Jiwa Yang Tersesat (Part 3)
JEJAKMISTERI - Hari masih gelap, remang remang tepatnya, saat aku sampai di rumpun pohon pisang yang lebat di tengah area persawahan itu. Sejenak aku menghela nafas, sedikit ragu dengan ritual yang akan kulakukan itu. Kupandangi batang batang pohon pisang yang menjulang tinggi itu. Juga tanaman sayur mayur yang tumbuh subur di sekelilingnya. Sepertinya si pemilik sawah itu benar benar memanfaatkan lahan yang dimilikinya dengan sangat baik. Tak ada sejengkal tanahpun yang dibiarkan terbengkelai. Bahkan di sela sela tanaman pisang yang rimbun inipun ia manfaatkan dengan ditanami aneka tanaman sayur mayur.
Aku lalu mengalihkan pandanganku ke seluruh penjuru sawah itu, memastikan bahwa tak ada seorangpun yang melihat aksiku malam itu. Akan sangat memalukan jika sampai ada yang melihatku melakukan ritual aneh di tempat ini. Hari memang masih gelap. Tapi kebiasaan warga di desaku, kadang ada saja satu dua orang yang langsung menuju ke sawah setelah sholat shubuh, meski hanya untuk memeriksa aliran air dari saluran irigasi kedalam petak petak sawah mereka.
Setelah yakin bahwa benar benar tak ada orang di sekitarku, akupun segera memulai ritual yang disarankan oleh Slamet tadi. Sejenak aku memusatkan konsentrasiku, lalu pelan pelan aku menurunkan retsleting celanaku, dan..., "Cuuurrrrrr...!!!"
Ya! Usul yang disarankan Slamet tadi adalah memancing keluar para dhedemit itu dengan cara membuat mereka marah dan keluar dari sarangnya. Dan cara yang paling mudah untuk membuat mereka marah adalah mengotori tempat mereka. Caranya? Yang paling mudah ya mengencingi tempat tinggal mereka.
Suara gemericik terdengar jelas, seiring dengan hajatku yang mulai tersalurkan. Mengalir deras menyirami tanaman sayur mayur yang tumbuh subur di sela sela pokok pohon pisang itu. Lega rasanya, setelah semalaman aku manahannya. Namun rasa lega yang kurasakan tak bertahan lama. Tengah asyik aku menuntaskan hajatku, samar samar aku merasakan desiran angin lembut yang menerpa tengkukku. Dingin terasa sampai menembus kulitku, menusuk sampai ke tulang, membuat buku kudukku seketika meremang.
Sambil terus menyelesaikan ritualku yang belum juga selesai, aku mengusap pelan tengkukku yang tiba tiba merinding itu, mencoba mengusir segala rasa takut yang mulai menjalar di hatiku. Dan belum hilang rasa takut yang kurasakan, samar samar aku mendengar langkah kaki yang mendekat dari arah belakangku. Langkah yang terdengar cepat dan terburu buru, diselingi dengan gumaman gumaman aneh yang tak jelas terdengar.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Sambil terus menyelesaikan hajatku yang entah kenapa tak kunjung usai juga, aku menoleh ke belakang. Benar saja. Dalam keremangan malam yang sudah menjelang pagi itu, kulihat sesosok bayangan hitam yang melesat cepat mengarah tepat ke arahku. Semakin lama semakin dekat, juga semakin jelas. Dan saat bayangan itu tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di tempatku, aku terkesiap. Darahku tersirap. Tubuhku bergetar hebat. Wajahku mungkin saja memucat. Rasa takut yang tadi kurasakan, kini berubah menjadi rasa panik. Panik yang memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Lari menyelamatkan diri, atau menyelesaikan hajatku yang tak kunjung usai ini.
Alam bawah sadarku mengatakan, keselamatan nyawaku lebih penting daripada ritual yang belum jelas hasilnya itu. Maka, tanpa pikir panjang, bahkan tanpa sempat menaikkan retsleting celanaku lagi karena memang hajatku belum usai, aku segera menghambur dari tempat itu, mengambil langkah seribu, menerjang tanaman padi yang tumbuh subur di hadapanku, yang justru membuat sosok itu semakin marah dan meradang.
