Jiwa Yang Tersesat (Part 1)
JEJAKMISTERI - Ketikanku terhenti bersamaan dengan gema kokok ayam jantan di kejauhan sana. Ah, sudah pagi rupanya. Sejenak kubaca lagi kisah Pak Prabowo yang baru saja kuselesaikan. Sebuah kisah yang begitu mengharukan. Ada sedikit rasa bersalah yang kurasakan, karena secara tidak langsung aku telah mengexpose penderitaan berkepanjangan yang telah dialami oleh keluarga Pak Prabowo dan Bu Rokhayah, hanya demi sebuah popularitas yang kunikmati sendiri.
Rasa bersalah, yang kemudian mengingatkanku pada janji yang telah kuucapkan kepada Bu Rokhayah tempo hari. Janji untuk membantu mengembalikan ingatan Pak Prabowo. Janji yang kuucap begitu saja, tanpa sempat berpikir bagaimana caranya untuk menepati janji itu. Dan sekarang, setelah aku menyelesaikan cerita Pak Prabowo, baru aku tersadar, bahwa aku benar benar bodoh! Sangat sangat bodoh dan ceroboh!
Tapi janji tetaplah janji. Ucapan yang harus ditepati. Apapun caranya, aku harus segera memikirkannya. Karena janji adalah hutang, yang harus segera dilunasi kalau nggak mau ditagih di akhirat nanti.
Hufth, setelah menggeliat sebentar untuk meluruskan pinggang yang pegal, aku lalu bangkit dan menuju ke dapur. Secangkir kopi mungkin bisa memberiku sedikit inspirasi, bagaimana nanti aku harus menepati janji.
"Begadang lagi?!" suara Indri yang rupanya juga sudah mulai sibuk di dapur menyambutku. Aku hanya nyengir sambil nyelonong ke kamar mandi.
"Nanti jangan kemana mana! Jagain Aish! Aku mau ke pasar! Belanja kebutuhan warung!" dari dalam kamar mandi suara Indri masih terdengar jelas.
"Iya," jawabku singkat setelah keluar dari kamar mandi.
"Ingat! Jaga Aish baik baik! Jangan ditinggal tidur!" Indri meletakkan secangkir kopi di atas meja dapur. Aku lalu menarik kursi dan duduk di depan meja itu.
"Iya iya, tapi jangan lama lama belanjanya. Nanti aku juga ada acara." ujarku setelah menyeruput sedikit kopi yang barusan dihidangkan oleh Indri. Segar rasanya. Aroma wangi kopi berhasil mengusir rasa kantuk dan pegal yang tadi kurasakan.
"Acara apa hari Minggu begini?" tanya Indri sambil kembali sibuk dengan wajan dan spatula.
"Adalah! Mau keluar sebentar. Ada urusan."
"Iya. Keluar kemana? Dan urusan apa? Janjian sama cewek di waduk?"
"Cewek dhengkulmu itu!" sungutku. "Apa apa kok langsung dikaitkan sama cewek!"
"Biasanya kan begitu!"
"Ngawur! Aku mau kerumah Mbak Ratih sebentar!" sebuah ide tiba tiba melintas di otakku. Kopi yang kuhirup barusan sepertinya cukup ampuh, hingga mampu mengingatkanku pada Mbak Ratih yang mungkin bisa saja membantuku.
"Mbak Ratih?" Indri menyusun beberapa nampan gorengan diatas meja di depanku. Gorengan yang nantinya akan ia jual di warung kecil yang belum lama ini kubangun di depan rumah mungilku.
"Iya," jawabku singkat.
"Ya sudah, kalau begitu nanti ajak saja Aish kesana. Aku belanja agak lama soalnya. Tau sendirilah, hari minggu begini biasanya pasar rame banget."
"He-em," aku hanya mendehem, sambil kembali menyeruput kopiku. Sementara Indri segera bersiap dan tak lama kemudian kudengar suara deru motornya pergi menjauh.
Jadilah, sepeninggal Indri aku menjadi bapak rumah tangga yang baik. Membangunkan Aish dan memandikannya, lalu menyuapinya, dan setelah itu berangkatlah aku ke rumah Mbak Ratih dengan berjalan kaki, karena jarak rumah kami memang tak begitu jauh.
"Lho, Gun, tumben pagi pagi udah kesini?" suara lembut Mbak Ratih yang sedang sibuk menyapu halaman menyambutku.
"Iya Mbak. Ada sedikit perlu. Mbak Ratih nggak sibuk kan hari ini?"
"Owh, enggak kok! Ada perlu apa to? Kok tumben lho! Dan ini, Aish kan? Sudah besar ya sekarang? Udah sekolah belom nak? Bagaimana kabar Indri Gun? Dan bla bla bla..." begitulah Mbak Ratih, sambutannya selalu ramah dan familiar kalau aku datang ke rumahnya. Kami memang sudah berteman semenjak kecil, bahkan beliau sudah bukan orang lain lagi bagiku, melainkan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Usia kami memang terpaut agak jauh, beda beberapa tahun lebih tua Mbak Ratih. Namun begitu, toh usia tak menghalangi niat persahabatan kami yang tulus dan kami jalani semenjak kecil.
"Ndak usah repot repot Mbak," seruku saat kulihat perempuan itu langsung menuju ke dapur. "Kayak siapa saja lho! Aku cuma sebentar kok."
"Ah, ndak repot kok, wong cuma teh ini," Mbak Ratih meletakkan nampan berisi dua gelas teh dan setoples cemilan diatas meja, lalu ikut duduk dihadapanku. Sebatang coklat diangsurkannya ke arah Aish, yang diterima dengam malu malu oleh anak itu.
"Mas Slamet kemana Mbak?" tanyaku lagi, setelah mencicipi teh yang dihidangkan oleh Mbak Ratih.
"Lagi di kebun kayaknya, semenjak pagi tadi," jawab Mbak Ratih.
"Wah, rajin ke kebun ya sekarang."
"Ya begitulah! Sekedar untuk mengisi waktu luang di masa pensiun Gun, daripada cuma diam diam saja di rumah. Sekalian olah raga juga biar badan tetap fit. Maklum, udah umur. Oh ya, tadi katanya ada perlu? Perlu apa nih?"
"Oh iya Mbak," aku teringat kembali dengan niatku datang ke rumah ini. "Ini lho, soal yang kemarin itu."
"Soal yang kemaren?"
"Soal Pak Prabowo."
"Oh, kenapa memangnya? Masih kekurangan bahan untuk tulisanmu?"
"Ya salah satunya sih itu Mbak, tapi ada yang lebih penting lagi sebenarnya."
"Apa itu?"
"Emmm, dulu kan Mbak Ratih yang membantu menemukan pas Pak Prabowo hilang. Mbak Ratih tau nggak, apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Kenapa Pak Prabowo bisa hilang? Dan kemana atau siapa yang membawa Pak Prabowo waktu itu? Lalu, kenapa sampai sekarang kondisi Pak Prabowo tak kunjung sembuh juga? Bukankah...."
"Oalah Gun Gun! Kalau nanya itu mbok ya satu satu, jangan berondongan kayak main petasan gitu."
"Hehehe, ya maaf Mbak. Sangking penasarannya. Cerita yang kutulis sudah kuselesaikan, tapi masih banyak tanda tanya yang malah bikin aku penasaran."
"Gun," Mbak Ratih menyecap sedikit tehnya, lalu melanjutkan ucapannya. "Mbok rasa penasaranmu itu rada dikurangi to. Dari dulu sampai sekarang kok ndak berubah berubah. Ndak baik lho terlalu kepo sama urusan orang."
"Ya mau gimana lagi Mbak, sudah terlanjur, kalau nggak dituntaskan nanti malah jadi jerawat itu rasa penasaran yang menumpuk."
"Hahaha, ada ada saja kamu ini," tawa Renyah Mbak Ratih pecah. Tawa yang selalu aku rindukan selama ini, karena Mbak Ratih memang sangat jarang tertawa.
"Jadi begini Gun," Mbak Ratih akhirnya mau juga membuka informasi. "Soal apa yang dialami oleh Pak Prabowo waktu itu, aku sendiri juga kurang tau. Karena waktu itu mertua Pak Prabowo menemuiku pas saat Pak Prabowo sudah menghilang. Dan beliau hanya minta tolong untuk membantu menemukan menantunya itu. Ya sudah, aku cuma menunjukkan dimana sosok laki laki itu disembunyikan oleh jin penunggu kali itu. Tentu setelah sebelumnya aku sempat bernegosiasi dengan jin itu. Dan selanjutnya, setelah ditemukan, keluarga Pak Prabowo langsung membawa laki laki itu kembali ke kota. Bahkan tak sempat menemuiku lagi. Awalnya kupikir semua sudah baik baik saja. Tapi ternyata beberapa hari kemudian kudengar kabar kalau Pak Prabowo ternyata hilang ingatan. Aku bersama Pak Bayan dan beberapa warga memang sempat menjenguknya ke kota. Tapi ya cuma sekedar menjenguk, karena aku tak bisa berbuat banyak. Saat itu, kebetulan bersamaan dengan keluarga Pak Prabowo yang mengundang orang pintar untuk mengobati Pak Prabowo. Jadi aku juga tak berani ikut campur. Kupikir, pengobatan itu berhasil, tapi ternyata, kamu tau sendiri kan keadaan Pak Prabowo sampai sekarang seperti apa."
"Kenapa Mbak Ratih tak berusaha untuk membantu? Maksudku setelah pengobatan yang dilakukan oleh orang pintar itu tak berhasil?"
"Gun, menolong orang itu memang perbuatan yang baik. Tapi lihat lihat juga kan siapa yang mau kita tolong. Apalagi menyangkut masalah yang sensitif seperti ini. Kalau aku membantu mereka tanpa mereka memintaku untuk membantunya, bisa bisa nanti malah dikira aku ikut campur urusan pribadi mereka. Atau lebih parahnya malah dikira aku sok pintar atau bagaimana."
"Iya juga sih," gumamku. "Tapi Mbak Ratih pasti tau kan, apa yang menyebabkan Pak Prabowo sampai hilang ingatan, dan bagaimana cara menyembuhkannya?'
"Edan kamu! Kau pikir aku dukun yang bisa tau segalanya?"
"Ayolah Mbak, aku tau kok, meski kesannya Mbak Ratih segan untuk membantu mereka, pasti Mbak Ratih sempat kan menyelidiki kasus ini diam diam?"
"Nah, sekarang kamu yang seperti dukun. Darimana kamu tau kalau aku menyelidiki kasus ini secara diam diam?"
"Aku tau lah sifat Mbak Ratih seperti apa."
"Ya. Memang sih, setelah dengar kabar soal Pak Prabowo yang tak berhasil disembuhkan itu, diam diam aku kembali menemui kedua jin penjaga sungai itu, dan..."
"Tunggu Mbak, kedua jin? Maksud Mbak?"
"Ya. Memang ada dua jin yang mengincar Prabowo waktu itu, satu berwujud siluman ular, dan satunya lagi adalah sesosok peri cantik. Dan saat kejadian malam itu, jiwa Pak Prabowo jadi bahan rebutan oleh kedua jin itu. Makanya para pekerja waktu itu melihat Pak Prabowo sempat terombang ambing sebelum akhirnya terlempar ke kedhung."
"Lalu Mbak?"
"Kedua jin itu akhirnya hanya mendapatkan pepesan kosong, karena saat kedua jin itu bertarung, diam diam jiwa Prabowo mencoba kabur. Sialnya, ia kabur ke arah yang salah, hingga alih alih kembali kedalam raganya, ia justru tersesat dan hilang entah kemana. Sampai sekarang aku tak bisa mendeteksinya."
"Jadi, jiwa Pak Prabowo sebenarnya tidak ditawan oleh kedua jin itu, tapi tersesat di alam gaib?"
"Ya, paling tidak itu yang dikatakan oleh kedua jin itu saat aku menemui mereka. Benar atau tidaknya, aku sendiri tak tau, karena aku juga tak bisa terlalu mempercayai kata kata jin. Kamu tau sendiri kan bangsa mereka itu sifatnya seperti apa. Andai benar tersesat di alam gaib, akan sangat sulit untuk menemukannya Gun, karena alam gaib itu dimensinya juga sangat luas, dan sangat berbeda dengan dimensi alam manusia. Tapi jika tenyata kedua jin itu berdusta dan diam diam menyembunyikan jiwa Prabowo, itu juga bukan hal yang gampang untuk menguaknya. Mengingat aku sendiri tak bisa mendeteksi keberadaan jiwa Pak Prabowo, berati kedua jin itu memiliki kemampuan yang lumayan tinggi."
"Wah, berat juga ya mbak kalau kasusnya seperti itu. Tapi..."
"Tapi apa Gun?"
"Apa Mbak Ratih benar benar nggak tau cara untuk menemukan jiwa Pak Prabowo yang hilang itu?"
"Kan sudah kubilang kalau aku tak bisa mendeteksinya. Kalaupun ada, itu sangat sulit Gun, dan butuh perjuangan besar."
"Sesulit apa Mbak?"
"Yach, bisa dibilang seperti mencari sebatang jarum di tengah tumpukan jerami, karena kita harus masuk dan berkelana ke alam gaib, menjelajahinya dari ujung ke ujung yang bahkan tak jelas ujung pangkalnya."
"Berati masih ada kemungkinan untuk ditemukan kan Mbak?"
"Iya, meski sangat kecil kemungkinannya."
"Mbak bisa nggak bantu aku untuk menemukan jiwa Pak Prabowo itu?"
'Eh!? Kenapa kamu jadi sangat...., emmm, aku tau sekarang. Kamu pasti sudah berjanji kepada Bu Rokhayah untuk membantunya menemukan jiwa suaminya kan, sebagai imbalan untuk cerita yang kaudapatkan itu?"
"Hehe, iya Mbak."
"Gun Gun, memang ya, kamu ini ndak pernah berubah. Tapi maaf Gun, untuk kali ini aku tak bisa membantu."
"Lho, kenapa mbak? Masa sampeyan tega sih..."
"Bukannya tega Gun, tapi..., kenapa kamu tak minta bantuan sama piaraanmu itu saja?"
"Piaraan?"
"Iya. Kan kamu sudah punya piaraan yang hebat. Dan aku segan sama piaraanmu itu kalau harus membantumu. Sepertinya dia galak dsn gampang tersinggung."
"Maksudmu apa sih Mbak? Aku nggak ngerti deh!"
"Coba lihat, siapa yang duduk mendekam di depan pintu itu."
Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar itu. Dan betapa terkejutnya aku saat mendapati....
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya