Jiwa Yang Tersesat (Part 8)
JEJAKMISTERI - "Grooaaarrrrr...!!!" "Whuuussss...!!!" "Bruuugggg...!!!"
Sesosok bayangan besar tiba-tiba melompat dan mendarat tepat di hadapanku.
"Wedhus!" aku terlonjak kaget.
"Whuasssuuu...!!!" Slamet yang tak kalah kaget sampai terlonjak kebelakang.
"Jaraaannn...!!! Eh, Macaaannn...!!!" Cempluk yang sedikit latah menjerit kencang sebelum akhirnya jatuh pingsan. Beruntung Slamet dengan sigap segera menangkap tubuh gadis itu hingga tak sampai jatuh tersungkur. Anak itu lalu sibuk sendiri, berusaha menyadarkan gadis ABG itu.
Aku sendiri, setelah bisa menguasai rasa keterkejutanku, hanya bisa tersenyum lega begitu mengenali siapa sosok yang tiba tiba muncul itu. Seekor harimau loreng sebesar induk kerbau, berdiri gagah sambil menyeringai memamerkan taring taringnya yang berkilat tajam. Kyai Jambrong!
"Kyai?! Disini kau rupanya?" sapaku begitu aku mengenali sosok harimau itu.
"Bodoh kalau kau baru menyadarinya! Kau pikir kalian bisa sampai disini karena siapa hah?!" makhluk itu menggeram dengan gayanya yang khas. Ketus!.
"Oh, jadi ini semua berkat campur tangan Kyai rupanya," ujarku lagi, lega. "Terimakasih Kyai. Aku sudah mengira, meski di awal Kyai bilang kalau Kyai tak mau ikut campur dalam urusanku ini, tapi toh akhirnya Kyai turun tangan juga saat aku sedang terancam bahaya."
"Cih! Kalau bukan karena sahabatku ini yang meminta, tak sudi aku membantumu! Sok sokan berjanji mau bantu orang, tapi ndak tau sama sekali bagaimana caranya membantu! Bodoh!"
Aku hanya bisa nyengir mendengar omelan macan belang itu. Sementara Gayatri nampak tersenyum simpul mendengar ucapan Kyai Jambrong.
"Sudahlah sahabatku! Sepertinya sudah lebih dari cukup kau memberi pelajaran kepada momonganmu itu. Lagipula kan apa yang dilakukannya itu tak sepenuhnya salah. Dia hanya berusaha membantu orang. Hanya karena merasa memiliki pendamping sepertimu saja yang membuatnya merasa sedikit berani untuk menyanggupi hal hal yang sebenarnya tak bisa ia lakukan. Jadi, sebaiknya kau antar mereka pulang sekarang, sebelum para siluman yang menginginkan mereka itu mengendus keberadaannya," ujar Gayatri lembut.
"Mengantar mereka Pulang?" Kyai Jambrong kembali menggeram. "Tidak! Aku tak akan pergi, sementara kerajaanmu ini sedang diserang! Soal mereka, tadi mereka datang kesini sendiri, jadi biarkan saja sekarang mereka pulang juga sendiri!"
"Sudah kuduga! Kau ternyata masih tegas dan keras seperti dahulu ya! Tapi sahabatku, soal kerajaanku ini, kurasa kau tak perlu ikut campur. Ini urusan pribadiku, jadi biar aku sendiri yang menyelesaikannya. Lagipula, hanya siluman siluman rendahan yang sedang mencoba mengacau itu. Dengan mudah aku pasti bisa mengatasinya!" ujar Gayatri lagi.
"Sudah kubilang tidak!" sentak Kyai Jambrong. "Biar bagaimanapun kau adalah sahabat lamaku Gayatri! Tak akan kubiarkan siapapun berani mengusikmu. Lagipula..., whuaaahhh...!!!" Kyai Jambrong merenggangkan tubuhnya. "Sudah lama aku tak bermain main. Otot ototku ini rasanya sudah kaku semua!"
"Maaf Gayatri," aku menyela perdebatan kedua sahabat itu. "Kalau diijinkan, biarkan Kyai membantumu! Kami akan menunggu sampai pertempuran ini berakhir, baru nanti aku dan Kyai bisa pulang bersama sama."
"Siapa kau sok mengatur kami hah?!" Kyai Jambrong menyentakku.
"Hmmm, sebenarnya itu sangat beresiko, karena siluman ular itu sebenarnya juga mengincarmu. Tapi tak apa, kau boleh menunggu. Biar nanti salah satu dayangku mengantarmu ke tempat yang aman. Dayaaannnggg...!!!" Gayatri kembali berseru memanggil salah satu dayangnya yang segera menghadap.
"Hamba menghadap Gusti Ratu!"
