Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 2) - Sumur


JEJAKMISTERI - Pagi yang cerah di hari Jumat. Matahari masih malu malu untuk menampakkan sinarnya di ufuk timur sana. Embun masih membasahi rerumputan. Hawa dingin juga masih terasa menusuk tulang. Meski begitu geliat kehidupan mulai nampak di Desa Kedhung Jati. Anak anak berseragam putih merah tampak menghiasi jalanan desa, diselingi oleh para bapak yang berangkat ke sawah atau ladang sambil memikul cangkul, serta para ibu yang menggendong bakul berisi hasil panen mereka untuk dijual ke pasar.

Semua orang nampak sibuk. Semua orang sadar akan kewajiban mereka masing masing. Kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari, mereka jalani dengan hati riang, diiringi oleh merdunya kicauan burung yang hinggap diatas dahan serta canda tawa anak anak yang bermain di halaman rumah mereka masing masing.

Begitu juga dengan Mas Yudi. Salah satu warga desa Kedhung Jati itu tak mau ketinggalan. Sepagi itu ia sudah menjalankan motor tuanya perlahan menyusuri jalanan Tegal Salahan sambil bersiul siul kecil. Sudah seminggu ini ia mendapat job untuk membantu Lik Diman menggali sumur di rumah Pak Jarwo, salah seorang warga baru yang mendirikan rumah di area Tegal Salahan.

Meski tugasnya hanya sekedar membantu, karena yang ahli dalam menggali sumur memang Lik Diman, namun upah yang diterima oleh Mas Yudi cukup lumayan. Pak Jarwo memang dikenal sebagai orang yang kaya raya. Lihat saja rumah yang dibangunnya yang sudah hampir mirip dengan istana itu. Juga kendaraan roda empat yang dimilikinya, entah apa jenis dan mereknya, Mas Yudi tak terlalu paham. Yang ia tau, hanya Pak Jarwo yang memiliki mobil sejenis itu di seantero desa ini. Mobil yang kalau berjalan suaranya nyaris tak terdengar. Mobil yang kalau lalat hinggap di bodynya saja bisa terpeleset karena sangking mulusnya. Mobil yang meski hanya dalam mimpipun Mas Yudi yakin tak akan sanggup untuk memilikinya.

Angan Mas Yudi terus melambung, sampai tak sadar ia telah sampai diatas tanjakan jalan Tegal Salahan. Motor tua yang dikendarainya ia belokkan ke arah barat, lalu mengurangi laju kendaraannya itu saat melintas dihalaman rumah Mas Joko.

"Pagi Mas," sapa Mas Yudi padi si pemilik pondok kayu sederhana itu, yang tengah duduk diatas lincak (balai balai bambu) di teras rumahnya. Disebelahnya nampak Mbak Romlah, istri Mas Joko yang tengah sibuk menyuapi Ndaru, anak bungsu mereka yang baru berusia lima tahun.

"Eh, Yud, belum selesai juga toh nggali sumurnya?" sahut Mas Joko ramah.

"Belum Mas. Sudah hampir limabelas meter tapi belum ketemu sumber juga. Maklumlah Mas, lagi musim kemarau begini, mana tanahnya keras banget, banyak batunya juga. Jadi agak lambat deh kerjanya," Mas Yudi mematikan mesin motornya.

"Sini, mampir dulu Yud, ngopi ngopi dulu. Masih pagi ini. Lik Diman juga sepertinya belum datang kok," ujar Mas Joko lagi, yang segera diamini oleh Mas Yudi. Laki laki itu segera turun dari sepeda motornya lalu masuk ke teras pondok kayu itu dan ikut duduk diatas lincak, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk menowel pipi Ndaru yang gembul itu.

"Kok tumben ya Yud, sudah sedalam itu belum keluar air juga? Padahal biasanya warga sini bikin sumur nggak sampai sedalam itu sudah ketemu sumber," kata Mas Joko sambil menyalakan rokok kreteknya. Sementara Mbak Romlah masuk ke pondok lalu tak lama keluar lagi sambil membawa secangkir kopi untuk Mas Yudi.

"Makasih Mbak," Mas Yudi menyambut cangkir kopi yang dihidangkan untuknya itu. "Ndak tau juga aku Mas. Tapi kalau kata Lik Diman sih, memang lokasinya yang salah."

"Salah gimana maksudmu Yud?"