"Wedhus elek! Wong gerang ra tatan! Nguyuh kok sembarangan! Ngerti tanduran janganan arep dipangan uwong kok malah diuyuhi!" (Kambing jelek! Tua bangka nggak tau aturan! Kencing kok sembarangan! Tau tanaman sayuran mau dimakan orang kok malah dikencingi!) Mbah Sumi, perempuan setengah gila yang tak lain adalah pemilik sawah dimana rumpun pohon pisang itu berada, mengejarku sambil mengacung acungkan arit yang dibawanya. Diiringi dengan sumpah serapah yang meluncur cepat keluar dari mulut keriputnya.
"Wedhus! Iso isone konangan sing duwe sawah!" (sial! Bisa bisanya sampai ketahuan sama yang punya sawah) gerutuku sambil terus berlari dan sesekali menoleh ke belakang, dimana perempuan tua terus saja mwngejarku sambil tak henti hentinya memaki maki. "Untung kober mlayu! Nek ora kelakon diplathok arit tenan ndasku!" (untung sempat lari! Kalau enggak beneran bisa dibacok kepalaku!)
Aku terus berlari. Perempuan gila itupun terus mengejar. Beberapa kali aku sempat tergelincir dan jatuh bergulingan menimpa tanaman padi yang baru setinggi mata kaki itu, membuat perempuan tua itu semakin marah dan menyumpah serapah. Jaket dan celana yang kukenakan sudah tak berbentuk lagi berlepotan lumpur. Sementara si perempuan gila itu dengan sangat lincahnya terus mengejarku sambil mengacung acungkan arit di tangannya.
Hingga saat sampai di tebing yang menjadi pembatas antara area sawah dengan bantaran kali, aku segera melompat dan terjun bebas ke dalam aliran sungai yang mengalir deras itu. Rasa dingin tak lagi kuhiraukan. Dengan nafas yang sudah nyaris putus aku lalu berenang ke seberang sungai.
Beruntung Mbah Sumi tak mengejarku sampai ke seberang sungai. Perempuan tua itu hanya berdiri diatas tebing sambil terus mengacung acungkan arit di tangannya. Samar samar diantara deru arus sungai aku masih mendengar sumpah serapah perempuan tua itu.
"As* tenan! Titenono kowe! Tak dongakne barangmu bosok dipangan set!" (anj*ng betul! Awas kamu! Kusumpahi barangmu busuk dimakan belatung!)
Aku hanya meringis mendengar sumpah serapahnya itu, sambil melangkah gontai kembali ke warung tempat Slamet menungguku.
"Lho! Mas! Kok sampai basah kuyup gitu? Sampeyan jatuh di sungai to? Apa habis dikejar dhemit? Gimana ritualnya? Berhasil nggak?" Slamet memberondongku dengan berjuta pertanyaan begitu melihat aku datang.
"Jatuh di kali matamu itu!" dengusku kesal. "Usulmu yang tadi itu ndak mutu sama sekali Met! Boro boro dhemitnya mau muncul. Yang nongol malah Mbah Sumi! Nyaris saja aku ditebas pakai arit kalau ndak segera lari!"
"Huwahahaha...!!!" Slamet tergelak mendengar penuturanku barusan, membuat beberapa pengunjung waduk yang berada di sekitar warung itu menoleh ke arah kami.
"Seneng ya kamu kalau lihat teman celaka!" sungutku sambil menyeruput sisa kopiku yang telah dingin itu.
"Hahaha, ya ndak lah Mas. Jangan marah gitu dong. Yang penting kan kita sudah berusaha. Kalau malam ini belum berhasil, kan besok bisa dicoba lagi." ujar Slamet disela tawanya.
"Ndak! Ndak mau aku! Nurutin idemu bukannya dapat hasil malah dapat celaka Met!"
"Tenang Mas. Aku masih ada ide yang lain kok. Dan dijamin, yang ini lebih cemerlang lagi. Besok malam kita coba. Aku yakin, kalau yang ini pasti berhasil!" Slamet mencoba meyakinkanku.
"Halah! Paling ide ndak jelas juga! Ndak! Aku ndak mau Met! Sudah cukup malam ini aku sengsara gara gara ngikutin idemu! Aku ndak mau dua kali terjerumus kedalam lubang kesengsaraan yang sama!"
"Tenang Mas! Serahkan semua padaku. Setelah menelaah semua yang telah sampeyan alami ini, aku bisa menarik kesimpulan bahwa para dhemit itu memang ndak mau ketemu sama sampeyan. Ndak tau kenapa. Mungkin sampeyan kurang ganteng atau gimana. Jadi, besok biar gantian aku yang melakukan ritual di tempat itu. Pokoknya dijamin wis, yang ini pasti berhasil!"
