Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jiwa Yang Tersesat (Part 4)


JEJAKMISTERI - "KHIKHIKHIKHIKHI....!!!"
"Huwaaaaa...!!! Setaaaaannnnnn...!!!"

Suara tawa serak yang melengking tinggi, yang disusul dengan suara teriakan ketakutan, terdengar dari arah bawah bendungan, membuat aku dan beberapa pengunjung waduk terkesiap kaget Dan rasa keterkejutan kami semakin bertambah tambah manakala melihat Slamet yang hanya mengenakan celana dalam berlari lintang pukang dari arah suara tersebut sambil berteriak teriak seperti orang kesetanan.

"Edan! Apa lagi yang dilakukan anak itu?" dengusku kesal sambil menyongsong Slamet yang berlari ke arahku.

"Ada apa Met? Gila kamu! Tingkah konyol apa lagi yang kaulakukan sekarang hah? Bikin malu saja!" omelku begitu Slamet telah sampai di hadapanku.

"Ngggg..., nganu Mas, it..., itu, si Cempluk, Cempluk kesurupan!" Slamet menjawab disela deru nafasnya yang terengah engah.

"Kesurupan?! Cempluk?! Siapa itu Cempluk? Dan kenapa sampai bisa kesurupan?!" tanyaku lagi.

"Nggg..., nganu Mas, tadi...., ah, pokoknya panjang ceritanya Mas. Lebih baik sekarang sampeyan lihat dulu ke dekat rumpun pohon pisang yang ada di sawah Mbah Sumi itu. Kasihan Cempluk Mas. Dia..., dia telanjang bulat dan merayap rayap seperti ular di tengah sawah!"

"Telanjang bulat? Kok..., ah, aku tau sekarang! Benar benar edan kamu Met! Pasti kamu telah..."

"Sudahlah Mas! Ndak usah dibahas lagi! Sekarang lebih penting untuk menolong Cempluk daripada membahas soal itu. Dan yang paling penting," Slamet mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, "ritualku berhasil Mas! Dhemit itu akhirnya keluar juga dan merasuki Cempluk! Ini kesempatan emas buat sampeyan Mas!"

"Wedhus!" aku bergegas meninggalkan Slamet dan menyusul beberapa pengunjung waduk yang sudah terlebih dahulu berlari ke arah sawah Mbah Sumi dan berkerumun di petak sawah yang berada di dekat rumpun pohon pisang yang dikenal angker itu. Slamet yang sepertinya juga tak mau ketinggalan segera menyusulku. Sekilas, masih sempat kulihat ia menyambar baju dan celananya yang berserakan di pematang sawah dan mengenakannya.

Aku mencoba menyibak kerumunan orang orang itu dan merangsek maju, berusaha melihat apa yang sebenarnya telah terjadi dengan perempuan bernama Cempluk itu. Dan begitu aku sampai di depan kerumunan itu, aku terkesiap. Mataku tertuju pada sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan.

Di tengah tengah petak sawah berlumpur itu, nampak seorang gadis berusia belasan tahun dengan tubuh telanjang bulat tanpa tertutup oleh selembar benangpun, menggeliat geliat dan merayap dengan tubuh tengkurap diatas genangan lumpur. Kedua tangannya bertumpu pada siku, menahan kepalanya yang mendongak menatap ke arah kerumunan. Sekujur tubuh gadis itu telah berlepotan lumpur. Dari mulutnya keluar suara mendesis desis sambil sesekali menjulur julurkan lidahnya keluar. Tanaman padi di petak sawah itu, yang baru tumbuh kira kira setinggi mata kaki, telah porak poranda akibat gerakan yang dilakukan oleh si gadis.

"Siluman ular!" desisku tanpa sadar. Sementara dari kerumunan orang orang di belakangku mulai terdengar kasak kusuk yang tak jelas.

"Wah, kenapa ini?"

"Kesurupan katanya!"

"Kasihan!"

"Kenapa gadis itu sampai kesurupan di tempat ini?"

"Iya ya, mana telanjang bulat begitu!"

"Pasti dia telah berbuat yang tak senonoh di tempat ini! Tempat ini kan angker! Penghuninya pasti marah kalau tempatnya dijadikan tempat untuk berbuat mesum!"

"Mesum?"

"Iya. Apalagi! Pasti gadis ini salah satu dari cabe cabean yang suka mangkal di waduk sana. Lihat saja kondisinya yang telanjang itu! Pasti habis berbuat mesum sama pemuda yang tadi lari ketakutan dan cuma pakai sempak tadi!"

"Benar benar sudah ndak waras! Mesum kok di sawah! Mana angker lagi tempatnya. Kayak ndak ada tempat lain saja!"

"Jaman memang sudah edan!"

"Bukan jamannya yang edan! Tapi manusianya yang sudah ndak waras!"

"Bapak bapak sekalian," Slamet yang juga sudah berhasil menyusulku segera mencoba menenangkan situasi! "Tolong! Ini bukan tontonan ya! Jadi sebiknya sekarang bapak bapak bubar saja. Soal gadis yang kesurupan ini, biar Mas Drag yang menangani!"

"Lho kamu kan...," Salah seorang yang sepertinya mengenali Slamet berseru. 'Iya. Tak salah lagi! Kamu kan yang tadi lari lari cuma pake sempak doang? Pasti kamu biang keladi dari masalah ini."

"Iya. Betul! Aku ingat." bapak bapak yang lain ikut menyambung. "Ini nih pemuda mesum yang tadi teriak teriak ketakutan. Kamu habis mesum ya sama gadis ini disini?! Hayo ngaku!"

"Lho, kok malah pada nyalahin saya to? Pake ngatain saya mesum segala? Apa Sampeyan semua ndak sadar, kurang mesum apa sampeyan semua ini? Ada gadis telanjang lagi kesurupan begitu bukannya ditolong malah dijadikan tontonan! Apa itu ndak mesum namanya? Hayo! Ngaku! Sampeyan pasti pada seneng to lihat pemandangan tak senonoh begini secara gratis? Sekarang, pada mau bubar nggak? Kalau enggak, jangan salahkan saya kalau nanti saya laporkan perbuatan mesum sampeyan sampeyan ini sama istri istri sampeyan di rumah! Saya ada bukti lho! Wajah wajah mesum sampeyan semua yang sedang menikmati tontonan tak senonoh ini sudah saya rekam semua!" Slamet yang merasa sedang dipojokkan meradang. Ia berteriak teriak sambil mengeluarkan ponselnya dan merekam semua kejadian itu.

"Wooo...!!! Dasar cah edan!" sambil menggerutu, kerumunan bapak bapak itupun akhirnya satu persatu mulai membubarkan diri. Hanya beberapa yang tinggal. Mereka adalah warga desa Kedhung Jati yang kebetulan mengenal kami.

Pelan pelan aku turun ke petak sawah, mendekati gadis yang masih saja terus menggeliat geliat dan merayap sambil mendesis desis dan menjulur julurkan lidahnya itu.

"Apa ndak sebaiknya manggil Bu Ratih saja Mas?" bisik salah seorang bapak bapak yang masih tinggal.

"Ndak perlu Pak! Kalau hanya seperti ini, kayaknya Mas Drag masih sanggup untuk menangani," kudengar Slamet menyahuti ucapan bapak itu.

Aku semakin mendekat ke arah gadis itu. Sementara si gadis mulai mengalihkan tatapannya ke arahku. Tatapan penuh amarah yang membuatku menghentikan langkah beberapa tindak di depan gadis itu. Mulutnya terus mendesis desis dengan lidah menjulur julur keluar dengan cepat.

"Tenang! Aku tak berniat jahat kepadamu!" ujarku pelan sambil melepaskan jaket yang kukenakan. "Ijinkan aku mendekat, untuk menyelimuti gadis ini! Kasihan! Dia pasti kedinginan."

"Ssshhhh...! Ssshhhh...! Ssshhhh...!" gadis itu hanya mendesis desis sambil menelengkan kepalanya kekiri dan ke kanan.

Pelan pelan aku kembali melangkah, lalu menyelimuti tubub gadis itu dengan jaketku. Sedikit gemetar tanganku, saat kusadari tatapan mata gadis itu terus saja mengikuti semua gerakan tubuhku.

"Aku akan membawa tubuh gadis ini ke kali dan membersihkannya. Boleh ya? Kasihan, tubuhnya kotor begitu. Aku janji, setelah nanti kubersihkan tubuh gadis ini, aku akan ..., emmm, mungkin sedikit berbincang denganmu."

"Ssshhhh...! Ssshhhh...! Ssshhhh...!"

Kembali gadis itu hanya mendesis desis sambil menggeliat dan merayap diatas lumpur. Namun dari sorot matanya, jelas kulihat ada rasa segan yang ia rasakan terhadapku. Seolah ingin menolak keinginanku, tapi ada sesuatu yang membuatnya tak bisa untuk menolak.

"Met! Tolong kamu cari pakaian anak ini. Dan bapak bapak sekalian, tolong bantu saya untuk mengangkat tubuh anak ini dan membawanya ke kali sana!"

Slamet bergegas mencari cari pakaian si gadis yang entah telah tercampakkan kemana. Sementars tiga orang bapak bapak yang masih tinggal itu, sedikit enggan ikut turun kedalam petak sawah. Sedikit banyak aku memahami keenggganan mereka. Gadis yang sedang kesurupan itu, jaket yqng kugunakan untuk menyelimuti tubuh gadis itu hanya mampu menutupi tubuh bagian atasnya saja, sementara tubuh bagian bawahnya masih terbuka bebas tanpa penutup sama sekali.

Berempat, kami lalu bersusah payah mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke sungai. Sungguh diluar dugaan. Tubuh gadis yang terlihat kecil itu lumayan berat juga. Ditambah dengan suasana yang gelap, dan kami harus menyusuri pematang sawah yang basah dan licin akibat lumpur yang menempel di kaki kaki kami, serta mata kami yang harus kami jaga agar sebisa mungkin tak sampai menatap ke bagian bagian tertentu dari tubuh si gadis yang tabu untuk dilihat, membuat kami beberapa kali nyaris tergelincir dan terperosok ke tengah petak sawah. Sampai akhirnya, setelah melalui perjuangan yang berat, tubuh gadis itupun berhasil kami bawa ke kali.

Aku segera membasuh tubuh gadis itu dengan air kali. Membersihkan lumpur lumpur yang mengotorinya. Sementara Slamet yang rupanya telah berhasil menemukan pakaian gadis itu segera mengenakan pakaian itu ke tubuh si gadis.

"Mas, ini ndak papa kan kalau kami tinggal?" salah seorang dari bapak bapak yang membantuku itu berkata pelan.

"Lho, kenapa Pak?"
"Eh, anu, sebenarnya ...., sebenarnya kami...., kami takut Mas! Tempat ini kan angker! Ditambah dengan..."

"Ah, iya. Saya mengerti Pak. Silahkan kalau bapak bapak mau melanjutkan mancingnya. Soal gadis ini, mudah mudahan saya nanti bisa menanganinya."

"Apa ndak sebaiknya dibawa ke atas saja Mas? Disana lebih terang dan rame!"

"Ssshhhh...! Tidaaaakkkkk...! Jangan coba coba membawaku ke tempat keramaian!" tiba tiba gadis itu mendesis dan menggeram, membuat ketiga orang bapak bapak itu terlonjak mundur karena kaget.

"Eh..., i, iya Mbah! Kami ndak akan membawa simbah ke tempat ramai!" hampir serempak ketiga bapak bapak itu berseru.

"Ssshhhh...!!! Pergi kaliaaannn!!! Aku hanya mau dengan anak ini!" kembali gadis itu menggeram sambil menelengkan kepalanya ke arahku.

"I...., iya Mbaaahhh, kami pergi..." seolah dikomando ketiga bapak bapak itu lalu ngibrit kembali naik ke atas bendungan.

"Hahaha! Dasar penakut!" Slamet tergelak.

"Manusia haram jadah! Jangan tertawa! Kau yang telah mengotori tempatku bersama gadis ini! Kaupun harus membayar mahal untuk itu!" tawa Slamet mendadak terhenti begitu gadis itu menggeram sambil menatapnya dengan mata nyalang.

"Hihihihi....! Dasar penakut!" gadis itu terkekeh sambil terus menatap Slamet yang sedang berlindung di belakangku.

"Cah bagus! Siapa namamu?" gadis itu beralih menatap ke arahku, membuatku terkesima sesaat. Ada yang salah sepertinya. Harusnya kan aku yang nanya, siapa dia, kenapa merasuki gadis ini, dan menyuruhnya keluar dari tubuh si gadis dengan sedkit ancaman, seperti di adegan film film horor itu. Lha ini kok malah dia yang nanyain aku.

"Namaku Indra Mbah," mau tak mau aku menjawab juga pertanyaan gadis itu. Sengaja aku memanggilnya Mbah, karena menilik dari suara yang keluar dari mulut gadis itu, (suara yang bernada serak dan berat seperti suara seorang nenek nenek, dan aku yakin itu adalah suara si siluman yang sedang merasuki gadis itu), aku yakin siluman yang merasuki gadis itu adalah seorang nenek nenek. Namun panggilan Mbah yang kugunakan itu sepertinya membuat siluman itu marah.

"Jangan panggil Mbah!" sentak gadis itu dengan mata melotot.

"Eh, iya Mbah, eh, bukan, maksudku..."

"Hihihihi...!" gadis itu kembali tertawa mengikik. "Panggil aku Nyai. Nyai Weling! Masih muda dan imut imut gini kok dipanggil Mbah!"

Damn! Nyaris saja aku menepuk jidatku. Siluman ini, entah darimana dia kenal kata imut imut segala.

"Apa yang kau inginkan dariku Cah Bagus?" tanya gadis itu lagi.

"Aku Mbah?"

"Mbah lagi!" gadis itu kembali menyentak dan melotot.

"Eh, iya, maaf Mbah, eh Nyai. Aku..."

"Aku tau! Aku memperhatikan beberapa hari belakangan ini kamu selalu datang ke tempat ini dan sangat berharap untuk bertemu denganku! Bahkan kemarin kau sempat kencing di halaman istanaku! Kalau bukan kamu, sudah kugigit barangmu yang menjijikkan itu, karena telah berani mengotori rumahku! Tapi, karena kamu bagus (bagus=tampan), maka aku tak tega untuk menyakitimu! Jadi, sekarang cepat katakan, apa yang kau inginkan dariku!"

"Maaf sebelumnya Nyai, kalau kemarin aku telah berbuat kurang ajar dengan mengotori istanamu. Dan, memang sebenarnya ada hal yang ingin kutanyakan kepadamu. Ini menyangkut soal salah satu jiwa yang dulu pernah Nyai perebutkan dengan peri penghuni kali ini juga."

"Gayatri maksudmu?" gadis itu mendengus kesal. "Peri sialan itu memang selalu saja menjadi batu sandungan bagiku! Kalau bukan karena dia, mungkin dulu aku sudah bisa mendapatkan jiwa orang yang telah membunuh anakku! Tapi gara gara dia, aku jadi kehilangan jiwa manusia lancang itu!"

"Jadi benar, jiwa Pak Prabowo kini tersesat di alam tempat Nyai?"

"Ya. Manusia bodoh itu, bisa bisanya dia kabur saat aku sedang bertarung dengan Gayatri si peri sialan itu! Dan sampai sekarang, aku belum berhasil menemukannya juga! Tapi tak apa, dibandingkan dengan jiwa si Prabowo bodoh itu, sepertinya jiwamu lebih menarik cah Bagus."

"Ap...a?! Ji..., jiwaku Nyai?" aku terkesiap kaget mendengar ucapan gadis itu.

"Hihihihi...!!! Kenapa cah Bagus? Kamu takut?! Tak usah takut cah Bagus! Kamu pasti akan senang! Kalau kau mau menuruti keinginanku, akan kujadikan kau raja di istanaku! Dan aku akan menjadi permaisurimu! Kita akan hidup bahagia dan kekal selamanya! Hihihihihihi...!"

"Jangan mau Mas!" bisik Slamet yang masih berlindung di belakangku. "Dia itu siluman! Dan dari suaranya, aku yakin dia sudah nenek nenek berumur ratusan tahun yang peot dan keriput!"

"Diam kamu manusia lancang!" gadis itu membentak ke arah Slamet, membuat Slamet terlonjak kaget.

"Jadi bagaimana cah Bagus? Jika kamu mau menuruti keinginanku, akan kubebaskan gadis ini, juga manusia lancang pengecut yang bersembunyi di belakangmu itu! Tapi kalau tidak, hihihihi...! Aku tak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Akan kuambil paksa jiwamu, berikut jiwa gadis ini dan juga jiwa laki laki pengecut di belakangmu itu!"

"Tidak Nyai!" aku menjawab tegas, meski rasa takut semakin menghantuiku. Siluman ini, sepertinya serius dengan ucapannya. Dan aku tak punya bekal apa apa untuk melawannya, seandainya siluman ini benar benar nekat mau mengambil jiwaku.

"Kau menolak tawaranku hah?!" nada suara gadis itu mulai meninggi.

"Maaf Nyai! Kau siluman, dan aku manusia! Jelas alam kita berbeda! Tak mungkin kita hidup bersama! Aku menemuimu, semata mata hanya ingin mengetahui keberadaan jiwa Pak Peabowo. Tapi kalau kau memang benar benar tak bisa menunjukkannya, maka kuharap, segera tinggalkan tubuh gadis itu, dan kembalilah ke alammu. Aku, mewakili gadis ini, dan juga temanku ini, memohon maaf atas apa yang telah mereka perbuat di tempatmu."

"TIDAAKKKK...!!! Aku sudah terlanjur terpikat dengan dirimu cah Bagus! Jadi dengan atau tanpa persetujuanmu, akan kubawa jiwamu ke alamku! Hahahaha....!!!"

Gadis itu tertawa keras, bersamaan dengan angin yang tiba tiba bertiup kencang. Aku dan Slamet yang sadar bahwa situasi mulai tak terkendali, mencoba untuk mundur dan menjauh dari gadis yang sedang kesurupan itu.

Namun nasib baik sepertinya masih enggan untuk berpihak kepada kamu. Alih alih kami bisa menjauh dari si gadis yang kesurupan, deru angin yang semakin kencang justru menggulung aku dan Slamet, membuat tubuh kami berdua terangkat beberapa jengkal dari atas tanah.

"Mas! Gimana ini Mas? Kenapa jadi kacau begini Mas! Toloooonnggggg...!!!" Slamet berteriak panik, sementara aku mencoba untuk tetap bersikap tenang. Aku masih ingat kata kata Mbak Ratih tempo hari, bahwa Mbah Jambrong tak akan tinggal diam kalau aku terancam bahaya.

Kalau di saat saat yang genting seperti ini Mbah Jambrong belum juga menampakkan diri, itu berarti memang dia mengingkan aku dibawa ke alam si siluman itu, agar bisa berkelana kesana dan menemukan keberadaan jiwa Pak Prabowo.

"Aaaaaa...!!! Toloooonnggggg...!!!" jeritan Slamet menggema.

"Hahahaha....!!!" tawa si gadis kesurupan membahana.

"Whuuuuusssss....!!!" deru angin kencang merenggut tububku dan juga tubuh Slamet, lalu menghempaskannya jauh menuju ke tempat antah barantah yang sama sekali tak kukenal.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close