Jiwa Yang Tersesat (Part 2)
JEJAKMISTERI - "Ayolah Mbak, masa sih sampeyan tega ndak mau bantuin aku," bujukku lagi, tak mau menyerah. Aku tahu betul seperti apa sifat Mbak Ratih. Meski memiliki kelebihan, namun perempuan yang satu ini tak pernah mau menonjolkan kemampuan yang dimilikinya. Bahkan cenderung selalu merendah dan berlagak tak tahu apa apa jika ada orang yang meminta tolong padanya.
"Bukannya ndak mau bantu Gun, tapi...."
"Tapi apa Mbak? Janji deh, apapun syaratnya akan aku penuhi, asal Mbak Ratih mau membantuku," cecarku lagi.
"Ngawur kamu! Sejak kapan aku minta syarat kalau mau membantu orang," perempuan itu mendelik ke arahku. "Aku bukannya ndak mau bantu Gun, tapi aku segan."
"Segan? Segan kenapa Mbak?" tanyaku heran.
"Ya segan sama piaraanmu itu."
"Piaraan?" tanyaku lagi, semakin heran.
"Iya. Piaraanmu yang itu," Mbak Ratih mengerling ke arah pintu depan. Akupun mengikuti arah kerlingannya dengan pandanganku. Tak ada apa apa di depan pintu yang terbuka lebar itu.
"Apaan sih Mbak? Jangan nakut nakutin deh!"
"Jadi kamu ndak bisa lihat ya?"
"Lihat apa? Orang ndak ada apa apa gitu kok."
"Ckckck, padahal macan segedhe kebo gitu, masa ndak keliatan"
"Eh, macan?" kembali aku menoleh ke arah pintu. Masih kosong, tak ada apa apa.
"Iya. Macan loreng. Gedhe banget Gun. Sudah lama aku lihat makhluk itu selalu mengikutimu. Tapi sepertinya kamu ndak sadar ya kalau diikuti."
"Oh, mungkin itu Mbah Jambrong Mbak," ujarku begitu teringat makhluk jadi jadian dari Gunung Kidul itu.
"Mbah Jambrong? Siapa pula itu? Dan darimana kamu bisa dapat makhluk seperti itu? Eh, sepertinya dia ndak suka lho Gun kalau kita omongin."
"Ya begitulah Mbak sifatnya. Sebenarnya...." aku lalu menceritakan bagaimana awalnya sampai makhluk itu akhirnya bisa mengikutiku.
"Wah, beruntung banget kamu Gun, tanpa harus bersusah payah lelaku bisa dapat piaraan seperti itu."
"Beruntung apanya, wong aku sendiri saja ndak tau kok kalau diikuti."
"Jadi, selama ini kamu nggak sadar?"
"Enggak Mbak. Kadang kadang saja dia muncul dalam mimpiku. Itupun ndak terlalu jelas."
"Kenapa kamu ndak minta bantuan saja sama makhluk itu?"
"Gumana mau minta bantuan Mbak, wong lihat dia saja aku ndak bisa, apalagi berkomunikasi."
"Hmmm, iya juga ya. Eh, tapi boleh kan ya kalau aku ngobrol sebentar sama dia?"
"Ya silahkan Mbak, kalau dianya mau. Kadang sok jual mahal dia kalau diajak ngobrol."
Mbak Ratih tertawa kecil, lalu sesaat kemudian ia terdiam sambil menatap serius ke arah pintu. Sesekali perempaun itu nampak mengangguk angguk sambil tersenyum. Di lain waktu nampak ia seperti terkejut dan mengerutkan keningnya.
"Hmmm, pantas saja," gumam Mbak Ratih akhirnya, setelah menyelesaikan komunikasinya dengan Mbah Jambrong.
"Pantas apanya Mbak?" tanyaku heran.
"Pantas saja ia masih diam saja meski kamu yang diemongnya sudah kebingungan menghadapi masalah seperti ini."
"Maksudnya Mbak?"
"Dia mau ngasih sedikit pelajaran kepadamu Gun."
"Pelajaran?"
