Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 5) - Obrolan Di Pos Ronda


JEJAKMISTERI - Malam telah larut, saat penyelidikan para polisi itu selesai. Mayat Lik Diman mereka bawa ke rumah sakit yang ada di kota kabupaten. Beberapa barang bukti yang mereka temukan juga mereka bawa untuk penyelidikan lebih lanjut. Warga tak peduli dengan semua itu. Yang mereka pedulikan saat ini adalah apa yang menyebabkan Lik Diman sampai mengakhiri hidup dengan cara yang cukup mengerikan itu.

Sumur setengah jadi di kebun belakang rumah Pak Jarwo telah sepi kini. Namun tidak dengan pondok kayu di sebelahnya. Suasana di pondok milik Mas Joko yang biasanya sepi dan jarang dikunjungi orang itu, kini tak ubahnya seperti pasar dadakan. Warga yang masih penasaran berharap bisa mendapat jawaban dari Pak Komandan polisi, Pak Bayan, Pak Modin, dan Bu guru Ratih yang masih nampak berbincang dengan serius di dalam pondok kayu itu.

Mas Joko sendiri, selaku pemilik pondok itu, setelah selesai mandi dan membersihkan diri, lebih memilih untuk duduk di lincak yang ada di teras pondoknya bersama Pak Slamet, suami Bu Ratih, sambil mengawasi anak anak mereka, Ndaru dan Ratri, yang masih asyik bermain di sudut teras.

Sebuah pilihan yang salah dari Mas Joko. Karena bak gula yang mengundang gerombolan semut, kehadiran Mas Joko di teras itu juga mengundang kerumunan warga. Dan mau tak mau, Mas Joko harus kembali mengulang dan mengulang kembali cerita saat kejadian di sumur tadi siang, tanpa bisa memberi keterangan apa sebenarnya yang menjadi penyebab Lik Diman mati dengan cara yang mengenaskan.

Hingga saat hari hampir merangkak ke tengah malam, orang orang yang sedang 'rapat' didalam pondok Mas Joko membubarkan diri. Pak Komandan polisi segera pamit, tanpa sedikitpun memberi keterangan kepada para warga. Hanya Bu Ratih yang memberi sedikit pesan sebelum akhirnya juga pulang bersama Pak Slamet dan Pak Modin.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita tunggu saja hasil penyelidikan para polisi," ujar guru cantik itu pelan namun tegas. "Tapi ada baiknya untuk beberapa hari ke depan, kegiatan ronda malam lebih ditingkatkan lagi ya. Dan saya harap, untuk beberapa hari ke depan juga, jangan ada yang berani mendekat ke sumur itu."

"Dan satu lagi," Pak Bayan menambahkan. "Daripada kalian kumpul kumpul ndak jelas disini, apa ndak lebih baik kalian ikut saya kerumah Lik Diman? Dia memang bukan warga desa sini, tapi tetap saja dia adalah tetangga kita!"

Tak ada lagi yang berani membantah kata kata Bayan tua yang terkenal galak itu. Wargapun bubar. Dan pondok kayu milik Mas Joko kembali sepi, memberi kesempatan kepada penghuninya untuk beristirahat setelah seharian dilanda ketegangan.

****

Tiga hari semenjak kejadian di sumur Pak Jarwo, akhirnya rasa penasaran para wargapun sedikit terjawab. Lik Diman dinyatakan meninggal murni karena bunuh diri. Apa sebabnya, polisi tak memberi keterangan lebih lanjut. Jenazah Lik Dimanpun telah dimakamkan. Dan kasus itu lambat laun mulai terlupakan.

Bukan hal yang aneh sebenarnya. Untuk ukuran desa Kedhung Jati, orang mati sudah biasa. Bahkan dengan cara yang seaneh apapun. Tapi berbeda dengan kasus kematian Lik Diman ini. Sudah sekian tahun tak ada hal hal aneh terjadi di desa yang dulu dikenal sebagai sarangnya para dhedemit ini. Sudah sekian tahun juga mereka merasakan hidup tenang dan damai tanpa ada gangguan. Dan kematian Lik Diman yang tak biasa, seolah olah kembali membuka luka lama dan menyulut berbagai opini dari para warga.

Seperti malam itu di pos ronda. Beberapa laki laki yang mendapat giliran ronda masih juga membahas soal kematian Lik Diman.

