Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 8) - Semesta yang Berbeda

“Tanah meratap, langit merenung… Mereka yang tidak seharusnya berada di alam ini datang dan menari di atas kubangan darah. Harus ada yang mati… Seribu nyawa, atau satu…” Seorang kakek dengan tubuh yang kurus dan dan rambut putih yang tak terawat membuka matanya tepat setelah ilmunya mengambil alih tubuhnya untuk berucap. Bekas jahitan masih menghiasi mulutnya. Namun walaupun ia bisa berkata, ia memilih untuk menyegel ucapannya yang selalu menjadi kutukan atas orang-orang di sekitarnya. Mereka tak kasat mata, namun pengaruh mereka nyata. Cela, fitnah, kutuk, hingga kematian terjadi di antara manusia atas kuasa makhluk-makhluk terkutuk yang menuntut manusia untuk berakhir di jalannya.

(Di sebuah gua lereng gunung…) Pemandangan yang tidak wajar terjadi di dalam goa yang tersembunyi dari mata manusia biasa. Paklek yang baru saja bangkit khawatir dengan keadaan Bulek dan desanya, ia bergegas kembali untuk mengetahui keadaan tempat dimana mereka hampir terbunuh. Danan memilih jalan yang berbeda. Ia menuju ke sebuah desa tempat sebuah pementasan wayang diadakan untuk menolak bencana yang datang bersama sekumpulan dedemit yang dibawa oleh Trah Pakujagar, Desa Kandimaya. Sementara Cahyo memilih untuk tetap di tempat ini. Tepatnya, dua orang Cahyo. “Apa yang terjadi? Mengapa seorang ‘Aku’ bisa ada di sini? Dan mengapa diriku sampai memilih untuk mengenakan topeng yang membunuh kedua orang tuaku dan seluruh warga desaku?” Tanya Cahyo yang sudah bertekad untuk menyelesaikan urusannya dengan sosok topeng hitam itu saat ini juga. Cahyo yang berwajah penuh luka itu pun mengenakan topengnya lagi seolah menyatakan bahwa topeng itu sudah merupakan bagian dari dirinya. “Di alamku, Paklek mati… Dan aku tidak pernah mengenal sosok bernama Dananjaya Sambara...” Cahyo bertopeng hitam berkata dengan tangannya yang bergetar. Matanya memerah menahan amarah atas semua ingatan di masa lalunya. Seolah sebuah luka yang tak mungkin untuk di sembuhkan, seluruh kekacauan yang ia lakukan saat ini adalah cara untuknya menyembuhkan semua rasa sakit yang ia alami hingga menjadikannya seperti ini ***

(Di sebuah desa di Jawa Timur…) Sebuah panggung sederhana terlihat di pinggir hutan. Cahyo yang baru saja mencari makan untuk kuda ayahnya memperhatikan panggung itu dengan penuh antusias. Tanpa ia sadari panggung itu akan menjadi bencana yang akan merenggut nyawa orang-orang yang dicintainya. Gelak tawa terdengar meriah imbas penampilan menawan para pemain ludruk yang tak pernah gagal melontarkan guyonan istimewanya. Hiburan penari dan suara gamelan pun sukses menutup acara dengan meriah. Namun terlihat satu hal yang menarik perhatian untuk Cahyo. Seorang tokoh yang selalu mengenakan topeng berwarna hitam. Ia memiliki pesona sendiri walau tak menunjukkan wajahnya. Acara Pun selesai saat lewat tengah malam dan warga pun bubar ke rumah masing-masing. Hampir semua warga membicarakan tentang acara yang tidak diketahui siapakah yang menyelenggarakan acara itu untuk warga. Sampai tibalah saatnya pertunjukkan terakhir. Sebuah pertunjukkan yang judulnya sudah tersebar bersama selebaran-selebaran di penjuru desa. --------- Hadirilah , Lakon teristimewa oleh Ludruk Topeng Ireng yang pasti bisa membuat malam jumat anda semakin spektakuler Kali ini dengan judul lakon “Desa Tumbal “ , Ajak seluruh warga! jangan sampai ada yang tertinggal! -------- Cahyo meremas selebaran itu dan menyalahkan kedua orang tuanya yang tidak membangungkannya untuk menonton pertunjukkan itu. Ia pun bergegas berlari menyusul kedua orang tuanya menonton acara tersebut. Desa begitu sepi, seluruh warga pergi menuju tempat pertunjukkan yang kini berpindah masuk ke dalam hutan. Namun saat Cahyo sampai di sana, pemandangan mengerikan tersaji di hadapannya. Seorang pemain pria dengan topeng hitam , menari dengan kain di pinggang dan bertelanjang dada di atas panggung. Di tangannya tergenggam sebuah kepala salah satu warga desa. Cahyo menoleh ke arah penonton , terlihat sebagian warga duduk dengan kepala yang sudah tidak menyatu dengan tubuhnya lagi. sisanya seolah kehilangan kesadaran terpaku pada tarian si pemain bertopeng hitam itu. Dari balik panggung muncul seorang pemain membawa parang menghampiri pemuda desa yang masih kehilangan kesadaran, pemain itu menjambak rambutnya dan menebaskan parang ke lehernya hingga terpisah dari badanya.. Darah segar bermuncratan kemana-mana, namun tidak ada satupun warga desa yang bereaksi atas kejadian itu.

Apa yang Cahyo takutkan terjadi setelahnya, Ia melihat sendiri bagaimana makhluk bertopeng hitam itu memenggal kepala kedua orang tuanya hingga terputus. Rasa cemas membuat Cahyo tak dapat menyembunyikan keberadaanya hingga sosok mengerikan di balik topeng hitam itu mulai melayang mengejar Cahyo yang lari tunggang langgang. Di tengah kejaran makhluk bertopeng hitam itu, Cahyo terselamatkan oleh Paklek yang ia temui di tengah pelariannya. Saat itu Paklek menghentikan demit ludruk bertopeng hitam itu dengan api yang menyala dari sebuah pusaka korek api. Paklek terus membaca doa dan ayat suci yang menyiksa makhluk mengerikan di hadapan mereka. Tapi di tengah perseteruan itu, tiba-tiba sebuah benda melayang dengan dari kejauhan. Sebuah keris…

Tanpa sempat bereaksi tiba-tiba keris itu menancap ke jantung Paklek. Sebuah keris dengan bilah hitam yang seolah memiliki kesadaran. Kekuatan yang luar biasa mengalir dari bilah keris itu hingga membuat sosok ludruk bertopeng hitam itu memutuskan untuk mundur. Paklek dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kesadarannya, namun keris itu terus memancarkan kekuatan hitamnya seolah menembus jantung Paklek saja masih tidak cukup. “Bocah! Pergi dari sini! Bawa korek pusaka ini, keris ini berupaya menjadikan jasadku sebagai tuannya,” Ucap Paklek. Cahyo bingung dengan apa yang terjadi. Namun dari perkataan Paklek, ia mengetahui bahwa Keris itu sedang mencari tuan, dan tuannya haruslah sesosok mayat. Ia memilih Paklek untuk menjadi inangnya. Tapi Paklek sekuat tenaga menolak. Di ambang kematiannya ia mengeluarkan keris sukmageni dari tas kainnya dan membenturkan kekuatan antara dua pusaka itu. Keris yang membawa kematian, dan keris yang membawa pemulihan. Kedua keris itu pun kehilangan kesaktiannya, namun saat itu nyawa Paklek tidak terselamatkan. Cahyo tak tahu berbuat apa pada saat itu. Bahkan ia belum sempat mengenal Paklek yang menolong nyawanya itu. Begitu banyak kematian terjadi di depan matanya saat itu. Rasa takut akan menjadi tertuduh atas kematian Paklek pun membuat ia memilih untuk melarikan diri dengan membawa semua pusaka yang tertancap di tubuh Paklek itu. Sebuah perjalanan berbeda pun terjadi pada sosok Cahyo yang berasal dari semesta yang berbeda itu. “Dendam ini akan ku balaskan, kematian yang kau berikan pada orang tua dan warga desaku akan kubalaskan berkali-kali lipat,” Dendam yang dipupuk oleh Cahyo saat itu dimanfaatkan oleh keris keramat yang membunuh Paklek. Ia telah kehilangan kesaktiannya, namun ia masih memiliki kesadaran.

Keris itu berjanji untuk membantu membalaskan dendam Cahyo, sebagai gantinya ia harus membangkitkan keris itu lagi. Sebuah kesepakatan terjadi diantara Cahyo dan keris terkutuk itu. Sebuah keris yang terlihat berkarat, tak terawat namun mampu membawa bencana. Satu persatu tempat Cahyo datangi untuk mengumpulkan puing-puing kekuatan. Satu persatu guru Cahyo sambangi dengan arahan dari keris itu. Namun persyaratan pelik sudah terjadi diantara Keris itu dan Cahyo. Cahyo mendapatkan kesaktian, dan keris itu mendapatkan nyawa. Setelah berhasil menguasai kesaktian sang guru, Cahyo harus membunuh setiap gurunya sebagai syarat untuk membangkitkan keris itu kembali. Setiap perjalanan membuat Cahyo mulai kehilangan rasa kemanusiaanya. Ia tumbuh sebagai seorang berandal sakti yang hidup hanya dengan satu tujuan. Membunuh kelompok Ludruk topeng ireng yang menghabisi seluruh warga desa dan orang tuanya. Sampai pada satu titik di desa Srawen, Cahyo yang telah mendapatkan kesaktiannya bertemu dengan para pemain ludruk topeng ireng dan melakukan pertarungan hidup dan mati di sana. Pertarungan antar kedua ilmu hitam itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Tidak ada satupun warga yang berani mendekat. Setan-setan berkumpul di sekitar desa tertarik dengan aura sang pemain ludruk dan kekuatan hitam yang menyebar. Dan Cahyo pun berhasil… Semua pemain ludruk itu mati dengan kepala yang terpisah, persis seperti bagaimana mereka membunuh orang tua Cahyo. Di akhir pertarungan Cahyo melihat wajahnya yang terpantul di kaca jendela. Di hadapannya bukan lagi wajah seorang anak laki-laki ceria yang mensyukuri hidupnya. Melainkan wajah bengis seorang pria yang dipenuhi dendam dan cipratan darah. Cahyo pun memutuskan untuk mengambil topeng hitam sang ludruk yang telah pecah itu dan mengenakannya. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan kemenangannya atas sang pemain ludruk, sekaligus untuk menutupi wajah yang sudah ia anggap bukan dirinya lagi. Perjanjian pun usai… Cahyo sudah membalaskan dendamnya, dan keris pusaka itu sudah mendapatkan kekuatan yang cukup setelah menyerap kekuatan dari orang-orang sakti yang dibunuh oleh Cahyo menggunakan keris itu.

Mereka pun berpisah, namun keris terkutuk itu memilih sang penari ludruk itu untuk menjadi inangnya. Bencana besar pun terjadi. Dengan tubuh terkutuk sang ludruk dan kesaktian keris terkutuk itu, wabah demit terjadi di berbagai desa. Kesurupan, penyakit aneh, teror makhluk halus, hingga kematian terjadi di berbagai desa. Keris itu memanfaatkan getih anget dari tubuh sang pemain ludruk itu untuk mengendalikan setan-setan itu. Cahyo mencoba untuk tidak peduli. Ia terus menjalani hidupnya yang tak lagi memiliki tujuan dengan hidup penuh kekosongan. Tapi ketika ia menyadari bahwa kematian selalu berada di dekat dirinya dan menghabisi nyawa orang-orang yang ia temui, ia pun mulai merenung. Ia mencoba menyalakan korek pusaka yang ditinggalkan Paklek untuk mengenang kejadian saat ia diselamatkan. Tapi, korek itu enggan untuk menyala. Ia sadar, ia benar-benar sendirian. Suatu ketika Cahyo berdiri di antara tumpukan mayat yang mati karena ulah keris yang ia bangkitkan kembali, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ialah yang membuat semua bencana ini terjadi. Ia tidak mungkin menghentikannya karena setiap kesaktian yang ia miliki juga dimiliki oleh keris itu. Cahyo pun memilih untuk mengasingkan diri ke sebuah hutan di ujung jawa timur. Hutan keramat yang sering diceritakan oleh warga desanya pada saat ia kecil. Ia yang sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi memutuskan untuk mengakhiri sisa hidupnya dengan bersemedi dan menutup mata atas semua bencana yang juga terjadi karena ulahnya. Setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu di hutan itu, sebuah keanehan terjadi. Cahyo tersadar di tempat yang berbeda. Ia tidak merasakan kekuatan kekuatan dari bencana yang disebabkan oleh keris itu. Cahyo memiliki harapan dan segera meninggalkan hutan. Benar saja, keberadaan keris itu tidak kembali terasa. Ia pun mulai mendapatkan harapan dan meninggalkan hutan itu. Ia melakukan perjalanan untuk memastikannya. Tapi sebelum Cahyo merasa lega, ia melihat dua orang pemuda tengah melintas menaiki sebuah motor vespa. Ia bisa mengenali bahwa salah satu pemuda yang sedang menyetir memiliki wajah dan aura yang sama persis dengan dirinya. Ia pun sadar, bahwa semedinya telah membawa dirinya ke dunia yang berbeda. Dunia dimana dirinya memilih jalan yang benar. ***

(Di sebuah gua lereng gunung…) Kali ini tangan Cahyo yang bergetar mendengar kisah dari sosok Cahyo yang bertopeng hitam itu. Ia benar-benar membayangkan ternyata begitu mengerikannya apa yang terjadi ketika ia salah memilih jalan untuk hidupnya. “Jadi sekarang apa tujuanmu, Cahyo?” Tanya Cahyo pada sosok bertopeng hitam itu. “Aku harus mengumpulkan kekuatan, kesaktian, dan pusaka tersakti yang pernah ada. Setelah itu aku akan kembali ke duniaku dan menghabisi keris itu. Takkan kubiarkan kau menghalanginya! Aku sudah membuang jauh-jauh nama Cahyo, Aku adalah Bara!” Cahyo menghela nafas mendengar ucapan dari sosok dirinya yang menyebut dirinya Bara itu. Ia pun berdiri dari tempatnya dan berjalan menghampiri Bara. “Kau salah. Yang kau butuhkan bukan kesaktian ataupun pusaka.” Cahyo menepuk pundak Bara seolah melihat suatu harapan pada dirinya. “Yang kau butuhkan hanyalah… Teman.” Ucap Cahyo yang berjalan meninggalkan goa itu untuk menyusul Danan dan Paklek. Ia meninggalkan seorang pemuda yang merupakan dirinya dari semesta yang berbeda dan dengan takdir yang berbeda. Namun Cahyo yakin bahwa pertemuan mereka adalah cara dari sang Pencipta untuk memberikan takdir terbaik bagi Umatnya. ***

(Di desa Paklek…) Sudah puluhan hari kabut laut mengelilingi desa setiap malam. Kabut yang membawa aroma laut itu terlalu aneh untuk berada di sebuah desa yang sama sekali tidak berbatasan dengan laut. Namun selama masih ada kabut itu, desa ini masih jauh dari kata aman. Seorang perempuan berlari menembus kabut mencoba memasuki desa, namun ia tidak berlari tanpa alasan. Di belakangnya makhluk-makhluk yang tak ia kenali terus memantaunya dan menunggu ia lengah. “Tak ada gunanya berlari, ayah dan teman teman ayahmu telah mati di tangan Kanjeng Ratu, Hahahaha…” Suara itu terdengar, namun ia memilih untuk mengacuhkan suara itu dan terus berlari. Sayangnya sebelum sempat menemukan tempat yang ia cari, ia terjatuh. Ia terlalu lelah melarikan diri dari berbagai teror yang mengikutinya. “Sudah saatnya kau menyusul kematian ayahmu!” Dari balik kabut, muncul sesosok setan berwajah hitam dengan baju kebesaran seorang raja. Rambutnya memanjang menutupi wajahnya. Sosok prajurit yang baru saja bangkit dari kematian mengikutinya dari belakang. Perempuan itu ketakutan, nafasnya telah habis hingga tak mampu memaksa dirinya untuk berdiri. “Maaf, Pak.. Ranaya tidak mampu membalaskan dendam bapak,” Ucapnya. Melihat keberadaan seorang perawan yang tak berdaya itu, para prajurit mayat hidup itu pun tak melewatkan kesempatan untuk memangsanya. Tapi sebelum itu terjadi, tiba-tiba Ranaya berdiri dengan raut wajah yang aneh. Tidak, ia tidak hanya berdiri. Ia melayang seperti kerasukan sosok yang mengerikan. “Aku benci makhluk-makhluk yang menodai dan menyiksa seorang perempuan.. Khikhikhi,” Suara itu terdengar dari sosok yang merasuki Ranaya. Bersamaan dengan itu mayat-mayat yang telah kembali hidup itu tiba-tiba merasa kesakitan hingga tak ada satupun dari mereka yang sanggup melangkah. Kalatuo, sosok setan yang berwajah hitam dengan baju kebesaran seorang raja itu pun memerintahkan pengikutnya untuk menyingkir dan memberi ruang untuknya maju ke depan. “Jadi kau alasan mengapa anak buahku tidak ada yang pernah kembali dari desa ini,” Tanya Kalatuo. “Khikhikhikhi…” Sosok yang merasuki Ranaya tertawa. Tak lama setelahnya terdengar suara dua orang yang mendekat ke Ranaya. “Selama Paklek tidak ada di desa, kamilah yang akan menjaga desa ini,” Ucap seorang pria.

Salah satu dari mereka memeriksa pusaka batu berbentuk pisau yang tertancap di batas desa. Mereka Linus dan Linggar. Ia sudah berada di desa itu setelah mendapat kabar hilangnya Paklek, Danan, dan Cahyo dari Nyai Kunti. “Hahaha orang yang kalian tunggu sudah mati! Aku tidak peduli dengan desa kalian, namun keberadaan perempuan itu tak bisa kubiarkan,” Tolak Kalatuo. Mendengar ucapan itu, Nyai Kunti yang berada di dalam tubuh Ranaya pun geram, ia sangat bernafsu untuk menghabisi sosok yang meremehkannya itu. “Tahan Nyai Kunti. Jangan terpancing! Kita hanya perlu membawa perempuan itu memasuki pelindung yang dibuat oleh pusaka Linus!” Perintah Linggar. Nyai Kunti terlihat kesal, namun ia menurut. Terlihat Nyai Kunti tidak seperti sebelumnya saat masih menaruh dendam pada keluarga Sasena. Saat ini Nyai Kunti tak memiliki ikatan apapun dengan keluarga Sasena, namun ia tetap memutuskan untuk mengikuti Linggar. Nyai Kunti merasakan kebajikan dalam diri Linggar yang membuatnya lebih tenang dibandingkan harus bergentayangan. Mereka pun memutuskan untuk tidak terprovokasi dan kembali ke dalam perlindungan pusaka Linus. Pusaka itu membuat pagar gaib seperti yang pernah ia lakukan saat menyegel Alas Wetan. … Linggar dan Linus membawa Ranaya ke rumah Bulek. Setelah Nyai Kunti meninggalkan tubuhnya, Ranaya masih tak mampu untuk tersadar. Apa yang terjadi padanya benar-benar membuatnya kehabisan tenaga. “Apa mungkin dia juga ingin meminta tolong pada Paklek?” Tanya Linggar pada Bulek. “Yah, mungkin saja.. Tapi kasihan dia. Sudah berjuang sampai sejauh ini, namun ia harus menerima kabar buruk tentang Paklek,” Jawab Bulek. Linus datang dengan membawa air hangat dan lap. Setidaknya Bulek mencoba membersihkan wajah dan tubuh Ranaya yang kotor dan penuh dengan lumpur itu. “Kita rawat dulu saja, Bulek. Tenang saja, Paklek pasti kembali,” Ucap Linus. Bulek menghela nafas. Ia tidak tahu harus berkata apa. Saat ini ialah yang paling khawatir dengan keadaan Paklek, Danan, dan Cahyo. Dhummm!

