Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 6) - Terkurung Didalam Peti Mati


Mbah Wir terbangun, terkejut karena berada di dalam peti mati, nyaris tidak dapat bergerak. Karena ukuran peti mati, hanya pas ditubuhnya, bagian atasnya saja yang masih memiliki ruang, samping kiri-kanan benar-benar ngepres. Mbah Wir, mendorong tutup peti mati tapi sangat berat, sekuat tenaga Mbah Wir berusaha mendorong tapi tidak bergeming.

"Mad, buka bungkusan sing takwehne mau, pahamono isine!" (Mad, bukalah bungkusan yang aku berikan padamu tadi, pahami isinya!")

Suara Sumila mengagetkan Mbah Wir, panik membuka bungkusan yang tadi diberikan Sumila.

"Sebuah buku?!" ucapnya bingung, di sampul buku tertulis 'JOYO SUKMO'. Tertulis dengan menggunakan tinta merah darah dengan hurup jawa kuno. Mbah Wir, tertegun beberapa saat kemudian membukanya, sebuah tulisan terpapar di halaman paling depan.

"Ayo podo eleng-tineleng mergo urip kui gak asing soko olo-tinolo. Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukma siji, urep yo kaping siji. Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne. Karo lingsire piker kang mateng, ugo weteng kang anteng, jagat muter-seser, urep diantengne. Kui sejatine keikhlasan."

Mbah Wir, tertegun berusaha memahami setiap kata dari kelimat yang terangkai indah di halaman paling depan.

"Aku telah pernah membaca banyak buku, bertemu dengan banyak orang baik bahkan dengan orang-orang terbaik di bidangnya. Namun, aku belum pernah mendengar mereka mengartikan keikhlasan dengan bahasa yang sangat indah, begitu detail."

Mbah Wir, kagum bercampur bingung dengan setiap kalimat yang tertera di halaman paling depan di dalam buku yang sedang dipegangnya. Berusaha mencari kata yang sepadan dengan setiap kata yang tertera, pelan-pelan mulai memaknai. Di dalam hati terus bersyukur, karena diberi kesempatan membaca buku tersebut.

"Ayo podho eling-teneleng mergo urip kui nggak asing soko olo-tinolo." (Mari kita saling mengingatkan karena hidup tidak jauh dari saling menjelekkan.)

"Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukmo siji, urip yo kaping siji." (Orang yang berbuat dosa tidak merasa bahwa Tuhannya satu, hatinya satu, sukma satu, hidup juga hanya sekali.)

"Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne, karo lingsire pikir kang mateng ugo weteng kang anteng, jagad muter seser. Urep diantengne kui sejatine keikhlasan." Mbah Wir, terdiam beberapa lama karena lagi-lagi terkagum dengan setiap kata yang tersusun.

Setiap kata memiliki makna yang luas, "sabar digarne?" Mbah Wir mengulang-ulang kata-kata 'digarne', jelas sedang berfikir keras.

"Digarne, maknanya dimekarkan, tapi sepertinya bukan itu maksudnya." Setelah beberapa lama, akhirnya Mbah Wir menemukan kata-kata yang tepat dan sepadan,

"Sabar diluaskan, maksudnya kesabaran yang tanpa batas."

Kemudian berlanjut pada kata-kata berikutnya. Mbah Wir manggut-manggut tapi saat sampai pada kalimat, "lingsire piker kang mateng" Mbah Wir kembali tertegun.

Beberapa saat kemudian, Mbah Wir kembali mangut- manggut, terus membaca dan memaknai kata demi kata membuatnya seolah sedang berada di tempat yang asing, lupa bahwa sedang terkurung di dalam peti mati.

"Lingsire pikir kang mateng tegese kudu iso sumeleh (legowo), untuk bisa sumeleh memang harus memiliki kesabaran yang luas, memiliki ketetatapan hati., karep diantepne. Jika sudah bisa melewati fase ini maka akan sampai kepada, 'weteng kang anteng'.

"Weteng kang anteng, dimaknai sebagai puasa. Puasa atau poso artinya ngeposne roso (mengendalikan nafsu), biso ngrekso(mampu menjaga), iso ngempet (bisa menahan). Tahu kapan mesti berhenti dan kapan harus terus.

Jika fase inipun telah mampu dilewati, maka akan mencapai pucak kejayaan, bahwa 'jagat muter seser', artinya bumi itu bulat, bumi bulat artinya kosong (fana). Dunia ini tidak berarti jika dibandingkan dengan ketenangan (kesejatian hidup), yaitu keikhlasan.

Dalam makna yang lebih luas, 'ndunyo muter seser' dimaknai bahwa dengan roda dunia akan berada dalam genggaman.

Mbah Wir, akhirnya mengerti bahwa untuk bisa keluar dari peti-mati, mesti mampu memaknai semua kalimat di atas dengan benar lalu merefleksikannya. Artinya, harus mampu mengusai ilmu Joyo Sukmo atau selamanya akan terkubur di dalam peti mati.

Mbah Wir terus mengulang kata demi kata. Namun tetap saja tidak dapat menemukan makna yang sesungguhnya. "pasti ada yang terlewat, tapi apa?" Mbah Wir, terus berfikir keras, terus mencari jawaban dari teki-teki yang sedang mengungkungnya. Nyawa jadi taruhan atas teka-teki dari buku yang sedang dipegangnya.

"AS*!"

Mbah Wir mengumpat, marah. Lalu memutuskan membuka halaman berikutnya. Namun wajah Mbah Wir sangat kecewa, setiap halaman yang dibuka tidak ada isinya, kosong. Panik bercampur penasaran, Mbah Wir terus membuka halaman demi halaman. Namun, semua halaman sama, kosong. Ada keanehan lain dari buku yang sedang di pegang Mbah Wir, halaman buku itu seperti tidak ada habisnya, meski terus dibuka tapi masih terus ada halaman berikutnya.

***

Kemarahan Pembunuh Berdarah Dingin

Ada keanehan lain dari buku yang sedang di pegang Mbah Wir, halaman buku itu seperti tidak ada habisnya, meski terus dibuka tapi masih terus ada halaman berikutnya. Mbah Wir semakin bingung, di puncak kebingungan, Mbah Wir mendengar suara Sumila, "jutek disirepne!"

Reflek Mbah Wir mengulang kalimat tersebut, "jutek disirepne (pikiran jelek diredam) maknanya tidak boleh berburuk sangka."

Sesaat setelah Mbah Wir menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba suasana begitu hening, udara di dalam peti mati tak lagi pengap, tapi sejuk dan damai. Bahkan peti mati tak lagi sempit, Mbah Wir merasa berada di tempat yang begitu luas.

Detik berikutnya, Mbah Wir tampak sangat kikuk, tersipu karena seorang pemuda tampan berpakaian serba putih telah bersimpuh di sampingnya, tersenyum tipis lalu berkata,
"Sugeng rawuh, Kang Mas." (Selamat datang, Kang Mas.)

Dialah Gusti Pangeran Sawedang, macan putih penguasaha area terlarang di belantara Raung. Sawedang, mengangguk santun kemudian membantu Mbah Wir berdiri. Setelahnya, Sawedang mundur selangkah lalu menekuk lutut, berucap santun,

"Kulo ngaturaken sugeng rawuh serto ngaturaken sembah bekti kulo mugi kunjuk, Kang Mas" (Saya mengucapkan selamat datang serta menghaturkan bakti, semoga Kang Mas berkenan menerimanya.)

"Yo, tak tompo Yayi, semono ugo restuku tamponono.'' (aku terima, baktimu, Yayi, begitu juga restuku terimalah.)

"Nun inggih, Kang Mas.'' (Baik, Kang Mas.)

Mbah Wir, berjalan mendekati Sawedang, lalu memegang bahunya. Membingbingnya untuk berdiri, menatap dalam-dalam, Sawedang menunduk dalam, tidak berani menatap Mbah Wir.

Beberapa saat kemudian, Mbah Wir meraih bahu Sawedang lalu membenamkan kedalam pelukan. Sawedang tampak terkejut, expresinya tidak menyangka akan dapat pelukan erat. Sawedang tampak ragu-ragu melingkarkan tangan. Namun akhirnya, kedua tangannya membalas pelukan, mereka berdua berpelukan untuk beberapa saat.

BRUUUKKK!

Keduanya terhenyak, tiba-tiba sesuatu jatuh di samping mereka berdua dari atas tebing. Reflek mereka berdua melepas pelukan, terpaku menatap tubuh seorang laki-laki terkapar bersimbah darah.

BRUUUKKK!

BRUUUKKK!

BRUUUKKK!

Belum hilang rasa terkejut mereka mendapat kejutan yang lebih besar, banyak sekali tubuh berjatuhan, tak terhitung jumlahnya. Mbah Wir langsung tersadar itu ulah siapa,
"Lacip sedang mengamuk?! Ndoro Putri sudah mengingatkan jika aku terlambat, orang-orang tidak akan tertolong."

Panik, Mbah Wir meloncat lalu memanjat tebing, gerakannya begitu ringan. Sementara Sawedang memeriksa satu-persatu tubuh yang berjatuhan. Sesaat kemudian, Sawedang mengibaskan tangan, serta-merta bermunculan banyak sekali pemuda berbadan tegap yang berpakaian serba putih, tanpa diperintah mereka langsung menolong mereka.

Sawedang memeriksa satu-persatu orang-orang yang terluka, pemandangan di tempat itu berubah mengerikan. Orang-orang yang terluka terkapar di mana-mana, darah juga bercecer dimana-mana. Erangan dan rintihan mereka menyayat hati, Sawedang menatap ngeri ke segala arah. Ada duka yang dalam bercampur amarah dalam sorot matanya.

Sementara dari atas tebing masih terus berjatuhan tubuh-tubuh lain, seperti hujan, banyak dari mereka saat jatuh sudah jadi mayat. Sawedang tampak putus asa, berjongkok sambil berteriak sekencang- kencangnya.

"AAAAAAAAAAAACCCKKKK!"

Sawedang sudah tidak dapat menahan amarah, raungannya menggema, orang-orang yang mendengar raungannnya langsung menutup telinga. Detik selanjutnya, Sawedang meloncat naik ke atas tebing tanpa mempedulikan orang-orang yang terluka, pemuda-pemuda tampan yang tadi membantunya mengekor di belakang Sawedang. Gerakan mereka sangat ringan, dalam hitungan menit mereka telah berada di atas tebing, di situ ada tempat landai dan luas. Rupanya disitulah mereka diletakkan oleh bolo sewu. Lacip sedang mengamuk, Lacip menganggap kegagalannya adalah karena ketidak becusan anak buahnya. Oleh karena itu, Lacip berfikir bahwa mereka pantas mati.

Hampir seluruh anak buahnya telah terkapar, saat Mbah Wir sampai ke atas. Yang masih berdiri juga sudah sempoyongan, mundur ketakutan. Lacip benar-benar sinting, psikopat. Tidak ada belas kasian sedikit pun. Menendangi mereka yang terkapar, lalu melempar ke jurang dibawahnya, selayaknya menendang bola. Mbah Wir, menghela nafas panjang, ada sesal dan duka yang sangat dalam di bola matanya.

"Hentikan, Cip!" Lacip tersentak mendengar Ucapan Mbah Wir, sejenak menghentikan aktifitas sintingnya, lalu menyeringai licik. Di akhir seringainya, kakinya melayang menendang Mbah Wir.

TASK!

Tersentak, Mbah Wir menangkis serangan Lacip, terhuyung beberapa langkah ke belakang. Lalu berbalik menyerang, tampak jelas Mbah Wir menahan serangan, terlihat setengah-setengah melakukannya. Lebih kepada menghindar dan menahan diri, bahkan saat seharusnya serangannya mengenai Lacip, Mbah Wir menahannya beberapa inci.

"Nyapo Wir, kok koyok banci awakmu?" (Kenapa Wir, kok kayak banci?) Lacip mengejek Mbah Wir.

"Lereno, Cip! Sumele-o, ayo balik!" (Berhentilah, Cip! sadarlah, ayo kembali!) jawab Mbah Wir dengan suara datar, Lacip tertawa menegejek.

"Kwak....kak...kak!"

Rupanya Lacip membaca dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi, ia tahu bahwa Mbah Wir mengkhawatirkan keadaannya. Namun keangkuhan mengalahkannya, dia berfikir tanpa bantuan Mbah Wir bisa keluar dari sana. Padahal sepekan lebih sebelumnya dia telah mencoba, tidak pernah berhasil.

Telah berusaha naik, siang-malam tanpa istirahat dalam sepekan. Namun tidak pernah mencapai atas jurang. Sampai akhirnya putus asa lalu mengamuk, menyerang anak buahnya dan berusaha membinasakan mereka.

Pertarungan antara Mbah Wir dan Lacip masih berlangsung saat Sawedang dan anak buahnya sampai atas. Sawedang tahu bahwa Mbah Wir menahan diri, Sawedang sangat mengkhatirkan Mbah Wir sesungguhnya. Karena sawedang tahu, hal ini akan dimanfa'atkan oleh Lacip.

"Kang Mas, masih saja seperti dulu, selalu tidak tega terhadap ......," belum lagi selesai dengan apa yang diucapkanya, tiba-tiba Mbah Wir sudah terkapar di hadapannya. Pukulan telak milik Lacip mengenai dadanya. Sawedang langsung berjongkok, menolongnya, Mbah Wir muntah darah.

Sawedang yang memang sejak dari bawah sudah sangat marah, semakin tidak dapat mengendalikan diri. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengurus Mbah Wir. Sawedang langsung bersila, jelas penuh amarah, wajah tampannya merah padam, sebelum memejamkan mata, menghela nafas panjang berulang. Menata emosi, perlahan tapi pasti wajah tampan Sawedang berubah tenang dan teduh, seteduh laut selatan.

Beberapa saat kemudian terlihat Sawedang berdiri, meningalkan raganya, dia melakukan beberapa gerakan khas, gemulai gerakannya bagai penari gandrung. menghipnotis. Lacip tampak tersenyum mengejek, di akhir gerakannya Sawedang mengibaskan tangan kanan beberapa kali seolah sedang menggiring sesuatu. Lalu?

BAAAAAMMMMM!

Sebuah peti mati tiba-tiba meluncur deras dari atas tebing, mendarat dengan keras di hadapan Sawedang. Lacip tampak terkejut, kemudian seringai licik kembali menghiasi wajahnya. Detik selanjutnya, Sawedang menendang dengan keras peti mati di hadapannya. Peti mati melesat menabrak tubuh Lacip. Lacip yang senyeringai puas menyaksikan Mbah Wir terkapar, tidak sempat menghindar, tubuhnya terdorong hingga menabrak tebing. Tubuh Lacip terpental beberapa meter, langsung muntah darah. Lacip terkapar berusaha bangkit sambil memegangi dadanya.

Peti mati masih melayang-layang di udara seolah menunggu perintah dari tuannya. Sawedang sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi terhadap Lacip. Wajah tampannya beku tanpa ekpresi, kemudian Sawedang melakukan beberapa gerakan lain, peti mati tiba-tiba kembali jatuh berdebam ke tanah. Menuruti perintah bendoronya.

BAAAAAMMMMM!

Tanpa belas kasian, Sawedang menendang tubuh Lacip yang baru saja mampu menegakkan punggung, tubuh Lacip melesat ke udara kembali menabrak tebing, darah kembali muncrat dari mulutnya. Sesaat kemudian Lacip jatuh tepat di atas peti mati yang terbuka, peti mati itu seolah memang sedang menadah tubuhnya. Setelah itu, tangan kiri Sawedang mengarah ke arah tubuh Mbah Wir, diputarnya telapak tangannya dengan gerakan khas. Bagai penari gandrung yang sedang mengundang tamunya untuk ikut menari ke panggung, sebuah buku melesat cepat, dalam kedipan mata buku itu telah berada di tangan Sawedang. Sawedang masih sempat membaca sampul buku, "Joyo Sukmo."

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close