Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TURONGGO MAYIT (Part 1) - Pementasan Alas demit

Di kegelapan malam, aku terdiam dengan kuda lumping dan cemeti di tangan.

Sekumpulan makhluk itu bergentayangan menatapku dari segala penjuru seolah memaksaku untuk menghibur mereka.


Tanpa curiga mereka sekelompok menerima tawaran itu dan berangkat ke sana.

Sesampainya di kota tempat pementasan itu, tiba-tiba kelompok kuda lumping ayah Widi dihadang oleh sekelompok yang menamai kelompoknya ‘Jaran Gupolo’.

Ternyata mereka adalah kelompok penari kuda lumping yang berasal dari kota itu.
Orang-orang itu meminta kelompok ayah Widi untuk pulang. Tapi mereka menolak karena harus menjalankan amanah pemilik hajatan.

Hampir saja terjadi bentrokan, namun beberapa orang suruhan pemilik hajatan mengetahuinya dan mengusir orang-orang itu.

Orang-orang itu menjelaskan bahwa ‘Jaran Gupolo’ adalah kelompok penari di desa itu, tapi pemilik hajatan merasa ada yang tidak beres dengan mereka.

Makanya ia memilih untuk tidak menggunakan mereka dan memanggil kelompok kuda lumping ayah Widi.
Ayah Widipun mengerti dan terus mempersiapkan untuk penampilan mereka. Tapi tanpa disangka, pementasan itu adalah adalah sebuah bencana.

Mereka yang tadi menghadang kelompok kuda lumping ayah Widi ternyata masih memiliki niat busuk. Pementasan yang seharusnya meriahpun akhirnya menjadi bencana.
Setelah beberapa tarian yang berhasil menghibur warga, kelompok ayah Widipun memasuki fase mendem.

Fase dimana pemain seharusnya dirasuki sosok tak kasat mata dan mempertunjukkan kemampuan yang tidak biasa, seperti makan beling dan menginjak bara api.

Tapi tidak seperti biasanya…

Bukan punden yang mereka panggil yang merasuki mereka, melainkan sosok demit santet yang dikirim oleh kelompok Jaran Gupolo lah yang menguasai mereka.
Merekapun mengamuk dan menggila di sana…
Ayah Widi mengamuk sejadi-jadinya bersama beberapa kawannya.

Pawang yang seharusnya menenenangkan merekapun tidak berkutik.
Warga berhamburan ketakutan, sementara beberapa anggota keluarga pemilik hajatan juga mengalami kesurupan.

Walau begitu, Ayah Widi perlahan masih bisa berusaha menguasai dirinya.

Ia menarik satu-persatu demit yang merasuki teman-temanya dan yang merasuki keluarga pemilik hajatan hingga merasuki tubuhnya.
Usaha Ayah Widi berhasil, tapi ternyata perbuatan itu harus dibayar dengan nyawanya.

Saat tubuhnya tak lagi mampu menahan sosok setan di tubuhnya, Ayah Widi berdiri kaku dengan mata yang memutih dan memuntahkan darah.
Seolah sedang dipermainkan, alat-alat musik di tempat itu berbunyi sendiri tanpa ada manusia yang menyentuhnya.

Ayah Widi menari menggila seperti hewan buas yang sedang mabuk. Ia terjatuh, berdiri lagi, dan sesekali melompat membanting dirinya.
Hampir di setiap gerakan, darah merah bermuncratan dari mulutnya.

Semua itu terjadi dalam sebuah tarian yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh siapapun yang menontonya.
Pada akhirnya, Ayah Widipun menghembuskan nafas terakhirnya di pementasan itu.
“I—itu bener Paklek?” Tanyaku tidak percaya.

“Iya, sekarang Bu Sunar dan Widi harus bertahan hidup dengan kondisi seperti ini,” jelas Paklek.
“Lalu hubunganya sama demit yang mengikuti Widi?” Aku masih penasaran dengan hal itu.

Paklek bercerita lagi, bahwa setelah pementasan teman-teman kelompok ayah Widi mendatangi sanggar kelompok Jaran Gupolo bersama anggota keluarga pemilik hajatan. Dan mereka mendapati pemandangan yang mengerikan.

Sanggar itu dipenuhi jasad lima orang anggota utama kelompok Jaran Gupolo. Mereka mati bergelimpangan di salah satu ruangan masih dengan sesaji dan tungku kemenyan di tengah-tengah mereka. Ternyata merekapun dijebak oleh sosok yang memberi ilmu itu.

Rupanya, sebelumnya ada seseorang yang menawarkan kepada kelompok Jaran Gupolo untuk membalas dendam. Ia memberikan ilmu santet Kembang Mendem pada mereka untuk dikirim ke hajatan itu.

Sayangnya mereka tidak sadar, bahwa nyawa perapalnya lah yang harus menjadi bayaran atas ilmu itu.
Karena mati dengan tidak tenang, sosok kelompok Jaran Gupolopun berubah menjadi setan gentayangan. Mereka mengincar kelompok ayah Widi sampai ke keluarganya.

Kini yang tersisa dari mereka hanya Widi dan Ibunya.

Cerita Paklek benar-benar membuatku terdiam. Ternyata Widi juga memiliki kisah kelam tentang ayahnya.

“Berarti dedemit yang mengikuti Widi adalah roh gentayangan dari kelompok Jaran Gupolo?” Tanyaku.

“Benar,”

“Paklek nggak bisa ngusir mereka supaya nggak balik lagi?” Tanyaku.

“Ini lagi Paklek coba,” balasnya.

Akupun semakin mengerti maksud Paklek. entah mengapa setelah mendengar cerita tentang ayah Widi tadi, memotong rumput yang sedari tadi terasa berat kini terasa sangat ringan.

“Paklek, Cahyo.. pake repot-repot motongin rumput lagi,” ucap Widi yang kini tengah duduk di kursi depan rumahnya.

“Nggak papa kok Widi, mumpung kami lagi di sini. Sekalian aja,” balasku mewakilkan Paklek.

“Matur nuwun yo, kalian baik banget sama kami,” balasnya.

Sekali saat aku menoleh kearahnya. Terkadang aku seringkali ingin bertanya kepada Tuhan, mengapa orang sesopan dan sebaik Widi harus menerima takdir seperti ini.

“Eh! Tuh Panjul di luar! Lemparin batu!”

Tiba-tiba segerombolan anak melewati depan rumah Widi dan melempar kerikil kearahnya.

“Udah kepalanya gede! Buta lagi!” Teriak mereka sembari tertawa.

Aku tak bisa berkata-kata melihat kejadian itu.

“Ghwaaa!! NGAPAIN KALIAN!” Teriak Paklek yang tiba-tiba muncul dari rerumputan yang tinggi mengagetkan anak-anak itu.

Anak-anak itu kaget hingga terjatuh melihat kemunculan Paklek yang tengah membawa arit. Pemandangan itu sontak membuat mereka berlarian meninggalkan tempat ini.

“Awas kalian kalau berani ganggu Widi lagi!” Ancam Paklek.

Setelah kejadian itu, Widi kembali berdiri dari kursinya dan kembali masuk ke rumah dengan wajah yang sayu.

Sementara itu, aku dan Paklek sudah selesai memotong rumput dan mengumpulkanya untuk segera dibakar.

Kamipun memutuskan untuk masuk ke rumah sebentar untuk beristirahat.

“Widi dilemparin batu lagi bu..”

Aku mendengar suara Widi tengah mengadu pada ibunya. Tapi suara itu lebih seperti suara tangisan.

“Sudah nggak papa, di rumah saja lebih aman..” balas ibunya.

“Widi dipanggil ‘Panjul’ gara-gara kepala Widi besar, Widi dikatain Buta,”

Suara isak tangis terdengar dari Widi yang segera mendapat pelukan dari ibunya. Aku tak tahan mendengar tangisan Widi dan menghampirnya.

“Panjul? Itu panggilan bagus kok! Kalau kamu nggak mau, biar aku saja yang dipanggil Panjul!” ucapku berusaha menghibur Widi.

Iapun melepaskan pelukan ibunya dan menoleh ke arahku.

“Besok kalau mereka manggil kamu panjul biar aku yang maju! Biar aku yang bilang, aku yang bernama Panjul! Kalian mau apa?” ucapku pada Widi.

Widipun mengusap air matanya. Walaupun tidak bisa melihat ekspresiku, ia terlihat tersenyum mendengar gaya bicaraku.

“Suwun yo Cahyo,” Widi kembali mendapat senyumnya lagi.

“Yowis Panjul, ndang bantu Bu Sunar nyiapin piring sana,” sahut Paklek yang baru selesai menikmati kopinya lagi.

“Ealah Paklek, kok pakek ikut-ikutan.” Balasku.

“Nggak mau nyobain nasi soto buatanya Bu Sunar?”

“Eh nggak gitu! Mau-mau!”

Siang itu aku makan begitu lahap setelah begitu lelah membersihkan halaman dari rumput liar. Paklek masih belum menyentuh piringnya dan hanya terus menatapku.

“Kenapa Paklek? sotonya enak tau,” ucapku.
Paklek tersenyum sembari menghela nafas.

“Akhirnya kamu bisa makan dengan lahap juga ya?” ucap Paklek.
Benar juga ucapan Paklek, sudah beberapa hari ini aku tidak bernafsu makan setelah kejadian yang menimpa orang tua dan seluruh warga desaku. Baru inilah aku bisa makan senikmat ini.

“Memangnya sebelumnya Cahyo kenapa, Mas?” Tanya Bu Sunar.
“Yah, nggak beda jauh.. keluarga Cahyo..”
“Keluarga saya nggak jago masak Buk! Jadi sering nggak nafsu makan. Masakan Bu Sunar ini enak banget!” Ucapku memotong perkataan Paklek.

Aku tidak ingin kisah tentangku malah semakin membuat Widi dan ibunya kepikiran.
Beruntung, Paklek mengerti maksudku dan melanjutkan menghabiskan makanan di meja.
“Cahyo, temenin main yuk!” Ajak Widi yang menghampiriku saat sedang merebahkan tubuh di teras.

Aku melihat Widi sejenak dan penasaran dengan permainan apa yang akan kami mainkan.
“Paklek, aku main sama Widi dulu ya!” Teriakku.
Akupun menuntun Widi yang berjalan dengan tongkatnya. Ia mengarah ke perkebunan jati di belakang rumah.
“Kita main sama siapa? Berdua aja?” Tanyaku.

“Nggak Cahyo, sama temen-temenku,”

Tak selang berapa lama, tiba-tiba ada dua orang anak menghampiri kami berdua. Satu anak perempuan dan satu laki-laki.

“Nah Itu dateng,”

Seorang anak perempuan dengan rambut berkepang menghampiri kami dan memperkenalkan diri kepadaku.

“Temen Widi ya? Aku Suti,”
“Aku Muhrin,” seorang anak laki-laki yang seumuran kami juga ikut mengenalkan diri.

“Aku Cahyo, baru kenal juga sama Widi,” balasku.
Kedua teman Widi terlihat normal, tidak seperti Widi yang tidak bisa melihat.

Aku cukup senang, ternyata selain anak-anak nakal tadi Widi memiliki teman-teman yang mau bermain denganya..
“Kita main apaan?” Tanyaku.

“Itu,”

Muhrin menunjuk ke setumpung benda berbentuk kuda dan beberapa cemeti.

“Kuda lumping?” Tanyaku.

“Iya..”

“Terus mainya gimana?” Aku masih bingung.

Suti mengambilkan benda itu dan memberikanya kepadaku. Sebuah cemeti dan kuda lumping.

“Kita main perang-perangan, kan Kuda lumping itu menggambarkan perang dan perjuangan pejuang jaman dulu,” Jelas Suti.

Aku mengerti, sepertinya ini akan menarik.
Layaknya pemain kuda lumping dalam pementasan, kamipun menaiki kuda buatan itu dan saling mengejar satu sama lain.

Cemetipun sesekali kami pukulkan ke tanah sembari sesekali bersembunyi di balik pohon jati.

“Kejar Muhrin jangan sampai dia kabur!” Perintah Suti.
“Lari! Pasukan musuh datang!” balas yang lainya.
Kami benar-benar menikmati permainan ini. Sudah lama sejak terakhir kali aku merasakan perasaan seseru ini.

Bahkan tanpa terasa matahari sudah mulai terbenam dan pemandangan di sekitarku sudah semakin gelap.
“Sudah malam, kita pulang yuk!” Ajakku.
Mendengar ucapanku tiba-tiba mereka berhenti dan menatapku dengan tajam. Senyuman mereka hilang begitu saja.

“Pulang? Ini baru aja mulai Cahyo,” Ucap Muhrin.
“Iya, lagi seru-serunya,” tambah Suti.

Aku mengernyitkan dahi, apakah memang mereka terbiasa bermain sampai semalam ini?

Daritadi sebenarnya aku merasa ada yang mengganjal tapi entah mengapa aku tidak bisa mengingat apakah itu?

Barulah saat ini aku merasa ada yang aneh dengan Widi.

“Widi, bukanya kamu nggak bisa ngeliat? Kenapa kamu bisa main selincah itu?” Tanyaku yang menyadari keanehan pada Widi.

“Aku emang nggak bisa ngeliat, tapi aku bisa ngedenger suara kalian,” ucapnya sembari menunjukkan telinganya.

Aku memperhatikan posisi matanya. Itu tidak seperti mata seseorang yang buta seperti pertama kulihat tadi.

“Bohong!” kucoba untuk mengutarakan firasatku.

Kali ini wajah mereka bertiga kembali menatapku dengan tajam. Mereka mulai tidak mempedulikanku dan mulai menari-nari dengan kuda lumpingnya sembari mengambil posisi mengitariku.

Ctarrrr!!!

Suara cemeti muhrin menggelegar dengan keras dari belakangku. Aku menoleh ke arahnya, dan wajah muhrin seolah mencoba mengancamku.

“Udah, udah nggak seru! Aku pulang aja!” ucapku yang segera ingin meninggalkan mereka.

“Ayo Widi! Ibumu pasti nungguin di rumah,” aku menghampiri Widi, namun ada yang aneh dengan Widi. Ia malah mundur dan menjauh dariku.

“Ya sudah, kalau nggak mau pulang aku bilangin ibumu!” Balasku yang mulai kesal.

Akupun bersiap pergi meninggalkan hutan jati. Suti mencoba menghadangku, namun aku tidak peduli dan terus berjalan meninggalkan mereka.
Saat itu aku benar-benar merasakan firasat yang aneh.

Sekali lagi aku menoleh ke belakang dan mendapati mereka bertiga tengah menatapku di kegelapan dengan wajah dingin yang terasa menyeramkan.
Akupun mempercepat langkahku untuk meninggalkan hutan dan segera mengadu pada Bu Sunar.

Tapi, entah mengapa aku merasa hutan ini menjadi begitu luas.
Aku merasa sudah berjalan dengan cukup jauh, tapi rumah Widi sama sekali belum keliatan dari sini. Walau begitu, aku terus melangkah. Aku sangat tahu bahwa ini adalah arah yang benar.


Apa aku tersesat?

Langkahku terhenti saat nafasku mulai tak beraturan. Bukan hanya karena berjalan cukup jauh, tapi juga karena rasa takut yang mulai menyelimutiku.

Ctarrrr!!!

Dari jauh terdengar suara cemeti kuda lumping seperti saat kami bermain tadi.

Suara itu bergantian dengan suara langkah yang mendekat ke arahku. Mungkinkah itu adalah suara dari Widi dan yang lain?

Lari…
Lari? Mengapa aku harus lari? Firasatku mengatakan aku harus berlari menjauh dari suara itu. Akupun bingung, namun aku memilih untuk tetap menjauh.

Tapi langkahku terhenti saat melihat ada seseorang di depanku.
Itu Suti..

“Suti! Rumah Widi kearah sana kan?” Teriakku.
Tapi saat Suti menoleh, aku terhenti.

Ada apa dengan wajah Suti?
Tidak seperti tadi, sekarang terlihat sangat pucat.

Bibirnya menghitam, pipinya dihiasi bekas luka yang membusuk.

“Su—Suti?” Akupun terjatuh terduduk di tanah melihat wujud Suti itu.

Sebaliknya, ia tersenyum saat mendapati kedatanganku.

Ctarr!!
Cemeti Suti menghantam tanah dan suaranya menggema di seluruh hutan jati.

Iapun mulai bergerang menggoyangkan badanya dan menari-nari layaknya seorang pemain kuda lumping di pementasan.

Sayup-sayup terdengar suara musik tanpa wujud yang dimainkan mengiringi Suti. Dengan suara itu, Suti semakin menggeliat.

Sesekali ia menganggat kuda lumpingnya dan melompat memperagakan seorang pendekar yang tengah menguasai kudanya.

Sesekali ia menari memaju mundurkan kuda lumpingnya sembari sedikit melempar senyuman menggoda dengan wajah menyeramkanya.

“Bukan, itu bukan Suti… Se—setan!!”
Dengan sekuat tenaga aku menguatkan kakiku untuk berdiri. Aku berpaling dan berusah berlari sejauh mungkin dari Suti, tapi saat aku melihat kebelakang, Suti sudah mendapatkan penontonya.

Barisan pocong sudah mengambil posisinya diantara pohon jati. Mereka menggeliat menyaksikan penampilan Suti.

Akupun menoleh ke atas dan mendapati perempuan yang melayang-layang dan makhluk dengan tubuh yang tidak lengkap bertengger di batang pohon jati.

“Jangan… jangan lagi,”

Wajahku memucat melihat semua pemandangan di tempat ini. sontak aku teringat kembali kejadian saat warga desa dibantai oleh kelompok ludruk topeng ireng.

“Tolong!! Tolong!!”

Aku berteriak sekuat tenaga, namun yang terjadi adalah makhluk-makhluk itu memalingkan wajah mengerikannya kepadaku.

Di hadapanku saat ini tengah melayang sesosok perempuan yang terbang terbalik dengan rambut panjang yang berjatuhan dan wajah yang penih bekas luka berdarah.

“Nggak! Nggak.. jangan kesini,” teriakku.
Namun tetap saja makhluk itu semakin mendekat ke arahku.

Ctarrr!!

Terdengar lagi suara cemeti dari arah Suti. Makhluk itupun menoleh dan mendapati sudah ada Muhrin dan Widi yang ikut menari bersama Suti.

Setan-setan itupun kembali mengalihkan perhatianya kearah mereka.
Gila.. semua ini apa? Kenapa aku bisa berada di tengah-tengah mereka semua?


“Cahyo?”

Samar-samar aku mendenar suara Paklek.

“Paklek! dimana Paklek?” aku mencoba membalas suara itu.

“Kamu dimana? Paklek nggak bisa nemuin kamu!”
Paklek membalas ucapanku, tapi aku sama sekali tidak dapat melihat mereka.

“Hutan jati Paklek, harusnya nggak jauh di belakang rumah Widi. Tapi Cahyo sudah mau pulang sejak tadi tapi nggak sampe-sampe,” ucapku.

Terdengar suara Paklek yang tengah menghela nafas. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki di dekatku, tapi aku tak mampu menemukanya.

“Dia di sini Paklek, tapi kita nggak bisa ke sana,” Terdengar suara Widi yang sepertinya bersama dengan Paklek.

Suara Widi?

Berarti yang sedang menari di sana jelas bukan Widi?

“Widi! Aku ngeliat sosok mirip kamu di sini! Sekarang di lagi nari sama anak yang namanya Muhrin dan Suti,” ucapku.

“I—iya Cahyo, aku bisa lihat!” balas Widi.

Tunggu? Bisa Lihat? Apa artinya Widi tidak dapat melihat , tapi ia bisa melihat alam ghaib?

“Aku bukan buta dari lahir. Mataku diambil sama setan-setan itu. Sejak penglihatanku diambil, apa yang dilihat setan yang mirip denganku akan dilihat olehku juga,” jelasnya.

Mengerikan..

Berarti saat ini Widi melihat semua setan, kuntilanak, dan makhluk-makhluk di hutan ini? berarti selama ini Widi selalu melihat makhluk-makhluk ini.

Sementara aku berbicara, tanpa kusadari sudah ada makhluk kerdil mendekat dan mencengkeram kakiku.

Di setiap sisiku sudah ada pocong yang seolah siap menghampiriku.

“Paklek? Aku harus gimana?” Tanyaku ketakutan.

“Susah, Paklek nggak bisa ngeluarin kamu,” jelas Paklek.

“Ma—maksud Paklek?” Aku mulai panik.

“Kamu sedang ada di ritual keramat, yang masuk di ritual itu tidak akan bisa kembali,” jelas Paklek.

Hah??!!

Apa maksud ucapan Paklek? Apa aku terjebak di tempat ini selamanya?

“Bisa! Bisa keluar! Dulu aku pernah terjebak di sana juga!” Teriak Widi.

Mendengar ucapan Widi akupun mendapat harapan.

“Bagaimana? Bagaimana caramu keluar,” ucapku sembari mengusir makhluk kerdil yang mencoba menjilati kakiku.

“Aku nggak inget, aku lupa semua kejadian saat berada di sana,” jelasnya.

“Terus aku harus bagaimana?”

“Cari Cahyo! Pasti ada! Pasti ketemu! Kamu harus cari sendiri,” ucap Widi.

Akupun berlari menjauh dari setan-setan itu. namun sialnya di sisi lain setan lain sudah bersiap mendekat ke arahku.

Ada suara doa terdengar di telingaku, itu adalah suara Paklek.

Sepertinya ia sedang berusaha untuk melindungiku. Tapi sepertinya itu bukan jalan keluar.
Malam semakin larut dengan bulan purnama yang memerah. Belum pernah aku melihat purnama semerah ini.

di tengah rasa takutku, akupun melihat ke sekeliling tempat ini dan mencoba mencari jalan.
Aku tidak boleh mati…

Kalimat itu aku sematkan terpatri di dalam pikiranku. Bagaimanapun aku harus keluar dari situasi ini walaupun harus membubarkan pertunjukkan ini.

Tunggu..

Membubarkan pertunjukkan? Jangan-jangan itu adalah caraku agar bisa keluar dari alam ini?
Aku mencoba mendekat ke arah Suti, Muhrin, dan makhluk yang mirip dengan Widi itu. Kini wajah mereka sama-sama mengerikan.

Aku menggenggam sebuah batu yang cukup besar dan bersiap melemparkanya ke salah satu dari mereka.
Tapi… seketika wajah setan-setan di hutan ini menatapku dengan geram. Saat itu, aku melihat satu buah cemeti dan kuda lumping yang tergeletak di tanah.

Itu adalah peralatan yang kumainkan tadi.
Atau mungkin bukan membubarkan?

Aku mengambil kuda lumping di tanah itu dan menaikinya. Sebuah cemeti kugenggam di tanganku seperti saat kumainkan tadi.

Atau mungkin, aku memang harus ikut dalam permainan ini?

Ctarrrr!!

Suara cemeti menggema ke seluruh hutan jati. Kali ini suara itu berasal dariku. Ketiga pemain itupun terhenti sejenak dan menoleh ke arahku.

Akupun mengikuti irama dan mengikuti beberapa kerakan mereka seperti yang kulihat tadi. Aku menari sebisanya tanpa mempedulikan apakah aku pantas untuk ditonton.

Tapi, saat itu pandangan setan-setan itu terhadapku berubah.

Mereka tidak lagi memandangku dengan mata yang mengancam. Mereka tidak lagi mencoba mencelakaiku.

Aku menahan rasa takutku saat bermain bersandingan dengan Suti, Muhrin, dan Setan Widi. Dengan hati-hati aku mencoba mengikuti iramanya.

Tanpa sadar, ternya aku menikmatinya…

***

“Jul! Panjul! Bangun!”

Terdengar suara Paklek bersama tetesan air yang membasahi wajahku.

“Paklek?” Tanyaku yang bingung dengan keadaan sekitar.

Aku membuka mataku dan mendapati langit sudah terang bersama pohon jati yang menjulang tinggi di hadapanku.

“Nah bener, dipanggil Cahyo nggak bangun. Dipanggil Panjul baru bangun! Mulai sekarang kamu tak panggil Panjul aja!” Ucap Paklek yang segera berdiri setelah mengetahui aku tersadar.

“Ya ampun Paklek, ditolongin dulu kenapa?” Protesku.

“Lha kamu yang mau tiduran di hutan sendiri, kok minta tolongnya ke Paklek,” ucap Paklek yang segera meninggalkanku dan kembali ke rumah Widi.

Ya, rumah Widi terlihat dari sini. Jaraknya hanya beberapa puluh meter. Terus yang semalam itu apa?

“Aku mimpi?” Gumamku.

“Nggak, bukan mimpi..”

Aku terkaget dengan suara di belakangku. Itu Widi, ia duduk dengan tenang di sana.

“Ya ampun Widi ngagetin aja,” ucapku.

“Maaf Cahyo,” ucap Widi.

Iapun berusaha berdiri dengan tongkatnya. Akupun mengikutinya sembari berjalan perlahan ke rumah.

“Itu ritual Turonggo Mayit, terjadi setiap beberapa tahun sekali. Aku nggak nyangka kamu sampai terjebak di sana,” ucap Widi.

“Turonggo mayit?”

“Iya, pementasan ghaib untuk penunggu hutan…”

Aku merinding mendengar ucapan Widi. Akupun menoleh ke belakang dan memperhatikan hutan jati yang misterius itu. Sebenarnya hutan itu tidak terlalu besar, tapi mengapa bisa sampai ada makhluk sebanyak itu.

“Yowis, maaf ngerepotin ya Widi. Ayo cepet ke rumah, mau mandi sama bales ngerjain pakek dulu. Seenaknya aja, aku lagi susah malah ditinggal gitu aja,” ucapku kesal.

“Haha, jangan gitu Cahyo.. Paklek lho yang semaleman nunggu di hutan dan nggak berhenti-berhenti baca doa sampai kamu muncul di sini,”
Aku terhenti mendengar ucapan itu.

“Yang bener?” tanyaku yang tidak menyangka Paklek melakukan itu.

“Bener, aku saksinya. Walaupun tidak melihat langsung,”

“Iya-iya aku ngerti kok,”

Kamipun sampai di rumah dan mendapati Paklek tengah tertidur di amben yang ada di teras rumah.
Aku melihat wajahnya yang kelelahan.

Sepertinya aku bersalah sudah berprasangka tidak baik sama Paklek.

“Panjul..”

Aku kira Paklek memanggilku, tapi ternyata ia sedang mengigau di dalam tidurnya. Sepertinya ia benar-benar lelah.

“Panjul! Resikno kandang wedhus sing bener! Aja nganti Paklek iket neng wit gedhang!”

(Panjul! Bersihin kandang kambingnya yang bener! Jangan sampai Paklek ikat di pohon pisang!)

Mendengar igauan itu, matakupun melotot ke arah Paklek yang tertidur.

Spontan aku mencopot sandalku dan melemparnya ke Paklek yang masih tertidur.

“Kabur! Cepet!” kataku sembari menarik Widi dan masuk ke dalam rumah.

“Nekat kamu Cahyo!” Balas Widi.

Akupun mengunci pintu rapat-rapat dan menutup gorden. Paklekpun terbangun dan menyadari sandalku sudah ada di wajahnya.

“Panjuuuullll!!!!”

***

Setelah kejadian hilangnya aku di hutan jati, aku dan Paklek berpamitan untuk pulang kembali ke desa. Kami pulang hanya sebentar sekedar untuk ‘setor muka’ ke Bulek sekaligus mengambil beberapa peralatan yang dibutuhkan Paklek.

Paklek menggowes sepedanya melintasi ladang tebu lagi. Saat itu aku benar-benar memikirkan keadaan Widi.

“Apa Widi sudah benar-benar nggak papa?” Tanyaku pada Paklek.

“Menurut kamu gimana?” Tanya Paklek balik.

“Semalem aku mendengar penglihatan Widi diambil oleh setan, jadi ia melihat semua yang dilihat setan itu. itu jelas ngeri Paklek,” ucapku.

“Nah itu tahu..”

Mendengar jawaban itu akupun mencubit Paklek yang berada di hadapanku.

Sayangnya hal itu segera kusesali karena setelahnya Paklek menghukumku dengan bertukar posisi.
Kini aku harus mengayuh sepeda sembari membonceng bapak-bapak di belakangku.

“Udah donk Paklek… Capek,” keluhku.

“Terus! Biar kapok kamu”

Kali ini aku benar-benar tidak bisa melawan. Kalau melawan, resiko terakhirnya Paklek pasti menyuruhku berjalan kaki untuk pulang.

“Makanya besok kita harus ke sana lagi. Setan itu masih di sana,” ucap Paklek tiba-tiba.

Akupun terhenti dan menoleh ke arah Paklek.

“Setan? Maksudnya setan apa Paklek?”

“Setan dari orang-orang yang membunuh ayah Widi. Roh gentayangan dari kelompok Jaran Gupolo. Mereka berdiam di rumah itu,” ucap Paklek

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close