Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 11 END) - Murka


Betet masuk kamar depan, langsung menekuk lutut. Bapak, ibu, kedua bibinya yang rumahnya berdekatan sudah ada di sana. Suaminya, kedua adiknya, Rois dan Trisno juga sudah ada disana bersama keluarganya. Karena memang rumah mereka berdekatan. Tatapan mereka semua langsung beralih ke Betet. Jelas ada sorot kemarahan, tanda tanya pada tatapan mereka. Sementata Gajah masih terbaring lemah, matanya masih terpejam.

Wajah Betet tertunduk tidak berani menatap keluarganya. Setelah menata pikiran dan hatinya betet berkata.

"Pinten pinten lepat kulo, kulo nyuwun agenge samudra pangaksami. Saya yang membawa Mbak Ayu turun ke jurang." Betet menjelaskan dengan sangat hati-hati, merasa bersalah.

"Ning tatune Mbak Ayumu ora mergo soko jurang, aku kenal tatu iki!" (Namun luka Mbak Ayumu bukan dari jurang, aku kenal luka ini!) Bapak menjawab agak gusar.

"Inggih leres, Pak. Tatunipun Nimas sanes saking jurang. Lare-lare ingkang natoni Nimas, pak."

Tiba-tiba Yanto sudah di samping Betet, menekuk lututnya. Bapak menatapa Yanto penuh tanya. Yanto menunduk dalam, tidak berani menatap bapak. Untuk beberapa saat ruangan begitu hening. Yanto ingin menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun bingung, tidak tahu mesti memulai dari mana. Sesungguhnya, Yanto gugub, karena merasa bersalah.

Bagaimana dia bisa kecolongan, membiarkan Lacip mengendalikan anak buahnya.

"Ngadheko, rawatlah adikmu! Jika sudah selesai aku tunggu di kamar tengah." Perintah bapak, membangunkan Yanto dari lamunan.

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." Yanto langsung berdiri. Kemudian berjalan mendekati dipan tempat Gajah dibaringkan. Pertama-tama dia menyalami ibu lalu semua orang. Setelahnya dia memeriksa urat nadi dan luka di punggung Gajah.

Sebelum meninggalkan ruangan bapak berkata kepada Betet, "sana mandi, lalu urus anak-anakmu!"

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." Betet pun berdiri, mundur kesamping memberi ruang kepada bapak untuk lewat.

Setelah bapak pergi dia mendekati dipan tempat kakaknya dibaringkan lalu menyalami semua orang. Betet menatap Yanto penuh tanya. Yang ditatap mengangguk pasti lalu berkata.

"Sudah nggak papa, lukanya sudah menutup. Kondisinya juga stabil, hanya kecapean. Nanti jika capeknya hilang dia akan siuman. Hanya butuh waktu agar lukanya kering. Setelah menemui bapak, aku akan ke hutan untuk mencari ramuan obat." Betet terlihat lega mendengar penjelasan Yanto.

Beberapa saat kemudian, Betet berpamitan kepada semua orang lalu masuk ke kamarnya. Yanto pun melakukan hal yang sama kemudian menuju kamar tengah menemui bapak.

Yanto mengetuk pintu kamar tengah, bapak mempersilahkan yanto masuk. Perlahan Yanto membuka pintu kamar tengah, dia terperangah menyaksikan keadaan kamar yang berantakan. Tatapannya, tidak percaya.

"Mlebuo, Yan! Ojo manguk-manguk ning ngarep lawang!" (Masuklah! Jangan berdiri di depan pintu!)

Yantopun mematuhi perintah Bapak, sorot matanya penuh tanya. Seolah mengerti atas pertanyaan Yanto bapak berkata, "dari sinilah adik-adikmu masuk jurang."

"Lha peti mati niku, Pak?" tanya Yanto tidak mengerti. Yanto benar-benar tidak paham dengan kekacauan ini.

"Bapak bilang Nimas Kuning dan Nimas Sapu Jagat masuk jurang lewat kamar ini lalu bagaimana mereka bisa muncul dari utara?"

Lagi-lagi bapak seperti mengerti kebingungan Yanto, "Rasah bingung! Yo rasah dipikir. Kadang tidak tahu itu lebih baik."

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." Jawab Yanto singkat.

Apa yang dikatakan bapak ada benarnya, bahwa tidak tau itu kadang lebih baik. Dan segala kekacauan ini memang lebih baik Yanto tidak tahu.

"Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah bagaimana supaya luka adikmu kering dan cepat pulih."

Lagi-lagi Yanto hanya mampu berkata, "Inghih, Pak. Sendiko dawuh."

Keduanya berdiam diri beberapa lama, akhirnya bapak berkata, "opo bener awakmu kecolongan?"

"Inggih, Pak, leres. Lacip bilang bahwa membawa anak-anak hanya untuk menjaga diri."

"Lacip memang belum bisa berubah, sudah tua tapi pikirannya tetap tidak bisa jadi orang tua."

Mas yanto hanya mendengarkan apa yang bapak katakan tanpa berani berkomentar apa pun. Yang bapak katakan benar, Lacip hanya raganya saja yang menua tapi pikirannya tidak.

"Tugasmu sekarang nyeret Lacip, membawa ke hadapanku!"

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." Yanto berpamitan, saat dia membuka pintu Betet ada di depan pintu lalu memberinya isyarat agar Yanto kembali masuk ke dalam. Yanto pun mundur, kembali masuk ke dalam diikuti Betet. Bapak menatap putrinya penuh tanya.

"Ngaturaken agenge samudro pangaksami, Pak." Dia langsung menekuk lutut, wajahnya menunduk. Kedua tangannya terangkat, di atas kepalanya memegang sebuah buku.

Yanto makim ningung. "Lho, yang dilempar ke Lacip kemaren di depan mataku itu apa?" bathinnya.

Betet masih berlutut sambil memegang buku itu. Bapak menatap buku itu seperti tidak percaya. Bapak telah mendengar kehebatan buku itu dari Jamiah, nenek bapak sekaligus buyut dari Betet. Di dalam sampul buku yang dipegang Betet tertulis Joyo Sukmo.

Beberapa saat kemudian bapak berucap, "ngadheko, Nduk!" Betet pun menuruti perintah bapak.

"Buku itu milikmu, Nduk. Mbah Putri mengamanatkan kepadamu maka hanya kau yang berhak menyimpannya."

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh." Betet menjawab singkat.

Yanto hanya terpaku di tempatnya menyaksikan bapak dan anak yang sedang berdialog di depannya.

Dalam hatinya dia kagum terhadap Betet juga bapak. Buku yang dibawanya dari dasar jurang dengan bertaruh nyawa dengan legowo diserahkan kepada bapak.

Bapak juga menolaknya karena merasa tidak berhak. Padahal jika dipikir-pikir, keduanya sama-sama memiliki hak.

Yanto tahu siapa pemilik asli buku itu, Pemiliknya adalah Mbah Jami'ah, sedang bapak adalah cucunya dan Betet adalah cicitnya. Konon buku itu diberikan kepada Sumila untuk menyegel Lacip. Meski sudah dibuang ke jurang Lacip masih berbuat onar.

"Pak saya akan menyimpannya kembali di tempatnya, jika suatu saat ada yang bisa mengambilnya dan keluar dengan selamat dari jurang maka dialah yang terpilih."

"Iyo, Nduk. Bapak manut."

Betet maju mendekati peti mati, bapak terlihat menepi memberi Betet ruang, begitupun Yanto. Betet mengambil sesuatu dari balik bajunya, kain kafan. Dibungkusnya buku itu dengan kain kafan lalu dia berjalan memdekati peti mati. Diletakkannya buku itu di dalam peti mati. Lalu, dia memejamkan mata beberapa saat, ketika dia memuka mata buku itu sudah lenyap.

Setelah itu, Betet meminta Yanto untuk membatunya menutup peti mati lalu kembali memguburnya. Dalam hati, Yanto berkata, "susah ngedapetnya cuma buat di tanam lagi?"

"Ojo gruweng, Mas! aku turun ke dalam jurang bukan karena buku itu, tapi aku mengeluarkan Lek Lacip." Yanto tersipu sekaligus kaget. Dia juga bingung memaknani kalimatnya betet.

"Ngetokne Lacip?"

"Iya, mbok pikir Lek Lacip bisa keluar dari jurang tanpa bantuan kami? Jika memang bisa keluar sendiri kenapa mesti menunggu 57 tahun?"

Yanto tertegun dengan jawaban Betet, "benar jika dia memang mampu mengapa dia harus menunggu selama itu?"

Bapak hanya senyum-senyum simpul mendengarkan percakapan keduanya. Keduanya terus melanjutkan menimbun peti mati lalu meratakan lantai seperti semula.

Setelah pekerjaan mereka selesai, Yanto berpamitan untuk mencari tanaman obat ke hutan.

"Mas, tolong awasi Lek Lacip ya mas, yang pasti dia bakal mencak-mencak. Jika kutukan Mbah Putri masih berlalu, dia tidak akan bisa masuk Lembah Biru."

"Inggih, Nimas. Sendiko dawuh."

Mas yanto meninggalkan kamar tengah setelah sebelumnya berpamitan kepada bapak dan Betet. Setalah itu, bapak dan Betet pun juga meninggalkan kamar tengah.

***

Lembah Biru masih sama seperti 57 tahun yang lalu, lengang dan sepi. Bedanya rumah-rumah penduduk lebih mewah. Namun masih sama, beku dan singlu, apalagi di malam hari. Setelah isya' sudah hampir tidak ada aktifitas apa pun, kecuali jika ada kenduri atau acara do'a. Namun, umumnya orang memilih waktu kenduri dan acara do'a ba'da manghrib. Ada yasinan seminggu sekali pada malam jum'at tapi ya gitu, setelah jam sembilan sudah pulang ke rumah masing-masing tanpa suara.

-SEKIAN-
close