"Awalnya kan Lik Diman bilang kalau bagusnya bikin sumurnya itu disebelah kiri rumah itu Mas, yang bersebelahan dengan bangunan dapur itu lho. Lik Diman pasti tau lah mana mana tempat yang banyak sumber airnya, secara dia sudah ahli. Tapi Pak Jarwo itu ngotot mau bikin sumurnya dibelakang rumah, biar nggak merusak pemandangan katanya. Ya akhirnya kita nurut nurut aja, wong dia yang punya duit kok. Tapi ya gini jadinya, kerjanya jadi lambat, sudah seminggu belum kelar kelar juga. Lik Diman bahkan sudah pesimis kalau bisa menemukan sumber disitu."

"Iya juga sih, setahuku memang kalau mau bikin sumur itu memang harus mencari lokasi yang tepat gitu. Tapi ya mudah mudahan saja nanti bisa ketemu sumber Yud. Sayang kan kalau sudah dikerjain capek capek tapi ternyata nggak ada hasilnya," ujar Mas Joko.

"Iya Mas, aku juga berharap begitu," Mas Yudi menyeruput sedikit kopinya yang masih panas mengepul itu. "Oh ya Mas, Wulan sekarang jarang pulang ya?"

"Iya Yud. Lagi persiapan menghadapi ujian katanya. Mudah mudahan saja ujiannya lancar Yud, dan kuliahnya bisa cepat selesai."

"Amiiinnnn...!"

Tengah asyik keduanya mengobrol, dari kejauhan nampak Lik Diman berjalan santai ke arah mereka sambil memanggul cangkul. Kedua orang itu lalu berdiri dan mengikuti langkah Lik Diman menuju ke rumah Pak Jarwo. Meski tak diminta untuk membantu, namun sebagai seorang tetangga dekat Mas Joko merasa berkewajiban untuk ikut membantu pekerjaan menggali sumur itu meski tak setiap hari. Sudah menjadi kebiasaan memang, hidup di desa, semangat gotong royongnya masih sangat kental. Disaat ada warga yang kerepotan, maka warga yang lain tanpa diminta akan segera datang membantu.

***

Hari semakin meninggi. Matahari mulai menampakkan kegarangan sinarnya. Keringatpun mulai bercucuran membasahi tubuh mereka yang sedang bekerja. Lik Diman yang didhapuk sebagai tukang gali sudah semenjak pagi tadi turun ke lubang yang dalam itu. Menggali dan terus menggali hingga lubang itu semakin dalam dan dalam. Sementara diatas Mas Yudi dan Mas Joko bergantian menarik tanah bekas galian dengan menggunakan tali tambang dan katrol. Mereka bekerja dengan sangat giat, meski si tuan rumah sendiri tak pernah mengawasi pekerjaan mereka. Pak Jarwo terlalu sibuk dengan bisnisnya di kota. Hanya Bu Jarwo, sang istri yang berada di rumah.

Tengah asyik bekerja, tiba tiba seorang laki laki tua berpakaian kumal dan bertubuh dekil datang menghampiri mereka sambil menceracau tak jelas. Warga desa mengenal laki laki itu sebagai Si Klanthung, orang gila yang sering berkeliaran di desa itu.

"Lagi ngopo Lik?" (lagi ngapain Lik?) seru Si Klanthung sambil tersenyum senyum sendiri seperti orang stress, eh, memang dia stress ding!

"Lagi mbutgawe ki! Wis kono ojo ngrusuhi! Dolan sing adoh kono!" (Lagi kerja! Sudah sana, jangan ganggu! Main yang jauh sana!) sungut Mas Yudi yang sepertinya merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Si Klanthung.

"Hehehe! Ojo galak galak to Lik! Wong mung ditakoni wae kok muring muring lho!" (Hehehe! Jangan galak galak apa Lik! Wong cuma ditanya saja kok marah marah lho!) Si Klanthung terkekeh, lalu berjalan mendekat ke bibir lubang yang sedang digali dan melongok ke dalamnya.

"Iki lagi ndhudhuk opo to?" (ini lagi nggali apaan to?) gumam Si Klanthung sambil melongok kedalam lubang.

"Hei! Jangan melongok longok begitu! Nanti kamu jatuh, bikin kita repot saja!" seru Mas Joko memperingatkan.

"Wah, susuh dhemit iki! Susuh dhemit kok didhudhuk lho! Edan sampeyan kabeh iki! Nek nganti dhemite ucul, ciloko sampeyan kabeh!" (wah, sarang dhemit ini! Sarang dhemit kok digali lho! Gila kalian semua ini! Kalau sampai dhemitnya lepas, celaka kalian semua!) sungut Si Klanthung seolah tak memperdulikan hardikan Mas Joko barusan.

"Wah, dasar orang sableng! Lha kok malah kita yang dikatain gila! Sudah Mas, kasih makanan saja itu Si Klanthung biar cepet pergi! Ganggu orang kerja saja!" gerutu Mas Yudhi.

Mas Jokopun segera mengambil beberapa potong singkong rebus yang tadi disediakan oleh Bu Jarwo dan memberikannya kepada Si Klanthung. "Nih, tak kasih singkong rebus, tapi habis ini kamu main yang jauh sana ya, jangan ganggu orang lagi kerja," kata Mas Joko sambil memberikan beberapa potong singkong rebus yang sudah ia bungkus dengan daun pisang itu kepada Si Klanthung.

Namun bukannya menerima makanan yang diberikan oleh Mas Joko, Si Klanthung justru terus asyik melongok longok kedalam lubang sambil menceracau tak jelas.

"Neng njero jugangan iki akeh dhemite lho Lik! Sampeyan ga wedi to?" (didalam lubang ini banyak dhemitnya lho Lik! Sampeyan ndak takut to?) desis Si Klanthung sambil menatap tajam ke arah Mas Joko yang berdiri disebelahnya.

Mas Joko sampai tercekat mendapat tatapan seperti itu. Ia sudah cukup lama mengenal laki laki tak waras itu. Namun baru kali ini ia melihat sorot mata laki laki stress itu terasa begitu menusuk ke matanya. Mas Joko sampai merinding melihatnya. Dan belum habis rasa keheranan yang dirasakan oleh laki laki iti, sebuah suara terdengar menggema dari dalam lubang, membuat laki laki itu terjingkat kaget.

"Craakkk...!!!"

"As*!"

Suara berderak seperti suara ujung cangkul yang mengenai benda keras, lalu disusul dengan suara umpatan dari Lik Diman, sukses membuat Mas Joko dan Mas Yudi seperti dikomando melongok kedalam lubang. Sementara Si Klanthung justru mundur pelan pelan menjauh dari bibir lubang, lalu berlari dengan sangat cepat menuju ke arah desa.

"Wis, ucul tenan iki! Ucul kabeh dhemit'e! Ciloko sampeyan kabeh Lik!" (Wis, lepas beneran ini! Lepas semua dhemitnya! Celaka kalian semua Lik!) teriakan Si Klanthung terdengar semakin menjauh. Mas Joko dan Mas Yudi sudah tak begitu memperhatikan lagi tingkah si laki laki stress itu. Perhatian mereka tertuju kepada Lik Diman yang nampak memanjat naik ke atas lubang dengan sangat terburu buru, seolah sedang ketakutan akan sesuatu yang baru saja ia temukan didasar lubang sana.

"Kenapa Lik?" hampir bersamaan Mas Joko dan Mas Yudi bertanya, begitu laki laki bertubuh gempal itu sampai diatas.

Lik Diman diam sejenak, sambil matanya menatap nanar kesekelilingnya seperti orang kebingungan, lalu laki laki itu meliuk liukkan pinggangnya kekiri dan kekanan hingga terdengar suara bergemeretak dari tulang tulang punggungnya yang saling beradu.

"Capek to Lik?" tanya Mas Yudi lagi. "Istirahat saja dulu kalau capek. Nanti biar gantian aku yang turun."

Lik Diman masih diam seribu bahasa, seolah tak mendengar ucapan Mas Yudi barusan. Laki laki itu justru mengulurkan tangan kanannya ke belakang kepala dan menarik rambutnya yang agak gondrong itu, sementara tangan kirinya menopang dagunya, lalu memutar kepalanya kekiri dan kekanan hingga tersengar bunyi "krek! krek!" dari tulang tulang lehernya yang bergesekan.

Mas Joko dan Mas Yudi saling pandang sesaat, merasa sedikit aneh dengan tingkah Lik Diman itu. Apalagi saat tangan kanan Lik Diman semakin kuat menarik rambut di belakang kepalanya ke kanan dan tangan kirinya mendorong dagunya ke arah kiri dengan sekuat tenaga.

"Hegh!" terdengar suara Lik Diman melenguh, seiring dengan semakin kuat kedua tangannya memutar kepalanya hingga urat urat di lengan dan lehernya bertonjolan keluar.

"Lik, apa yang..."

"Hegh! Kraakkk...!" belum sempat Mas Yudi menyelesaikan kalimatnya, Lik Diman sudah ambruk keatas tanah dengan tubuh mengejang dan kepala yang terpuntir kebelakang hingga 180 derajat. Laki laki itu tewas setelah memelintir kepalanya sendiri!

"Astaghfirullah...!!!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close