"Terserah kamu lah Met! Asal jangan minta bayaran saja nanti! Sudah, aku mau pulang! Ndak enak aku njedhindhil jadi tontonan orang begini!"
Akupun segera beranjak meninggalkan warung itu, diikuti oleh Slamet yang mengekor di belakangku. Sambil berjalan Slamet masih saja terus mengoceh.
"Eh, Mas, sampeyan nyadar ndak kenapa orang orang itu pada ngelihatin sampeyan?"
"Lha yo jelas to aku jadi tontonan. Pagi pagi buta begini mandi lumpur!"
"Hmmm, jadi sampeyan belum nyadar ya?"
"Nyadar apa?"
"Mereka ngelihatin sampeyan bukan karena sampeyan basah kuyup bermandikan lumpur!"
"Lalu?"
"Retsleting celana sampeyan itu lho, belum dinaikin!"
"As*!"
****
Malam berikutnya, sebenarnya aku sudah agak malas untuk melanjutkan niatku menemui makhluk makhluk penghuni waduk itu. Tapi Slamet yang datang dan terus saja memaksaku, akhirnya membuatku luluh juga. Apalagi Slamet berjanji bahwa malam ini gantian dia yang akan melakukan ritual. Aku tinggal menunggu hasilnya di warung kopi tempat biasa kami nongkrong di waduk itu.
Entah ritual seperti apa lagi yang direncanakan oleh anak itu. Sesampainya di waduk, Slamet meninggalaku begitu saja di warung yang biasa, dan malah asyik berkumpul dan bercanda ria dengan gadis gadis tanggung berpakaian seksi di warung yang lain. Edan! Benar benar nih anak!
Hanya sesaat aku memperhatikan ulah absurd Slamet itu. Selanjutnya aku lebih memilih untuk berpindah ke sudut warung yang sepi itu, menikmati secangkir kopi yang kupesan sambil menikmati pemandangan di sekitar waduk.
Malam terus merambat. Suasana di waduk semakin ramai oleh pengunjung. Kebanyakan para pemancing yang mencoba peruntungan sambil menikmati indahnya malam. Ada juga beberapa pasangan muda mudi yang bercengkerama sambil memadu kasih, dan selebihnya, gadis gadis berusia belasan tahun berpakaian seksi yang seolah sudah menjadi penghuni tetap di waduk ini setiap malam.
Beberapa dari gadis gadis itu singgah di warung tempatku menikmati secangkir kopi, membuat suasana menjadi kurang nyaman. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan warung itu dan berpindah tempat ke tanggul waduk, duduk disamping seorang bapak bapak yang tengah asyik melempar kail.
Jenuh! Itu yang kurasakan. Apalagi tadi aku tak ingat untuk membawa joran. Alhasil aku hanya bisa bengong sambil melihat aksi para pemancing itu. Mengajak mengobrol merekapun sepertinya percuma. Karena yang namanya pemancing, kalau sudah asyik dengan jorannya, boro boro diajak ngobrol, ditegur mertuapun kadang malas untuk menyahut.
Sesekali aku mengedarkan pandangan ke area sekitar waduk, mencari keberadaan Slamet yang tiba tiba menghilang entah kemana. Entah dimana dan apa yang dilakukan anak itu sekarang. Aku hanya berharap agar ia tak lupa dengan janjinya untuk melakukan ritual di rumpun pohon pisang yang dikenal angker itu.
Ah, iya. Kenapa aku tak menyusul kesana saja? Siapa tau Slamet sudah memulai ritualnya. Penasaran dengan ritual yang akan dilakukan oleh Slamet, aku lalu beranjak dari tanggul dan bermaksud untuk menuju ke bawah bendungan. Namun, baru saja aku hendak melangkah, tiba tiba dari arah bawah bendungan terdengar suara tawa mengikik yang sangat keras, membuat hampir semua pengunjung waduk menoleh ke arah itu.
"Khikhikhikhikhi.....!!!"
"Huwaaaaaa....!!! Setaaaaannnnnn...!!!"
Seorang laki laki dengan hanya mengenakan (maaf) celana dalam berlari lintang pukang dari arah bawah bendungan sambil berteriak teriak ketakutan.
"Slamet?!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya