Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 4) - Kendhi


JEJAKMISTERI - "Siapa perempuan itu Pak?" bisik petugas polisi itu kepada Pak Bayan Mangun yang berdiri di sebelahnya.

"Bu Guru Ratih," jawab Pak Bayan Mangun pelan, sambil menatap ke arah si perempuan berkacamata yang kini nampak tengah berbicara serius dengan seorang laki laki tua bertongkat di teras rumah Mas Joko.

"Bu Guru Ratih?!" si petugas polisi mengerutkan alisnya. "Seperti pernah dengar namanya."

Pak Bayan Mangun menoleh dan menatap ke arah petugas itu. "Sudah berapa lama sampeyan berdinas di kota ini?"

"Belum genap setahun Pak, sebelumnya...."

"Pantas saja," sela Pak Bayan. "Desa ini Nak, dengan segala misterinya, sampeyan harus mulai membiasakan diri dengan semua ini."

"Eh...,?"

"Ada baiknya sampeyan libatkan perempuan itu dalam penyelidikan sampeyan. Itu juga kalau sampeyan...."

"Pak...!!!"

Seruan seorang petugas yang lain dari arah lubang galian memaksa kedua aparat itu menyudahi obrolannya. Keduanya lalu mendekat kearah sumur, dimana si petugas yang berseru tadi nampak tengah mengerek sesuatu dari dalam lubang dengan menggunakan tali tambang dan katrol.

"Apa yang kalian dapat?" tegur si petugas pertama kepada petugas kedua yang masih sibuk menarik tali tambang.

"Hanya cangkul, linggis, dan ini Ndan!" si petugas kedua menunjukkan benda benda yang telah berhasil ditariknya keatas itu kepada sang komandan.

"Apa itu?" si komandan berusaha memungut bungkusan kain kumal sebesar kepala berwarna putih kecoklatan itu, namun tangannya segera ditepis oleh Pak Bayan.

"Jangan disentuh dulu," seru Pak Bayan. "Yud, tolong panggil Pak Modin, eh, jangan, jangan Pak Modin. Ia sudah terlalu sepuh untuk keluyuran di tempat seperti ini! Bu Ratih saja! Suruh cepat kesini! Penting!"

Mas Yudi yang mendapat perintah segera ngibrit ke rumah Mas Joko. Tak lama kemudian ia telah kembali bersama Bu Guru Ratih.

"Ada apa Pak?" tanya Bu Guru Ratih begitu sampai di tempat itu.

"Ada sesuatu yang perlu sampeyan lihat, Bu" jawab Pak Bayan sambil menunjuk ke arah bungkusan aneh itu.

Bu Ratih maju selangkah, lalu berjongkok didepan bungkusan kain kumal itu. Tangannya terulur perlahan hendak menyentuh bungkusan itu. Namun seruan dari komandan polisi itu menyurutkan niatnya.

"Tunggu! Jangan asal sentuh! Itu barang bukti yang mungkin saja penting! Jadi..."

"Pak Komandan!" Pak Bayan berseru tak kalah tegas. "Saya tau sampeyan yang bertanggung jawab disini. Tapi saya sudah menjadi Bayan disini bahkan sebelum sampeyan dicetak di rahim ibu sampeyan. Apa apa yang ada dan terjadi disini, saya lebih tau banyak dibandingkan dengan sampeyan. Jadi..."

"Tak apa Pak," Bu Ratih berujar lembut, berusaha untuk menengahi ketegangan itu. "Sedikit banyak saya juga tau SOP saat polisi sedang bertugas. Saya tidak akan menyentuhnya. Tapi ijinkan saya untuk melihat benda ini, sebentar saja."

Komandan polisi itu terdiam sejenak. Ucapan perempuan yang dipanggil Bu Ratih itu terdengar lembut, namun terasa dingin dan menusuk. "Baiklah! Kalian, bisa tolong bawa senter kesini?"

Salah seorang petugas segera menyorotkan senternya ke arah benda aneh itu. Bu Ratih kembali mengulurkan tangan kanannya ke depan. Lalu merentangkan telapak tangannya sejengkal diatas bungkusan aneh itu. Dibalik lensa kacamatanya, sepasang mata lentiknya terpejam sesaat. Pak Bayan memperhatikan apa yang dilakukan oleh guru cantik itu dengan wajah tegang. Sementara para petugas saling berpandangan, tak mengerti dengan yang dilakukan oleh perempuan berkacamata itu.

"Kosong!" guru perempuan itu bergumam, membuat orang orang yang ada di sekelilingnya terkejut. "Tapi sebelumnya isi! Apakah bapak keberatan kalau saya meminta bungkusan ini dibuka disini?"

Suara Bu Guru Ratih yang terdengar lembut namun berwibawa itu membuat si komandan tak bisa menolak permintaannya. Ia segera menyuruh salah satu anak buahnya untuk membuka bungkusan itu.

Wajah wajah tegang nampak dari orang orang yang menunggu untuk mengetahui apa isi dari bungkusan itu. Tangan si petugas yang mendapat amanat untuk membukanya nampak gemetar. Pelan pelan ikatan pada ujung bungkusan itu ia urai. Sehelai kain mori yang awalnya mungkin berwarna putih telah berubah menjadi kecoklatan, menandakan kalau bungkusan itu sudah sangat lama terpendam di dalam tanah. Bahkan kain itu sudah sangat rapuh, hingga saat membukanya, tanpa sengaja si petugas itu merobekkan salah satu ujungnya.

Petugas yang sudah berumur itu terjengkang kebelakang, efek dari rasa terkejutnya karena tak sengaja merobekkan kain itu. Wajahnya membias pucat dengan keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. Jelas kalau petugas itu ketakutan setangah mati.

"Boleh kalau saya saja yang membukanya?" Bu Ratih tersenyum lembut. Ada rasa kasihan saat melihat petugas yang sudah berumur itu gemetar ketakutan seperti itu.

"Silahlan Bu," si komandan polisi segera memberikan sepasang sarung tangan kepada Bu Ratih. Guru perempuan itu lalu mengenakannya, dan dengan cekatan membuka bungkusan itu.

"Sebuah kendhi?" serempak orang orang yang berkerumun disitu berseru. Ya. Kini nampak sudah dengan jelas, apa isi dari bungkusan itu. Sebuah kendhi yang nampak sudah sangat tua berwarna hitam kecoklatan, dengan sumbat dari potongan kayu (entah kayu apa, yang jelas terlihat sangat keras hingga mampu bertahan sekian lama terpendam di dalam tanah). Sumbat yang mungkin awalnya menutup bagian lubang di kendhi itu telah terlepas, entah karena kurangnya kehati hatian para petugas yang tadi menyentuhnya, atau karena sebab lain. Ada bagian yang gompal pada salah satu bagian dari kendhi itu, dengan serpihan bekas gompalan yang masuk kedalamnya. Jelas terlihat, bekas gompalan itu masih baru, mungkin tanpa sengaja terkena ujung cangkul atau linggis saat Lik Diman sedang menggali. Selain itu juga nampak serpihan serpihan serta bubuk bubuk aneh kehitaman yang ikut terbungkus dalam kain itu.

"Kukira tadi isinya tengkorak manusia," entah siapa yang berbisik seperti itu, tak ada yang menanggapi meski terdengar sangat jelas.

"Aku bahkan mengira kalau isinya bongkahan emas," bisik yang lain.

"Hanya ini?" sang komandan ikut berjongkok di depan benda aneh itu.

"Seperti yang bapak lihat," Bu Ratih bangkit berdiri. "Pak Bayan, ada baiknya sampeyan ikut saya, ada yang ingin Wak Dul sampaikan kepada bapak. Dan biarkan bapak bapak polisi ini melakukan tugasnya."

"Tunggu Bu, apakah tak ada yang bisa ibu jelaskan tentang benda ini kepada kami?" si komandan polisi menahan langkah Bu Ratih.

"Sudah jelas kan, seperti yang bapak lihat, itu hanya sebuah kendhi," Bu Ratih melangkah pergi diikuti oleh Pak Bayan, sementara komandan polisi itu menatap kepergiannya dengan tatapan penuh tanya.

Perempuan aneh! Cantik, nampak terpelajar, namun terkesan dingin dan misterius. Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh si bayan tua itu tadi. Aku harus melibatkan perempuan itu dalam penyelidikanku.

"Woy! Tak adakah yang punya cita cita untuk menarikku keluar dari sini?!" teriakan Mas Joko dari dalam lubang sumur terdengar menggema, membuat komandan polisi itu menepuk jidatnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close