"Kalian percaya kalau Lik Diman itu mati bunuh diri?" Kang Mardi membuka percakapan setelah meneguk sedikit kopi di cangkir kalengnya.

"Percaya nggak percaya sih," Lik Sukri menimpali sambil membolak balik singkong di dalam perapian yang mereka buat di depan bangunan poskamling itu. "Polisi kan sudah mengeluarkan pengumuman resmi."

"Kalau aku sih ndak percaya," Kang Mardi menyalakan rokok tingwe yang baru saja selesai ia racik. "Mana ada orang bunuh diri dengan memelintir kepalanya sendiri sampe muter seratus delapan puluh derajat gitu?"

"Jadi menurut sampeyan para polisi itu bohong?" Mas Toni yang sejak tadi diam ikut bicara.

"Aku ndak bilang kalau para polisi itu bohong lho ya," ralat Kang Mardi. "Tapi aku menduga, polisi polisi itu sengaja menyembunyilan sesuatu dari kita."

"Menyembunyikan sesuatu? Maksudmu gimana to Di?" Mbah Atmo, yang paling tua diantara mereka bertanya.

"Ya bisa saja to ada informasi yang kalau sampai ke telinga warga membuat warga jadi resah, jadi sengaja ndak dikasih taukan ke kita," jawab Kang Mardi.

"Ada benarnya juga sih," gumam Mas Toni. "Tapi kalau menurut pendapat sampeyan, apa yang membuat Lik Diman sampai mengakhiri hidupnya seperti itu Lik?"

"Aku sih ndak begitu yakin Ton, tapi kalau menurut perkiraanku, semua ini masih ada hubungannya dengan Mbah Kendhil!" jawaban Kang Mardi yang spontan itu membuat mereka yang mendengar jadi terperangah sesaat.

"Edan! Jangan bawa bawa orang yang sudah mati kamu Di! Pamali! Apalagi Mbah Kendhil kan...."

"Sampeyan yakin kalau Mbah Kendhil sudah mati?" cepat Kang Mardi menukas teguran Mbah Atmo.

"Lha kan dulu cucunya sendiri yang menemukan jasad Mbah Kendhil yang sudah jadi jenglot di kali Rampeng sana!" ujar Mbah Atmo.

"Aku sih ndak yakin kalau yang dulu ditemukan sama Wulan itu jasadnya Mbah Kendhil. Coba sampeyan pikir, semenjak awal Mbah Kendhil menghilang dari desa ini, hingga Wulan menemukan jenglot itu, hanya selang beberapa tahun saja. Ndak lebih dari duapuluh tahun kurasa. Sesakti apapun Mbah Kendhil, aku yakin tak akan bisa secepat itu bisa berubah menjadi jenglot. Karena setahuku butuh waktu ratusan tahun untuk seseorang dengan kesaktian tertentu bisa menjelma menjadi jenglot."

"Ada benarnya juga sih Kang," Mas Toni kembali bergumam. "Tapi kalau memang Mbah Kendhil belum mati, lalu dimana beliau sekarang?"

"Soal itu aku ndak tau Ton. Mungkin nyepi ke gunung Lawu sana, karena kudengar dulu pas mudanya beliau berguru kesana."

"Lalu, apa hubungannya peristiwa meninggalnya Lik Diman dengan Mbah Kendhil Di?" Lik Sukri melemparkan sepotong singkong bakar yang telah matang ke lantai poskamling, yang segera disambut oleh Kang Mardi.

"Kalian tau kan apa yang ditemukan Mas Joko didalam sumur itu?" ujar Kang Mardi sambil meniup niup singkong bakar yang sudah ia belah dan mengepulkan asap itu.

"Kendhi aneh itu maksudmu Kang?" tanya Mas Toni.

"Ya. Benar. Kendhi yang dibungkus dengan kain mori dan disumbat pakai galih kayu cendana, kalian pikir apa kalau bukan untuk menyegel makhluk makhluk jahat!" jelas Kang Mardi.

"Aku masih belum mengerti Di," Mbah Atmo mengecilkan volume radio transistor yang sedang menyiarkan acara wayang kulit itu. Sepertinya apa yang akan diceritakan oleh Kang Mardi ini lebih menarik daripada lakon wayang yang sudah ia hafal diluar kepala itu.

