatri yang bergumam sambil manggut manggut. "Apa kalian tak sadar, bahwa karena manusia itu selalu memegang prinsip akan sebuah janji, maka prinsip mereka itu selalu dimanfaatkan oleh bangsa kami para lelembut?"

"Maksudmu?"

"Banyak terjadi, para bangsa lelembut menjebak manusia untuk mengucap janji kepada mereka, dengan iming iming imbalan yang belum tentu benar benar bisa mereka dapatkan. Dan saat apa yang telah dijanjikan oleh bangsa kami itu ternyata tak sesuai dengan yang manusia harapkan, kami para bangsa lelembut masih kukuh menagih janji yang telah diucapkan oleh manusia."

"Soal itu, mungkin itulah salah satu kelebihan bangsa manusia dibandingkan dengan para lelembut seperti kalian. Kami lebih bisa memegang janji kami, tidak seperti kalian yang lebih banyak memanipulasi sebuah janji hanya demi keuntungan kalian. Dan mungkin itu yang membuat derajat kami sebagai manusia lebih tinggi dari kalian."

"Cerdas! Sebuah jawaban yang sangat cerdas!"

"Eh, kamu tak tersinggung dengan jawabanku tadi?"

"Kenapa harus tersinggung? Apa yang kamu katakan itu, adalah sebuah kenyataan dan kebenaran. Jadi untuk apa aku tersinggung? Aku justru bangga padamu, karena yang kulihat saat ini, sudah banyak dari bangsa manusia yang meniru kami, memanipulasi sebuah janji hanya demi keuntungan pribadi. Tapi kamu, kamu masih teguh memegang prinsipmu akan sebuah janji yang telah kau ucapkan. Aku salut padamu. Dan karena itu, aku akan memberi sedikit hadiah kepadamu."

"Hadiah? Hadiah apa yang kau maksud?"

"Hmmm, kuberi kau satu kesempatan untuk memilih, andai aku ingin memberimu hadiah, kira kira hadiah apa yang kauinginkan dariku?"

"Aku tak ingin hadiah apapun darimu Gayatri. Tujuanku kemari hanyalah untuk mencari dan membawa kembali jiwa Pak Prabowo. Hanya itu. Aku sangat berterimaksih karena kau telah mengajakku dan juga kedua temanku ini untuk singgah di istanamu. Terimakasih juga karena engkau telah menyelamatkan kami dari incaran Nyai Weling. Tapi maaf Gayatri, aku dan teman temanku sepertinya tak bisa berlama lama disini, karena seperti kau bilang tadi, semakin lama kami disini, maka semakin kecil kemungkinan kami untuk kembali. Jadi kalau tak keberatan, ijinkan kami untuk mohon pamit dan melanjutkan pencarian kami."

"Luar biasa!" Gayatri berseru sambil bertepuk tangan. "Lagi lagi sebuah jawaban yang sangat aku tunggu tunggu. Dan kau telah lulus dari ujianku. Karena sebenarnya, semua yang kuucapkan tadi, hanyalah sekedar untuk mengujimu. Aku bilang kalau jiwa Prabowo itu mustahil untuk kalian temukan, aku bilang kalian harus segera kembali karana semakin lami disini akan semakin sulit untuk kembali, bahkan hadiah yang aku tawarkan barusan, semua itu kukatakan hanya untuk mengujimu. Dan ternyata kau masih saja tetap teguh dengan tujuan utamamu datang kemari. Karena itu, DAYAAANGGGGG...!!!" Gayatri berseru memanggil salah satu dayangnya, yang segera menghadap dan memberi hormat.

"Hamba menghadap Gusti Ratu!" ujar dayang itu takzim.

"Panggil Pangeran untuk datang kemari. Aku ingin memperkenalkannya dengan tamu tamuku ini!"

"Siap menjalankan titah Gusti Ratu!" dayang itu berlalu setelah memberi hormat, lalu tak lama kemudian kembali bersama sesosok laki laki yang membuatku nyaris terlonjak dari tempat dudukku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close