Malam semakin larut, suara dentuman terdengar di sekitar desa. Linus dan Linggar tahu bahwa suara itu berasal dari serangan Kalatuo yang berusaha menembus perlindungan yang mereka buat. “Mereka tidak pernah menyerang segencar ini sebelumnya, apa perempuan ini benar-benar menjadi ancaman untuk mereka?” Tanya Bulek. “Mungkin saja, Bulek. Itu artinya kita tidak boleh membiarkannya jatuh ke tangan mereka,” Balas Linggar. Di tengah perbincangan mereka, terdengar suara langkah kaki warga desa yang melangkah di luar. Linus penasaran dan mendapati warga desa sedang ketakutan menatap sesuatu yang berada di luar sana. “Mas, coba keluar mas.. itu apa?” Panggil Mas Idris yang keluar dari rumah singgahnya ketika menyadari keanehan di luar desa. Linus pun mengajak linggar keluar dan melihat sesuatu yang membuatnya gemetar. Dibalik pelindung yang dibuat Linus, terlihat sepasang mata merah yang memandang dari balik kabut. Linggar mendekat dan melihat dengan jelas bahwa mata itu berasal dari sosok setan berwujud wanita raksasa yang dipanggil oleh kalatuo. “Ini diluar kemampuanku, Nggar!” ucap Linus. Linggar menatap ke salah satu genteng rumah di dekatnya. Di sana Nyai Kunti menatap makhluk itu dengan wajah geram. Terlihat bahwa seorang Nyai Kunti pun belum tentu dapat menghadapi makhluk itu. Dhummmm!!!! Suara hantaman bola api terdengar berbenturan dengan pelindung yang dibuat Linus. Kali ini tidak hanya sekali, bola api itu menyerang pelindung hingga bertubi-tubi seolah siap untuk menghancurkannya. “Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Pak Luhur yang sama cemasnya dengan warga lain. “Berdoa… Saat ini hanya Tuhan yang dapat membantu kita,” Jawab Linus. Linggar mengangguk setuju.


“Tolong bantu arahkan warga untuk kembali ke rumah. Saya dan Linus akan mencoba menahan mereka sebisa kami,” Ucap Linggar. Ia menoleh ke arah Nyai Kunti yang sepakat untuk membantu mereka berdua menahan serangan makhluk mengerikan itu. Di batas desa, mereka menyaksikan sekumpulan mayat hidup tengah mengepung desa, sosok kuntilanak setinggi pohon pun berjaga di setiap sisi hutan. Linggar yakin, Nyai kunti bisa menahan mereka dengan kutukan yang ia miliki. Tapi tidak dengan raksesi itu. “Kau tahu, kami tidak akan segan-segan menghancurkan desa ini untuk mengambil perempuan itu dari kalian,” ucap Kalatuo. “Sepertinya perempuan itu mengetahui sesuatu yang mengancam kalian. Mengetahui hal itu saja sudah memberi kami alasan kuat untuk tidak menyerahkannya,” ucap Linus. Kalatuo tersenyum kecut, namun sudah menjadi tugasnya untuk mengambil dan menghabisi perempuan itu. “Luluh lantakkan desa ini, Nyai Dursada!” Perintah Kalatuo pada raksesi itu. Nyai Dursada pun bangkit sepenuhnya. Ia menghantamkan cakarnya pada pelindung yang dibuat oleh Linus. Krakkk!!! Hanya dalam satu serangan pelindung gaib itu retak. “Aku tidak bisa menahan serangan makhluk itu, ia terlalu kuat,” Sosok pusaka itu merasuki tubuh Linus. Linggar cemas, namun sebelum serangan berikutnya terjadi, tiba-tiba seluruh mayat hidup yang mengelilingi desa terbakar membara. Nyai Kunti mengenali api itu dan memutuskan untuk keluar dari pelindung gaib di desa. Saat Nyai Dursada menghantamkan serangannya lagi, Nyai kunti mencengkeram bagian kepala makhluk itu. “Sa—sakit!! Perasaan apa ini! Sakit!!” Raksesi Nyai Dursada menahan serangannya dengan rasa sakit yang diberikan oleh Nyai Kunti. “Terima kasih, Nyai Kunti..” ucap seorang pria yang berjalan melintasi api yang ia buat. Ia berjalan dengan penuh amarah setelah melihat apa yang terjadi pada desanya. “Paklek! Itu Paklek!!!” Teriak linggar saat melihat seorang pria berjalan di antara mayat-mayat hidup yang terbakar. “Ti—tidak mungkin! Kau sudah mati!! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri!” Teriak Kalatuo yang tidak percaya dengan kemunculan Paklek.

Linus berlari menjemput seseorang dari dalam rumah. Dengan tergopoh-gopoh bulek berlari ingin membuktikan apa yang diucapkan oleh Linus. Dengan mata penuh haru, Bulek terjatuh lemas saat mengetahui Paklek masih hidup. Ia melihat sendiri Paklek berdiri melindungi desa berhadapan dengan Nyai Dursada, Kalatuo, dan pengikut-pengikutnya itu. “Aku belum diijinkan untuk mati selama kalian masih mengacau di tanah ini,” Jawab Paklek. “Cih! Sepertinya aku harus membunuh bocah bertopeng pengkhianat itu,” ucap Kalatuo yang mulai menyadari bahwa hidupnya Paklek adalah tipu muslihat pria bertopeng itu. Blarrrrr!!!! Geni Baraloka menyala membara, Kalatuo bersiap menyerang. Sebelum sempat mencapai Paklek, sebuah keris melesat dari langit dan jatuh tepat di hadapan Paklek dan Kalatuo. “Terima kasih, Nyi..” Ucap Paklek pada sosok yang mengantarkan keris Sukmageni itu ke hadapannya. Itu Nyi Sendang Rangu. Paklek sadar Ia belum berniat mencampuri pertarungan ini. Tanpa memberi celah, Paklek melesat mengambil kerisnya dan beradu serangan dengan sosok Kalatuo. “Aku sudah mengalahkanmu satu kali, masih berani melawanku?” Ucap Kalatuo. Tranggg!!!. Keris mereka beradu satu sama lain. “Mengalahkan? Yang kau gunakan hanya muslihat busuk! Sekarang akan kubuktikan kalau kau tak lebih dari setan rendah!” Balas Paklek. Trangg!! Trangg!!! Keris mereka beradu dengan sengit diantara kobaran api geni baraloka. Tak satupun serangan Kalatuo mampu menyentuh tubuh Paklek, sebaliknya satu demi satu goresan dari bilah hitam keris sukmageni meghiasi tubuh Kalatuo. “Siall!!” Paklek tidak melonggarkan serangannya. Ia mengingat bagaimana Kalatuo dengan kelicikannya menggunakan Mbok Darmi dan yang lain sebagai sandra untuk membunuh dirinya, Danan, dan Cahyo. “Sudah kukatakan, kau bahkan tak lebih kuat dari setan-setan pengikutmu. Tanpa perlindungan Trah Pakujagar kau cuma cecunguk yang menipu anak buahmu!” Ucap Paklek. “Jaga bicaramu!”

Kalatuo kesal. Tak mau diremehkan, ia pun mengambil jarak dan membacakan sebuah mantra yang membuat dirinya terselimuti cairan hitam yang menjijikkan. Paklek berhati-hati, namun seiring dengan cairan hitam itu melumuri tubuhnya perlahan Paklek pun tak dapat lagi melihat keberadaanya. “Melarikan diri?” Gumam Paklek. Srattt!! Paklek merasakan ada yang mendekat, ia berusaha menjauh namun goresan keris melukai tubuhnya. “Jurus yang cocok untuk pengecut sepertimu,” Ucap Paklek. Linggar dan Linus sudah bahwa Kalatuo sudah bukan ancaman lagi. Namun sosok Nyai Dursada sudah terpanggil. Paklek pun sanksi apakah mereka bisa mengalahkan Nyai Dursada. “Berani-beraninya kau meremehkanku!” Sebuah serangan tak terlihat mengincar Paklek dari belakang. Tranggg!!! Dengan mudah serangan itu terhalau oleh Paklek dan bersamaan dengan itu Paklek membaca mantra untuk mengaktifkan kekuatan bilah hitam dari keris sukmageni. Blarrr!!! Api hitam menyala dari setiap luka goresan di tubuh Kala Tuo. Ia tak lagi mampu mempertahankan ilmu menghilangnya dan muncul tak jauh dari tempat Paklek berdiri. “Arrgghh!!! Panasss!! Apa ini??!” Tak hanya di bekas luka, api hitam itu memercik membentuk pusaran kecil di sekitar tubuh Kalatuo. Paklek pun melihat keris ragasukma miliknya, ia menyadari bahwa Mbah Jiwo sekali lagi sudah menempa kerisnya menjadi lebih dari sebelumnya. “Nyai Dursada!! Tolong!! Panass!! Bunuh mereka!! Tolong!!” Teriak Kalatuo yang berlari tunggang langgang pada Raksesi yang ia panggil itu.

Kalatuo berusaha meminta pertolongan dari Nyai Dursada. Sosok yang berseteru dengan Nyai Kunti itu melangkah melibas pohon-pohon di sekitarnya. “Cepat! Habisi dia! Hentikan ilmu sial ini!” Teriak Kalatuo. Nyai Dursada berteriak hingga mengeluarkan suara yang melengking. Nyai Kunti yang sedari tadi berusaha menahan Nyai Dursada tak mampu bertahan lebih lama dan dan menjauh. “Hahaha!! Bodoh! Kau kembali ke tempat ini hanya untuk mati lagi! Hahahaha…” Craattt!!! Di tengah tawanya, tiba-tiba tubuh Kalatuo hancur oleh injakan kaki Nyai Dursada. Tak hanya sekali, ia bahkan mengulanginya menginjak Kalatuo berkali-kali seperti menghabisi serangga. “Kau pikir aku sudi mengikuti perintahmu! Bahkan mati di telapak kakiku saja kau tak pantas!” Ucapnya dengan terus menghentakkan kakinya pada tubuh Kalatuo dengan bertubi-tubi. Tubuh hitam yang jumawa itu pun mati tercerai berai tak berkutik sama sekali. Paklek dan yang lain berusaha untuk memalingkan matanya dari pemandangan mengerikan itu. Di tengah kesadisan itu, tiba-tiba Nyai Kunti dan Nyi Sendang Rangu menatap bersamaan ke salah satu langit. Mereka menyadari sebuah kekuatan besar melintas membuat siapapun yang mampu merasakan hal gaib menyadarinya. Diatas langit yang dihiasi cahaya bulan, terlihat ratusan setan dengan berbagai wujud terbang mengikuti sosok setan wanita berkebaya hitam. Ada beberapa sosok yang menarik perhatian seperti gumpalan bagian tubuh yang besar hingga beberapa sosok raksasa. “Itu Nyai Ratu Tanusedo, Ratu Trah Pakujagar!” Ucap Nyi Sendang Rangu yang bergegas meninggalkan posisinya saat ini menuju arah yang sama dengan makhluk-makhluk itu.


Tak terkecuali dengan Nyai Dursada dan setan-setan pengikut Kalatuo yang secara naluri mengetahui siapa pemimpin mereka, saat itu mereka serentak melayang mengikuti Ratu yang membangkitkan mereka itu. “Paklek, arah itu?” Linggar mencoba menebak. “Benar, arah Desa Kandimaya. Jadi tempat itu yang akan menjadi medan perang kita…” Ucap Paklek cemas. Paklek ingin segera menuju ke arah yang sama dengan makhluk-makhluk itu, namun ia merasa harus menemui Bulek terlebih dahulu. Apalagi Linggar menceritakan tentang sosok perempuan yang diincar oleh Kalatuo itu. Sebuah pelukan singkat terjadi diantara Paklek dan Bulek. Perasaan berkecamuk terjadi diantara mereka. Paklek yang teringat bagaimana hancurnya perasaannya ketika melihat roh bulek dan warga desa terlepas dari tubuhnya dulu tak henti-hentinya bersyukur mendapati keadaan Bulek dalam keadaan baik-baik saja. Saat akan kembali ke kediamannya, Ranaya telah tersadar dan berjalan keluar dengan wajahnya yang masih pucat. “Paklek Bimo?! Syukurlah Paklek masih hidup!” Ucap Ranaya yang mendapati sosok seseorang yang ia cari itu. “Kamu?” “Saya Ranaya, Paklek! Anak Ki Kumbang Ranu..” Paklek memperhatikan Ranaya dan sedikit demi sedikit mulai mengenali wajah itu. “Ranaya? Yang Paklek ingat kamu masih sekecil ini!” Ucap Paklek yang menggambarkan tinggi seorang anak kecil se dadanya. “Itu sudah tujuh tahun yang lalu, Paklek.” “Lantas Apa kabar Ki Kumbang Ranu? Kenapa kamu bisa sampai di tempat ini seorang diri?” Tanya Paklek. Sebelum perbincangan semakin panjang, Bulek mengajak mereka untuk kembali ke rumah melanjutkan perbincangan mereka. Setelah membersihkan diri dan menenangkan suasana, Ranaya menceritakan tentang semua yang terjadi pada ayah dan teman-temannya. Kematian Ki Kumbang Ranu membuat Paklek semakin cemas. Walau tidak mengenal begitu dekat, namun kesaktian Ki Kumbang Ranu bukan suatu hal yang bisa diremehkan. “Bapak sudah mendapat pertanda akan bencana ini, Paklek! Katanya apabila terjadi sesuatu dengan dirinya, hanya Pakleklah yang dapat dipercaya,” Jelas Ranaya. Paklek tak menyangka seorang Ki Kumbang Ranu mempercayai dirinya sampai sebegitunya. “Sebelum Bapak pergi, Bapak mencoba mencari cara untuk menghentikan perang gaib ini. Dia menemukan sebuah gua yang dindingnya tertulis aksara jawa yang meramalkan kejadian ini…” Cerita Naraya. Paklek yang mendengar cerita itu merasakan sesuatu. Apakah kepergian roh Paklek, Danan, dan Cahyo ke masa lalu ada hubungannya dengan roh itu? Ranaya memberikan gulungan serat lontar pada Paklek. Ia mengatakan bahwa itu adalah catatan milik ayahnya mengenai ramalan itu. Menurutnya setiap tulisan di serat itu hanya dapat dibaca dengan cara tertentu.

“Apa Paklek bisa mengerti isi serat lontar ini?” Tanya Ranaya. Paklek membuka benda itu dan mencoba memahaminya. “Nggak ada tulisan apa-apa? Iya kan Linggar?” Ucap Linus yang ikut mengintip isi serat lontar itu. “Mungkin kita saja yang nggak bisa lihat,” Jawab Linus. Paklek terlihat serius menatap serat lontar itu. Berbeda dengan Linggar dan Linus, Paklek seolah memahami sesuatu dari gulungan itu. “Ini adalah lokasi goa itu. Ayahmu memang hebat, Ranaya!” Ucap Paklek. “Paklek bisa mengerti?”Tanya Ranaya. “Belum. Tapi sepertinya aku membutuhkan kalian sebentar lagi untuk menjaga desa ini, Linggar, Linus!” Ucap Paklek. “Serahkan pada kami, Paklek. Tapi memangnya Paklek mau kemana?” Tanya Linggar. “Tidak, tubuhku akan tetap di sini. Gua ini hanya dapat dicapai dengan ilmu ragasukma,” Jawab Paklek yang segera bergegas menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk bersemedi di pendopo. “Persiapkan semuanya! Saat aku kembali, kita akan pergi menuju Desa Kandimaya!” Perintah Paklek yang segera dimengerti oleh Linggar dan yang lainnya. Bulek melihat mereka dengan cemas, namun ia mengerti keberadaan orang-orang di sekitarnya itu dibutuhkan untuk menyelesaikan tragedi ini. ***

(Di Desa Kandimaya…) Suara pementasan wayang terdengar dari alun-alun desa Kandimaya. Seorang Dalang memainkan lakon Perang Barathayuda bersama para sinden dan pemain gamelannya. Sebuah lakon tentang perang saudara antara Pandawa dan Kurawa yang melibatkan titisan dewa dan berbagai ras makhluk di sebuah padang bernama Kurusetra. Sebuah tempat yang menjadi tempat saksi perebutan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa. Lakon Baratayuda dipercaya merupakan lakon yang berat dan tidak bisa sembarang dimainkan. Tidak semua dalang berani memainkan lakon ini, bahkan lakon ini hanya dimainkan pada waktu-waktu khusus. Tapi kali ini Ki Daru Baya yang sudah semakin berumur memutuskan untuk memainkannya tanpa satu orangpun penonton. Alun-alun desa Kandimaya hanya berisi sebuah panggung pementasan bersama pemain wayangnya. Tak ada satu pun manusia di sana, namun untuk orang-orang yang mengerti maksud dari penampilan itu. Mereka melihat ratusan makhluk tak kasat mata menonton pementasan yang memang dikhususkan untuk warga gaib di sekitar desa Kandimaya itu. Desa benar-benar kosong. Warga desa telah mengungsi sejauh mungkin setelah menyadari bahaya yang mendatangi tempat ini. Di seluruh penjuru desa, terdengar suara senjata yang beradu bersama teriakan-teriakan mengerikan. Suara tawa, tangis, hingga tembang yang mengerikan terdengar tanpa ada wujud yang terlihat. Pohon-pohon tumbang, tak sedikit atap rumah hingga tembok-tembok hancur tanpa sebab yang terlihat. Sebuah peperangan tak kasat mata terjadi di alam lain di desa Kandimaya. “Ibu tidak pernah menyangka, sebuah permainan wayang bisa membawa manusia dan makhluk seperti mereka memasuki alam gaib desa Kandimaya,” ucap Nyai Kirana. “Benar, Bu. Mereka benar-benar hebat. Permainan Ki Arsa sudah bukan permainan biasa lagi, permainanya bahkan mulai bisa mengoyak batas alam. Sementara permainan Ki Daru baya mampu mengubah niat setan-setan itu untuk berpaling dari niatnya,” Balas Naya. Nyai Kirana dan Naya memandang itu semua dari sebuah bukit batu di dekat desa. Ada tubuh seseorang yang baru saja tiba melakukan semedi di sana. Tubuhnya terduduk tak jauh dari makam ayahnya, namun roh nya sudah menjadi bagian pertarungan yang menjadi awal pertarungan besar di desa ini. Srassshh!!! Kilatan pukulan cahaya putih menembus tubuh jerangkong berselendang hitam yang beradu senjata dengan Panji.

“Maaf, Aku terlambat!” Ucap roh Danan yang memasuki pertarungan. “Sudah kuduga, kalian tidak akan mati semudah itu,” Sambut Mbah Widjan yang sudah menjaga Desa Kandimaya bersama para murid-muridnya yang semakin berkembang. Panji menjelaskan dengan singkat bahwa mereka, bersama Ki Arsa dan Ki Daru Baya yang merancang rencana pertarungan di sisi lain Desa Kandimaya ini. Mereka menjebak pasukan Prabu Junoyo yang sebelumnya tidak sadar bahwa mereka sudah memasuki alam ini. “Keputusan yang tepat. Tapi dimana Prabu Junoyo? Apa kalian berhasil mengalahkan dia?” Tanya Danan. Buggh! Pukulan Danan beradu dengan panglima mayat hidup yang dikelilingi aura hitam. Panji melemparkan Tombak Lembu Warok miliknya untuk menghabisi sosok yang mencoba menghalangi Danan itu. “Dia sedang tertidur. Kebangkitan sang ratu melepas tanggung jawabnya atas makhluk-makhluk ini hingga ia bisa menyempurnakan dirinya. Saat ia bangkit, mungkin seluruh pasukanku pun bukan lawannya,” Jelas Mbah Widjan. Danan menelan ludah mendengar pernyataan itu. Sayangnya ia memang merasakan keberadaan Prabu Junoyo, namun ia sama sekali tidak dapat menemukan keberadaan sosok pemimpin trah Pakujagar itu. Sampai di tengah pertarungan, hal yang Danan takutkan pun terjadi. Ada aliran kekuatan hitam yang berkumpul di desa kandimaya. Danan tahu dengan sadar bahwa aliran kekuatan itu menuju pada sosok Prabu Junoyo yang tidak bisa ia temukan. Pertarungan telah berlangsung sengit hingga melewati tengah malam, namun Danan yakin bahwa malam ini adalah puncaknya. Deg… Deg… Suara detak jantung menggema terdengar di alam itu. Suara itu membawa keresahan yang seketika dirasakan oleh Danan, Panji, dan yang lain. Deg… Deg… “Bangkit!! Akhirnya tuanku bangkit!” Teriak salah satu setan di sana. Teriakan itu disambut dengan sorak sorai dari seluruh pasukan demit Trah Pakujagar. Gumpalan kekuatan hitam berkumpul diantara setan-setan yang bengis dan haus darah. Tak ada satupun yang berani mendekat hingga sebuah ledakan terjadi dan melemparkan mereka semua kembali ke alam manusia Desa Kandimaya. “Apa ini? Apa yang terjadi?” Tanya Panji. “Batas dimensi yang kalian buat hancur. Kita kembali ke Desa Kandimaya. Tenang saja, warga desa sudah berhasil diungsikan,” Jelas Danan. Wajah Panji dan Mbah Widjan terlihat cukup tenang mendengarnya, namun kemunculan mereka membuat Ki Daru Baya dan Ki Arsa yang mendalang di tempat berbeda mulai panik. “Apa yang terjadi?” Tanya Ki Arsa yang meninggalkan pementasanya. “Dia akan bangkit! Kerahkan semua yang kita bisa untuk menghentikan ini semua,” Ucap Danan. Arsa mengerti. Kali ini ia membawa beberapa buah wayang yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Danan merasakan kekuatan yang berbeda dari wayang pusaka itu. Getaran bumi pun semakin terasa hingga tiba-tiba ledakkan terjadi lagi dan memunculkan keberadaan sesosok makhluk yang melayang di atas desa Kandimaya. Itu adalah Prabu Junoyo…

Wujudnya tak lagi pantas disebut sebagai manusia. Tubuhnya dipenuhi sisik hitam, sepasang tanduk menghiasi kepalanya dan wajahnya berubah begitu bengis dan mengerikan. Pusaka-pusaka zaman kerajaan memenuhi bagian tubuhnya dan menyatu. Bahan ekor-ekor ular miliknya hidup dan mencari mangsa dari seluruh makhluk yang hidup di sekitarnya. “Hahahaha… jadi ini tubuh pemberian para Batara! Hahahaha!” Tawa Prabu Junoyo yang sudah mendapatkan wujud yang diidam-idamkan. Bukan wujudnya saja yang mengerikan, namun juga tentang bagaimana ia bisa berhasil mendapatkan wujud itu.

Gumpalan kekuatan hitam yang meledak itu juga menyebarkan potongan-potongan tubuh manusia yang tidak sedikit. Itu semua adalah tubuh yang memuja berhala Trah Pakujagar yang hidupnya harus berakhir dengan menjadi bahan bakar untuk Prabu Junoyo. Danan sudah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk untuk melawan sosok itu, tapi sayangnya yang berada di hadapanya bukanlah skenario terburuk. Dari Jauh terlihat sekumpulan dedemit terbang memenuhi langit dengan dipimpin sosok setan wanita yang mengenakan mahkota dan kebaya Hitam. Ratu Trah Pakujagarpun tiba tepat saat kebangkitan Prabu Junoyo. “Saat yang tepat..” Ucap Prabu Junoyo yang bersiap menyambut kekasihnya itu. Senyum lebar tercipta di wajah Nyai Ratu Tanusedo yang mendapati kekasihnya sudah mendapatkan wujud yang mereka idam-idamkan itu. Seperti perwujudan neraka. Desa Kandimaya saat itu berubah menjadi pesta penyambutan kedua pasangan terkutuk yang mengancam alam manusia. Ciuman diantara mereka berdua seolah meminta ratusan nyawa manusia sebagai hadiah atas kebangkitan mereka. Melihat pemandangan itu bahkan seorang Dananjaya Sambara pun gemetar. Tak hanya Prabu Junoyo dan Ratunya yang mengancam alam ini. Bahkan lahan seluas desa Kandimaya pun tak mampu menampung keberadaan pasukan demit yang dipimpin oleh mereka berdua. “Saatnya kita sempurnakan kekuatan kita,” ucap Ratu Tanusedo.

Prabu Junoyo pun mengangguk. Mereka mengeluarkan pecahan batu pusaka hitam yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Firasat Danan begitu buruk akan benda itu. Namun saat ini ia tak berkutik dan hanya mampu menyaksikan ritual itu. Mantra dengan bahasa yang aneh dibacakan oleh Prabu Junoyo. Kedua batu hitam itu pun terbakar dan mengepulkan asap hitam. Ada gelombang yang kuat membentuk lubang-lubang dimensi di sekitar mereka. Dari sana, mengalir kekuatan-kekuatan hitam yang mengisi kekuatan mereka hingga tak terbayangkan. Ada satu lubang yang memancarkan kekuatan paling mengerikan. Prabu Junoyo menyisakannya untuk yang terakhir. “Bersiaplah, Danan. Yang tak terduga akan datang..” Bisik Nyi Sendang Rangu yang secara tiba-tiba muncul di belakang Danan. Ia mengembalikan Keris Ragasukma kedalam sukma Danan. Danan mengangguk, ia tak ingin lengah dan memanggil kembali keris itu ke tangannya. Kedatangan Nyi Sendang Rangu membawa hujan yang akan menemani peperangan yang akan terjadi. “Kekuatan yang terakhir akan menjadikanku makhluk abadi..” Ucap Prabu Junoyo. Tepat ketika Prabu Junoyo menarik kekuatan dari lubang itu, bumi pun bergetar. Hujan Nyi Sendang Rangu menyatu dengan petir yang menyambar-nyambar. Tidak.. bukan sekedar kekuatan! Sesuatu yang muncul dari lubang itu adalah sosok makhluk yang tak kalah mengerikan. Ia berusaha bertahan dari alamnya, namun kekuatan Prabu Junoyo lebih kuat hingga membuat ledakkan yang menutup semua lubang dimensi itu. Blarrr!!! Kilatan petir beradu dengan ledakan di langit itu. Bayangan makhluk setengah raksasa yang mengerikan dan penuh luka itu muncul dari balik asap hitam. Prabu Junoyo mengangkat tangannya untuk menyerap sosok itu, tapi apa yang terjadi setelahnya tak sesuai dengan apa yang Danan bayangkan. Makhluk yang keluar dari dimensi itu tak menurut. Sebaliknya, dengan beringas ia mencengkeram tubuh Prabu Junoyo yang dipenuhi kekuatan itu. “Bagus!! Bagus!!! Kau berhasil melakukan ini semua! Tak kusangka keturunan dari wanita sampah itu bisa membawa darahku hingga ke zaman ini! Hahaha!!” Tawa Makhluk itu. “Kau hanya makhluk tua yang membawakan kesaktian untukku!” Balas Prabu Junoyo yang memberontak dan melepas cengkeraman itu. Tapi ketika akan menaklukkan makhluk itu, Prabu Junoyo terhenti, seolah tubuhnya tak mau melakukan apa yang ia inginkan. “Bodoh! Di darahmu mengandung darahku dan keturunan-keturunanku. Tugasmu hanyalah mempersiapkan ini semua untukku!” Ucap sosok itu. Prabu Junoyo panik. Kekuatannya yang tanpa tanding itu dalam sekejap kehilangan tajinya dari sosok yang ia panggil sendiri. Ia pun menoleh ke arah Ratu Tanusedo kekasihnya meminta pertolongan, namun apa yang ia lihat benar-benar tidak ia sangka. Kekasihnya itu berlutut pada sosok yang ingin membunuhnya itu. “Saya ratumu yang akan menemani tahtamu. Prabu Jagarekso yang agung,” ucap Ratu Trah Pakujagar itu. “Apa?? Apa maksud ini semua Tanusedo? Kau berkhianat??” Teriak Prabu Junoyo. “Kau bercanda? Aku adalah Ratu Trah Pakujagar sejati. Aku selalu menitis untuk menemani penguasa tahta Pakujagar. Aku dan Prabu Jagarekso telah abadi dengan cara kami masing-masing..” Balas Ratu Tanusedo. Drama mengerikan itu mencengangkan Danan dan yang lain.

“Arrrggghh!!! Lepaskan!! Kau akan membayar ini semua!!” Teriak Prabu Junoyo, tapi semua teriakkan itu tak merubah apapun. Sosok yang disebut Prabu Jagarekso itu memasukkan tangannya kedalam mulut Prabu Junoyo disusul dengan seluruh badannya yang berubah menjadi kepulan asap hitam dan mengambil alih tubuh sakti itu. Tepat setelahnya, tubuh seorang manusia tua dan lemah terpisah dan terjatuh dari tubuh Prabu Junoyo. Danan dan yang lain menduga bahwa wujud mengenaskan itu adalah Prabu Junoyo yang telah tak berdaya. “Yang Mulia masih membutuhkan dia?” Tanya Ratu Tanusedo. “Aku tak butuh seorang pengkhianat walaupun dia keturunanku,” Balas Prabu Jagarekso yang telah mendapatkan tubuh mengerikan itu. Mendengar jawaban itu Ratu Tanusedo melesat dan menjambak tubuh Prabu Junoyo yang sudah lemah itu melayang dan terbang setinggi-tingginya. “Tanusedo, ampuni aku! Apa kau lupa apa yang telah kita perjuangkan selama ini?” Ucap Prabu Junoyo memelas. “Hahahahahaha…” Tawa Ratu Tanusedo terdengar meledek perkataan itu. “Yah, mungkin sulit untuk melupakan rasanya pernah berhubungan dengan makhluk rendah sepertimu. Tapi itu kumaafkan demi kebangkitan kekasih sejatiku, Jagarekso!” Ucapnya. Di tengah rembulan yang tertutup rintikan hujan. Ratu Tanusedo tertawa seperti orang gila menikmati darah Prabu Junoyo yang bermuncratan di tubuhnya. Ia menghancurkan kepala Prabu Junoyo dengan bengis di langit Desa Kandimaya. Diantara makhluk-makhluk yang menyambut kebangkitan Prabu Jagarekso, terlihat seseorang berjalan menembus setan-setan itu dengan langkah yang lemah. Di bawah tetesan hujan, seorang pria melangkah dengan bertumpu pada tombaknya. Langkahnya lemah, namun entah mengapa Danan merasakan Firasat yang dekat dengan sosok itu. Tombak pusaka, pakaian seorang panglima kerajaan.. “Ti—tidak mungkin! Ma—Mas Brasma???!!” Teriak Danan. BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca Part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close