"Gini lho Mbah, dari semenjak dahulu kala, bahkan saat desa ini masih bewujud hutan belantara dan belum dirambah menjadi sebuah desa, area Tegal Salahan itu sudah dikenal sebagai sarangnya para dhedemit. Ibarat kata orang dulu, jalma mara jalma mati, siapa yang berani mendekat akan celaka. Hanya orang orang yang punya kesaktian tinggi saja yang akhirnya mampu merambah tempat ini dan menjadikannya sebuah pemukiman. Nah, Si Mbah Kendhil ini, mungkin salah satu dari orang orang itu. Sampeyan ingat to, cuma dia dulu yang berani membangun gubuk dan tinggal di area sana? Tentu sebelum memutuskan untuk tinggal disana, Mbah Kendhil pasti terlebih dahulu menyingkirkan penghuni sebelumnya agar tak mengganggunya. Nah,....."

"Maksudmu kendhi itu adalah benda yang digunakan oleh Mbah Kendhil untuk menangkap dan menyegel para penghuni Tegal Salahan, dan menguburnya di lokasi yang kini digali menjadi sumur itu Kang?" sela Mas Toni.

"Tepat sekali! Tumben otakmu encer Ton," Kang Mardi mengacungkan jempolnya ke arah Mas Toni.

"Masuk akal juga sih Kang, mengingat tanah yang sekarang dibangun dan dibikin sumur itu dulunya adalah tanah milik Mbah Kendhil, yang terpaksa dijual sama Mas Joko untuk biaya masuk kuliah Wulan." ujar Mas Toni lagi.

"Walah, kalau dugaanmu itu benar Di, berarti...."

"Berarti dhemit dhemit dalam kendhi itu sudah lepas, benar kan Mbah?" lagi lagi Kang Mardi menukas ucapan Mbah Atmo.

"Jangan nakut nakutin kamu Di!" Lik Sukri masuk kedalam piskamling sambil mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding.

"Bukan nakut nakutin Lik. Tapi cuma menduga duga, karena kemarin aku juga sempat mendengar ucapan Bu Guru Ratih saat memeriksa kendhi itu. Kalian tau apa yang dibilang Bu Ratih?"

"Apa Di?" Mbah Atmo, Lik Sukri, dan Mas Toni mendekatkan wajahnya kearah Kang Mardi agar bisa mendengar dengan jelas apa yang akan diucapkan oleh laki laki itu.

"Kendhi itu kosong! Tapi sebelumnya isi!" bisik Kang Mardi dengan nada yang dibuat buat seram, membuat ketiga teman rondanya itu terjingkat kaget.

"As*! ngaget ngagetin saja kamu Di!" sentak Lik Sukri sambil mengelus dadanya.

"Hahaha....!" Kang Mardi tertawa puas.

"Kalau benar seperti itu, berarti...."

"Berarti ada kemungkinan akan ada teror selanjutnya ya Kang?"

"Ya. Teror yang sebenarnya, karena apa yang menimpa Lik Diman kemaren barulah awal. Kalian bayangkan saja, kalau sampai makhluk makhluk itu dikurung dan ditanam sedemikian dalam di bawah tanah, bisa kalian bayangkan betapa berbahayanya makhluk makhluk itu. Lebih berbahaya daripada para dhedemit yang dulu dibatai Wulan di alas Tawengan! Apalagi mereka juga pasti merasa dendam setelah dikurung seperti itu. Begitu mereka bebas...., BOOOMMMM...!!! Mereka akan menumpahkan dendamnya kepada orang orang yang telah mengusik mereka!" Kang Mardi mengakhiri ucapannya dengan berdiri dan melangkah meninggalkan poskamling itu.

"Lho, mau kemana kamu Di?" seru Mbah Atmo.

"Pulang!" sahut Lik Mardi tanpa menoleh.

"Kok pulang gimana to? Kita lagi tugas ronda lho!"

"Kalau ngerondain maling sih aku sanggup Mbah! Tapi ngerondain dhemit yang baru saja lepas dari Tegal Salahan itu, memangnya kalau mereka muncul di hadapan sampeyan, sampeyan masih berani menghadapinya?!"

"Woooo....! " As* tenan kowe Di!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close