"Tolong bawa tamu tamuku ini keatas benteng kerajaan, dan siapkan beberapa pasukan untuk menjaga mereka. Aku tak mau sampai ada pasukan musuh yang mendekati mereka!" titah Gayatri.
"Baik Gusti Ratu! Mari kisanak, ikut saya!" Dayang itu melirikku sekilas, lalu berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Aku segera mengikutinya setelah berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada Gayatri. Slametpun tak mau ketinggalan. Sambil memapah Cempluk yang baru setengah sadar, ia berjalan tertatih dibelakangku.
Dayang yang memiliki penampilan mirip seperti Gayatri itu lalu membawa kami keatas bangunan benteng yang terlihat sangat kokoh. Beberapa dayang yang sama segera menyambut kami. Sepertinya mereka memang sudah dipersiapkan untuk menjaga kami, membuatku sedikit merasa tak enak hati kepada Gayatri. Kehadiran kami di kerajaan ini, sepertinya hanya menambah masalah bagi ratu Peri itu.
"Kisanak, titah dari Ratu Gayatri, kisanak sekalian diharuskan tetap disini sampai peperangan berakhir! Dan kami ditugaskan untuk menjaga kisanak sekalian! Jadi kami harap, kisanak sekalian jangan sekali kali beranjak dari tempat ini!" kata dayang itu tegas.
"Baik..., emmmm, bagaimana aku harus memanggilmu?" jawabku.
"Aku dayang Seruni! Dan ini..." dayang cantik itu mulai memperkenalkan satu persatu dari pasukan yang bertugas menjaga kami itu. Peri peri yang cantik namun memperlihatkan wajah wajah tegas itu sempat membuatku terperangah. Sementara Slamet, sepertinya anak itu mulai sedikit berani. Tak butuh waktu lama, Slamet sudah nampak berbincang akrab dengan salah satu peri penjaga itu dan meninggalkan Cempluk yang masih nampak ketakutan duduk bersandar pada tembok benteng. Sementara aku bersama Dayang Seruni mengamati jalannya pertempuran dari atas ketinggian benteng itu.
Dari kejauhan kulihat ribuan sosok ular berkepala manusia merangsek maju mendekati istana peri. Sementara di depan gerbang kerajaan ini, hanya segelintir pasukan peri yang nampak bersiaga menyambut kedatangan mereka. Tak sampai ratusan kukira jumlah mereka. Jumlah yang sangat tak seimbang. Namun para peri itu sepertinya tak merasa gentar sedikitpun menghadapi lawan yang jumlahnya berkali kali lipat dari jumlah mereka itu.
Tak lama, Ratu Gayatri keluar didampingi oleh Kyai Jambrong yang memiliki penampilan paling berbeda. Tubuh besar dengan corak lorengnya itu terlihat sangat mencolok diantara pasukan pasukan peri yang berpakaian serba putih itu. Ratu Gayatri, yang sepertinya akan memimpin sendiri pasukannya, masih berpenampilan biasa biasa saja. Masih mengenakan gaun putih dan mahkota dari untaian bunga di kepalanya, dan hanya ada sebatang seruling yang tergenggam di tangannya. Tak ada senjata sama sekali.
Demikian juga dengan dayang dayang yang menjadi pasukannya itu. Mereka berpenampilan sangat feminim dan tanpa ada senjata sama sekali di tangan mereka. Sepertinya mereka hanya akan menghadapi pertempuran ini dengan tangan kosong saja.
Pasukan siluman ular itu semakin mendekat kini, dan aku bisa semakin jelas sosok sosok mereka. Ular ular sebesar pokok pohon pisang dengan kepala manusia yang rata rata berwajah nenek nenek keriput dengan rambut yang acak acakan, terkesan sangat menyeramkan. Apalagi sambil merayap maju mereka terus mendesis desis dan menjulur julurkan lidahnya keluar, sambil sesekali menyeringai memamerkan taring taring tajam mereka. Dan tak lama kemudian, seolah dikomando siluman siluman ular yang semula merayap diatas tanah itu satu persatu melesat ke depan, terbang bagai anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Sadar bahwa musuh telah memulai serangan, para pasukan peripun tak mau tinggal diam. Ratu Gayatri mengayunkan sebelah tangannya kedepan, memberi komando kepada pasukannya untuk menyambut serangan lawan.
Tanggap dengan aba aba yang diberikan oleh sang Ratu, pasukan peri itupun mulai bergerak. Dengan gemulai mereka serempak mengangkat tangan kanan mereka tinggi tinggi dengan telapak tangan terbuka. Cahaya putih menyilaukan mata terpancar dari telapak telapak tangan itu. Dan begitu cahaya itu meredup, kini nampak bahwa di tangan tangan para pasukan peri itu telah tergenggam masing masing sebuah tongkat pendek berbentuk unik. Tongkat sepanjang tak lebih dari tigapuluh centimeter dengan ukiran ukiran indah di gagangnya dan ujung berbentuk bintang berwarna keemasan itu lalu serempak mereka ayunkan kedepan.
Tak ada apapun yang keluar dari ujung tongkat itu. Tak ada kilatan cahaya, tak ada kobaran api, bahkan tak ada hembusan angin sama sekali. Namun kibasan tongkat tongkat itu ternyata memilik efek yang sangat luar biasa. Seolah telah dihantam oleh kekuatan dahsyat yang tak kasat mata, siluman siluma ular yang melesat kedepan itu satu persatu kembali terpental kebelakang, disertai suara ledakan ledakan kecil dan asap tipis yang mengepul dari tubuh mereka. Beberapa dari tubuh siluman siluman ular itu bahkan nampak terpotong potong dan jatuh berserakan diatas tanah. Bau sangit bercampur busuk menguar, tercium sampai ke tempatku berdiri diatas benteng ini.
Melihat serangan teman temannya dengan mudah bisa dipatahkan, pasukan siluman ular yang masih bersiaga di belakang segera merangsek maju. Jumlah mereka semakin banyak kini. Pasukan peri masih terus mengibas ngibaskan tongkat tongkat mereka, juga sambil merangsek maju. Kulihat Ratu Gayatri nampak bicara serius dengan Kyai Jambrong. Ratu Peri itu lalu naik keatas punggung Kyai Jambrong, sambil meniup serulingnya. Suara seruling yang melengking tinggi disambut oleh suara bergemuruh yang sangat dahsyat. Dan tak lama kemudian, dari dalam gerbang istana muncul ribuan lipan raksasa yang segera merayap kedepan dengan cepat, menyambut serangan siluman siluman ular itu.
Aku sampai merinding melihat binatang binatang berkaki seribu yang memiliki ukuran hampir sebesar pokok pohon kelapa itu. Ternyata apa yang ditulis oleh Pak Prabowo dalam catarannya itu salah. Bukan sekumpulan ular yang keluar saat Gayatri meniup serulingnya dengan nada nada tertentu, melainkan segerombolan lipan yang memiliki ukuran diatas rata rata.
Pertempuran berjalan semakin seru. Apalagi kini, dengan Ratu Gayatri yang masih duduk diatas punggungnya, Kyai Jambrong mengaum dahsyat. Tubuhnya mengembang semakin membesar dan membesar hingga seukuran induk gajah. Dan dengan sekali lompat, harimau loreng itu menerjang sepasukan siluman yang ada di hadapannya hingga formasi segerombolan pasukan siluman ular itu tercerai berai dan porak poranda.
Sambil terus mengaum dan menggeram, Kyai Jambrong dengan brutalnya membantai lawan lawannya. Menggigit, mencakar, mengunyah, dan mencabik cabik tanpa ampun. Ratu Gayatri sendiri tak mau ketinggalan. Dengan gerakan gemulai Ratu Peri itu mengibas ngibaskan kedua tangannya kesegala arah. Dan dari kibasan tangannya itu menyebar serbuk serbuk halus yang mngeluarkan cahaya kuning keemasan. Bukan serbuk biasa tentunya. Karena siapapun lawan yang terkena serpihan serbuk serbuk itu tubuhnya akan segera meleleh bagai gumpalan plastik yang dilalap api.
Suara bergemuruh semakin dahsyat terdengar, diiringi suara teriakan, geraman, dan jerit kematian yang menyayat hati. Asap berbau sangit dan busuk semakin menebal, bercampur dengan debu debu yang berterbangan. Darah hitam berbau busukpun mulai menggenangi arena pertempuran itu, disela sela bangkai bangkai siluman ular dan lipan raksasa yang semakin banyak bertumbangan.
Dari atas benteng, aku melihat bahwa pasukan siluman ular itu sudah mulai terdesak. Jumlah mereka sudah banyak berkurang. Sepertinya pertempuran ini memang dengan mudah bisa dimenangkan oleh pasukan kerajaan peri. Namun entah mengapa, aku justru merasakan sebuah kekhawatiran yang aku sendiri tak tau apa penyebabnya. Sekilas, beberapa kali Kyai Jambrong dan Ratu Gayatri menatapku disela sela kesibukan mereka menghadapi lawan. Tatapan yang sangat sulit untuk aku artikan.
Dan kekhawatiranku semakin bertambah, manakala kulihat Dayang Seruni yang berdiri disebelahku menatap sinis ke arah arena pertempuran. Sebuah tatapan, yang benar benar membuatku merasa sangat tak nyaman.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya