Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 3) - Penyelidikan


JEJAKMISTERI - Kabar meninggalnya Lik Diman dengan cara yang sangat tidak wajar itu dengan cepat segera menyebar ke seantero desa Kedhung Jati. Suasana desa yang semula tenang dan damai berubah menjadi gaduh. Jeritan Bu Jarwo saat melihat jenazah Lik Diman yang terlihat menyeramkan itu sukses mengundang warga yang penasaran. Mereka segera berbondong bondong mendatangi lokasi tempat penggalian sumur itu, sekedar untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya, meski setelah melihat kondisi mayat Lik Diman rata rata para warga langsung memalingkan muka dan bergegas menjauh dari lokasi itu.

Bagaimana tidak. Mayat dengan kepala yang terpuntir ke belakang jelas saja terlihat sangat menyeramkan. Ditambah dengan wajah si mayat yang terlihat menegang sengan urat bertonjolan, kedua mata melotot nyaris melompat keluar dari tempatnya, dan lidah yang menjulur panjang keluar, membuat bulu kuduk siapapun yang melihatnya menjadi meremang. Hanya beberapa warga yang memiliki mental baja saja yang sanggup bertahan mengelilingi mayat itu sambil kasak kusuk membisikkan dugaan dugaan mereka tentang penyebab Lik Diman sampai nekat mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis itu.

"Stress kali, karena keseringan ribut sama istrinya," bisik salah seorang warga.

"Bisa jadi. Atau stress karena menggali sumur sampai sedalam ini belum ketemu sumber juga. Nama baiknya sebagai seorang penggali sumur yang handal bisa tercoreng kalau sampai gagal menyelesaikan pekerjaannya ini."

"Kalau menurutku sih kesurupan. Hanya orang yang ketempelan setan saja yang mampu membunuh dirinya sendiri dengan cara seperti ini."

"Hufh," Mas Joko menghela nafas. Kedatangan para warga ini, bukannya membantu tapi malah memperkeruh suasana. "Bapak bapak, tolong sedikit menjauh dari jasadnya Lik Diman ya, biar nanti pihak yang berwajib saja yang mengurusnya. Dan jangan mendekat ke dalam lobang sumur itu. Kita belum tau apa yang ada di bawah sana. Yud!"

Mas Joko segera memanggil Mas Yudi yang nampak masih syok terduduk bersandar pada batang pohon Lamtoro yang tumbuh tak jauh dari tempat itu. "Masih sanggup mengendarai motor?"

"Emph, bisa Mas," sahut Mas Yudi dengan suara sedikit gemetar. "Biar aku saja yang melaporkan hal ini pada Pak Bayan. Lama lama disini melihat kondisi Lik Diman bikin kepalaku tambah pusing Mas."

"Baguslah kalau begitu. Segera laporkan kejadian ini pada Pak Bayan, lalu hubungi Pak Modin juga. Dan keluarga Lik Diman..."

"Eh, kalau untuk memberitahu keluarga Lik Diman, aku bingung Mas. Gimana nanti aku ngomongnya?"

"Bilang saja kalau Lik Diman kecelakaan, jatuh atau gimana gitu. Intinya jangan sampai membuat mereka kaget."

"Baiklah kalau begitu Mas. Aku jalan dulu ya," Mas Yudi lalu berjalan gontai menuju ke tempat motornya terparkir, lalu memacunya cepat menuju ke arah desa. Sementara Mas Joko kembali sibuk meperingatkan beberapa warga yang sepertinya masih penasaran untuk mendekat ke tempat mayat Lik Diman berada.

***

Hingga sore menjelang, suasana di rumah Pak Jarwo semakin ramai. Pihak kepolisian yang datang setelah mendapat laporan dari Pak Bayan sampai kerepotan menghalau warga yang terus berdatangan bak semut mencium aroma gula. Pita kuning segera dipasang disekeliling area penggalian sumur itu. Penyelidikan seriuspun dilakukan. Beberapa petugas mulai mengidentifikasi mayat Lik Diman. Sebagian lagi memeriksa tanah dan lobang galian. Pak dan Bu Jarwo, Mas Joko, serta Mas Yudi yang menjadi saksi kunci dalam kasus ini dicecar dengan puluhan (atau mungkin ratusan) pertanyaan yang diulang ulang. Bahkan Si Klanthung, orang gila yang biasanya keberadaannya tak diharapkan warga itu kini dicari cari. Pak Bayan, Pak RT, bahkan Pak Modin, sesepuh desa yang telah renta itu juga ikut hadir dengan ditemani oleh Bu Guru Ratih, sang keponakan.

"Ada yang berani turun kedalam lubang?" seru seorang petugas polisi sambil menatap bergantian kepada Mas Yudi dan Mas Joko. Seperti dikomando kedua laki laki itu serempak menggeleng.

"Kita harus tau apa yang berada di dasar sumur sana. Siapa tau ada petunjuk penting. Dan kalian kan yang ikut kerja menggali sumur ini, masa nggak ada yang berani turun sih?" sungut si petugas polisi itu.

"Saya ndak mau bernasib seperti korban Pak!" seru Mas Yudi tegas. Dalam hati laki laki itu menggerutu. Enak saja nyuruh nyuruh, itu kan tugasmu sebagai seorang polisi pak!

"Kalau sampeyan?" polisi itu menoleh ke arah Mas Joko.

Mas Joko diam. Ada rasa tak enak untuk menolak permintaan petugas itu. Tapi kalau menuruti permintaan mereka, ia juga tak mau ambil resiko.

"Masa sih ndak ada yang berani turun?" kata petugas itu lagi dengan nada sedikit keras. "Kalian kan..."

"Pak, kita bukannya tak berani. Tapi kita kan ndak tau apa yang ada dibawah sana! Bagaimana kalau ternyata ada sumber gas berbahaya, atau..."

"Hey, sampeyan jangan...!" belum selesai Mas Yudi memprotes kata kata si petugas, petugas itu berseru sambil bergegas mendekat ke sisi lobang, mencoba menahan langkah seorang perempuan berkacamata yang juga mendekat ke arah lobang itu.

"Tak apa Pak," Pak Bayan Mangun menahan langkah si polisi.

"Tapi Pak..."

"Percaya sama saya. Apapun yang dilakukan oleh ibu itu, itu bisa sangat membantu penyelidikan kita."

Petugas polisi itu terdiam. Matanya terus mengawasi si perempuan yang kini berjongkok di pinggir lobang sambil tangannya menekan nekan tumpukan tanah bekas galian.

Orang aneh! Batin si polisi. Orang orang desa Kedhung Jati memang terkenal aneh, seaneh desa yang mereka tempati. Jadi polisi itu sudah tak begitu heran lagi.

Si perempuan berkacamata itu lalu kembali berdiri dan melangkah menjauh dari bibir lubang, sambil tangannya meremas remas segenggam tanah di tangannya.

"Tak apa Mas," perempuan itu berkata lembut kepada Mas Joko. "Turunlah, sudah ndak ada apa apa di bawah sana, kecuali mungkin sampah."

"Tapi Bu..." Mas Joko tak melanjutkan kata katanya.

"Percayalah Mas. Andaipun ada sesuatu yang berbahaya di dalam sana, saya yakin sesuatu itu telah pergi kini. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," ujar si perempuan berkacamata lagi.

Mas Joko tak bisa mengelak lagi. Kata kata si perempuan berkacamata itu sangat pantas untuk dipercaya. Tanpa ragu lagi ia akhirnya menyanggupi perintah petugas polisi itu.

"Ambil apa saja yang ada dibawah sana, dan masukkan kesini. Jangan lupa kenakan dulu sarung tangan karet ini!" si petugas polisi yang tadi menyuruh Mas Joko turun memberikan sebuah kantong plastik dan sepasang sarung tangan karet kepada Mas Joko sebelum laki laki itu turun.

Sambil menunggu Mas Joko sampai di dasar lubang, mata petugas polisi itu kembali mengarah kepada si perempuan berkacamata yang kini telah pergi menjauh dan nampak berbicara dengan sangat serius dengan seorang laki laki tua bertongkat di teras rumah Mas Joko.

"Siapa sebenarnya perempuan itu Pak?" bisik si petugas kepada Pak Bayan Mangun yang berdiri disebelahnya.

"Bu Guru Ratih," jawab Pak Bayan Mangun pelan, sambil ikut memperhatikan si perempuan berkacamata itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close