"Iya. Intinya sih, aku setuju dengan tindakan Mbah Jambrongmu itu. Kamu yang telah mengucap janji, jadi ya kamu sendiri yang harus menepatinya. Ini bisa jadi pelajaran buat kamu Gun, agar kedepannya kamu ndak terlalu gampang mengumbar janji, kalau kamu ndak yakin bisa menepatinya."
"Ah, seperti itu ya Mbak," sedikit banyak aku mulai bisa mengerti arah pembicaraan Mbak Ratih. "Lalu, apa sebaiknya yang sekarang mesti aku lakukan Mbak?"
"Apalagi! Ya menepati janjimu kepada keluarga Pak Prabowo itu."
"Caranya Mbak?"
"Aduh! Kamu ini lho, masih ndak ngerti juga." Mbak Ratih menepuk jidatnya. "Gini aja deh Gun, untuk beberapa malam ini, coba kamu kunjungi waduk itu, terutama di rumpun pohon pisang tempat dulu Pak Prabowo ditemukan, juga di bekas tempat batu dan pohon trembesi besar yang dulu ditebang dan dihancurkan itu. Niatkan dengan sungguh sungguh dalam hatimu, untuk menemui kedua makhluk penghuni waduk itu, karena dari mereka berdualah dulu sumber masalah ini berasal. Dan yang paling utama Gun, mohon bimbingan dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa, karena hanya dari Dia-lah segala pertolongan dan bantuan bisa diharapkan."
Aku terdiam sesaat. Sepertinya apa yang dikatakan oleh Mbak Ratih barusan ada benarnya juga. Aku yang berjanji, jadi aku juga yang harus menepati. Tapi menemui dua makhluk siluman yang belum kuketahui seperti apa bentuk dan sifatnya itu, sedikit banyak membuatku ketar ketir juga.
"Tak perlu takut Gun. Biar bagaimanapun, derajat kita sebagai manusia lebih tinggi dari mereka. Dan selama kamu selalu ingat akan Sang Pencipta, aku yakin, semua akan baik baik saja. Lagipula, Mbah Jambrongmu itu, meski ia bilang kalau tak mau membantumu, tapi kalau nanti ada yang mencoba mencelakaimu, aku yakin dia tak akan tinggal diam. Karena dia adalah sosok yang telah bertekat untuk melindungimu."
"Ah, seperti itu ya Mbak," gumamku lagi. "Kalau begitu aku pamit dulu Mbak. Terimakasih banyak lho atas semua petunjuknya. Mudah mudahan aku bisa segera menyelesaukan masalahku ini."
Mbak Ratih mengangguk. Ia melepas kepulanganku dengan senyum manisnya. Sepulang dari rumah Mbak Ratih, aku menyempatkan diri untuk singgah ke rumah Slamet Penceng. Tak ada salahnya kalau aku mengajak anak itu untuk menemaniku nanti malam. Dengan iming iming sebungkus rokok, akhirnya anak itu mau juga menemaniku. Dan setelah seharian aku mempersiapkan diri, malam harinya, dengan ditemani Slamet, aku memantapkan langkahku menuju ke Waduk Kedhung Jati.
****
Malam pertama, kulewati tanpa hasil sama sekali, kecuali bentol bentol di sekujur tubuh akibat digigiti nyamuk, serta omelan Indri saat aku kembali ke rumah. Juga rasa kantuk yang teramat sangat yang kurasakan saat siang harinya aku bekerja di proyek. Slamet yang malam itu kuajak untuk menemani, sama sekali tak banyak membantu. Anak itu justru asyik di warung yang ada di hulu waduk itu.
Malam kedua, hasilnya sama saja. Namun aku tak mau menyerah. Di malam ketiga, aku mempersiapkan diri dengan lebih matang lagi belajar dari pengalaman pertama dan kudua, di malam ketiga ini aku membawa bekal yang kuharapkan bisa sedikit mengurangi rasa jenuh disaat menyepi di bawah bendungan itu.
Yaps, sebatang joran pancing! Sambil menunggu kemunculan makhluk makhluk yang kuharap mau menemuiku, akupun mulai memasang umpan dan melempar kail. Lumayan. Di malam ketiga ini, aku sudah tak merasa begitu jenuh dan bosan lagi.
Namun hingga dini hari menjelang, makhluk makhluk itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya juga. Kail yang kulempar juga sama sekali juga tak disambar ikan. Sampai akhirnya, saat adzan shubuh berkumandang dari mushalla desa, akupun memutuskan untuk menyudahi ritualku.
Joran pancing segera kukemasi, lalu dengan langkah gontai aku menaiki tanggul menuju ke arah warung dimana Slamet telah menunggu disana.
"Gimana Mas? Ada hasil?" Slamet menyambutku dengan pertanyaan.
"Zonk Met," jawabku singkat, sambil ikut duduk disebelah anak itu dan memesan segelas kopi kepada si pemilik warung.
"Hahaha...!!! Sudah kuduga!" ujar Slamet sambil tertawa ngakak.
"Wedhus kamu ya! Orang lagi sial malah diketawain!" sungutku sedikit kesal.
"Lha habisnya, sampeyan itu ya lucu kok Mas. Wong mau ritual manggil dhemit kok sambil mancing. Lha yo jelas dhemitnya ndak mau muncul to." Slamet berkata sambil terus terkekeh.
"Lha habisnya gimana Met, bosen e semaleman nyepi disitu, mana banyak nyamuk lagi. Ndak ada hiburan sama sekali," sahutku sambil menyeruput kopi yang tadi kupesan.
"Lha kalau begitu caranya ya sampai kapanpun sampeyan ndak akan berhasil Mas. Orang ritual mau ketemu dhemit itu ya ada tata caranya. Minimal semedi atau masang sesajen gitu. Lha ini kok malah disambi mancing."
"Ya mau gimana lagi Met. Kamu kan tau sendiri, aku sama sekali ndak ngerti soal semedi atau masang sesajen gitu."
"Wah, ya repot kalau begitu caranya Mas. Atau..." Slamet nampak berpikir sejenak.
"Atau apa Met?" tanyaku penasaran.
"Atau gini aja Mas. Ada cara lain selain semedi atau masang sesajen. Yang ini lebih gampang Mas, tapi mungkin resikonya sedikit lebih berat, karena bisa bikin dhemit dhemit itu marah."
"Hmmm, sepertinya menarik Met. Cara yang seperti apa tuh?"
Slamet lalu membisikkan sesuatu ke telingaku. Awalnya aku sedikit kaget dengan usul Slamet yang sedikit absurd itu. Tapi setelah aku pikir pikir, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Apalagi aku masih ingat kata kata Mbak Ratih kemarin, bahwa kemungkinan Mbah Jambrong tak akan tinggal diam kalau ada yang coba coba mencelakaiku. Jadi seandainya cara yang diusulkan oleh Slamet ini berhasil dan membuat dhemit dhemit itu marah, aku sudah tak begitu khawatir lagi.
"Kamu serius Met?" tanyaku sekali lagi, untuk memastikan bahwa Slamet tidak sedang bercanda.
"Yang kudengar dari orang orang sih begitu Mas. Tak ada salahnya kan kalau dicoba. Siapa tau berhasil."
"Iya juga ya," gumamku setelah berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita coba sekarang Met, mumpung hari masih gelap?"
"Ya sepertinya bisa Mas. Lebih cepat lebih baik. Siapa tau malam ini adalah malam keberuntungan sampeyan."
Akhirnya, setelah berpikir dan menimbang nimbang sejenak, akupun akhirnya memantapkan langkahku untuk kembali ke bawah bendungan. Rumpun pohon pisang dimana dulu menjadi tempat ditemukannya Pak Prabowo yang hilang menjadi tujuanku. Karena menurut Slamet, tempat itulah yang paling tepat untuk melakukan ritual yang diusulkan oleh Slamet tadi.
Aku melangkah perlahan, karena selain hari masih gelap dan pematang sawah tempatku berjalan basah dan licin oleh embun, rasa takut juga mulai menjalar di dalam hatiku. Menantang dhemit untuk keluar, bukanlah ide yang bagus. Tapi, apa salahnya untuk dicoba.
Berpikir begitu, langkahku semakin mantap, hingga sampai di rumpun pohon pisang yang gelap dan lebat itu.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya